Selasa, 22 April 2008

Gagasan


Menggagas Sejarah Sastra Indonesia di Jawa Timur

Oleh Mashuri

Perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur cukup marak. Sayangnya, kondisi demikian seringkali luput dan tidak tercover oleh pusat. Akibatnya, banyak sastrawan dan karyanya tidak terdeteksi dan tidak dimasukkan dalam bingkai sejarah sastra Indonesia, yang notabene selama ini, ‘direpresentasikan’ oleh pusat, yang tak lain adalah Jakarta, yang hanya memuat kanon-kanon sastra saja. Bermula dari kondisi demikian, maka penulisan sejarah sastra Indonesia di Jawa Timur sangat mendesak untuk direalisasikan.

Kiranya sudah menjadi rahasia umum, jika penulisan sejarah sastra Indonesia belumlah final. Bahkan, tulisan sejarah sastra Indonesia saat ini bisa dikatakan sebagai versi-versi. Itu pun masih bisa diperdebatkan, baik dalam memberi batas permulaan kemunculan sastra Indonesia, penghapusan beberapa nama dan karya, juga penulisan sejarah yang hanya sampai pada tahun 70-an. Tulisan tentang sejarah sastra Indonesia memang ada yang berpatok pada sosok, ada pula yang karya. Bisa disebutkan di antaranya versi A Teeuw, HB Jassin, Ajip Rosidi, Korrie Layun Rampan, dan lainnya, serta yang dianggap terlarang adalah Bujung Saleh dan Bakri Siregar. Dalam karya-karya tersebut, banyak sastrawan dari Jawa Timur yang terhapus.

Perjalanan sastra Indonesia di Jawa Timur sebenarnya sudah menggeliat ketika benih-benih nasionalisme mulai bertunas dan tersemai di Bumi Pertiwi, baik yang dilakukan oleh para pioner kebangsaan dan kalangan Tionghoa peranakan. Dalam catatan sejarah tentang Surabaya dan Jawa Timur, juga dalam novel Bumi Manusia, terdapat penggambaran masa-masa itu. Di Surabaya dan beberapa daerah lain di Jawa Timur, pada awal tumbuhnya kesadaran kebangsaan sangat marak dengan berbagai wacana dan tulisan yang ingin menumbuhkan jiwa-jiwa merdeka. Di sisi yang berbeda, kalangan Tionghoa Peranakan menggunakan bahasa Melayu Pasar untuk menulis karya sastra. Kalangan ini pun sudah memiliki penerbitan dan berbisnis tulisan. Banyak novel dihasilkan oleh kalangan ini pada masa pra kemerdekaan.

Pada masa tahun 50--60-an, dinamika sastra Indonesia di Jawa Timur juga marak. Semisal munculnya kantong-kantong kebudayaan yang berafiliasi kepada partai politik tertentu, baik itu Lesbumi, Lekra dan lainnya. Beberapa data yang berhasil dilacak ke pusat dokumentasi HB Jassin di Jakarta, menjelaskan, pada masa-masa itu, perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur cukup bergairah Seperti munculnya kumpulan puisi ‘Nasi dan Melati’ karya beberapa penulis Lekra (sayap kebudayaan PKI), yang ketika ditelisik, memiliki potensi teks yang mengagumkan. Juga dari beberapa penulis yang berafiliasi ke Lesbumi, sayap kebudayaan partai Nahdlatul Ulama, serta lainnya.

Pada tahun 70 dan 80-an, perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur juga tidak bisa dikatakan mandek. Nama-nama seperti Muhammad Ali, Budi Darma, Akhudiat, D Zawawi Imron, Suparto Broto, Hardjono WS, M Fudloli Zaini, Sabrot D Malioboro, dan lain-lainnya, merupakan para sastrawan yang menghasilkan karya yang banyak. Setelah itu, generasi selanjutnya juga cukup marak, di antaranya adalah L Machali, Herry Lamongan, Aming Aminudin, M Anis, Rusdi Zakki, Wawan Setiawan, Sirikit Syah, Wahyu Prasetyo, Beni Setia, Jil Kalaran, dan lainnya. Jawa Timur juga sempat tersentuh revitalisasi sastra pedalaman yang merupakan upaya untuk membaca ‘kemapanan’ sejarah sastra yang lebih terpusat di Jakarta dengan beberapa penggiat dari Jawa Timur, di antaranya Kusprihanto Namma, dan Bonari Nabobenar di belakang hari. Generasi setelah itu bisa disebutkan di antaranya M Shoim Anwar, Tjahyono Widarmanto, Tjahyono Widianto, Syaiful Hajar, Leres Budi Santoso, Zoya Herawati, Ratna Indraswari Ibrahim, Syaf Anton, Hidayat Raharja, HU Mardi Luhung, Arif B Prasetiyo, S Jai, Riadi Ngasiran, Anas Yusuf, dan lain-lainnya. Belum lagi munculnya begitu banyak penulis Jawa Timur yang muncul pasca reformasi dengan berbagai mode kreasi dan corak bersastra yang karyanya sudah dikenal luas.

Toh nama-nama yang telah disebutkan itu, langka tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Dari Jawa Timur, sejarah sastra Indonesia yang sudah ada hanya mencatat Muhammad Ali, Budi Darma, D Zawawi Imron dan beberapa nama lagi yang lebih belakang. Sedangkan beberapa nama sastrawan dan karya lainnya yang berserak dan cukup, tidak tercakup dalam bingkai sejarah sastra nasional. Kiranya, masih kuatnya dikotomi nasional dan daerah sampai tahun 2000, seakan-akan menghapus peran dari beberapa sastrawan yang bergelut di bidangnya di daerah.

Dengan kondisi demikian, perlu digagas sejarah sastra Indonesia di Jawa Timur. Dengan harapan, berbagai dinamika yang terjadi di Jawa Timur dalam kurun waktu yang cukup lama itu bisa dicatat dan direkam dan tidak hilang ditelan waktu. Juga adanya penghapusan sejarah bisa dipulihkan dan ditempatkan pada porsi yang semestinya. Tentu, kondisi yang tidak adil itu perlu disikapi dengan kreatif dan kritis.

Akar Masalah: Pertarungan Politik Sastra

Ada satu asumsi, tidak disertakannya beberapa sastrawan di Jawa Timur itu di kancah sastra nasional karena terkait dengan politik sastra. Seperti yang pernah diungkap Ariel Haryanto, dalam sejarah sastra Indonesia terutama pada masa Orde Baru, terdapat dikotomi sastra daerah dan sastra nasional, sastra mapan dan pinggiran, sastra resmi dan sastra terlarang, dan dikotomi lainnya. Kondisi yang tidak kondusif dan tidak sesuai dengan ruh sastra itu merupakan penghalang dari kehadiran berbagai dinamika yang sebenarnya cukup dinamis dan layak tercatat dalam sejarah sastra.

Misalnya saja, karya sastra yang dihasilkan oleh orang Lekra, hingga kini masih menjadi ganjalan dalam penulisan sejarah sastra di Indonesia. Dari kaca mata Ariel, sastra mereka termasuk terlarang karena Lekra adalah onderbouw PKI. Akibatnya, dalam sejarah sastra Indonesia, nama mereka pun dihapus dan dihilangkan. Hal yang sama juga terjadi untuk sastra daerah dan sastra Indonesia di daerah. Beberapa nama dan karya yang muncul di daerah tak bisa diharapkan bakal menjadi penyumbang sejarah sastra nasional. Tentu kondisi ini perlu disikapi dengan meluncurkan sejarah sastra yang mencakup berbagai dinamika sastra tanpa pengecualian, sehingga bisa dijadikan bandingan terhadap sejarah sastra nasional yang ada. Bahkan, sejarah sastra lokal pun sangat mendesak dengan pertimbangan bisa menyumbang dalam penyusunan sejarah sastra nasional kelak.

Ada beberapa pertimbangan, kenapa Jawa Timur memerlukan sejarah sastra sendiri. Di antaranya, Jawa Timur memiliki kekayaan budaya dan sastra. Sub kultur di Jawa Timur cukup beragam. Selain itu, sejarah pengetahuannya cukup menarik mengingat pada masa lalu, di Jawa Timur pernah berkembang peradaban besar dengan hasil sastra yang kini masih bisa dibaca. Pertimbangan lainnya, beberapa sastrawan Indonesia yang sudah tercatat dalam sejarah sebagai sastrawan mapan pernah mengenyam proses di wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya. Pun, di masa lampau dan kini geliat sastra Jawa Timur cukup marak. Ironisnya, tidak ada dokumentasi yang layak, serta pencatatan yang adil pada berbagai peristiwa sastra, sosok sastrawan dan karya yang ada.

Kiranya, proyek penulisan sejarah sastra Jawa Timur, bisa dikatakan sebagai proyek idealis. Oleh karena itu, orang yang memiliki amanat untuk melakukannya adalah kalangan yang sadar diri, obyektif secara keilmuan dan tidak sentimentil. Sehingga dalam penulisan sejarah bisa adil dan tak perlu mengulang apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu yang bertindak ‘dholim’ dengan menghapus beberapa nama sastrawan yang disebabkan oleh pertarungan politik sastra. Apalagi jika pertarungan itu dilandasi oleh sentimen pribadi dan masalah di luar sastra.

Dengan pencatatan yang adil, maka generasi mendatang bisa mewarisi sebuah dokumentasi jejak pengetahuan yang benar-benar membumi dan direpresentasikan oleh orang-orang yang mengenal Jawa Timur. Sebab bagaimanapun karya sastra merupakan sumber sejarah pengetahuan yang otentik yang merekam semangat zaman dan dinamika di dalamnya. (*)

3 komentar:

hidayatraharja.blogspot.com mengatakan...

Setujuuu kalau dibangun sejarah sastra Jawa Timur karena pada kenyataannya ragam sastra di jawa timur amat berbeda. Dan yang sangat menarik bahwa kekuatan komunitas di daerah tidak terpengaruh oleh ingar-bingar politik sastra yang selalu didominasi di jakarta. Di kantong-kantong yang ada di beberapa kota di jawa timur geliat itu amat menggairahkan; pentas bersama, diskusi bersama, tanpa pernah gelisah untuk tidak dicatat dalam sejarah sastra (Hidayat Raharja)

Anonim mengatakan...

Mempertimbangkan sejarah sesungguhnya mempertimbangkan kehadiran. Kehadiran dalam makna sesungguhnya adalah pemikiran, dan tanggung jawab seseorang yang bila kemudian disebut pemikir, tentu lewat teks yang pernah dihasilkan.

Tidak semua dari teks itu mempunyai nilai, baik dari sudut sastrawi maupun dimensi lain, sebagaimana dimensi "memperjuangkan nilai kemanusiaan". Tetapi, masing-masing punya peran dalam jagat pemikiran.

Sekarang, yang mau dibahas dalam penulisan sejarah sastra Indonesia di Jawa Timur itu apa? Gagasan atau deretan nama?

Sejauh yang kita tahu, dalam perjalanan sastra Indonesia, bila kemudian naskah itu disebut sejarah, adalah rangkaian peran para penulisnya. A Teew dengan "Pokok dan Tokoh", sesungguhnya adalah penghargaan terhadap pemikiran yang pernah dihadirkan tokoh-tokohnya dan bukan pemikiran itu sendiri.

Meski kita tahu, naskah itu kemudian menjadi induk dari pelbagai pemahaman kita terhadap perkembangan sastra Indonesia hingga era 1970an.

Dalam pemahaman yang dihadirkan Ajip Rosidi, justru mencoba menuliskan tahapan-tahapan sastra Indonesia (meski ikhtiarnya bukan hendak menulis sejarah) tetapi akhirnya menulis dengan model periodesasi. Kelemahan model begini, saya kira, akan kesulitan bila pada setiap periode si penulis tak berhenti berkarya?

Menurut saya, Sejarah sesunggunya adalah pemaknaan atas peran seseorang dalam menorehkan jejaknya-- (jejak itu bisa berupa pemikiran dan luapan penawaran gagasan-gagasan). Sedang baik-buruk dari gagasan itu akan dengan sendirinya terukur oleh keadaan yang melingkupinya. Sejarah bukanlah deret hitung, memang atau melebar, tetapi integrasi dari peran dalam pertimbangan ruang dan waktu. Di sinilah yang, saya kira, patut dikembangkan dalam penulisan Sejarah Sastra Indonesia di Jawa Timur.

Persoalannya, bukan sekadar karena para penyair, mungkin juga sastrawan, tak tertampung secara massif dalam pembahasan di Indonesia secara umum (karena, mereka yang membuih akan tergilas gelombang) tetapi bila seseorang itu tegas dalam percaturan gagasannya, niscaya tidak dengan sendirinya ia terlempar dari hamparan pembasan sejarah yang melingkarinya.

Ah, tapi itu saja dulu... komentar saya. Toh, ini hanya sekadar komentar, yang tak semuanya bisa disetujui kebenarannya.

Salam,
RIADI NGASIRAN

mashuri mengatakan...

matur suwun atas komentarnya. yang jelas, sudah saatnya kita menggagas sejarah kita sendiri. jika selama ini sejarah ditulis dengan S besar, saatnya kita mendekonstuksinya. terima kasih mas hidayat. matur suwun mas riadi, masukannya bisa jadi pertimbangan yang menarik: perihal nama dan gagasan.