Rabu, 05 Desember 2007

puisi mashuri

Asbak

di asbak, peluru masih saja mengepulkan asap

aku ingat lisong yang baru dihisap

kau memungutnya satu dan kau pasang di jantungmu

aku pun bertanya: “kenapa kau pasang bom waktu”

tapi senyummu bagai malaikat yang baru terbangun

dari tidur panjang; membuatku bebal dan kikir

untuk merapal tafsir

“aku hanya asbak,” jawabmu. “muasal jejak

tapi aku ingin kalis dari arang, dari pembakaran”

kini, aku yang tersenyum

diam-diam aku pasang peluru itu di mataku, di hatiku

juga di seisi kepalaku

aku pun berbisik kepadamu: ‘maaf, serdadu, kita

telah salah sangka; ini hanya pena

bukan peluru, dan asbak itu adalah sabak

tempat kita parkir sejenak, lalu melupa pada jejak”

Surabaya, 2007

Giri

di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga berpuluh

di dekat penjual gambar, foto, ayat-ayat, di dekat lampu neon

10 watt, di dekat orang-orang bersamalam, makan, berjabat untuk

saling mengingat, di dekat para santri yang ngaji, di dekat pengemis

yang mengais-ngais hati peziarah, di atas tanah, di dekat arca angsa-naga,

di dekat nisan-nisan tua, di dekat masjid tua, di dekat mihrab, di tengah

ratap, di ujung gelap, di antara papan peringatan: jangan memotret, di dekat

tulisan Sunan Giri, Sunan Giri I, Sunan Giri III, di samping luka

yang menganga di tubuh waktu; sejarah mulai lupa, ada tanggal yang tanggal

dari almanak; dadal; tapi ada yang menghitung 21, 23, 25, 27, 29, tapi

angka-angka itu bukan tahun-tahun suram, bukan bukti pembantaian

itu sebuah malam lain; di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga….

Surabaya, 2007

* Malam likuran: 10 malam terakhir dalam bulan Ramadan

Tongseng

obat hati yang kau tawarkan kepadaku adalah bir

dengan gambar yang selalu kutuju: perempuan

tapi perempuan itu tak kunjung telanjang

meski sejak 17 tahun, aku memelotinya dengan

segenap pandangku; kini, di usiaku yang ke-41

perempuan itu masih saja mengenakan pakaian

malah aku yang sering telanjang begitu menenggak

isi botolnya: ah, dasar keparat juga

bir cap perempuan ini; aku selalu bergelap

untuk menguji nyali tentang kesabaran

dan kepastian menunggu; aku pun sering mengigau

“hai perempuan di gambar, jika kamu tak kunjung

melepas pakaian, bagaimana bisa aku mengupas

tubuhmu

jangan biarkan aku menunggu, dengan mengompas

anak-anak di gang, agar aku bisa mereguk dan memeloti

tubuhmu yang selalu saja utuh”

dan obat hati yang kau tawarkan kepadaku membuat

hatiku semakin tak tentu; patah hatiku semakin parah

dan dalam kurun 17-41 tahun, aku hanya menemukan

diriku bergumul dengan ingatan-ingatan retak

pada perempuanku yang luka dan sengak

pada dadaku yang koyak

juga pada rinduku yang boyak

dan ingin kembali ke rahim bunda

: “O, bunda, masihkah rahimmu bisa menerimaku

aku kini telanjang dan ingin kembali kepadamu”

sungguh, obat hati yang kau tawarkan kepadaku

selalu membuatku selalu seperti kanak-kanak

: kencing di jalan, di got, ambruk di lorong-lorong gelap

menuju rumah, menuju kepulanganku yang indah

Surabaya, 2007

Tidak ada komentar: