Minggu, 01 Maret 2009

My Baby I

















Ia Mayang Khalila Ihya Hurria Posmoderna dan aku sapa Lila. Cahaya mataku.

My Baby II




Sahabat kecilku.

My Baby III




Aku suka cara dia memandang dunia.

Esei Semelekete
















Redesain Peta Kultur Santri Jawa Timur
Oleh Mashuri

Sejarawan Perancis Dennys Lombard melihat Jawa Timur merupakan sub kultur dengan berbagai jenis entitas lokal yang beragam dan variatif. Peta kulturnya menyiratkan ada beberapa sub kultur, yang masing-masing memiliki historisitas yang panjang. Hanya saja, beberapa ada asumsi, kekinian kultur Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh kultur santri. Namun, seiring perubahan sosial, budaya dan dinamika dunia, dimungkinkan adanya pergeseran pada anggapan-anggapan yang selama ini sudah terdefiniskan dan mapan.
Memang kajian Lombard memang memiliki corak sejarah yang khas. Pemotretannya pada kultur Jawa Timur secara historis, memang bisa dijadikan acuan untuk mereflkeksikan kekinian dalam wujudnya yang paling mungkin, dengan penelusuran anasir-anasir lokalitas, sebagai sebuah proyek politik identitas. Hal itu karena apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz puluhan tahun tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java memang harus dibaca ulang dan dikaji lebih jauh secara komprehensif, terutama pada trikotomi: santri, priyayi dan abangan.
Geertz bukannya tak memberi sumbangan pada penelitian antropologi Jawa, khususnya Jawa Timur, karena sampel dan lokasi penelitiannya adalah Mojokuto (Pare) Kediri. Jika beberapa pihak berusaha membongkar trikotomi Geertz, hal itu sebuah kemutlakan, karena kedinamisan masyarakat memang memberi ruang untuk selalu berubah. Di sisi lain, ada ketidaktepatan kategori dari ‘agama Jawa’, tetapi trikotomi itu masih sering digunakan, untuk memilah masyarakat Jawa, baik dari segi kultur dengan segala aspek yang terkait dengannya. Tercatat Koentjaraningrat, Harysa W Bachtiar, Kuntowujoyo, Emha Ainun Najib dan berbagai antropog sudah memberi catatan kritis pada hasil penelitian itu, sehingga tak perlu dikomentari lagi.
Tetapi Lombard dengan menggunakan pendekatan sejarah memang memiliki nuansa yang memungkinkan bisa dirunut kekiniannya, karena memiliki dimensi waktu dan runtutan perkembangan yang bersifat spasial. Ia melihat beberapa kultur itu dalam kapasitas geografisnya, serta fase sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sini, muncul proyeksi yang mengarah pada kultur keislaman yang meliputi wilayah Jawa Timur, dengan menunjuk pada renik-renik hasil persilangan budaya. Kultur itu biasa diacu sebagai kultur santri, dalam kajian-kajian kawasan dan lokalitas.
Apalagi, jika asumsi umum yang sudah dikenal menganggap, Jawa Timur sering diasumsikan sebagai masyarakat yang memiliki basis santri yang cukup signifikan. Hal ini pun menjadi acuan dalam aspek pragmatis, seperti pemilu dan lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, memang tidak menyentuh masalah organisasi kemasyarakatan, baik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis maupun lainnya. Tetapi berpulang pada pengertian pada masyarakat santri itu sendiri yang memang memiliki kecenderungan kultur yang berwarna Islami, dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat dengan corak kultur yang khas.
Hanya saja, dinamika yang ada pun memberikan semacam sinyalemen ada perubahan persepsi dalam masyarakat santri ini, karena ternyata, ada pola pikir yang telah berubah yang diasumsikan tidak hanya karena pengaruh pendidikan, tetapi pada mobilitas masyarakat santri sendiri yang cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan, pola pikir dan perilaku, serta gerakan masyarakat santri, serta adanya ketidaktunggalan suara dalam memberikan aspirasi yang bersifat politik, seperti yang tercermin dalam pilpres, pilkada dan hajat politik, meskipun untuk ini diperlukan penelitian yang kondusif lagi.

Kultur Santri Baru
Selama ini, penamaan masyarakat santri memamg lekat pada NU. Jika berbicara tentang NU, maka yang ada dalam benak adalah masyarakat sarungan dan terkesan kampungan. Tetapi streotipe itu ditengarai sudah lama berubah, dan hal ini pun sering dibahas oleh beberapa pemerhati masalah NU. Di antaranya menengaskan adanya perubahan itu dimungkinkan karena peran Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan gerakan sadar diri dari massa muda NU yang ingin berubah dari stereotipe lama.
Hanya saja, ada sebuah gerakan kultur menarik di kalangan masyarakat santri, terutama dalam masyarakat urban. Sayangnya, kondisi ini kurang mendapat respon yang memadai terkait dengan adanya sebuah fenomena mutakhir terkait dengan mobilisasi santri urban di Jawa Timur. Sebenarnya fenomena ini hampir serentak terjadi di beberapa kawasan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yakni kemunculan gerakan intelektual dari generasi muda yang berlatar belakang kultur santri.
Di Surabaya, komunitas santri urban sangat mungkin sekali, karena santri-santri yang berasal dari daerah lain, katakanlah desa, melakukan hijrah ke Surabaya dan berpola pikir berbeda pada saat berada di daerah asalnya. Apalagi, Surabaya sebagai sentra pedagangan, pendidikan, perekonomian dan pemerintahgan terbesar di Indonsia Timur, dan pusat pemerintahan Jawa Timur. Hal yang sama juga sebenarnya bisa terjadi di beberapa kota lainnya, seperti Malang dan Jember. Tetapi, posisi mereka lebih bertaruh pada gerakan intelektual dengan basis kampus, serta pada lembaga swadaya masyarakat.
Dalam kategori ini, stereotype yang berlaku bukan lagi pada terminologi santri pedalaman dan pesisir yang bercorak antrologois dan etnografis, tetapi lebih condong pada wilayah sosiologis, meskipun pada dataran tertentu juga melibatkan anasir yang terkait dengan kesadaran potensi diri dan tradisi.
Adapun, potensi yang ada pada santri urban memang berbeda dan bercorak liberal. Ada pergeseran yang cukup siginifikan untuk melihat dan berlaku dalam keseharian dan saat berhadapan masyrakat. Identitas yang melekat pada santri ini memang terletak pada tingkat pendidikan, serta pemahaman baru pada cara beragama. Dalam hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pergeseran pemikiran yang cukup signifikan, dengan mengawinkan hasil pendidikan Islam, Barat dan konteks kekinian, sehingga ada ahli keislaman yang menyebut mereka sebagai Islam progresif. Istilah ini sepenuhnya tidak menunjuk pada aksi yang mengarah pada politik Islam atau Islam politik, tetapi pada wilayah kesadaran untuk menafsirkan Islam secara kekinian.
Di sisi yang berbeda, sebuah terminologi Kuntowijoyo terasa cukup tepat memberikan pemilahan pada pola santri urban, dengan memberikan titik tekan pada kemunculan konsep ‘religius sekuler’. Artinya golongan ini memiliki kadar keagamaan kuat, tetapi memiliki pemikiran sekuler. Meski terminologi Kuntowijoyo itu bersifat politis, karena untuk melihat komposisi calon presiden pada pilpres 2004 lalu, tetapi untuk menggambarkan eksistensi dan gerak santri urban bisa dijadikan acuan.
Kekhasan lainnya dari perubahan pola kultur masyarakat mutakhir adalah tumbuhnya budaya keberagaman di kota besar, metropolis, yang lekat dengan perkembangan iptek dan teknologi. Dapat dilihat pada aktivitas jamaah dzikir dan pengajian yang bermunculan, serta adanya upata untuk memberikan nilai lebih pada agama, dengan penghayatannya, yang dalam kultur kota memang terabaikan karena rutinitas kerja dan menyempitnya ruang. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi Surabaya juga. Dengan kata lain, masyarakat menengah kota teah menjadi sebuah komunitas yang ‘tersantrikan’ dengan kegiatan-kegiatan religius.
Kecenderuingan ini bisa dibaca tidak saja di kota-kota besar di Indonesia saja. Dalam skala global, gejala ini pun menemukan bentuk konkritnya, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi perbincangan yang marak, terutama sering dengan perkembangan iptek dan teknologi dan kecenderungan era ‘demokratis’, serta posmo. Gerakan-gerakan yang mengarah pada ‘penghayatan’ dan pendalaman agama semakin marak, meski di sisi lain fundamentalisme ekstrim juga bermunculan.
Berawal dari pola pikir demikianlah, maka munculnya komunitas santri baru yang selama ini lekat dan berdekatan dengan tranformasi kultur baru dan visi baru, terutama yang mukim di perkotaan. Masyarakat ini pun punya pilihan politik yang berbeda dari arus besar masyarakat santri secara umum. Dalam kasus Jawa Timur, munculnya masyarakat santri baru, juga memiliki potensi yang tidak kalah menariknya bila dibandingkan dengan santri pedalaman, pesisir dan urban sekalipun. Bagaimanapun pergeseran itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita meresponnya dan mengantisipasinya dengan tepat. Sebab percepatan perkembangan dunia dipicu perkembangan ilmu dan teknologi dan dunia tak lagi disekat- batas-batas geografis. Di sisi lain, juga muncul gerakan politik dan kultur yang berbasis agama kuat yang memiliki potensi kuat untuk berkembang. Nah!