Senin, 05 Oktober 2009

Puisi














Sajak Mashuri

Pada Mulanya Adalah Kaca


pada mulanya adalah kaca
yang terbiar sendiri di ujung depa, sebagai perca
tapi jemarimu memungutnya
memasangnya di dada, lalu kau menyebutnya
mata, kata

“lihatlah ada jalan binasa di pucuknya,”
katamu. “lewat dolorosa, aku mengenal
bahasa yang mengental di nafasmu
seperti aku bangun katedral tua
di batinku…”

tapi aku hanya bisa menangkap rangka jendela
di ujung dinding, juga bingkai yang telah membangkai
sebagai tanda: tak ada urat keramat di panilnya,
kecuali gigil kata di ujung lidah;
tak ada rintik di balik tilas mosaik
kecuali hardik burung nasar
yang mendesau di udara;
tak ada salib di reliknya, kecuali jalan
nasib yang tertawan harapan….

“ada roti,” serumu “juga anggur
yang tawar oleh kebisuan. haruskah aku
suguhkan dengan nampan tanpa mawar…
atau aku kumparkan durinya yang melingkar”

selepas kata, kaca tumbuh di dadaku
mataku nanar ketika wujudmu berpendar,
dalam bayang-bayang
tajam yang meringkus sudut retinaku
dengan perih;
mimpiku pun terbang seperti kelelawar
yang terusir siang

sungguh pada mulanya adalah kaca
tapi kau telah merubahnya menjadi luka
yang terus membayang
lewat pantulan-pantulan tak terkira
dalam firman yang berkafan darah
sabda yang harus aku basuh dengan madah
tanpa menyebut
katedral tua, dan jendela bergambar sorga

Surabaya, 2009

Kamis, 14 Mei 2009

Esei tentang Dunia


















Puisi dan Iman

Oleh Mashuri*

“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”

Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa

Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.

Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.

Puisi Subversif Terhadap Iman?

Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.

Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.

Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.

Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.

Pertemuan Puisi dan Iman

Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.

Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).

Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.

Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Bertumpu pada Spirit

Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.

Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

* Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

Minggu, 01 Maret 2009

My Baby I

















Ia Mayang Khalila Ihya Hurria Posmoderna dan aku sapa Lila. Cahaya mataku.

My Baby II




Sahabat kecilku.

My Baby III




Aku suka cara dia memandang dunia.

Esei Semelekete
















Redesain Peta Kultur Santri Jawa Timur
Oleh Mashuri

Sejarawan Perancis Dennys Lombard melihat Jawa Timur merupakan sub kultur dengan berbagai jenis entitas lokal yang beragam dan variatif. Peta kulturnya menyiratkan ada beberapa sub kultur, yang masing-masing memiliki historisitas yang panjang. Hanya saja, beberapa ada asumsi, kekinian kultur Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh kultur santri. Namun, seiring perubahan sosial, budaya dan dinamika dunia, dimungkinkan adanya pergeseran pada anggapan-anggapan yang selama ini sudah terdefiniskan dan mapan.
Memang kajian Lombard memang memiliki corak sejarah yang khas. Pemotretannya pada kultur Jawa Timur secara historis, memang bisa dijadikan acuan untuk mereflkeksikan kekinian dalam wujudnya yang paling mungkin, dengan penelusuran anasir-anasir lokalitas, sebagai sebuah proyek politik identitas. Hal itu karena apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz puluhan tahun tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java memang harus dibaca ulang dan dikaji lebih jauh secara komprehensif, terutama pada trikotomi: santri, priyayi dan abangan.
Geertz bukannya tak memberi sumbangan pada penelitian antropologi Jawa, khususnya Jawa Timur, karena sampel dan lokasi penelitiannya adalah Mojokuto (Pare) Kediri. Jika beberapa pihak berusaha membongkar trikotomi Geertz, hal itu sebuah kemutlakan, karena kedinamisan masyarakat memang memberi ruang untuk selalu berubah. Di sisi lain, ada ketidaktepatan kategori dari ‘agama Jawa’, tetapi trikotomi itu masih sering digunakan, untuk memilah masyarakat Jawa, baik dari segi kultur dengan segala aspek yang terkait dengannya. Tercatat Koentjaraningrat, Harysa W Bachtiar, Kuntowujoyo, Emha Ainun Najib dan berbagai antropog sudah memberi catatan kritis pada hasil penelitian itu, sehingga tak perlu dikomentari lagi.
Tetapi Lombard dengan menggunakan pendekatan sejarah memang memiliki nuansa yang memungkinkan bisa dirunut kekiniannya, karena memiliki dimensi waktu dan runtutan perkembangan yang bersifat spasial. Ia melihat beberapa kultur itu dalam kapasitas geografisnya, serta fase sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sini, muncul proyeksi yang mengarah pada kultur keislaman yang meliputi wilayah Jawa Timur, dengan menunjuk pada renik-renik hasil persilangan budaya. Kultur itu biasa diacu sebagai kultur santri, dalam kajian-kajian kawasan dan lokalitas.
Apalagi, jika asumsi umum yang sudah dikenal menganggap, Jawa Timur sering diasumsikan sebagai masyarakat yang memiliki basis santri yang cukup signifikan. Hal ini pun menjadi acuan dalam aspek pragmatis, seperti pemilu dan lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, memang tidak menyentuh masalah organisasi kemasyarakatan, baik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis maupun lainnya. Tetapi berpulang pada pengertian pada masyarakat santri itu sendiri yang memang memiliki kecenderungan kultur yang berwarna Islami, dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat dengan corak kultur yang khas.
Hanya saja, dinamika yang ada pun memberikan semacam sinyalemen ada perubahan persepsi dalam masyarakat santri ini, karena ternyata, ada pola pikir yang telah berubah yang diasumsikan tidak hanya karena pengaruh pendidikan, tetapi pada mobilitas masyarakat santri sendiri yang cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan, pola pikir dan perilaku, serta gerakan masyarakat santri, serta adanya ketidaktunggalan suara dalam memberikan aspirasi yang bersifat politik, seperti yang tercermin dalam pilpres, pilkada dan hajat politik, meskipun untuk ini diperlukan penelitian yang kondusif lagi.

Kultur Santri Baru
Selama ini, penamaan masyarakat santri memamg lekat pada NU. Jika berbicara tentang NU, maka yang ada dalam benak adalah masyarakat sarungan dan terkesan kampungan. Tetapi streotipe itu ditengarai sudah lama berubah, dan hal ini pun sering dibahas oleh beberapa pemerhati masalah NU. Di antaranya menengaskan adanya perubahan itu dimungkinkan karena peran Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan gerakan sadar diri dari massa muda NU yang ingin berubah dari stereotipe lama.
Hanya saja, ada sebuah gerakan kultur menarik di kalangan masyarakat santri, terutama dalam masyarakat urban. Sayangnya, kondisi ini kurang mendapat respon yang memadai terkait dengan adanya sebuah fenomena mutakhir terkait dengan mobilisasi santri urban di Jawa Timur. Sebenarnya fenomena ini hampir serentak terjadi di beberapa kawasan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yakni kemunculan gerakan intelektual dari generasi muda yang berlatar belakang kultur santri.
Di Surabaya, komunitas santri urban sangat mungkin sekali, karena santri-santri yang berasal dari daerah lain, katakanlah desa, melakukan hijrah ke Surabaya dan berpola pikir berbeda pada saat berada di daerah asalnya. Apalagi, Surabaya sebagai sentra pedagangan, pendidikan, perekonomian dan pemerintahgan terbesar di Indonsia Timur, dan pusat pemerintahan Jawa Timur. Hal yang sama juga sebenarnya bisa terjadi di beberapa kota lainnya, seperti Malang dan Jember. Tetapi, posisi mereka lebih bertaruh pada gerakan intelektual dengan basis kampus, serta pada lembaga swadaya masyarakat.
Dalam kategori ini, stereotype yang berlaku bukan lagi pada terminologi santri pedalaman dan pesisir yang bercorak antrologois dan etnografis, tetapi lebih condong pada wilayah sosiologis, meskipun pada dataran tertentu juga melibatkan anasir yang terkait dengan kesadaran potensi diri dan tradisi.
Adapun, potensi yang ada pada santri urban memang berbeda dan bercorak liberal. Ada pergeseran yang cukup siginifikan untuk melihat dan berlaku dalam keseharian dan saat berhadapan masyrakat. Identitas yang melekat pada santri ini memang terletak pada tingkat pendidikan, serta pemahaman baru pada cara beragama. Dalam hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pergeseran pemikiran yang cukup signifikan, dengan mengawinkan hasil pendidikan Islam, Barat dan konteks kekinian, sehingga ada ahli keislaman yang menyebut mereka sebagai Islam progresif. Istilah ini sepenuhnya tidak menunjuk pada aksi yang mengarah pada politik Islam atau Islam politik, tetapi pada wilayah kesadaran untuk menafsirkan Islam secara kekinian.
Di sisi yang berbeda, sebuah terminologi Kuntowijoyo terasa cukup tepat memberikan pemilahan pada pola santri urban, dengan memberikan titik tekan pada kemunculan konsep ‘religius sekuler’. Artinya golongan ini memiliki kadar keagamaan kuat, tetapi memiliki pemikiran sekuler. Meski terminologi Kuntowijoyo itu bersifat politis, karena untuk melihat komposisi calon presiden pada pilpres 2004 lalu, tetapi untuk menggambarkan eksistensi dan gerak santri urban bisa dijadikan acuan.
Kekhasan lainnya dari perubahan pola kultur masyarakat mutakhir adalah tumbuhnya budaya keberagaman di kota besar, metropolis, yang lekat dengan perkembangan iptek dan teknologi. Dapat dilihat pada aktivitas jamaah dzikir dan pengajian yang bermunculan, serta adanya upata untuk memberikan nilai lebih pada agama, dengan penghayatannya, yang dalam kultur kota memang terabaikan karena rutinitas kerja dan menyempitnya ruang. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi Surabaya juga. Dengan kata lain, masyarakat menengah kota teah menjadi sebuah komunitas yang ‘tersantrikan’ dengan kegiatan-kegiatan religius.
Kecenderuingan ini bisa dibaca tidak saja di kota-kota besar di Indonesia saja. Dalam skala global, gejala ini pun menemukan bentuk konkritnya, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi perbincangan yang marak, terutama sering dengan perkembangan iptek dan teknologi dan kecenderungan era ‘demokratis’, serta posmo. Gerakan-gerakan yang mengarah pada ‘penghayatan’ dan pendalaman agama semakin marak, meski di sisi lain fundamentalisme ekstrim juga bermunculan.
Berawal dari pola pikir demikianlah, maka munculnya komunitas santri baru yang selama ini lekat dan berdekatan dengan tranformasi kultur baru dan visi baru, terutama yang mukim di perkotaan. Masyarakat ini pun punya pilihan politik yang berbeda dari arus besar masyarakat santri secara umum. Dalam kasus Jawa Timur, munculnya masyarakat santri baru, juga memiliki potensi yang tidak kalah menariknya bila dibandingkan dengan santri pedalaman, pesisir dan urban sekalipun. Bagaimanapun pergeseran itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita meresponnya dan mengantisipasinya dengan tepat. Sebab percepatan perkembangan dunia dipicu perkembangan ilmu dan teknologi dan dunia tak lagi disekat- batas-batas geografis. Di sisi lain, juga muncul gerakan politik dan kultur yang berbasis agama kuat yang memiliki potensi kuat untuk berkembang. Nah!

Kamis, 19 Februari 2009

Sajak Penuh Kemaluan














Sajak Mashuri

Musa 1


di penghujung desember, kita tak hanya mencatat jejak luka
kelahiran di sebuah jazirah: ---di mana gembala memungut tanda
dari rasi ajaib di angkasa, bukan fatamorgana di gelap cakrawala,
dan doma-domba berlomba memasu oase cahya; ---ketika jabang
terlontar dari rahim, yatim, tapi membangkitkan sejuta harapan
perihal penyucian dan penebusan dosa darah…
dengan doa: elli, elli lama sabakhtani…
kita juga mencatat luka abadi, luka kekal yang
disemai oleh mimpi purba, luka yang kembali nganga
dan terus lurus menembus pusar januari, perihal tanah terjanji
yang tergurat di papirus tua, sepetak tanah suci
yang terus berapi dan diairi dengan darah
ia seperti bara yang telah mengeringkan doa sepanjang masa
dan membuat kita bertanya: “berapa juta lagi nyawa yang harus
jadi tumbal dan berdarah, agar dendam itu tanggal dari sejarah
sejak pijar Sinar membakar punggung tursina”

Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 2


ketika bebayi laki dibinasa, di tepi nil, terdengar suara resah dan gigil; tak ada yang bisa mengukur seberapa dalam cemas itu menikam
batas batin, kecuali ibu yang tak ingin darah-dagingnya tenggelam
dalam arus liar yang memusar: arus yang berkumpar dari mimpi
raja ingkar, juga arus sungai yang melingkar-lingkar seperti ular
tapi sedetik itu, terdengar bisik dari gelap kalbu: ‘andai pelarunganku selamat,
andai ia hanyut dan tamat, andai ia sekarat sungguhkah riwayat
hanya saat…’

Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 3

hikayat yang terkabar padaku begitu cacat; tak ada piramida, tak ada huruf paku, juga tak ada perempuan dengan kemolekan abadi; ia datang kepadaku bagai deru dengan debu beterbangan dari padang tandus hatiku; tapi di sebuah bukit, aku telah mencatat sebuah jejak langit; ada nama di situ yang tergurat di antara reruntuh batu, ada keraguan yang terselip di antara kaktus dan rumput, juga ada tilas wahyu yang terpancang di pokok kayu; sungguh, waktu sepertinya telah menghapus ingatan lewat pelapukan, tapi masih menyisakan catatan-catatan yang terekam dalam kegaiban alam…

Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 4


di delta, ketika semua suara sayup, kau pun kuyup
oleh ritus menunggu
ususmu tak kau urus, matamu pupus oleh arus
renjana
lalu ia datang dengan sampan, sajikan nampan
: ‘apa yang kau inginkan, telur atau ikan?’

setelah melewati tiga portal
pertanyaan
dan kau gagal
kau jatuhkan pilihan pada ikan

ia pun hanyutkan diri
mengalir ke pinggir segala hilir
: ‘kau harus tetap di tepi
memberi tanda pada kelasi
yang datang dan pergi, biarlah aku
yang mengukir sumir di batu-batu’

meski masih gemas, kau pun berkemas ke pantai
‘jika aku pilih telur?’ serumu

kau hanya mendengar debur ombak
yang mengubur jejak-jejak penantian
menutup rahasia yang entah kapan
bisa kembali dibuka, lewat suara sayup
lewat tubuh kuyup oleh ritus hidup tanpa degup

Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 5

tongkat ini bukan buluh; tidakkah kau lihat tangkainya; tidakkah kau lihat ada gurat wahyu pada memadat di serat kayu, keras bagai batu; tak ada ruas untuk menghitung jejak nafas; tak ada lubang untuk menyimpan sejumlah rahasia; karena itu tak ada nafas di tubuhku, nafasku langit; tak ada rahasia yang terlipat di tubuhku kecuali satu: sebuah ledakan yang pernah mejungkalkanku ke remah tanah, asal diriku tercipta!
jika kau pernah mendengar kabar: tongkat ini bisa membelah laut, memasu air di batu-batu dan menjelma ular liar nan mekar, itu pun bukan rahasia terakbar; semuanya hanya sebuah gelar sementara dari getar ikrar yang melebihi seluruh geletar; tidak tahukah kau aku pun pernah terlempar dan ia menjadi saksinya; sungguh ia bukan buluh, bukan pula tubuh, meski ia menyatu tubuhku, ia seringkali keluar dari diriku, membelah jiwaku yang kadang terpaku pada ragu, sebagaimana anak-adam dan tenggelam pada malam dan menantikan rekah fajar sebagai amsal kepastian lingkar
perlu kau tahu, bahkan di tongkat ini tak membekas jejak jemariku, hanya abu, abu, abu…
Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 6

sungguhkah tanah itu telah dikutuk bersanding api, sehingga besi selalu menjelma pedang, air menjelma bandang dan udara menjelma menjadi uap racun mematikan; tak ada yang tahu pasti, seperti juga tak ada yang mengerti di mana magma pusar bumi, meski dulu, ketika purba masih berdiwana, sebuah sabda pernah terlontar: ‘tanah itu tanah terjanji, tilas sorga yang dipindah ke bumi’
tapi siapa yang tahu pasti, bahwa sorga tak menyimpan api

Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Musa 7

penujum telah menghitung: di akhir abad, tergelar perang agung
tapi tak ada angka yang tertera, seperti halnya peta kota
yang tamat, yang sempat terekam di sebuah nubuat:
‘kota dengan dua menara, benda langit yang murka,

juga bumi rekah yang muntabkan inti magma neraka’
tak ada rambu yang bisa dihela ke mata pembaca
ketika nujum menjadi arca; ketika pintu dan jendela
terbuka melebihi batas-batas kata, melebihi jumlah angka

menukik ke bilik yang paling pelik dari rangka kota
yang disucikan waktu, dan dihancurkan hantu-hantu

Surabaya, 2009

Sajak Silit
















Sajak Mashuri

Menanam Darah


di penghujung millenia
aku baca seraut wajah penuh nestapa
menenun waktu; tampak burung gagak, anak-anak retak
dan segala senapang
menghunus jantung dan harapan
siap mencipta merih nan panjang

aku lihat ibu turun ke huma
mencabut rumput, menyisakan beberapa tangkai jagung
katanya: ‘pakailah sandal, juga kerudung
karena segala jagung selalu bersarung’

tapi rumput selalu tumbuh di tanah
sesering babi hutan tumbuh di darah
kadang ia menyelinap pelan, berderap, menjelma siluman
mengoyak anak-anak yang terlelap di kalbu
sedangkan seluruh jagung telah kehilangan
sarung dan tongkolnya
lalu terdengar suara: ‘cangkul, cangkul, cangkul
yang dalam….”*

aku pun bisa menebak, telapak bakal meninggalkan jejak
ke segala arah
dengan darah
yang tak henti membercak

Surabaya, 2009
*) nyanyian kanak

Sajak Mashuri

Koordinat Kosong

terdengar suara bergetar di suatu siang:
bahwa dewa-dewa, apapun namanya, telah mencabut titah
---gelas telah pecah

ada yang bersorak di pinggir kutub
ada yang lara di sebuah pertemuan, meletup
antara garis lintang utara-selatan
dan bujur barat-timur
tercatat: koordinat kosong
menjelma titik-titik putih, hitam pun putih, hitam yang putih

tapi tafsir menjadi khianat pada kata
sabda pun terbiar di dermaga
di gigir ombak, dalam buih, dalam perih
ratusan abad: dua millenia yang sekarat


Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Sesobek Peta Dunia

di sudut peta, di sebuah dunia ketiga
seorang nelayan menepuk laut
ia tahu pepohon bakau telah mengiringi usianya
ke lampau
matanya yang mulai rabun menangkap
alam masih bersetia mendekap, meski di ruang gelap
ia mengirimkan jala, melepas anak-anak ikan
di jalan kebebasan
ia masih percaya, bahwa segala sabda
masih bermuara di laut lepas
ia mengerti musim dan mengirim
mantra-mantra, mengetuk pintu
langit ketujuh
dengan aroma pantai, buih, dan riuh
camar yang mencubit ombak

di sudut lain, ada yang ingat dongeng:
kisah-kisah besar dari alam lain, seperti dingin
dengan salju
mengelus rambut
mencair di dahi
dan mengirimkan sejuta imaji, tentang prisma
yang membias cahaya
atau piramida
dengan sudut gaibnya
yang menjinakan ular
dan bisa liar: dengan doa
dari sana
sebuah dunia telah merebut tempat
dari barat, ketika matahari tak lagi pusat

di sebuah sudut, di panggung
ketika pertunjukan sampai di ujung
layar tak sepenuhnya menggelar
montase, luka
mungkin hanya bayang-bayang
tapi bayang-bayang telah kelewat telanjang
ia menjelma hantu yang lebih menakutkan
dari sebilah pedang
dengan darah menghitam di matanya
untuk merobek peta
yang telah ditulis dengan tinta, yang disuling dari darah

Surabaya, 2009

Senin, 05 Januari 2009

Sajak Kegaiban














Sajak Mashuri

Tongkat Mimpi

Ku belah kembali laut yang susut di telukku
ketika pagi membawa nampan sesaji: sekantung embun
sejari sepi, juga fajar yang berbinar
mendahului matahari
---tapi malam masih menjalari nafasku
bagai insang terpasang di paru: aku pun bermadah
bagai nelayan
buta, yang berharap gemintang di angkasa
tidak sirna, tidak tenggelam ke samudera cahaya
aku berharap meski siang telah menjadi hamparan permadani
yang suguhkan beribu warna, tapi juga
mengubur berjuta doa yang dilesakkan
ke cakrawala

bak fakir yang mendamba kembali malam,
aku tiriskan kerinduan di pantai, memeram
kembali sangsai
lalu berhibuk di antara lubuk laut dan teluk
sebentuk jarak yang saling bersirapat dengan ceruk
mimpiku
perihal lautan yang bergelombang, perihal pantai
pasir yang beriuhan, juga
nyiur yang melulur alur,
juga puja yang merakit mantra-mantra:

‘ya penguasa semesta,
kembalikan tongkatku
karena aku ingin melihat dasar lautku
meski ia susut, karena waktu telah menyuguhkan
mautnya, pisaunya
juga kekaribannya yang ganjil’

Ku belah kembali laut yang susut di telukku
meski mantra itu telah menjadi bayi
yang tergolek di pangkuan bumi
dan tongkatku telah tumbuh menjadi mimpi

2008