Senin, 15 September 2008

Sajak Mewaktu











Sajak Mashuri

Demi Waktu

1

Petir mengalir di bibirku, lalu kulafal satu-satu

kupanggil ibu; tanah-tanah rekah yang rindukan rindu

hujan di seberang yang menggigil

dengan tangis temaram, gerimis memeram

kukecup ketiadaan dan waktu

patah, bersitahan di udara

jarum jam yang berhenti

di ujung lidah

di atas kandil-kandil padam

dan kuyup wajah sang kala

dibasuh liur dan ludah

menghuni lahat, semakin purba

kusebut waktu, waktuku

2

di awal sura, ketika terakota masih mentah, merah

dan tanah masih tertinggal di muara

ada purwa yang dingin

mengalir dari garba

beranak sungai, mengalir pantai

kekalkan cinta pada nestapa

: dunia

lalu tinggalkan liang senggama

dengan keperihan pendosa

dan rumah terbangun dari senyap

pipih lengan menopang pilar

hitam

kekokohan bangkit dari malam

dan kokok ayam jantan membuktikan

fajar

masih menyesalkan sebuah kepulangan

dan pagi tergelar dengan hambar

lihat, sebuah kota terbangun dari kediaman

dan tangis

tertahan

3

seruling gembala turun ke rerumput

menjemput

bunyi

suara gelombang terdengar sunyi

angin berpaling ke lubang

bercakap

dalam bahasa gelap

lalu bunyi menyemburkan ludah

serupa darah

di tengah padang

seorang berjubah menari

katanya, pagi telah memberinya bayi

dan rumpun rumput ranggas akan ihlas

melepas nafas

memberi tangan pada jemari

menari

4

dalam hujan bulan juni, aku bangkit dari ketiadaan

waktu berputar dalam porosnya

aku bertanya pada secuil kisah

: adalah puisi bakal abadi

dan senyum Aida, dengan tangan-tangan memabukkan

membimbingku pada altar

katanya, rasakan kecupku

dan kau akan tahu, ada kata terbebas dari kelenjarmu

dan menepi dalam sumsumku

ada mimpi di rambutmu

dan mengental di rambutku

kuingat dari matanya

hanya hitam

hitam

5

almari, kendi, cecandi, stupa, arca

sepiring nasi, segelas air, meja berserakan

dan sebuah jam tangan

terlipat sapu tangan

aku membaca

dengan tafsir kupu-kupu

sebuah ulat yang merambat, kepompong kosong

dan sebuah samadi tak selesai

lalu waktu berhenti

aku terus mengejarnya dalam koordinat

keparat

berlepasan

mengandaikan dunia berputar, berputar, berputar

kutahu, ada yang diam

dalam diri, yang bergelombang, centang perenang

dan menabrak karang

lalu menghakimi kekekalan sebagai asal

dan memuja anal

dengan kepala terpenggal

lihat, aku telah bunuh diri

aku telah bergerak menuju mati

dalam pelarian yang diciptakan hujan pagi ini

6

desember

salju turun

seorang tua menanting ranting

dibakarnya

asapnya

ciptakan bayang-bayang

ibu

aku berlari dengan kemeja putih

putih getih

dan kuinginkan ada yang pergi

ketika putih menjelma

kafan

berlayar

dalam waktu

menembus

kelengangan

raih

getih pertama

dalam pertarungan

ingatan

purba

menyelinap

menusuk

paksa

gelap

merasuk

kutanting kesucian

di tiang gantungan

dan waktu

menjelma batu

di pelupukku

wal ‘ashri!

kutahu, ada yang pergi

bersampan

dengan nampan

kembang, ketika bau kamboja dan dupa

bersetubuh

rapuh

merapal ajal dengan kesakitan

shaktiku!

7

petir mengalir ke tanganku

kesadaranku beterbangan di pepohon trembesi

dahan-dahannya coklat

mengingatkanku pada wajah coklat

keramat

lalu kubisikkan bisikan-bisikan bergemuruh

ada yang luruh

menjelma gambar-gambar, kebaya berbunga

surjan dan terompah dan peta negeri antah berantah

kusematkan keris di pinggangnya

“Tidakkah kau lihat aku, tidakkah kau lihat aku yang telah

menguasai kekuasaanmu, tidakkah kau lihat bagaimana aku telah

merajah telapakku

tidakkah kau lihat aku, dengan rajah-rajah waktu menyembur

mulutku

tidakkah kau lihat aku menggenggam rajah kalacakra

dan siap mengguncang waktu, dunia, ibu”

pohon trembesi rebah

hantu menangis darah, lalu segumpal tuah merayap

di cakrawala

sebuah surga terjelma dari kehancuran

dan kuhancurkan lengan-lengan, dahan-dahan, pokok kayu

aku bangun rumah

rumah waktu

dengan pigora-pigora, foto-foto keluarga

aku terpancang di sudut dinding, memandangnya

dengan pandang semesta

ketika dunia geser oleh kata-kata

8

burung-burung agung hinggap di ladang

ladang ditanami pohon bergetah

burung-burung agung telah terbang

terbang ditelan silam yang kalah

9

waktu berhenti

dengan pertaruhan tak henti

aku pulang

dengan kesakitan

di sudut bibir

petir menuliskan alamatnya di pintu

: kau telah kafir!

di sebuah ruang

kutenggelamkan pengetahuanku

Surabaya, 2003

3 komentar:

Aku anak petani mengatakan...

Salam kenal balik mas, suatu kehormatan berkenan mampir ke blog saya yg amburadul, sayang saya tidak bisa komentar tentang karya2 panjenengan karena saya tidak memiliki kemampuan menafsirkan kata2 indah... btw semoga Allah selalu menyertai langkah mas sekeluarga. Amin.

mashuri mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
mashuri mengatakan...

matur suwun, mas. hehehe, pean merendah saja bawaannya. terima kasih doanya. amiin.