Rabu, 03 September 2008

Spiritual Parole











Sajak Mashuri

Khidr 1

: perburuan

Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…

Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.

Kita bertemu…

Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”

Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 2

: amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu

Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi

Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Patigeni

pada hari ketiga pengasinganku dari cahya, dinding-dinding kamar begitu cepat melebar dan menyempit; aku seperti roti panggang yang dibolak-balik: diperlonggar dan dihimpit; kulitku seakan dilepas dari urat-dagingku, nyali dan hatiku berantakan, tersekat di ruang-ruang di luar diriku

uap arak tua menyeruak paru-paru, kerongkonganku dicekik tangan-tangan raksasa; aku merasa mataku berloncatan ke lantai, ke dinding, ranjang, juga atap-atap, juga ke sebalik bulu dan rambut yang tumbuh dengan lebat; aku mencuri pandang di kegelapan ---aku saksikan dadaku bergetar, tanganku melambai dalam kulai, bibirku mencipta tebing yang tersungging dari senyum tak pasti, karena aku pun tak bisa memilah: “sungguhkan aku berduka atau bersuka… ,“ kerna maut telah jelma pisau terbang mencari mangsa; maut yang membuatku karib sekaligus takut, maut yang entah di mana hulu dan muaranya yang kelepaknya bak sayap-sayap kelelawar menggetarkan malam

aku saksikan berpuluh kanak-kanak dirantai, lalu dibantai; kepalanya menggelinding memenuhi ruang heningku; aku melihat berjuta pria dikebiri; jeritnya membuat kaktus, hatiku hangus; aku melihat beratus wanita ditusuk bawuknya; getar tertahannya menderakan bilur biru di dada; aku juga menyaksikan berjuta-juta manusia berkulit lebam di panggang di bawah terik, tapi terus dihardik sebagai budak…

aku saksikan begitu banyak terngkorak berjejalan di goa bawah tanah, aku saksikan… telingaku pun mendengar suara pekik, seperti gemuruh, seperti aum, seperti suara cicak, seperti suara angin, seperti suara gobang yang ditebaskan ke leher, aku mendengar seperti suaraku sendiri yang tiba-tiba lantang, berteriak: ‘cukup!”

setelah itu, mataku terbuka; tak ada damar di kamar; senja sepertinya begitu lekas berguling ke malam

begitu aku ke luar kamar, aku saksikan bintang-bintang bersinar; ternyata malam masih gelap, ternyata dunia demikian senyap

Surabaya, 2008

Tidak ada komentar: