Selasa, 22 April 2008

puisi ngelindur

Sajak Mashuri

Surga yang Tak Lagi Bersungai Susu

kita mungkin mati kedua kali, bahkan lebih

seperti lazarus, seperti tokoh kita yang terbaring sepi

di ujung gang di ampel denta, atau seperti kisah-kisah

yang tercatat di beranda: ketika pencabut nyawa

harus kembali untuk menitipkan api, sambil bersabda

: bangkitlah kembali, jiwa yang penuh mimpi!

tapi kebangkitan kita terlalu rapuh dirumuskan

cawat-cawat kita telah beterbangan bak kupu-kupu

lalu kita hanya punya ulat yang terpintal di balik kelambu

kita telah dihardik demikian hina oleh waktu

dan kita tak bisa meragu untuk menunggu

kita hanya bisa berhitung lewat belatung yang menghisap

jasad kita ke inti tanah, kita hanya bisa meraba gelap

lewat cahaya yang terpancar dari luka

kita hanya bisa menerima, tanpa bisa memberi apa-apa

sebab segala rumah telah menjadi dunia istirah

segala jalan telah menjadi nyanyian

dan burung-burung begitu cabul membuhul sahwat

sampai kita tak lagi ingat, benarkah kita pernah tersesat

atau kita telah menatap kiblat dengan nikmat

segalanya membujur seperti kubur masa lalu, seperti batu

diam dan tenggelam di kalbu, seperti mata kita yang berlubang

dan terus berlubang meski arah telah berubah

dunia pun tumbuh lebihi peta…

kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih

lalu mencuri kabar yang terpatri di dinding rintih: muasal neraka

juga sorga yang tercuri lewat gapura

untuk memberi satu penyangkalan: bahwa pohon masih mengenal

musimnya, bahwa sungai-sungai juga mengering

dan tak ada sungai bermata air susu, kecuali pada ibu

yang tak henti berlagu dendangkan tembang-tembang purba

tentang awal cinta, tentang derita

yang dikumparkan demikian indah

di mata, juga tentang sebuah sapuan basah bibir

tuk alirkan takdir yang tiada habisnya…

meski lewat air mata, lewat sedih dan duka yang abadi

kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih

untuk memberi arti pada impian, juga kesunyian

yang tercuri dari batas waktu: tapal kematian

Surabaya, 2007

Puisi Jawa

Gurit Mashuri


Said-Kalijaga, Langit-Donya


sapa kang ndeleng ing walike peteng

kuwi, sapa kang mencep lan krasa landep

ing ati kuwi, sapa kang ngibas-ngibasake kipas

hawane kaya lesus kang nrabas

anggonku napak tilasi: ati

mati, lan nguripi...

napas nepsu sun dadi kedung

kang mayekti ing sebarang werna

wernaning bumi, plung...

kaya swarane kodok kang nyemplung

ing leng-leng, luweng

kang wus dakdeleng, tur peteng

gung....

pedut kaya ndudut rasa, ing dada, marang swara

kang ngaruara ing pandosa

pandosaning donya

donya sun kang wus dakringkes ing pasemon-pasemon

: gurit

kang nyelurit marang kulit

rasa

duh,

wus dakkandut kanti iklas, swarnaning napas

kaya sukma kawekas, uga tilas

kang rinacik ing klaras-klaras kanyatan

jati, kang dadi dumadi

sun isih suwung!

nyengkuyung samubarang kang temlawung

kaya udan kang rinakit langit

dadi kaendahan, uga sengit

mung donga kang bisa dadi lapis-legite ati

kang angucap marang wijil sejati

kang mijil ing lati

hong wilaheng, sun isih aeng!

reronce ati iki saya suwe, saya ngawe-ngawe

marang marga kang durung kajaga

marang ati kang durung ngeli

ing kali-kali...

sun durung kalijaga

sun isih said kang lumaku ing dalan-dalan

pait, kebak dedemit

nuju dununge petit

; punjere langit

Sidoarjo, 2007


Gurit Mashuri


Dalan Ombak


Wus dakjaluk marang sliramu, tatkalane wektu isih watu

lan dalan kaya ombak segara, nanging penjalukku

kaya prenjak kang katombak swiwine, ilang unine

kaya lemah cengkar kang tawar, ilang sangar

sliramu uga isih lumaku ing gisik kang wus dadi ambalan

ngambali ati ing pangilon, ngambali pitakon

lan penjalukku, kanthi unthuk-unthuk kang sirna

tatkalane surya mencorong, pratanda dina wus rina

Sidoarjo, 2007


Gurit Mashuri


Jalma Mara, Jalma Mati


“Jagat iki ana, ana kang jaga!”

aku isih eling marang kandhamu, tatkalane lemah dadi kawah

ing antarane porong-tanggulangin

banjur krasa ana kang gosong ing batin

batin panguripku, ngegirisi marang daya lantipku

kaya gosonge areng klapa kang wus ilang wawa

kaya jasad kang limpad kelangan nyawa...

awakmu banjur nyuwun, nyadong

marang langit: kaya nyadonge godong

kang wus kawus saka udan lan panas

“duh, kakang kawah, duh adi ari-ari, getih, puser

punjer awakku....”

kabeh krasa bali marang jati, kang kababar ing diri

kaya dununge: pati urip bandan segara lungguh

duh, sampyuh ati lan pikiranku

ing telenge rasa,

aku banjur ndodog anane uni, kang bisa dadi basa

kang netepi janji marang margi kang wus dadi

crita kang kaserat ing lontar-lontar kuno

“ana suluh kang kasebut nuh, kang wus nabuh warta

ing kitab-kitab tuwa

: bandang iku ora mung amerga udan

nanging uga saka kanyatan

kang dadi lelabuhan, jerone pager lan punjer”

“ana uga crita kang wus dadi dawa

saka lambe-lambe tuwa

kang sinebut baru klinting, rawa pening

nggon dununge ngening

kang dadi pepepiling

marang desa-desa ing kiwo-tengene Siring”

Wus dadi nujum, kandhamu, ana wektu kang bakal bali

marang latu, senajanta watu tetep kasebut watu

Wus dadi jangka, kandamu, ana cuwilan wektu kang bakal bali

marang saiki,

senajanta nganggo cara kang wus kaanggep ora ana

nganggo basa kang wus kaanggep mati

ing bumi

: jalma mara, jalma mati!

Sidoarjo, 2007

Gagasan


Menggagas Sejarah Sastra Indonesia di Jawa Timur

Oleh Mashuri

Perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur cukup marak. Sayangnya, kondisi demikian seringkali luput dan tidak tercover oleh pusat. Akibatnya, banyak sastrawan dan karyanya tidak terdeteksi dan tidak dimasukkan dalam bingkai sejarah sastra Indonesia, yang notabene selama ini, ‘direpresentasikan’ oleh pusat, yang tak lain adalah Jakarta, yang hanya memuat kanon-kanon sastra saja. Bermula dari kondisi demikian, maka penulisan sejarah sastra Indonesia di Jawa Timur sangat mendesak untuk direalisasikan.

Kiranya sudah menjadi rahasia umum, jika penulisan sejarah sastra Indonesia belumlah final. Bahkan, tulisan sejarah sastra Indonesia saat ini bisa dikatakan sebagai versi-versi. Itu pun masih bisa diperdebatkan, baik dalam memberi batas permulaan kemunculan sastra Indonesia, penghapusan beberapa nama dan karya, juga penulisan sejarah yang hanya sampai pada tahun 70-an. Tulisan tentang sejarah sastra Indonesia memang ada yang berpatok pada sosok, ada pula yang karya. Bisa disebutkan di antaranya versi A Teeuw, HB Jassin, Ajip Rosidi, Korrie Layun Rampan, dan lainnya, serta yang dianggap terlarang adalah Bujung Saleh dan Bakri Siregar. Dalam karya-karya tersebut, banyak sastrawan dari Jawa Timur yang terhapus.

Perjalanan sastra Indonesia di Jawa Timur sebenarnya sudah menggeliat ketika benih-benih nasionalisme mulai bertunas dan tersemai di Bumi Pertiwi, baik yang dilakukan oleh para pioner kebangsaan dan kalangan Tionghoa peranakan. Dalam catatan sejarah tentang Surabaya dan Jawa Timur, juga dalam novel Bumi Manusia, terdapat penggambaran masa-masa itu. Di Surabaya dan beberapa daerah lain di Jawa Timur, pada awal tumbuhnya kesadaran kebangsaan sangat marak dengan berbagai wacana dan tulisan yang ingin menumbuhkan jiwa-jiwa merdeka. Di sisi yang berbeda, kalangan Tionghoa Peranakan menggunakan bahasa Melayu Pasar untuk menulis karya sastra. Kalangan ini pun sudah memiliki penerbitan dan berbisnis tulisan. Banyak novel dihasilkan oleh kalangan ini pada masa pra kemerdekaan.

Pada masa tahun 50--60-an, dinamika sastra Indonesia di Jawa Timur juga marak. Semisal munculnya kantong-kantong kebudayaan yang berafiliasi kepada partai politik tertentu, baik itu Lesbumi, Lekra dan lainnya. Beberapa data yang berhasil dilacak ke pusat dokumentasi HB Jassin di Jakarta, menjelaskan, pada masa-masa itu, perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur cukup bergairah Seperti munculnya kumpulan puisi ‘Nasi dan Melati’ karya beberapa penulis Lekra (sayap kebudayaan PKI), yang ketika ditelisik, memiliki potensi teks yang mengagumkan. Juga dari beberapa penulis yang berafiliasi ke Lesbumi, sayap kebudayaan partai Nahdlatul Ulama, serta lainnya.

Pada tahun 70 dan 80-an, perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur juga tidak bisa dikatakan mandek. Nama-nama seperti Muhammad Ali, Budi Darma, Akhudiat, D Zawawi Imron, Suparto Broto, Hardjono WS, M Fudloli Zaini, Sabrot D Malioboro, dan lain-lainnya, merupakan para sastrawan yang menghasilkan karya yang banyak. Setelah itu, generasi selanjutnya juga cukup marak, di antaranya adalah L Machali, Herry Lamongan, Aming Aminudin, M Anis, Rusdi Zakki, Wawan Setiawan, Sirikit Syah, Wahyu Prasetyo, Beni Setia, Jil Kalaran, dan lainnya. Jawa Timur juga sempat tersentuh revitalisasi sastra pedalaman yang merupakan upaya untuk membaca ‘kemapanan’ sejarah sastra yang lebih terpusat di Jakarta dengan beberapa penggiat dari Jawa Timur, di antaranya Kusprihanto Namma, dan Bonari Nabobenar di belakang hari. Generasi setelah itu bisa disebutkan di antaranya M Shoim Anwar, Tjahyono Widarmanto, Tjahyono Widianto, Syaiful Hajar, Leres Budi Santoso, Zoya Herawati, Ratna Indraswari Ibrahim, Syaf Anton, Hidayat Raharja, HU Mardi Luhung, Arif B Prasetiyo, S Jai, Riadi Ngasiran, Anas Yusuf, dan lain-lainnya. Belum lagi munculnya begitu banyak penulis Jawa Timur yang muncul pasca reformasi dengan berbagai mode kreasi dan corak bersastra yang karyanya sudah dikenal luas.

Toh nama-nama yang telah disebutkan itu, langka tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Dari Jawa Timur, sejarah sastra Indonesia yang sudah ada hanya mencatat Muhammad Ali, Budi Darma, D Zawawi Imron dan beberapa nama lagi yang lebih belakang. Sedangkan beberapa nama sastrawan dan karya lainnya yang berserak dan cukup, tidak tercakup dalam bingkai sejarah sastra nasional. Kiranya, masih kuatnya dikotomi nasional dan daerah sampai tahun 2000, seakan-akan menghapus peran dari beberapa sastrawan yang bergelut di bidangnya di daerah.

Dengan kondisi demikian, perlu digagas sejarah sastra Indonesia di Jawa Timur. Dengan harapan, berbagai dinamika yang terjadi di Jawa Timur dalam kurun waktu yang cukup lama itu bisa dicatat dan direkam dan tidak hilang ditelan waktu. Juga adanya penghapusan sejarah bisa dipulihkan dan ditempatkan pada porsi yang semestinya. Tentu, kondisi yang tidak adil itu perlu disikapi dengan kreatif dan kritis.

Akar Masalah: Pertarungan Politik Sastra

Ada satu asumsi, tidak disertakannya beberapa sastrawan di Jawa Timur itu di kancah sastra nasional karena terkait dengan politik sastra. Seperti yang pernah diungkap Ariel Haryanto, dalam sejarah sastra Indonesia terutama pada masa Orde Baru, terdapat dikotomi sastra daerah dan sastra nasional, sastra mapan dan pinggiran, sastra resmi dan sastra terlarang, dan dikotomi lainnya. Kondisi yang tidak kondusif dan tidak sesuai dengan ruh sastra itu merupakan penghalang dari kehadiran berbagai dinamika yang sebenarnya cukup dinamis dan layak tercatat dalam sejarah sastra.

Misalnya saja, karya sastra yang dihasilkan oleh orang Lekra, hingga kini masih menjadi ganjalan dalam penulisan sejarah sastra di Indonesia. Dari kaca mata Ariel, sastra mereka termasuk terlarang karena Lekra adalah onderbouw PKI. Akibatnya, dalam sejarah sastra Indonesia, nama mereka pun dihapus dan dihilangkan. Hal yang sama juga terjadi untuk sastra daerah dan sastra Indonesia di daerah. Beberapa nama dan karya yang muncul di daerah tak bisa diharapkan bakal menjadi penyumbang sejarah sastra nasional. Tentu kondisi ini perlu disikapi dengan meluncurkan sejarah sastra yang mencakup berbagai dinamika sastra tanpa pengecualian, sehingga bisa dijadikan bandingan terhadap sejarah sastra nasional yang ada. Bahkan, sejarah sastra lokal pun sangat mendesak dengan pertimbangan bisa menyumbang dalam penyusunan sejarah sastra nasional kelak.

Ada beberapa pertimbangan, kenapa Jawa Timur memerlukan sejarah sastra sendiri. Di antaranya, Jawa Timur memiliki kekayaan budaya dan sastra. Sub kultur di Jawa Timur cukup beragam. Selain itu, sejarah pengetahuannya cukup menarik mengingat pada masa lalu, di Jawa Timur pernah berkembang peradaban besar dengan hasil sastra yang kini masih bisa dibaca. Pertimbangan lainnya, beberapa sastrawan Indonesia yang sudah tercatat dalam sejarah sebagai sastrawan mapan pernah mengenyam proses di wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya. Pun, di masa lampau dan kini geliat sastra Jawa Timur cukup marak. Ironisnya, tidak ada dokumentasi yang layak, serta pencatatan yang adil pada berbagai peristiwa sastra, sosok sastrawan dan karya yang ada.

Kiranya, proyek penulisan sejarah sastra Jawa Timur, bisa dikatakan sebagai proyek idealis. Oleh karena itu, orang yang memiliki amanat untuk melakukannya adalah kalangan yang sadar diri, obyektif secara keilmuan dan tidak sentimentil. Sehingga dalam penulisan sejarah bisa adil dan tak perlu mengulang apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu yang bertindak ‘dholim’ dengan menghapus beberapa nama sastrawan yang disebabkan oleh pertarungan politik sastra. Apalagi jika pertarungan itu dilandasi oleh sentimen pribadi dan masalah di luar sastra.

Dengan pencatatan yang adil, maka generasi mendatang bisa mewarisi sebuah dokumentasi jejak pengetahuan yang benar-benar membumi dan direpresentasikan oleh orang-orang yang mengenal Jawa Timur. Sebab bagaimanapun karya sastra merupakan sumber sejarah pengetahuan yang otentik yang merekam semangat zaman dan dinamika di dalamnya. (*)

Jumat, 11 April 2008

Puisi Suci

Sajak Mashuri

Ruh Pelacurku

riuh ruh di pembuluh cabik-cabik darahku

kusebut kau rindu, kerna di matamu

tersisa sorga asing

membenam dalam gelapku yang bergasing

dan pengasingan ini

dengan remah roti, anggur dan selembar surat

tanpa alamat

memberi bukti

: tak ada rumah

abadi, di tepi; segalanya memusar

dalam lingkar jangkar

segalanya bak sampan yang ditambatkan

dengan kesumat dan belukar

lalu kusongsong malam dengan sebuah tudingan

: ia memberimu jubah hitam, kerudung hitam

dan sebilah sorot mata hitam

ia telah melengkapi kesucianmu dengan pengkhianatan

ia telah membaptismu sebagai perayu

dengan sihir waktu

dan sorga yang kesepian di alismu

mulai meraba

: ada mimpi di benak duri, ada sperma di lipat payudara

dan sekuntum mawar tinggal luka dan akar

lalu aku pun bertanya:

“di mana merah, muasal dari pesona di altar

sebilah sapu melantai di marmar…”

tapi tubuhmu pualam

lebam dalam irama perkabungan

kudengar suaramu, bisikmu

seperti lolong panjang doa

: requiem penghabisan dari kala

dan mengabur di udara dengan segala kebusukan

di sebuah alamat, kusebut kau rindu ternoda

seperti pelacur yang terwarta

lewat mimpi, imaji, suara-suara api

lalu kugoreskan pena di sabak merah

amarahku

aku tulis tubuhmu pelangi

dengan ruh suci dan warna abadi

aku pun beramar pada waktu, agar ia membakarmu

di atas nyala api, laksana Sita

lalu Dunia menyebutmu dengan kerinduan terbata

‘Magda, di mana batas mata pelacurku mengindera….’

Surabaya, 2007

Esei Poskolonial

Kontradiksi Diskursus Poskolonial di Indonesia

Oleh Mashuri

Kisah-kisah merupakan hal terpenting di antara apa yang dikatakan oleh para penjelajah dan para novelis tentang kawasan-kawasan asing di dunia; kisah-kisah itu juga menjadi metode masyarakat yang terjajah untuk menegaskan identitas diri mereka sendiri serta eksistensi sejarahnya sendiri (Edward Said, Culture and Imperalism, hal xiii)

Penegasan Said yang merupakan cikal bakal studi poskolonial memang mengejawantah dengan tepat pada beberapa novel Hitam, India/bekas jajahan Inggris dan novel-novel Amerika Latin. Sayangnya, jika konsepsi itu dibuat untuk membedah model novel dan idea dalam novel-novel Indonesia, dengan narasi kolonialismenya, sepertinya membentur wilayah kosong. Ada medan yang berbeda, baik dalan pengucapan, latar belakang kultur dan lainnya, terlebih Eropa yang diklaim sebagai satu wilayah budaya ternyata memiliki kebijakan kolonial yang beragam dan agak berbeda. Inilah kenapa gagasan poskolonial menjadi semacam strategi yang harus dibongkar dulu untuk melihat beberapa artefak budaya, terutama seni dan sastra, dalam bangun kebudayaan di Indonesia.

Poskolonial memang sebuah metode yang cukup brilian untuk mempertautkan antara pengetahuan dan kekuasaan. Seperti halnya pikiran-pikiran Foucault yang diruncingkan oleh Said, poskolonial menjadi cara baru kawasan bekas jajahan untuk merepresentasikan diri. Ada sebuah jarak dan pembacaan yang berbeda antara yang dijajah dan penjajah. Dari sana terkuak sebuah konstruksi kekuasaan yang melibatkan pengetahuan. Bahkan, merasuk dalam wilayah ketaksadaran.

Hanya saja, terkait dengan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan itu, Said mengekstremkannya. Ditegaskan, hegemoni itu bermain dalam wilayah kesadaran. Ada upaya mengkontsruksi wacana ‘penjajah’ dan yang ‘dijajah’. Ada yang menghuni wilayah pusat, ada pula yang menghuni wilayah periferi dan dilemahkan.

Sementara itu, yang digagas Frantz Fanon dan penggerak kebudayaan Karibia, Aime Cesare, memberi petunjuk dengan cukup jelas tentang wacana itu. Rupa-rupa pengetahuan yang berserak yang berpusat di Barat memang diupayakan untuk dibaca dengan muatan politik. Dari sana terdapat semacam negasi dan pengukuhan kehadiran yang cukup berwatak subversif. Ternyata, sebuah kekuasaan politis, mampu memiliki pengaruh demikian kuat mencengkeram wilayah-wilayah pikiran.

Jika membaca One Hundred of Solitude, karya Gabriel Garcia Marquez, akan cepat terkenali adanya narasi-narasi pengukuhan diri itu. Segala yang berserak di Amerika Latin saat ini, di puncak keruntuhan dan ‘hilang diri’ dan ‘ingatan’-nya mendapatkan semacam notasi, untuk mengukuhkan jati diri mereka. Mereka berkisah untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka merumuskan sejarahnya sendiri, dengan membuat sejarah lain. Jika selama ini sejarah di sana dikonstruksi Barat –dalam hal ini Spanyol—yang notabene merupakan sejarah linear, mendapatkan penolakannya dengan sebuah gagasan waktu berulir.

Hal itu pun menemukan bentuknya yang paling jelas pada beberapa penyair dan novelis generasi El Boom. Mungkin yang menjadikan proyeksi kebudayaan mereka menjadi demikian terpandang di mata dunia dan diklaim sebagai suara terfokus dari sebuah negara bekas jajahan, ada sebuah kesadaran sejarah, menerima keniscayaan penjajahan, sekaligus merumuskan kekinian dari sudut pandang dan pespektif mereka sendiri.

Seperti yang ditegaskan seorang penyair Latin dari Chili, Pablo Neruda: Orang-orang Spanyol (Barat) telah merampok emas kita, tapi kita mendapatlan emas mereka: bahasa. Kesadaran pada keniscayaan sejarah ini semakin memperkukuh mental beberapa penulis Latin untuk menfokuskan pencarian pada beberapa artefak yang masih tertingal dan belum dihancurkan penjajah, yang merupakan jejak peradaban kuno mereka: Aztec dan Maya, berupa artefak pra-kolombia.

Posisi ini tergambar dengan jelas seperti dalam One Hundred Of Solitude. Ketika penyakit lupa menggejala, mereka lupa pada nama benda-benda. Sehingga untuk memaksudkan pada sebuah benda, mereka harus menunjuknya secara langsung. Sebuah ironi memang dari kawasan yang pernah dijajah Spanyol, sebab politik penjajahan yang dilakukan di Latin adalah dengan mengubah ‘ingatan’, wilayah kesadaran hingga ketaksadaran, yang meliputi agama, bahasa dan segala artefak yang ada. Semua ingatan dihapuskan dari benak dan ketaksadaran kolektif. Kemudian nama benda-benda adalah nama dari Eropa, dan pengetahuan yang berkembang pun pengetahuan Eropa.

Kesadaran sejarah ini mendapat pembacaannya juga oleh seorang penyair Meksiko, Octavio Paz. Sebagai seorang yang mengaku sebagai peziarah modern, ia berusaha mencari sejarahnya, di antara Barat dan Timur, mendedahkan pada relung-relung peradaban, dan berusaha mengkonstruksikan kediriannya dalam kekinian dengan menegaskan bahwa Barat di akhir sejarah, dan berpaling ke timur. Timur sebagai simbol kemurnian dan awal sejarah.

Beberapa bekas jajahan Prancis di Aljazair, seperti dalam karya Camus, dan beberapa penulis Aljazair, serta beberapa penulis India, menunjukkan adalah sebuah gejala menegaskan kembali kediriannya, dengan memberikan notasi tersendiri pada pola-pola yang dikonstruksikan Barat selama penjajahan.

Dari beberapa kasus itu bukan persoalan tentang cara pandang yang dijajah dan penjajah yang penting. Bahkan di antaranya merupakan gagasan anti-imperalisme (seperti Aime Cesaire dan beberapa lainnya). Tetapi yang terpenting adalah upaya pengukuhan diri, kesadaran dan perunutan kembali pada ingatan-ingatan kolektif dalam bangun kultural.

Adapun, dalam telaah poskolonial, kaitan-kain yang selama ini tersembunyi terbalut dalam sebuah perasukan sistematis dari model pengetahuan itu memang mendapatkan porsi tersendiri. Wilayah-wilayah yang selama ini tak terpikirkan, tak terbayangkan menjadi terjangkau. Bahkan, kesadaran itu pun tumbuh. Keberadaan Timur adalah untuk mengukuhkan Barat.

Sayangnya, konsepsi ini tidak sepenuhnya bisa berlaku untuk Indonesia. Ada beberapa pengecualian yang membuat siapapun merenungkan arti kolonialisme di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia benar-benar dijajah Barat (Belanda) dalam pengertian dalam wilayah yang mencakup penghapusan ‘ingatan-ingatan’ sehingga representasi diri dalam kekinian terpenggal dari alur sejarah?

Kontradiksi Poskolonial Indonesia

Dalam sastra Indonesia, juga diwarnai beberapa karya berupa prosa, juga puisi, yang menyoal tentang penjajahan Belanda di Indonesia. Persoalan itu ditangkap sepenuhnya dalam wacana nasionalisme. Ada upaya mengkonstruksi sebuah pandangan tentang kepahlawanan dalam sebuah bangun bangsa. Dalam hal ini memang sepenuhnya politis.

Tetapi yang perlu direnungkan, persoalan mendasar pada sastra subaltrern adalah bahasa. Ada upaya keras mengganti bahasa Inggris dengan bahasa inggris, dengan i kecil. Hal ini hanya bisa berlaku dalam beberapa negara bekas jajahan Inggris. Adapun, untuk wilayah Hindia Belanda, posisi BAHASA memang tidak segenting di beberapa ranah lain yang pernah dijajah Barat.

Hal itu karena ada perbedaan mendasar dalam kebijakan bahasa. Jika beberapa negara penjajah lain, Spanyol, Portugis, Inggris dan Perancis memandang bahwa dalam sebuah penjajahan, terutama adalah memberdayakan dan mencerahkan. Ada diktum-diktum yang mengajarkan antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ dalam batas yang diperjelas antara beradab dan biadab. Sehingga menimbulkan semacam upaya untuk mengajar peradaban pada negara terjajah, dengan menggunakan dan merasuk dalam wilayah bahasa.

Porsi ini berbeda dalam kebijakan kolonial Belanda. Ada dinding pemisah, dengan tetap mempertahankan pribumi sebagai pribumi dan penjajah sebagai penjajah. Sehingga pemisahan ini pun juga terkait dengan bahasa. Meskipun kenyataannya terdapat beberapa kata serapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Belanda, tetapi secara riil, tidak ada yang berubah dari bangun kesadaran orang Indonesia sendiri yang terkonstruksi dalam bahasa.

Dengan kata lain dapat ditegaskan, ingatan yang melingkupi wilayah ketaksadaran masih terjaga. Artefak masih juga menunjukkan bahwa masa lalu sepenuhnya masih utuh dan tidak tersentuh. Bias penjajahan hanya meliputi wilayah politis, tidak sampai mengakar pada kultur dan ideologis. Sebagai contoh, bahasa Belanda tidak pernah mengakar dan orang Indonesia masih tetap bertahan dengan keindonesiaannya (bisa dibaca dengan Jawa, Sunda, Madura, Minang, Bali dan suku-suku lain di Indonesia). Penjajah yang diandaikan mengguanakan diktum tidak pernah mendapatkan keutuhan penguasaan di Indonesia dalam arti sesungguhnya. Bahkan adanya asumsi, bahwa Belanda di Indonesia hanya sekedar berdagang, bisa jadi ada benarnya. Kondisi ini yang menjadikan wacana poskolonial di Indonesia berbeda dengan poskolonial di beberapa negara lain, semisal India, Afrika dan Amerika Latin.

Kiranya, bukan problem representasi diri terhadap wacana kolonial yang menjadi kegelisahan beberapa novel Indonesia pasca kemerdekaan. tetapi, problem tentang kiblat budaya, seperti yang digelisahkan generasi Pujangga baru, surat kepercayaan gelanggang hingga sampai pada generasi Manikebu, mungkin hingga kini.

Permakluman tentang masih ‘utuhnya’ penjaga ingatan itu dapat didapat, manakala kembali berusaha kembali membaca artefak yang ada. Ada sebuah kesinambungan yang dapat dirunut, ketika jejak-jejak itu ingin dikenang kembali dan digunakan untuk merepresentasikan kedirian bangsa, baik dalam artefak berupa peninggalan tertulis material maupun lisan.

Sayangnya, problem kesastraan kita tidak pernah membuat wujud dari karya itu dalam usaha untuk merepresentasikjan diri dalam sebuah bangun historisitas yang mencakup aspek politik, sosial dan kultur. Dari sini mulai muncul sebuah kontradiksi, antara wacana poskolonial yang terumuskan dan realitas.

Hal itu karena wacana ini memang mempersoalkan wilayah perspektif, pembedaan sudut pandang antara yang dijajah dan yang menjajah, dalam posisi antara yang dipandang dan memandang. Dengan kata lain, jika the other ada dan terekam dalam karya, itu tak lebih untuk mengukuhkan konsepsi dan keberadaan serta dominasi kolonial yang selalu saja Barat. Ini menjadi rancu manakala membaca beberapa karya sastrawan Belanda seperti yang pernah ditulis Subagyo Sastrowardoyo.

Terlepas dari itu, counter culture yang ada, jika dapat dikatakan ada terhadap kolonialisme dalam beberapa karya memberikan sedikit gambaran sejauh mana narasi kolonialisme itu mengendap dalam bangun kesadaran. Beberapa karya, semisal Kejantanan di Sumbing oleh Subagyo Sastrowardoyo, tetralogi Pramudya Ananta Toer, novel-novel Mangunwijaya dan beberapa prosa lain berkutat pada masalah humanis, konsep patriotisme dan segala hal yang sebenarnya lebih merujuk pada wilayah-wilayah politik dan bukan kultural. Seperti yang ditunjukkan pada novel anti-hero Mangunwijaya, Burung-burung Manyar dengan tokoh-tokohnya.

Perspektif Budaya Pasca Penjajahan

Jika berbicara masalah perspektif yang dalam ilmu-ilmu sosial dan metodologi penelitian menempati posisi yang penting, beberapa novel Indonesia memberikan gambaran yuang cukup brilian, terutama tentang strategi kebudayaan poskolonial. Hal ini menjadi signifikan seiring dengan beberapa polemik yang selalu berkutat tentang kiblat kebudayaan, meski kini sudah tak lagi terdengar gaungnya.

Beberapa novelis Indonesia, di antaranya memotret penjajahan Indonesia dari beberapa sudut pandang. Dari sana terdapat semacam gagasan terkait dengan strategi kebudayaan yang ‘cukup’ tepat untuk membangun kembali kebudayaan Indonesia pasca penjajahan. Dalam tetraloginya, Pram menunjukkan ‘keberpihakan’ pada model gagasan budaya yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk membongkar feodalisme. Ia memang penganut keniscayaan sejarah, tetapi sikapnya pada wilayah primordial sendiri memang memiliki nilai lebih. Ada upaya untuk memberikan semacam ide, bahwa Barat memang lebih daripada Timur dalam satu hal.

Dalam Bumi Manusia, apa yang dilakukan Minke, pada saat ia diundang pulang sang ayah, sedangkan ia harus berjalan dengan sikap jongkok dan menunduk, menunjukkan sebuah sikap dan arogansi terhadap budaya asali. Adapun beberapa gambaran terhadap sikap Belanda memang menunjukkan adanya sebuah wacana poskolonial, tetapi tidak lurus seperti yang digagas beberapa pemikir poskol. Kehadiran Nyai Ontosoroh, Anales dan lain-lainnya, serta tiadanya penghapusan wilayah primordial –nilai-nilai tradisi-- menunjukkan bahwa tak sepenuhnya aspek-aspek yang berbau Belanda memberikan sesuatu yang sepenuhnya merugikan. Strategi yang ditawarkan pun menasbihkan harusnya ada upaya membaca kembali sisi feodalisme, dengan tidak mengesampingkan apa yang dibawa Barat yang dalam tataran materi dan pandangan pada kekinian memang menjanjikan. Ada ruh modernisme yang cukup kuat dalam novel ini.

Mangunwijaya semakin menasbihkan bahwa apa yang dimiliki bangsa Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya tergusur. Dalam novelnya ia berupaya menghadirkan wajah-wajah manusia dalam berbagai ragam. Jika dalam beberapa hal Barat selalu diandaikan sebagai penjajah, ia menampilkan juga wajah penjajah dari negeri sendiri. Dalam trilogi Roro Mendut, ia memotret apa yang telah ada bersemayam dalam ingatan bangsa tentang pertentangan yang laten dan tak kunjung surut antara pesisir dan pedalaman, dengan diwarnai pergolakan, drama percintaan serta sebuah sikap terkadap penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri atas nama kekuasaan dan dominasi.

Mungkin dalam Burung-burung Manyar terdapat wacana poskolonial yang mencerminkan sikap terhadap Barat. Tetapi, upayanya bukan semata-mata sebagaui budaya tanding terhadap wacana kolonial, tetapi lebih pada sebuah pembacaan dari berbagai aspek tentang penjajahan itu, terutama sisi humanisnya. Dari sini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya ada yang berbeda dalam sudut pandang kolonial, yang dalam wilayah-wilayah nasionalisme menempati posisi ideologis dan politis.

Memang cukup sulit untuk menunjukkan bahwa adanya semacam dominasi kolonial dari sudut pandang kultural pada beberapa karya sastra Indonesia. Umumnya, wilayahnya memang sangat politis, dalam artian ada semacam ideologi tersembunyi dan terkesan kabur dalam narasi-narasi kolonialisme yang selama ini didengungkan, baik untuk jargon keutuhan bangsa atau dalam stategi kebudayaan.

Dari sini dapat ditarik semacam pembacaan tentang wacana poskolonial. Toh ia sebenarnya tidak hadir secara utuh sebagaimana adanya, lengkap dengan sederet atribut baik itu bahasa, kultur, politik dan lain-lainnya. Mungkin lebih tepatnya poskolonial di Indonesia hanya merasuki wilayah cara memandang, sebuah strategi teks yang menghadirkan sebuah perspektif, terutama posisi antara yang dipandang dan memandang. Hal itu karena artefak budaya yang ada menunjukkan bahwa bangun kebudayaan Indonesia tak sepenuhnya tercerabut dari akar dan hilang dalam lipatan sejarah. Mungkin dibutuhkan strategi tersendiri untuk menyikapi warisan tradisi dan warisan kolonial, dengan menyadari bahwa kita berada dalam persilangan budaya. (*)

* Esei ini pernah dimuat Lampung Post. Lupa Tanggalnya. Kira-kira tahun 2003-2004.

Sajak Cinta

Puisi Mashuri

Lorong Tak Berujung

rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
sambil mencecap remah roti, menuang anggur ke cawan
malam, dan membunyikan lonceng
tanda kebaktian
di buih yang memutih, dan selalu ada, aku menangkap
maut ---seperti kepastian ombak yang tak lelah gerak
mencari jejak, berburu tenang
yang terbuai di tepian…
tapi sungguh
bukan itu yang aku kenang; bayangmu seperti liliput
yang bertabir kabut
dan aku tercuri dari waktu
dan rahasiamu masih saja mengasingkanku
di haluan, di buritan, aku hanya menangkap permukaan
ah, sungguhkah aku harus memburu bayangmu
di balik gelombang ---yang bisa menawanku dalam ragu
karena geraknya tak tentu
kelak, aku pun tetap bisu, pulang dengan kehampaan
sambil bersandar di pelabuhan
dan semakin terasa asing di goa
pencarianku
tapi sungguh, aku bukan musa yang terbakar di tursina
aku hanya pelaut yang berburu bayangmu
dan berharap, rahasiamu tercetak di pasir-pasir pantaiku
bak perempuan bertubuh perak

Surabaya, 2008

Puisi Mashuri

Tanjung Kodok, Cintaku

di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu
cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah
terjarah, doa-doa percuma
dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi
aku pun asing pada tanah sendiri
aku lalu lingkarkan pena di mata arca
di gapura
berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal
aku menyelam di matanya, membuka luka lama
tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu
aku pun terlontak ke lalu dengan tubuh kaku

aku beri sesaji di pipinya yang letih
tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia
cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa
dan membangkitkan bau tanah

tanah asing kembali bergasing
cintaku pun berpusing dari relief ke relief
yang kini tinggal tebing ---sungguhkah di sana, abjad
terpahat, atau hanya sekelebat jemari
yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman
agar kini bisa melaut ke kabut
dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…

sungguh rinduku masih berderap
meski waktu memalung dan gelap
di sisi karang, di ujung tanjung,
aku pun menemukan secuil jawab
cintaku mengekal di batu apung
yang disangga laut dan lembah lembab

di situs itu, aku pun menawar luka rindu
dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir
nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut
tapi lagu siul agar angin tak bersiut

di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir
ia bagai penyihir yang berharap kejaiban
agar batu kapur itu hidup dari dengkur
lalu berkisah tentang harapan dan cinta
terlarang, sebagaimana kisah-kisahku
yang ditabukan waktu
dan kini diburu rindu

Lamongan, 2008

Puisi Mashuri

Hujan Bulan Februari

jangan berharap hujan dari nyanyian
karena hujan dipantangkan datang ketika malam menjelang
apalagi kita sendiri…
tengoklah di jendela, cuaca seperti babi bengkak pantatnya
kau akan tahu seberapa siksa bakal berlaksa
ketika di kaca tertera tanda basah
lalu orang-orang berlalu lalang dengan perahu
sambil berteriak: ‘jangan biarkan anjing berlalu’
kita bukan anjing itu, kita hanya pesakitan
yang tak bisa lepas dari nafas hujan
kita selalu berharap ada yang berderap di atap
lalu kita menyanyi, mengusir sunyi ke dalam diri
sambil terus memelototi partitur yang hablur di udara
dan kita hisap tanpa suara…
tapi kini jangan berharap hujan atau memanggilnya
dengan nyanyian
biarkan ia lewat tanpa permisi, agar kita tak tahu
dan tak merasa kehilangan
biarkan ia tetap sebagai awan

Surabaya, 2008