Minggu, 09 Desember 2007

sajak adammakna

Cerita Bunda yang Tak Pernah Membaca Adammakna

dalam kitab yang tak pernah kau baca, aku menemukan cerita; cerita yang sering kau dongengkan kepadaku ketika malam telah menjelma jubah hitam; malam yang mengurung sekaligus membebaskanku dalam gelap; aku pun seringkali bertanya, bagaimana kau bisa mengingat kisah-kisah di lembar yang tak pernah kau gelar di matamu, bagaimana kau bisa begitu detil menyentil kisah-kisah gumpil yang terwarta, bagaimana kau bisa padahal kau tak pernah membacanya, bagaimana…

sedangkan aku masih suntuk meraba; mendedah lakon-lakonnya seperti seorang kanak yang baru belajar mengenali alur yang terus mengalir di arus yang bernama waktu; berakrab dengan tunas, dengan nafas tetumbuh, dengan riuh permainan yang bergemuruh di pembuluh darah; bahkan pada tokoh-tokoh yang menjadi pilar dan berjalin kelindan dengan nasib, aku pun masih asing ---aku pun menghapalkannya, sebagaimana aku menghafalkan doa-doa yang kau titipkan kepadaku, agar aku mengingatnya: baik sebelum atau sesudah tidur; doa yang katamu, bisa melunturkan kisah-kisah sampah dan menguburkan kisah-kisah berhikmah di sanubariku...

dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, aku mengenal diriku sendiri ---sebagaimana aku mengenal diriku ketika bibirmu mulai melisankan dongeng pengantar kantukku; aku pun bertugur di karang dan sendiri, menatap gelombang dan sendiri ---aku menjadi sosok yang berdiri di antara kata-kata yang berlompatan dari bibirmu dari otak dan perasaanmu, aku pun menjadi sosok dari aksara-aksara yang tertata di lembar-lembar lontar, terbias dalam pikiran dan nafasku; aku menjadi...

tapi sepi sering menjadikanku bagai tikus, aku diperaja di antara tetikus di antara sesawah, kekali, juga bilik yang pernah kau beri nama: sunyi... aku selalu merasa terasing dan sendiri, meski riuh suara bercericit, bagai pintu besi berkarat yang digebrakkan langit… langit hatiku; bahkan pada malam yang telah membungkusku dengan baju kegelapan, aku begitu sering tergagap... untuk menemukan suaramu dan tidak sendiri terpenjara dalam gelap, ah

aku begitu merindukan suaramu, suara-suara yang menuntunku untuk menemukan liuk jejalan, sesapa, juga kutipan-kutipan percakapan yang membuatku sering terpana: “bukankah segala peristiwa itu terjadi di antara kita, dibungkus dalam kata-kata yang bisa kita temukan dalam peta...”

tapi dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, aku juga sering terbata; aku seperti berhadapan dengan diriku sendiri, bercakap dengan diriku sendiri, dan menjadi diriku sendiri ---meski ketika aksara itu berdiam, aku pun terpagut dalam malam, tenggelam dalam kubangan yang tak aku pahami, beku, bagai pelaut yang tercerabut dari laut tempatnya berdiri...

mungkin, dalam kitab yang tak pernah kau baca itu, dalam dongeng yang kau ucapkan dalam tidur-tidurku, kisah-kisah itu adalah kisah yang pernah mewarnai ingatanku, kisah yang pernah menjadi dasar dari perjalanan hidupku dan pernah aku lalui dalam waktu yang lain, dalam sebuah nasib... mungkin, karena itu aku sering begitu berkarib, juga sering terasing...

aku pun terhajar untuk menemukan makna adamku...

Sidoarjo, 2007

Kamis, 06 Desember 2007

gagasan puisi

Apologia, Absurditas dan Puisi

Abad ini tidak hanya berada di akhir gagasan tentang puisi. Dunia imaji sudah terbelah dan jumbuh dengan realitas yang terfiksikan; dan ide-ide tentang bahasa semakin rapuh dan jauh dari proyeksi kreatif. Dalam kondisi hiperrealitas dan dunia dengan citra yang direkayasa, diperlukan upaya kreatif yang subversif untuk mengoyak kebuntuan itu. Salah satunya adalah dengan menembus batas, dan meradikalkan konsep tradisi dan pembaruan dalam titik yang paling ekstrim.
Tolak ukur yang digunakan dalam melihat puisi selama ini adalah kata, kekuatan kata dan metafora yang melatarbelakanginya. Ada ahli sastra yang menganggap penyair tak lebih hanya pengrajin. Para penyair dalam pandangan mereka, adalah pribadi yang suka mempermainkan bahasa, dengan sikap kebinalan sebagai orang yang mengerti bahasa, potensi serta persilangan yang melekat di dalam dan di luar bahasa. Penyair hanya merakit kata, tanpa tahu lebih jauh tentang kata itu.
Mungkin sebagian pandangan mereka benar, tetapi ketika puisi tidak hanya terpusat pada kata, maka apa yang mereka pikirkan merupakan sebuah pemikiran yang tak berparadigma. Sebab, mereka tidak pernah bisa menembus inti dalam dari puisi, langgam kesenyapan, ruh yang kadang luruh, nafsu binal dan keretakan manusia sekaligus keagungannya. Sehingga mereka hanya berkata dan mengklaimnya dengan hanya mengamati dari sisi luarnya, sisi yang tampak lahiriah, dari sudut bahasa yang rentan, dari sebuah kulit yang bisa tanggal dan terkelupas. Sebuah pengamatan yang sia-sia.
Padahal ide tentang bahasa, sekali lagi telah rapuh. Struktur telah goyah dan segala hal yang menyangkut hubungan petanda dan penanda koyak, kadang jumbuh, berantakan dan kadang berhenti di persimpangan. Sehingga apa yang mereka dapatkan dari pembacaan pada puisi, sebenarnya berasal dari wilayah yang hanya menyentuh bentuk logika yang paling dangkal.
Bagi kalangan surrealis, suprarasionalis dan realis-magis, memihak pada wilayah dalam adalah sebuah kewajiban. Kemudian, puisi pun mengejawantahkan adanya sebuah dunia, ketika manusia dikembalikan pada titik nadirnya, sebuah posisi purba yang meyakini bahwa manusia awalnya adalah binatang sekaligus malaikat. Tak ada pengkotakan bahwa dunia harus termanivestasi seperti apa yang terlihat dan teraba. Sebab dunia harus direbut dari sebuah kungkungan yang tidak lagi menunjukkan sebuah tata yang dapat dipercaya: makna terberi, rekayasa penciptaan dan bermacam prasangka.
Hanya saja, pada taraf tertentu, ada kalanya pemahaman yang dangkal pada surrealis juga menjadikan seseorang, baik kritikus dan penyair terjebak dalam sebuah permainan hampa. Jika permainan itu melibatkan jiwa, maka permainan itu memiliki cara pandang tertentu pada diri manusia, lewat kerapuhan dan keterpecahannya. Sayangnya, kebanyakan sudut pandang yang ada melihat dan berupaya mendramatisir dunia dalam sebuah sistem dan struktrur yang sebenarnya sangat melemahkan, karena berpatok pada sesuatu yang mungkin. Tak ada keberanian dan nyali untuk merambah wilayah ketidakmungkinan, dengan batas ruang tak terkira.
Lalu adakah yang dapat disinyalir adanya konsep pewahyuan dalam kerja kepenyairan, untuk mengenal dan merambah wilayah dalam? Saya kira, seorang penyair yang mengerti puisi adalah penyair yang sudah melampui proses pewahyuan itu. Ia tidak lagi mengandalkan sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Tetapi ia bisa mencipta dari dirinya. Ia bisa mencipta peristiwa dalam benak dan dada. Jika itu dianggap sebagai permainan, baik dalam tataran bahasa struktural maupun metabahasa, maka unsur-unsur metafisika memang terlanjur berada dalam proses itu. Ia tidak bisa ditolak kehadirannya atau diundang, karena ia sudah merasuk dalam proses kreatif yang hanya bisa dikenali oleh pribadi penyair dengan segala renik palung jiwanya, untuk melahirkan karya-karyanya yang bermutu.
Jika kemudian yang tampak adalah sebuah dunia yang absurd, tak terkenali, mengiris kenyataan yang bermain di luar realitas si penyair. Maka, hal itu karena puisi, sekali lagi puisi, mampu mengejawantahkan dengan demikian detail diri manusia, dunia, dengan segala absurditasnya. Ia bisa mengenali yang tak bisa dikenali, karena seorang penyair adalah manusia yang berada di luar dari dunia yang dipenuhi prasangka, dengan segudang rekayasa dan makna yang terberi.
Dalam hal ini, saya tak ingin menyamakannya dengan konsep absurditas siapapun. Tapi absurditas di sini bukan hanya terpaku pada sebuah pengerjaan yang sia-sia pada proses menjelajahi dunia dan menghancurkannya, tetapi juga melampaui proses menghancurkan diri sendiri, kesadaran, ketaksadaran dan menjadikan sebuah cara pandang yang berbeda dari mainstream yang ada, baik dalam tataran yang lebih legal maupun tak legal. Ia tidak sekedar sebuah prosesi bunuh diri filosofis. Bahkan, bisa mengacu pada penghancuran diri. Bunuh diri secara total.
Dari sini, bahasa yang menyaran pada sebuah ujaran yang bisa ditarik maknanya tidak bisa mengejar. Puisi terus berada di garda depan dan bahasa akan terpontal-pontal mengikutinya. Dengan catatan, puisi itu menyangkut tentang gagasan tentang puisi yang bisa menerjemahkan sebuah keadaan yang bersifat hakiki dan adikodrati. Sebuah pemetaan yang metabahasa, berada di luar waktu, sekaligus di dalamnya, dan mengedepankan pengucapan yang orisinal dari dasar jiwa manusia, sekalian lubang hitamnya, dengan sebuah pemenuhan standart estetika yang tidak hanya berasal dari olah rasa semata.
Bukankah itu bersifat pewahyuan? Sekali lagi, masalah pewahyuan adalah salah satu cara, selain banyak cara untuk merengkuh suara-suara liar yang berdengung, berdesakan dan merubung segenap indera si penyair dari segenap sisi. Mungkin seperti alat rekam yang berdiam dalam dirinya dan menyaring semua suara yang terdengar, sambil terus berteriak dan merekamnya lalu menerjemahkannya dalam bait-bait, baris-baris, bahkan dalam satu huruf, cukup.
Kita memang berada di akhir gagasan tentang puisi. Kira hanya berhadapan dengan rumah tua yang saatnya didekonstruksi, dibongkar, dikubur dan mendirikan rumah baru, dengan tatanan baru. Kita bisa bertindak sebagai seorang yang historis maupun ahistoris, senyampang setiap langkah pembongkaran kita memang menyaran pada sebuah gagasan tentang pengejawantahan dari sebuah cara pandang pada dunia yang memberikan kesegaran, dibalut tawaran-estetika, meski dengan langgam kekejaman dan titik tragis, dan dibahasakan dalam tata yang melampaui jamannya, baik silam, kini atau masa depan. Dan, manusia bisa mengenali kedirianya lewat ucapannya sendiri. Sebuah ucapan yang berasal dari dasar, perpaduan naluri purba dengan kemurnian, suara yang bergaung dari sumur yang tak terlihat oleh awam, sebuah wilayah yang tak bisa diraba dan dirasakan dengan frekwensi dan intensitas sekali saja. Kerna di dalam sana, tidak hanya tampak kemilau air, riak ombak atau gelombang udara yang bisa membuat siapapun yang masuk ke dalamnya tercekik dan mati.
* Ditulis tahun 2002, sempat hilang tapi begitu ditemukan di akhir tahun 2006 lalu direvisi seperlunya. Disampaikan dalam Pidato Kebudayaan di Fakultas Sastra Unair, tanggal 17 Januari 2007, yang diselenggarakan FS3LP Surabaya.

Rabu, 05 Desember 2007

puisi mashuri

Asbak

di asbak, peluru masih saja mengepulkan asap

aku ingat lisong yang baru dihisap

kau memungutnya satu dan kau pasang di jantungmu

aku pun bertanya: “kenapa kau pasang bom waktu”

tapi senyummu bagai malaikat yang baru terbangun

dari tidur panjang; membuatku bebal dan kikir

untuk merapal tafsir

“aku hanya asbak,” jawabmu. “muasal jejak

tapi aku ingin kalis dari arang, dari pembakaran”

kini, aku yang tersenyum

diam-diam aku pasang peluru itu di mataku, di hatiku

juga di seisi kepalaku

aku pun berbisik kepadamu: ‘maaf, serdadu, kita

telah salah sangka; ini hanya pena

bukan peluru, dan asbak itu adalah sabak

tempat kita parkir sejenak, lalu melupa pada jejak”

Surabaya, 2007

Giri

di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga berpuluh

di dekat penjual gambar, foto, ayat-ayat, di dekat lampu neon

10 watt, di dekat orang-orang bersamalam, makan, berjabat untuk

saling mengingat, di dekat para santri yang ngaji, di dekat pengemis

yang mengais-ngais hati peziarah, di atas tanah, di dekat arca angsa-naga,

di dekat nisan-nisan tua, di dekat masjid tua, di dekat mihrab, di tengah

ratap, di ujung gelap, di antara papan peringatan: jangan memotret, di dekat

tulisan Sunan Giri, Sunan Giri I, Sunan Giri III, di samping luka

yang menganga di tubuh waktu; sejarah mulai lupa, ada tanggal yang tanggal

dari almanak; dadal; tapi ada yang menghitung 21, 23, 25, 27, 29, tapi

angka-angka itu bukan tahun-tahun suram, bukan bukti pembantaian

itu sebuah malam lain; di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga….

Surabaya, 2007

* Malam likuran: 10 malam terakhir dalam bulan Ramadan

Tongseng

obat hati yang kau tawarkan kepadaku adalah bir

dengan gambar yang selalu kutuju: perempuan

tapi perempuan itu tak kunjung telanjang

meski sejak 17 tahun, aku memelotinya dengan

segenap pandangku; kini, di usiaku yang ke-41

perempuan itu masih saja mengenakan pakaian

malah aku yang sering telanjang begitu menenggak

isi botolnya: ah, dasar keparat juga

bir cap perempuan ini; aku selalu bergelap

untuk menguji nyali tentang kesabaran

dan kepastian menunggu; aku pun sering mengigau

“hai perempuan di gambar, jika kamu tak kunjung

melepas pakaian, bagaimana bisa aku mengupas

tubuhmu

jangan biarkan aku menunggu, dengan mengompas

anak-anak di gang, agar aku bisa mereguk dan memeloti

tubuhmu yang selalu saja utuh”

dan obat hati yang kau tawarkan kepadaku membuat

hatiku semakin tak tentu; patah hatiku semakin parah

dan dalam kurun 17-41 tahun, aku hanya menemukan

diriku bergumul dengan ingatan-ingatan retak

pada perempuanku yang luka dan sengak

pada dadaku yang koyak

juga pada rinduku yang boyak

dan ingin kembali ke rahim bunda

: “O, bunda, masihkah rahimmu bisa menerimaku

aku kini telanjang dan ingin kembali kepadamu”

sungguh, obat hati yang kau tawarkan kepadaku

selalu membuatku selalu seperti kanak-kanak

: kencing di jalan, di got, ambruk di lorong-lorong gelap

menuju rumah, menuju kepulanganku yang indah

Surabaya, 2007

cerpen mashuri

Kejahatan Dulrokim


Aku memang mengenal sosok yang kau tanyakan. Aku biasa memanggilnya Dulrokim, seperti halnya warga lain memanggilnya. Jika kau bertanya, seberapa jauh kenalku dengan lelaki itu, aku tak bisa menjawab dengan pasti, karena nama panjangnya saja aku tak tahu. Aku hanya tahu nama panggilannya. Tetapi aku akan berkisah kepadamu sejauh kedekatanku dengannya selama ini, agar kau tahu gambaran Dulrokim dari sisi yang lain. Apalagi aku termasuk orang yang tak setuju dan sangat menentang tindakan orang-orang yang menghabisi nyawanya, lalu membakar jasadnya sampai menjadi arang. Pertama kali yang ingin kukatakan kepadamu, Dulrokim tidak sejahat yang dituduhkan. Malah ia kelewat santun untuk membunuh seekor nyamuk pun.

Kedekatanku dengannya dalam taraf biasa, tidak bisa dibilang istimewa. Dulrokim seorang yang sederhana, berasal dari sebuah kampung miskin yang terletak di sebelah barat kampung ini. Ia termasuk perjaka telat kawin. Baru setahun lalu, ia menikah dengan seorang gadis tetanggaku, ketika umurnya sudah menginjak 39 tahun. Rumahnya berjarak 7 rumah dari rumahku. Setiap kenduri, ia pasti hadir karena mertuanya sudah renta, dan ia sebagai wakilnya. Karena ia pendiam, banyak orang sungkan. Tetapi kalau sudah tertawa, banyak orang yang terheran-heran. Suaranya sangat keras dan gaya tertawanya terbahak-bahak.

Gara-gara tertawanya itulah aku berkenalan dengannya. Saat itu aku mengadakan kenduri untuk berkirim doa pada ahli kubur. Semasa hidup, almarhum ayahku pernah berpesan, ia minta selalu diselamati tiap tiga tahun sekali, agar arwahnya tenang di alam keabadian. Aku pun melangsungkan selamatan itu tahun lalu. Dulrokim aku undang sebagai tetangga baru. Seusai modin membacakan doa-doa, dilanjutkan dengan pembagian makanan ala kadarnya, aku pun berkisah soal ayahku, sampai pernik sekecil-kecilnya yang aku anggap menarik. Misalnya, ayahku yang suka kencing di dalam rumah tiap malam hari, karena tidak berani pergi ke pemandian dan sumur yang berjarak 5 meter di samping timur rumah.

Dulrokim langsung tertawa terbahak-bahak mendengar penuturanku. Aku memang agak tersinggung, tetapi karena aku belum kenal benar, aku hanya tersenyum. Begitu kenduri selesai, ia kudatangi lalu kusalami. Ketika kutatap wajahnya dengan seksama untuk pertama kali, tak ada kesan bahwa pribadi Dulrokim seburuk seperti yang sempat terlintas di benakku saat mendengar tertawanya, juga tak seperti yang dituduhkan orang-orang desa baru-baru ini, juga tak sebusuk seperti yang kau tanyakan tadi. Bahkan saat pertemuan terakhirku dengannya di telaga di depan masjid, dua hari lalu, ketika ia sedang mengambil air untuk persediaan minum keluarganya, wajahnya masih tetap sama. Tak terbersit kejahatan sedikit pun. Ia masih ramah, pendiam dan tak pernah mengobral kata, kecuali tertawanya itu.

Mungkin kau telah termakan omongan orang-orang, bahwa Dulrokim itu memiliki kekuatan guna-guna. Banyak desas-desus, ia bisa begini, bisa begitu. Omongan itu memang melebih-lebihkan. Aku bisa memastikan, ia nyaris tak bisa apa-apa untuk urusan yang berbau klenik. Ia hanya bisa mencangkul di sawah, mengambil air di telaga dan sembahyang rutin 5 waktu di masjid desa. Kemampuan membaca kitab suci Alquran pun hanya ala kadarnya. Untuk berbelanja keperluannya saja, ia tidak pernah melakukannya sendiri. Tidak tahukah kau, setiap kali Dulrokim merokok, ia lebih dulu harus memesan pada istrinya untuk membelikan tembakau di pasar desa? Begitu si istri datang, ia akan memasukan tembakau murahan ke dalam kantung plastik bersama klobot jagung yang sudah dirapikan. Ia lalu merokok dengan melinting sendiri. Lima hari sekali, ia pasti akan mengingatkan istrinya tentang tembakaunya itu.

Jika kau mendengar, ia suka keluar malam-malam, itu pun hanya ocehan orang saja yang dilebih-lebihkan. Hidupnya beralur segitiga: ke masjid, ke sawah dan di rumah. Ia tak pernah ke mana-mana. Ia pernah menginjak jalan beraspal pun mungkin hanya sekali seumur hidup, waktu ia kawin saja, karena untuk menikah ia harus ke kantor KUA (Kantor Urusan Agama) di kota kecamatan. Perlu kau tahu, ia keluar malam bukan untuk lelaku atau menyembah pohon beringin di tepi kuburan desa yang dianggap berhantu. Ia pergi ke dam kali di pinggir desa, hanya untuk berak. Ia selalu berak setiap malam ke sana, karena di rumahnya tak ada kakus. Ia tak mau nebeng di kakus tetangga sebab istri dan mertuanya sudah nebeng di sana. Ia tahu diri dan mengalah. Perihal kebiasaannya ini, aku sangat tahu, karena aku sering menemaninya ke kakus umum itu, sebab rumahku juga tak berkakus. Kau boleh percaya boleh tidak, tetapi itu memang kenyataannya, bila kau tanya kepadaku kebiasaannya yang sering keluar rumah pada malam hari.

Dan kemampuannya mengobati orang sakit gigi, itu pun berasal dari moyangnya. Aku bisa mengatakan, ia bisa mengobati sakit gigi juga secara kebetulan. Jika orang kampung berduyun-duyun kepadanya bila giginya sakit, itu karena sudah terlanjur percaya pada kemanjurannya. Mungkin kau ingin tahu soal kelebihannya tersebut, aku akan menunjukkannya kepadamu.

Pada awal musim penghujan tahun ini, gigiku sakit bukan kepalang. Gusinya bengkak. Memang banyak gigiku yang berlubang. Aku sampai mengeluarkan air mata saat menahan sakit yang tiada tara itu. Istriku langsung menyuruhku ke Dulrokim, karena kemahirannya sudah mashur di kampung. Setiba di rumahnya, aku diberinya rokok klobot, dan disuruh menghisapnya. Tetapi sebelumnya ia hisap lebih dulu rokok itu.

“Sebenarnya, ini hanya untuk keluarga, Kang!” katanya, kepadaku. “Pesan Eyang dulu begitu,”

“Tetapi banyak orang ke sini begitu?” sergahku sebisa mungkin, sambil menahan nyeri yang belum kunjung hilang.

“Aku tidak tega menolak mereka!” terang Dulrokim.

Oleh karena itu, soal tuduhan jahat yang dialamatkan kepadanya, juga aku ragu. Ia tak mungkin mampu menghilangkan nyawa manusia, bahkan hanya untuk menyakitinya. Kau mungkin harus mendengar kisahku soal kemurahan hati Dulrokim yang lain lagi, agar kau bisa menilai sendiri. Itu pun jika rasa percayamu kepadaku masih sekuat dulu dan tidak luntur.

Sebulan lalu, saat dia ingin mengganti pilar salah satu rumahnya dengan batang bambu baru, ia tak sengaja menebang bambu yang di atasnya terdapat sarang burung kutilang. Ia bukan seperti aku, atau kau atau orang-orang kampung lain, yang suka berburu burung atau mengambil sarang burung untuk mendapatkan anak-anaknya.

Ketika Dulrokim datang dari barongan1 dan memanggul sebatang bambu, kulihat ada noda merah di lengannya. Noda itu ternyata darah. Aku melihat darah itu mulai kering, tetapi lukanya masih tampak menganga.

“Kenapa tanganmu, terkena parang?” tanyaku.

Ia menggeleng.

“Lalu?”

“Aku terjatuh dan menimpa duri carang2 waktu mengembalikan sarang burung!” katanya.

Kau tahu apa responku mendengar dia berkata begitu? Aku langsung ingin tahu, karena bagiku sarang burung adalah dambaan. Jika sarang itu sudah berada di genggaman tangan, itu berarti karunia.

“Kamu kembalikan?” tanyaku, heran.

Ia mengangguk.

“Kenapa? Kalau kamu gak suka, buat aku kan bisa!” seruku.

“Ah, kasihan induknya. Nanti ia pasti mencari anak-anaknya!”

Aku lebih dari sekedar kaget mendengar jawabannya itu. Meski aku orang kampung dan hanya tamatan SMP, aku tahu, orang yang mampu berkata begini adalah orang baik. Jika kau dan orang-orang menuduhnya tidak baik dan keji, kukira itu salah sasaran. Kepada burung pun ia tak berani macam-macam, bagaimana ia bisa berbuat aniaya kepada manusia. Jelas ia tak punya keinginan untuk menyakiti, apalagi keinginan membunuh, meski dengan cara halus dan diam-diam.

Oke, aku tahu, mungkin kau ingin menjelaskan bahwa ada kasus lain yang melandasi dugaan dan tuduhan orang-orang kepadanya. Tetapi kasus itu sudah selesai. Dulrokim dengan berbesar hati sudah minta maaf, malah ia sangat menyesali keteledorannya. Ia juga bercerita kepadaku duduk perkara sebenarnya.

Petang itu, aku baru saja ikut jamaah Magrib, lalu duduk di serambi masjid. Tak biasanya Dulrokim datang dan menemaniku duduk-duduk di sana sambil menikmati pemandangan di telaga, karena biasanya ia akan langsung pulang begitu shalat usai. Kulihat wajahnya begitu murung. Selama ini aku tak pernah melihatnya wajahnya semendung itu. Aku tanggap, ia pasti sedang tertimpa masalah. Apalagi sore tadi aku sudah mendengar selentingannya. Ia pun berkisah tentang persoalannya pada waktu siang di sawah.

“Kang, aku tidak tahu, jika di kampung ini ada peraturan irigasinya. Aku tadi langsung membuka pintu air, tanpa permisi pada Kang Jali, yang sawahnya di atas garapanku. Kang Jali marah besar, aku dikatainya tidak tahu diri, tidak tahu adat dan sopan santun,” Dulrokim membuka ceritanya.

“Aku langsung membalik omongannya, karena aku merasa tidak bersalah. Untung ada Matroji, yang sawahnya berada di bawah sawahku. Ia lalu mengatakan peraturan irigasi kampung ini kepadaku. Jika tidak, mungkin aku tetap ngotot dan persoalannya menjadi lain, karena Kang Jali terus saja menghardikku sambil mengacungkan sabit,” lanjutnya.

“Terus?” pancingku.

“Ya, karena peraturannya demikian, berarti aku yang salah. Aku langsung minta maaf pada Kang Jali.”

“Beres kan?!” seruku.

Ia menggeleng. “Sepertinya Kang Jali masih marah. Ia pergi dengan mengumpat-umpat, misuh-misuh. Bagaimana lagi lha wong aku yang salah!” sambungnya.

Aku memang tak memberi jalan keluar waktu itu. Namun aku sadar, siapa yang tak kenal Kang Jali di kampung ini. Ia seorang yang tak ingin disepelekan, ia bermartabat. Maklum keponakannya adalah lurah, dan besannya H. Misnan adalah pengusaha penggilingan padi yang paling kaya di kampung. Aku hanya menasehatkan agar ia bersabar. Jika ada waktu, ia kusarankan agar sowan ke rumah Kang Jali. Tetapi saranku itu ternyata sudah terlambat.

“Dari sawah tadi, aku langsung ke rumahnya,” potong Dulrokim.

Aku terkesima. “Terus?”

“Hanya istrinya yang menemuiku. Katanya, Kang Jali sedang istirahat, tetapi aku sudah berpesan pada istri Kang Jali, agar maafku disampaikan kepada suaminya. Bagaimanapun aku yang keliru,” tutur Dulrokim.

Dia tidak jahat bukan? Meski aku tidak tahu persis latarbelakang keluarganya di desa sebelah, tetapi dari omongannya dan tingkah lakunya sehari-hari, aku tahu, ia bukan orang yang suka bikin masalah. Jika kau ingin mendesakku, agar aku bercerita tentang kebusukannya, kukira kau tidak akan menemukannya dan kau menemui orang yang salah. Aku memang tidak seakrab yang dikira orang, tidak sedalam seperti yang kau kira, karena ada hal-hal lain yang aku tak mengetahuinya, seperti latarbelakang keluarganya yang aku sebutkan tadi, juga bagaimana hubungannya dengan istrinya, hubungannya dengan mertuanya yang sudah renta dan pikun serta pernik kegiatan keseharian dia lainnya. Tetapi aku bisa menjamin dia tidak akan memiliki pikiran membalas dendam, seperti yang dituduhkan.

Jika setelah peristiwa itu, Kang Jali jatuh sakit, penyebabnya bisa seribu satu lebih. Tidak bisa dipastikan, sakitnya itu karena digunai-gunai Dulrokim. Ia tidak sekeji itu. Sudah berulang-ulang kukatakan, ia tidak memiliki pikiran membalas dendam. Bahkan, setelah pertemuanku dengannya di serambi mesjid perihal usahanya minta maaf pada Kang Jali, ia masih terus berupaya agar Kang Jali memaafkannya. Terlalu naif, bila ada orang menuduh sakit Kang Jali karena ulah Dulrokim. Dulrokim bukan tukang santet yang ahli guna-guna dan bisa membuat orang jatuh sakit atau mati, ia malah tak tahu soal mengerikan yang satu itu. Aku pernah memastikan sendiri tentang kemahirannya soal guna-guna ini.

“Kau pernah puasa, agar bisa mengobati orang sakit gigi?” tanyaku, waktu aku minta bantuan mengobati gigiku, ketika nyeri gigiku terasa sudah berkurang. Waktu itu rokok yang diberikannya kepadaku sudah aku hisap dan hampir habis.

“Porsi makanku banyak, Kang. Mana kuat aku puasa!”

“Tapi kok manjur?”

“Kata Eyang, waktu berdoa, aku harus yakin. Aku hanya diberi doa oleh beliau, tak disuruh puasa, karena aku juga bilang ke beliau, aku tak kuat puasa,” tutur Dulrokim.

“Selain mengobati sakit gigi?” tanyaku.

“Tidak ada, Kang. Aku tak bisa apa-apa. Tadi aku sudah bilang, ini pun untuk kalangan terbatas, hanya untuk keluarga,” terangnya.

Kau perlu tahu, Dulrokim berkata kepadaku secara langsung. Aku mendapatkannya dari sumber pertama. Jika ada orang bilang, ia mampu lebih dari sekedar mengobati sakit gigi, kukira itu hanya bualan. Kau juga perlu tahu, aku percaya padanya karena ia tak pernah berbohong dan menyakiti siapapun. Maka aku sendiri heran, bagaimana ia bisa dituduh dengan sangkaan sekeji itu: tukang santet. Kukira jika penanda dakwaan itu hanya mimpi, itu penanda yang salah kaprah. Kukira mimpi yang diwartakan Kang Jali adalah malapetaka. Bukankah tak ada yang tahu pasti kebenaran mimpi? Bisa saja Kang Jali mengarang cerita mimpinya itu, karena siapapun tak bisa menyanggahnya karena yang mengalami Kang Jali sendiri. Bisa pula Kang Jali memang bermimpi demikian, tetapi bagaimanapun mimpi tak bisa langsung dikaitkan dengan kenyataan dan dipastikan demikian adanya.

Terus terang aku sangat bersedih, ketika Kang Jali menceritakan mimpinya pada semua orang yang datang ke rumahnya saat membesuknya. Apalagi sebelumnya, kabar tersiar demikian gencar bahwa Kang Jali punya masalah dengan Dulrokim. Ia selalu mengulang-ulang cerita mimpinya terhadap siapa saja: pada saat ia merasa tubuhnya sakit, malamnya ia bermimpi Dulrokim menaruh rambut di cangkir kopinya dan ia tak sengaja langsung meminumnya. Aku yakin kau sudah pernah mendengar mimpi itu dengan berbagai tambahan bumbu penyedap dan lebih lengkap. Intinya Dulrokimlah yang membuat Kang Jali tak bisa bangun dari tempat tidur, karena separuh tubuhnya lumpuh.

Aku sangat menyesalkan mimpi itu ditelan mentah-mentah oleh orang-orang lalu disebarkan dari telinga ke telinga dengan berbagai tambahan. Pada akhirnya menjadi gunjingan di berbagai kesempatan. Sakdawa-dawane lurung, isih dawa gurung3 . Mungkin kau tahu arti pepatah Jawa itu. Jika sakit dan mimpi itu mengenaiku, mungkin tidak masalah karena aku hanya warga kampung biasa. Tetapi ini terjadi pada Kang Jali, sosok yang dihormati dan terpandang di kampung ini, serta memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang desa. Kau tahu sendiri betapa kuat pengaruh Kang Jali di sini dan kau sendiri tahu seberapa terpandang dia di mata khalayak. Pengaruhnya tidak hanya kepada kepala desa, tidak hanya kepada besannya yang kaya raya, tapi juga kepada warga yang rata-rata pendidikannya rendah dan cara berpikirnya sederhana.

Aku sangat terpukul, ketika kemarin malam, warga beramai-ramai mendatangi rumah Dulrokim dengan dipimpin aparat desa. Baru kali itu aku melihat warga demikian kalap. Tanpa basa-basi, mereka menyerbu rumah Dulrokim, lalu menyeretnya ke halaman dan menghajarnya dengan berbagai siksaan. Mereka terus menggebuki dan melukai Dulrokim dengan benda apa saja, meskipun dari mulut Dulrokim melolong minta ampun, meskipun tangis istri dan mertuanya meraung-raung. Tetapi siapa yang bisa menahan amarah massa? Orang-orang malah berteriak: “Bantai dukun santet, cincang dukun santet, sate dukun santet!” Puncaknya, mereka menghabisi nyawa Dulrokim dengan kesadisan tiada tara. Sekujur tubuhnya tak lagi berupa tubuh. Kedua kaki dan tangannya patah karena memang sengaja dipatahkan, wajahnya hancur penuh luka, isi perutnya tumpah-ruah, tulang-belulangnya remuk, dan... Maaf, aku tak bisa meneruskannya. Maaf.

Waktu itu aku sangat marah, sedih, geram, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku pun tak kuasa menyaksikan semuanya, juga saat sekujur jasad Dulrokim yang berlumur darah dan tak berbentuk manusia itu disiram bensin lalu dibakar. Aku pun tak bisa menyaksikan, ketika rumahnya yang berdinding dan berpilar bambu itu dirobohkan massa. Hatiku sakit. Perih. Hancur. Aku merasa ngilu memikirkan nasib keluarganya kelak, termasuk nasib istrinya, juga mertuanya yang renta. Ini bukan semata-mata karena selama ini Dulrokim yang menjadi tulang punggung mereka, tetapi mengenai nama baik mereka di mata warga yang sudah hancur.

Ah, sudahlah. Aku memang tak kuasa memaparkan semuanya karena paparan tragedi ini sebenarnya masih bisa kau endus bila kau melewati puing-puing kediaman Dulrokim, serta bekas-bekas darah yang masih tercecer di sana. Kisah lengkapnya masih bisa kau dapat, bila kau datang ke kerumunan warga yang akan langsung bertutur tanpa perlu ditanya, tentang kegagahannya dalam pembantaian penuh amarah yang mereka sebut dengan penyerbuan demi ketentraman. Tetapi jangan lagi berharap aku memaparkan keburukan-keburukan Dulrokim. Aku ingin kau tahu, aku tidak hanya sedih, aku merasa sangat berdosa karena membiarkan pembantaian itu berlangsung. Aku tak habis pikir, di zaman begini masih ada orang mati gara-gara mimpi yang tak diketahui dengan pasti ujung pangkalnya, gara-gara kemampuannya mengobati sakit gigi, juga gara-gara ada seorang tokoh yang merasa dilangkahi martabatnya walau orang yang melakukannya tak sengaja dan sudah menyembah si tokoh untuk sekedar minta maaf. Aku berharap kau melihat semuanya dengan jernih karena Dulrokim bukan senista seperti yang dituduhkan orang, tak sejahat seperti yang disangka Kang Jali.

Aku berujar demikian, karena aku yakin kau bisa memahami dan menimbang masalah ini dengan lebih adil. Harapanku padamu sangat besar agar peristiwa ini terkuak dengan sudut pandang yang seimbang, sebab kau satu-satunya warga kampung ini yang telah menempuh pendidikan hukum di perguruan tinggi. Aku yakin pikiran-pikiranmu lebih dewasa dan lebih berisi dari aku, juga lebih berbobot dari sebagian besar warga desa yang rata-rata masih buta huruf. Aku berani berkata begini karena aku yakin kau mampu mengatasinya, meskipun kau putera Kang Jali.

Kalikepiting-Siwalanpanji, 2007



1 Rumpun bambu

2 Ranting bambu

3 Sepanjang-panjangnya lorong, masih panjang tenggorokan. Artinya: sepanjang-panjang lorong, masih panjang omongan atau gunjingan orang.


Selasa, 04 Desember 2007

proses kreatif

Dari Sebuah Titik ke Titik yang Lain

Oleh Mashuri

Selama saya berproses, saya merasa antara karya saya yang satu dengan karya lainnya itu ditempa dan dilalui dengan proses yang berbeda. Antara prosa dan puisi, juga dirangkai dan ditemukan dalam proses yang berbeda pula. Tentu bukan hanya bertaruh perihal bentuk semata, tapi juga nalar estetik, kegelisahan, juga gagasan yang melingkupinya.
Terus terang, saya merasa memaparkan proses kreatif itu bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, saya berusaha memaparkannya.

Sebenarnya, dalam proses kreatif puisi, saya pernah mengungkapkannya dalam sebuah even beberapa waktu lalu. Tentu paparan saya itu berbumbu kegenitan, juga keangkuhan, sebagaimana yang kerap muncul dan melekat pada diri penyair, apalagi penyair yang bertradisi puisi gelap, seperti saya. Tradisi yang saya maksudkan adalah beberapa tradisi perpuisian, baik itu dunia, Indonesia maupun Jawa, yang saya suntuki selama ini, yang ada di antaranya mungkin tidak tercatat dalam sejarah sastra.
Meski demikian, saya tak bisa menepuk dada sebagai seseorang yang sudah selesai dan menemukan bentuk atau gaya pengucapan yang final dan sempurna. Saya jauh dari itu. Saya selalu merasa, apa yang telah saya tulis itu barulah mula. Apalagi tak jarang, puisi-puisi saya menjadi sesuatu yang lain, yang kadang menyerang dan menolak untuk saya taklukkan. Pun dari sinilah saya bisa menimba satu kearifan, bahwa sebenarnya sang penyair itu bukanlah manusia super. Ia juga manusia.

Berikut ini saya sertakan pengakuan proses kreatif saya, terkait dengan puisi, yang saya tulis dalam rangka Temu Sastrawan Jawa Timur 2003, di Blitar, 19-21 Juli 2003. Pengakuan ini tanpa saya tambahi atau saya kurangi. Kala itu, saya mendaku diri sebagai orang ‘dikenal sebagai penyair dan penggurit’. Saya menyertakannya dalam kesempatan ini, dengan pertimbangan, untuk melihat sejauh mana saya berkembang. Sejauh mana saya telah bergeser dari satu titik ke titik lainnya. Saya khawatir, jangan-jangan saya masih berkubang di tempat mula dan hanya berjalan di tempat dalam memahami diri saya sendiri dalam ‘mencipta’.

“Ketika saya diminta menulis proses kreatif saya, terus terang saya mengalami kesulitan. Tetapi, saya berusaha merumuskannya, meskipun rumusan saya ini hanya sekilas saja. Siapa tahu, dari yang sekilas itu bisa diperoleh gambaran yang lebih tuntas.
Bagi saya, menulis puisi adalah berusaha menyadari masa lalu, serpih-serpih ingatan yang berserak dan keterputusan ruang yang mengambang. Dalam berpuisi, saya seperti diseret untuk lebih mengenal lebih dekat artefak-artefak yang ada di luar kesadaran saya itu, untuk bersentuh, berakrab ria dan merumuskan sebuah ungkapan-ungkapan puitis. Di sana, saya berhadapan dengan sejuta peristiwa yang bergemuruh, yang menantih untuk saya sentuh. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam kepala saya.
Memang tidak selamanya, saya mampu merumuskan perjumpaan dan persinggungan itu. Ada celah-celah yang saya sadari sukar untuk dimasuki, karena saya sendiri merasa dalam celah yang tak terbatas terra incognita. Di sana, suara-suara memang kerap ramai terdengar dan kadang sepi, dan di sanalah saya kerap merasakan adanya persinggungan itu.
Jika kemudian sering mengangkat konsepsi waktu, unsur-unsur mitologi, dengan renik puitiknya, hal itu karena saya tak kuasa menghadapi tekanan dari dalam diri untuk merangkum suara-suara itu. Suara itu memang tak sepenuhnya dapat saya rangkum, terkadang patah-patah, karena ketika kata-kata yang ada meloncat keluar, ia berada di ruang kontrol kesadaran saya. Saya bisa memilihnya dan bisa membuangnya, sesuai dengan kebutuhan saya dalam menyusun puisi.
Terkadang saya terjatuh pada posisi yang ektrem, sarkas dan penuh umpatan. Bahkan saya kadang sering mendedahkan ungkapan-ungkapan yang tak layak dikonsumsi. Tetapi, saya menganggapnya sebagai sebuah bentuk kemurnian dari ucapan. Kesadaran saya berusaha menyaringnya dan ternyata hasilnya memang mengarah pada ungkapan semacam itu. Karena itu, saya anggap sebagai bentuk kesadaran saya.
Jika kemudian itu menjadi pilihan puitik saya, itu juga bukan tanpa latar belakang yang panjang. Latar kultural saya memang tidak bisa dikesampingkan dalam hal ini. Saya seperti memiliki semacam persepsi dan visi terhadap ruang lingkup penciptaan yang tidak bisa dilepaskan dari ruh kultur yang melahirkan saya. Saya memiliki keinginan untuk ‘membaca’ kembali, sekaligus mendobraknya, dan itu sudah terasa mengakar dalam pola kreasi yang saya hasilkan.
Untuk menunjang pengembaraan saya, seputar kearifan hidup, wacana dan segala hal yang berada di luar diri saya, saya menggunakan bacaan-bacaan sebagai pembanding. Hanya saja, semuanya tadi, hanya sebagai semacam masukan untuk memperkaya apa yang sudah ada di kepala dan ingatan saya, meski retak, luka dan berpatahan.
Di atas luka dan dendam sejarah itulah saya berpuisi”.

Sebagai seorang yang masih berproses, jemari saya kerap gatal untuk menambahi atau merevisi pengakuan proses kreatif saya tersebut. Sebab pada perkembangannya saya menemukan hal-hal baru dalam proses saya berpuisi; hal-hal itu tidak demikian ‘muluk’ untuk memberi notasi besar pada sebuah perubahan dalam berbahasa, alih-alih dalam kehidupan yang demikian luas dan maha-kompleks. Tak jarang, saya hanya ingin bertaruh dalam wilayah kemanusiaan saya: bertaruh diri menjadi saksi atas hidup dan kehidupan, berdedikasi pada ‘wilayah’ saya dengan segenap kemampuan, juga menyulut orang lain untuk berkarya.
Saya hanyalah seorang manusia biasa.

Dalam prosa saya memiliki pertaruhan yang berbeda dengan puisi. Saya demikian sadar, bahwa ada ide, gagasan atau hal-hal yang lebih bagus dan tepat ditulis dalam bentuk puisi, tetapi ada juga yang sangat tepat untuk ditulis dalam bentuk prosa, baik itu cerpen maupun novel. Meski demikian, bukan berarti saya abai pada adanya kemungkinan menyuguhkan sebuah karya dalam bentuk puisi-prosa atau prosa-puisi, senyampang saya menikmatinya, serta ada alasan ‘tertentu’ yang melatarinya, baik dalam pertaruhan estetik maupun tuntutan kreatif.
Dan, ketika saya memutuskan menuangkan kegelisahan dan gagasan saya dalam novel, seperti Hubbu dan yang sekarang sedang saya garap, saya pun punya pertimbangan tersendiri. Saya merasa, kegelisahan saya itu cukup tepat ditulis dalam prosa. Bukan berarti hal itu mematikan insting puitif saya, karena bagaimana pun saya bermula dari puisi; Bila dalam prosa saya bertabur puisi dan puitis, saya itu hal yang lumrah saja.

Namun begitu, saya masih tetap memiliki acuan yang selalu menjadi dasar saya berproses. Acuan saya tetaplah saya seorang yang bolak-balik pulang antara tradisi dan kekinian, antara yang lalu dan sekarang, antara mitos dan logika. Tetapi segalanya saya ikhtirkan beralur pada tradisi, tetapi dengan cara baca yang lain. Saya tak bisa mencecap kemurnian pembangkangan seperti seorang Malin Kundang terhadap Bunda, pun saya tak bisa terus terpesona oleh sihir Bunda sebagaimana Sangkuriang dan selalu ingin memilikinya.
Perihal personifikasi ‘strategi’ menghadapi tradisi dan kekinian ini, saya kerap berlaku sebagai Arok, yang begitu berhasrat pada dunia dan ingin merengkuhnya. Saya kerap bertindak: merebut sesuatu yang bukan milik saya untuk menjadi milik saya, dengan menambal sulam apa yang sudah ada atau memenggal yang usang. Saya kerap bertindak sebagai seorang Jawa yang lain, Jawa yang tak menunggu, tapi tetap berpijak pada jejak-jejak yang masih ada untuk melangkah lebih jauh.
Di daerah saya, di Lamongan yang kampung itu, begitu banyak situs, mitos, keyakinan, dan ‘peninggalan lama’ yang sebenarnya ‘merampok’ dari khasanah lain atau khasanah yang sudah mapan di belahan Jawa yang lain. Semisal Semar, Joko Tingkir, Damarwulan-Ratu Kenconowungu, lokasi perang Bubat dengan terbunuhnya puteri Sunda Diah Pitaloka, muasal Gajah Mada, Dewi Sekardadu dan lainnya. Tokoh-tokoh atau peristiwa yang pada zamannya memang menjadi ikon dan penanda dari sebuah zaman.

Namun saya bukanlah ‘Arok’ yang utuh. Saya bukanlah seseorang yang berambisi merebut sesuatu dengan membabi buta, lalu menjadi perubah sebuah kondisi. Saya hanya melakukan apa yang saya mampu dan mungkin saya bisa lakukan dengan kemampuan saya. Saya pun berperan sebagai seorang yang dengan kebetulan dikaruniai obsesi, lalu ingin mewujudkan obsesi itu. Obsesi yang tentu berpulang pada potensi diri.

Dengan sikap batin itulah, Hubbu saya tulis. Saya pun sangat bererendahhati mendaku bahwa novel ini bukanlah novel yang sempurna. Saya hanya ingin bercerita perihal dunia yang pernah saya cecap: dunia pesantren, dusun-kampung-desa, pewayangan, mitologi; sederet dunia yang ketika berhadapan dengan dunia kota, yang juga pernah saya cecap, kadang mengalami berbagai reduksi, transformasi, juga ihwal yang bernama keterpenggalan dan keterpecahan.
Mungkin pandangan saya itu terlalu moralis, juga terkesan klise dan kuno, apalagi ketika saya membenturkan antara desa yang bercitra damai dan alami dengan kota yang riuh. Realitas sekarang yang terjadi seakan membalik itu. Namun, saya mencoba menggali lebih jauh. Saya menemukan sesuatu: sebenarnya ada yang keliru dengan pertumbuhan kota-kota kita, desa-desa kita, juga tumbuhnya kedasaran kita perihal ruang. Saya merasa ada yang kurang pas dan dipaksakan ketika citra antar tempat itu ‘disamaratakan’, disatubahasakan. Saya melihat bahwa antara kota dan desa itu harus tetap ada dan berbatas.

Mungkin juga terkesan klise jika saya terus menerus mendesakkan hal lainnya: bahwa ada yang salah dalam pemahaman masa lalu kita. Memang, di balik kekinian kita itu ada masa lalu, tapi sebuah masa yang masih bisu. Kekinian kita begitu terasa tanpa akar, meski sebenarnya akar itu ada. Namun akar itu tak pernah bisa dilihat dengan jelas. Saya selalu dihantui dengan satu ‘kenyataan’: ada yang salah dengan masa lalu yang sampai ke saya. Saya selalu gelisah bila memikirkan itu. Sungguh.

Ketika saya harus memenggal masa lalu, terlalu banyak risiko. Saya termasuk orang yang tak begitu tegar untuk bersayonara dengan silam saya, lalu melenggang dengan tanpa melihat ke belakang. Spionpun rasanya tak mencukupi jiwa saya untuk menyantuni gugatan dari masa lalu saya.
Saya merasa trauma sejarah yang ada selalu saja berkutat pada tempat yang sama, ditutupi dan tidak dibongkar agar ada kejelasan dan kejernihan. Saya yang merasa belum tuntas dengan masa lalu, lalu dihajar dengan ‘proyek’ masa depan yang demikian menantang dan terbentang di depan mata. Juga begitu menggoda.

Saya sangat menggelisahkannya. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana rupa masa depan saya, jika masa lalu tak berpunya, sedangkan masa kini tak berdaya. Apalagi yang saya hadapi kini adalah dunia, dengan dinamika yang deras, dan percepatan yang luar biasa. Saya sering membayangkan diri saya limbung, dan pada akhirnya terpecah.
Saya sangat tak nyaman melihat kondisi itu. Saya melihat masa depan saya begitu bermasalah, penuh ranjau. Meski saya tahu perkembangan teknologi canggih, tapi sebenarnya saya tak turut di dalamnya. Diam-diam saya menolak percepatan yang demikian luar biasa dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Saya merasa disapih. Pun jika saya turut, itu pun karena tuntutan sosial saya. Adakalanya saya merasa, saya tidak bisa hadir di sana, saya sengaja dihadirkan dan dipaksa hadir. Saya merasa diperbudak!

Itulah beberapa kegelisahan saya. Kegelisahan yang mendasari saya berproses.

Awalnya, gagasan yang merasuk ke Hubbu adalah gagasan awal dari tesis saya. Perihal masa lalu dan masa kini, juga masa depan. Namun saya berpangkal pada titik tolak yang agak spesifik: belum tuntasnya bangunan Islam dan Jawa yang sering disebut dengan jargon gagah sinkretisme Islam-Jawa. Saya melihat, sinkretisme yang diandaikan damai dan berhasil itu sebenarnya belum selesai. Masih menyisakan celah dan masalah.
Saya menelusurinya ke berbagai bukti tertulis, juga bukti keseharian, yang menunjukkan bahwa Islam-Jawa yang dianggap sudah menyatu itu ternyata masih juga harus dibenahi. Dalam satu sisi, saya seperti Nietzsche yang menemukan bahwa ‘patung’ filsafat barat yang diandaikan mulus di luar itu ternyata berlubang di dalamnya. Dan, saya begitu berahi untuk melihat lubang itu. Di sisi yang lain, saya kurang bisa mengukur seberapa banyak pengetahuan masa lalu yang terpenggal dan tak sampai ke saya.
Oleh karena itu, saya merunutnya lewat tradisi. Apalagi kebetulan, saya adalah anak dari tradisi. Di sinilah, saya pun berusaha masuk dalam wilayah simbol yang menjadi latar kultur saya. Kebetulan saya termasuk dalam ‘Jawa yang lain’ dalam istilah Denys Lombard. Jika Jawa diandaikan itu sebagai dunia yang subur dan hijau, saya adalah Jawa yang berdebu, berada di sekitar pegunungan kapur utara, dekat pesisir, dengan pemukiman yang berderet sepanjang jalan yang gersang.

Dalam Hubbu saya menghadirkan sebuah desa Jawa yang hijau, yang dikepung persawahan, dengan kali-kali gemericik, dengan ikan-ikan kecilnya. Meski desa yang saya sebut adalah Alas Abang, sebagai sebuah semesta Jawa yang ndesit, alias udik, tetapi sebenarnya saya ingin membalik anggapan yang sudah ada. Kaum Abang atau Abangan, dalam jagat ‘agama’ Jawa, dianggap tidak Islami. Di sini, saya mencoba memberi nuansa Abang atau Abangan yang Islami. Siapapun tahu, dalam trikotomi Geertz, Abangan selalu saja dianggap tidak Islami.


Di sisi lain, saya menulis Hubbu tidak dalam konsentrasi yang melulu dan tercurah begitu penuh. Jadi waktu persisnya berapa lama saya tulis pun saya tak bisa memastikannya. Saya menulisnya di sela-sela kesibukan saya yang waktu itu memang sedang banyak. Kebetulan saya bekerja sebagai jurnalis sebuah harian di Surabaya. Pun saat itu saya dipercaya kawan-kawan mengelola Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Pun saya kebetulan juga sedang berikhtiar untuk memasu ilmu di pascasarjana di sebuah institut agama negeri di Surabaya.
Titik picunya memang ketika saya sedang gelisah terkait dengan tesis. Meski begitu, gelisah saya sebenarnya berakar cukup panjang seperti yang sudah saya ungkapkan tadi. Yang dari kegelisahan itu saya mengumpulkan data-data. Saya pun kesulitan untuk menelusuri dengan pasti bagaimana tesis yang ilmiah, melompat ke ranah imajinasi. Saya merasa ada sebuah titik singgung yang menjembatani tema yang sedang saya geluti dengan nalar fiksi saya. Dalam pergulatan itu, ternyata bukan tesis yang selesai, tapi novel yang ‘jadi’. Saya memberi tanda kutip pada jadi, karena bagi saya, jadi itu bukanlah sebuah akhir. Hingga kini tesis saya tak kunjung rampung.
Saya menyadari bahwa penyampaian tesis dan novel berbeda, jika tesis saya bila menguak sesuatu menjadi demikian runut dan gamblang dan merujuk pada buku-buku dan hasil penelitian yang sudah ada, tapi dalam sastra saya mencoba dan bertaruh dengan sesuatu yang lain. Ada yang sebenarnya bisa digamblangkan tapi saya rasa kurang ‘fair’ jika ditulis apa adanya. Pun saya bermain dalam wilayah fiksi yang tentu saja memiliki kaidah-kaidah fiksi, yang kadang lebih asyik jika main umpet-umpetan, atau kadang asyik hanya menyediakan ruang bagi pembaca, sehingga pembaca bisa mengisinya sendiri, dengan imajinasi dan pengetahuannya.

Dan, yang terpenting bagi saya adalah Hubbu bisa menggelitik orang untuk menulis atau membaca yang lain, atau merunut pengetahuan lainnya, sehingga menghasilkan karya baru dan memperoleh pengetahuan yang baru pula. Jika di Surabaya, maka kata itu bisa berarti: “Aja golek matengan ae, Cuk!” alias, jangan hanya cari yang sudah jadi, Kawan! Dengan kata lain, saya hanya ingin menunjukkan jalan dan silahkan lewati sendiri. Apakah saya menyusahkan dan membebani pembaca? Saya kira, tidak juga. Saya menganggap pembaca itu cerdas. Ada kalanya, seorang penulis memang membuat karya khas dan hanya pembaca yang tekun yang bisa melihat kedalamannya.

Demikianlah, sekelumit proses kreatif saya. Semoga bisa menjadi kisi-kisi yang mampu membuka ruang diskusi yang khusyu’ dan menyenangkan. Semoga saya adalah seseorang yang bisa lebih baik dari kemarin, sudah melangkah dari satu titik ke titik lainnya. Juga tetap tawadlu’ dan istiqomah dalam berprores. Wallahu muwafiq ila aqwamit-thariq! (*)

 Disampaikan dalam diskusi proses kreatif yang diselenggarakan Institut Nalar Jatinangor, tanggal 7 November 2007 di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) Fakultas Sastra, Unpad.

pemburu ilmu

Mashuri yang berhasrat untuk selalu berburu ilmu ini lahir di Lamongan, 27 April 1976. Jebolan dua Pondok Pesantren di daerah kelahirannya (PP Salafiyah Wanar dan PP Ta’sisut Taqwa Galang). Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga Surabaya (2002). Skripsinya: Wacana Dekonstruksi dalam Novel Durga Umayi karya YB Mangunwijaya. Jebolan jurusan Filsafat Islam di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Antologi puisi tunggalnya dalam edisi terbatas Jawadwipa 3003 (Gapus, 2003) dibacakan di Fakultas Sastra Unair dirangkai dengan teaterikalisasi, musikalisasi dan diskusi. Antologi puisi tunggal lainnya Pengantin Lumpur diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim) dan Surabaya Poetry Community (2005). Kumpulan puisi terbarunya Ngaceng (Pustaka Pujangga dan FS3LP, 2007). Novel pertamanya ‘Hubbu’ dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam lomba penulisan novel DKJ 2006 pada tanggal 9 Maret 2007 di Teater Kecil, TIM Jakarta, dan diterbitkan Gramedia (Agustus, 2007).
Selama ini, belajar berkesenian di Teater Gapus. Aktif di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Pernah dipercaya sebagai Litbang PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). Pernah menjadi kontributor tetap rubrik Ngaji Sastra di harian Duta Masyarakat (hasil kerja sama harian tersebut dengan FS3LP). Tulisan-tulisannya, terutama puisi, esei dan sedikit cerpen, pernah dipublikasikan di Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Puisi, Majalah Aksara Imajio, Majalah Kidung, Majalah Sinduh, Jurnal Aksara, Jurnal Thought, Jurnal Atavisme, Jurnal Jembatan Merah, Karya Dharma, Surabaya Post, Media Indonesia, Kompas, Kompas Jawa Timur, Republika, Surabaya News, Lampung Post, Jawa Pos, Surya, Memorandum, Rakyat Merdeka, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Duta Masyarakat, Buletin Sastra Epik, Jejak, Telunjuk, On-Off, dan sejumlah media kampus, seperti Gatra, Situs, IAIN News serta dalam beberapa situs seperti Inspirasi (situs AIAA Australia) Jaringan Islam Liberal, Satu Arah (Malaysia) dan beberapa situs internet dan media lainnya.
Puisinya juga terkumpul dalam beberapa antologi puisi bersama seperti: Refleksi (Gapus, 1995), Seribu Wajah Lilin (Gapus, 1997), Menguak Tanah Kering (Gapus, 2000), serta dalam beberapa buku puisi seperti Manifesto Surrealisme (FS3LP dan Galah Yogyakarta, 2002), Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Antologi Penyair Jawa Timur 2004 (Festival Seni Surabaya, 2004), Duka Aceh Duka Bersama (DKJT, 2005), Mahadukka Aceh (Pusat Dokumentasi HB Yassin, 2005), Malsasa 2006 (Forum Sastra Bersama Surabaya, 2006), Festival Mei (Forum Sastra Bandung, 2006), Khianat Waktu (Dewan Kesenian Lamongan, 2006) Kentrung Jancukan (Gapus, 2006) dan beberapa antologi puisi lainnya. Salah satu cerpennya juga terdapat dalam kumpulan cerpen Black Forest (Festival Seni Surabaya, 2005) dan Secangkir Kopi dan Sebatang Rokok (Gapus, 2006). Juga, aktif menulis puisi dalam bahasa Jawa (guritan) dan sering dipublikasikan di media, seperti: Jaya Baya, Telunjuk, Surabaya Post, Suket Surabaya News, dan Damar Jati.
Eseinya terdapat dalam buku Sastra dan Mistisisme Jawa (Lanskap Indonesia dan Fakultas Psikologi Unair, 2003) dan Provinsi Para Penyair (Gapus, 2006). Kini sedang menyiapkan buku Ngaji Sastra (kumpulan esei) dan Kritik Dekonstruksi (revisi skripsi). Selain itu, juga mempersiapkan antologi guritan Njaran Kepang.
Untuk menyambung hidup, sejak 1999 bekerja sebagai wartawan/redaktur di harian Memorandum dan sejak 2006 bekerja di Balai Bahasa Surabaya sebagai tenaga teknis kebahasaan dan kesastraan.
Email: misterhuri@yahoo.com,