Selasa, 23 Desember 2008

Sajak-sajak Hongwilaheng














Sajak Mashuri

Khidr 1
: perburuan

Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…

Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.
Kita bertemu…

Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”

Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 2
: amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu

Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi

Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 3
: surat pembuka

Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca fatihah berjuta-juta; aku kirimkan kepadamu dengan jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti tersengat bisa dari ular yang paling berbisa; tapi aku selalu saja ingin mengulang kata demi kata dari surat pembuka, agar tuah terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia entah”

Lewat fatihah pula, aku berharap ada yang bisa aku buka dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.

Tapi begitu surat itu aku baca, maka kunang-kunang langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “fatihahilah lukamu, luka kerinduan yang selalu membuatmu ingat dan berharap…”

Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan… aih!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 4
: alif

“Bacalah atas nama tuhanmu yang telah mengajarkan aksara-aksara penuh biru ke kanvasmu, bacalah…”

Aku pun membaca, tapi selalu berkumpar pada alif-alif saja, sungguhkah aku harus berdiam di tonggak, menyemai jejak di awal, sambil terus mendaras seribu arus yang berkumpar di antara beribu-ribu lompatan… kau pun lalu menudingkan tongkat, ke heningku yang khianat, aku pun mulai membaca dan membaca

Tetali ejaku kembali terpaku di awal: alif, alif, alif… ah, sungguhkah aku telah tersalib di sini, telah berpusar ke tepi segala tepi, tanpa bisa memusat ke relung hikmat, ah…

Kau tersenyum bagai seorang lelaki yang menemukan pisaunya yang tercuri, kau belah dadaku, lalu kau isi dengan taklimat-taklimat, dengan abjad, dengan…. :“Bacalah!”
Aku pun tergagap, dalam satu ruang yang menyulap segala kenang dan ingat, aku pun berteriak: “ALIF!”

Ah, kenapa aku selalu saja kembali ke mula

Surabaya, 2007


Sajak Mashuri

Khidr 5
: delta plasa, sebuah waktu

Kita bersua di sebuah kala, ketika air mataku tak pernah berhenti tumpah, di delta, di sebuah simpang, ketika manekin-manekin berbaris di balik etalase dan sungai-sungai berbuih; kita bersua ketika kanak-kanakku tumbuh, ketika aku disapih tubuh, ketika segala sayatan luka lampau bagai cambuk berduri yang menghajar kulitku; kita bersua ketika ikan dan buaya sedang saling tikam dan bunuh…

Kita bersua, ketika air mataku mengalir bagai buliran-buliran hujan, hujan yang tak henti membuat dadaku sesak…

“teruslah menangis,” katamu. “padamkan neraka dengan air matamu. Neraka jiwamu yang bisa membuatmu bagai tugu…”

Duh, sang kelana, kenapa kau kirimkan hujan ke ranjangku, kenapa kau kirimkan rindu ke hatiku yang kemarau. Bak kerikil yang jatuh di danau, bebulir air mata itu mencipta riak-riak yang jauh; riak yang mungkin membuatku terjatuh dalam kesedihan yang dalam; tapi kau pun memungutnya, lalu meletakkan di antara silang kata: aku membacamu membuat peta, sebuah kiblat malam bagi para pencari kata

“Kau tak boleh berhenti di sini, kau harus terus mengaji; mengaji hidup yang tak pernah selesai”

Di delta itu, aku pun mencari kitab yang pernah sentuh, ketika tubuhku masih tubuh. Di sana, kutemukan namamu, juga namaku; di sana, aku menemukan tabir yang mengalir dari segala kelir; aku saksikan ikan-ikan berlompatan, buaya berlompatan, aku saksikan arus air lurus, aku saksikan, segala berbalik menantang gravitasi, aku saksikan diriku membelah, aku saksikan api membakar jiwaku yang ringkih….

Boneka-boneka di balik kaca pun bangkit, sungai-sungai meluap. Kata-kata pun melata ke langit, segala suara berderap. Kau masih saja tegap bagai tonggak tak tergoyahkan… aku pun memeluk lututmu, lutut yang bersirip; aku memeluk tubuhmu, tubuh yang tak pernah berkedip; aku pun merasuk ke riuhmu riuh yang tak pernah membuat siapa saja tersalib…

Kita memang bersua di sebuah kala, ketika wajahku banjir air mata. Kini aku pun dilanda bah yang melimpah, kerna dunia yang kau titipkan terselip di antara ribuan igau, ribuan mimpi yang terlontar dari lontar yang pernah kau kabarkan kepadaku, dulu…

“kelak, ketika kau sampai, kau akan bisa berlari di atas segala yang bernama arus dan segala batas hanya kaca yang lekas tumpas….”

Tapi kemanusiaanku kerap tumbuh melebihi bukit tubuhku dan aku pun kerap terjerembab ke lembah batu… Aduh!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 6

: Ujung-Kamal

Dengan bersalam kepadamu, aku akan menyebarangi laut ini: “salamualaikum baginda kilir!” Aku berharap alir yang berulir ke relung yang memalung hatiku yang kikir tak memarkir langkahku pada satu takdir. Kerna di seberang, tanah terjanji telah memberi api terhadap beribu-ribu hati; aku ingin melihatnya, mencatatnya sebagai pelancongan yang berjalan di jalan-jalan kabut, tetapi pada sinyal laut yang tak henti memberiku mimpi yang paling berarti: perihal bergoyangnya rerumput…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 7

: rumah

Aku merindu, o pengembara dengan lesatan-lesaran udara; aku merindumu, juga merindu rumah tempat kita bersua; tidakkah kau juga rindu padaku, juga rumah yang telah kita pahat di batu kalbu, rumah yang selalu membuat kita termangu tapi membuat kita selalu ingat meski jalan dipenuhi persimpangan dan seakan membuat semua yang merambahnya tersesat…

O pejalan yang bernafas sunyi; kuingin kau ingat pada rumah itu, rumah yang sama kita sembah, rumah yang pernah kau cuci dengan air hati; rumah yang selalu menyimpan rindu untuk selalu bertemu, rumah yang pernah membuat kita juga bertemu di sebuah pintu, ketika kau ucapkan salam pertama, salam dari seorang asing kepada orang asing juga, lalu saling mengerling, saling bergasing di lubuk hening dan terjaga…

“Silahkan masuk, silahkan duduk, kursi ini bukan kursi yang membuatmu disulut api, lalu kau mengutuk sepi yang berufuk di kalbumu…”

Di rumah itu, kau bersujud bagai lumut menghikmati batu, aku pun bersujud bagai rumput yang tumbuh di taman perdu…. Kita kembali menyembah rumah yang sama, rumah yang sering kita tinggal menziarahi jazirah-jazirah lain, tetapi tetap tersimpan di dada, tempat kita selalu pulang dan tak pernah merasa kehilangan

O pengembara perajah sejarah, kau lalu menggurat dinding ruang tamu, memasang gambar di ruang tunggu, bahwa masih banyak orang menunggu di luar, tapi tak bisa merasuk dalam geletar yang kau renjanakan dalam kembara dan kembara, dalam samadi abadi

Di pilarnya, aku baca namamu, bersanding dengan nama-nama yang berkumpar dari doa-doa panjang, doaku yang tak lekang dimangsa waktu, untuk selalu memburumu bertemu denganmu, di rumah yang pernah kita jadikan tempat berhikmat, berkiblat, mencatat luka dunia yang tak pernah terpeta

Dan, dalam kembara itulah kau seakan mengaku, butuh rumah untuk pulang, sebagaimana camar yang mengepak di atas laut, sebagaimana kelelawar yang kembali ke liang ketika subuh mengatupkan waktu, sebagaimana titik air yang kembali ke langit setelah mengecup bumi… dan di rumah itulah kau bisa pulang setelah berpindah dari ruang ke ruang, kau pulang dengan sekerat pesan yang tak bisa dibahasakan dengan lisan-lisan kasat mata

Di lisanmu yang berbahasa sandi, segala bahasa seakan rahasia, bahasa yang terjalin ke lubuk teki; dan rahasia yang terwarta, hanya bisa aku tangkap lewat arus udara, getar yang berderap dari arus nada-nada rendah, di bawah suara, di atas suara, bahasa yang mengunci segenap api ke lubuk tak teraih, memberi mimpi pada ruang yang kau beri nama sebagai ilham abadi…

Di rumah itu, aku merindukan kau menghitung petak-petak kamar, ubin, menghitung lalu menempatkanku pada sebuah kamar sendiri, agar aku kembali mengaji jalan-jalan yang pernah tertempuh dan merelung kembali ke gelung waktu, menggulung waktu, melipat sekat…

Surabaya, 2007

Senin, 22 Desember 2008

Sajak Sendiri















Sajak Mashuri

Kabut
: Ubud, Sebuah Senja

ia yang disebut rangda
---bunyi dada
bertambur: dari ubur-ubur ke laut
dari kubur ke maut
telah menetaskan titisannya
ke dosa asal, ketika geguna dirapal
ke ujung mantra ---mantram merajam
akal
digemiricikkan sunyi
bunyi
gamelan ditabuh, bangkitkan riuh darah
merah, merah, merahkanlah…
---dunia: pura, kembang, arca, mata…

mata meleleh, taring menjema tebing
raseksi
menggunung ---ke lekuk suwung
yang tak terpahami kata
kata: peta yang rapuh oleh kluwung

rangda, bunyi dada, yang bertalu
ke lubuk hulu
sambil menyibak jejak belatung
yang bersirayap di tengkorak
jejak rambut
: bukti keabadian
yang retak dan tercerabut
seperti rerumput di sela padi, yang gigil kepada mati
mimpi para pencabut…

2008

Kamis, 11 Desember 2008

Tinjauan Film La Mome (La Vie en Rose)


















Jatuh Bangun Biduanita Panggung

Judul Film: La Mome (La Vie en Rose)
Pemain:Marion Cotillard, Gérard Depardieu, Sylvie Testud
Sutradara: Olivier Dahan
Produser: Alain Goldman
Naskah: Isabelle Sobelman dan Olivier Dahan
Musik: Christopher Gunning dan Édith Piaf
Sinematografi: Tetsuo Nagata
Editor film: Richard Marizy
Jenis: Drama

Baru-baru ini, film garapan Oliver Dahan dengan cita rasa Perancis yang kental diputar di bioskop Tanah Air.Hasilnya, penontonnya sangat minim. Tentu saja banyak yang berharap, semoga kondisi ini bukan sebagai penanda bahwa film berkualitas tidak laku di pasaran Tanah Air. Pasalnya, film yang diputar kali ini sangat memikat, yakni La Mome yang juga berjudul La Vie en Rose dalam bahasa aslinya Perancis, bercerita tentang jalan hidup seorang biduanita dari Paris, Edith Piaf.

Dari spektrum sinematografi, La Mome cukup apik. Tawarannya juga menarik karena tidak berplot atau alur linear sebagaimana film-film Hollywood. Alurnya perpaduan antara flashback dan maju-mundur. Film dibuka dengan penampilan Edith Piaf (diperankan Marion Cotillard) di panggung. Kondisi tubuhnya sudah sangat rapuh yang terbalut kostum kesukaannya: gaun hitam panjang. Ia terlihat rapuh karena didera penyakit ketergantungan pada obat bius jenis morfin. Meski begitu, ia tetap bersikeras untuk menyanyi. “Jangan pernah minta Edith berhenti bernyanyi!” hardiknya dalam film ini pada para pengurus dirinya. Akibatnya, Edith terjatuh di panggung. Sebuah simbol kejatuhan dia untuk seterusnya, meski usianya belum sampai 50 tahun, tepatnya sekitar 47 tahun.

Setelah adegan itu, cerita pun bergulir ke masa-masa kecil Edith yang sangat berwarna: trenyuh, sarkas, dan bagi orang yang perasa, bisa menguras air mata haru. Dimulai pada tahun 1918, ketika Eropa sedang dilanda Perang Dunia I dan Perancis terlibat di dalamnya. Kehidupan Edith kecil sangat susah. Ia terlahir dari pasangan pemain akrobat dan seorang artis penyanyi amatir. Ayah Edith yang bernama Louis (diperankan Pascal Greggory) harus menjadi serdadu karena wajib militer, sehingga ia diasuh ibunya yang lebih mementingkan kariernya daripada mengurus Edith. Si Ibu pun minggat ke Konstantinopel, Yunani, agar bisa tetap bernyanyi dan menitipkan Edith pada ibunya (nenek Edith) yang sedang dilanda kesusahan dan kemiskinan. Juga seorang pemabuk.

Penggarapan latarnya yang luar biasa bisa membuat penonton terseret ke masa-masa ketika Eropa sedang dilanda susah perang. Tak ada adegan pertempuran, tapi penonton bisa merasakan ada perang di sana. Pun latar kemiskinan penduduk Paris, juga kota Parisnya yang merana, sungguh sangat riil. Paris yang masih belum berbenah di tahun 1918-an, dengan Menara Eifel yang masih sederhana. Juga Paris yang terkesan kumuh dan kampungan.

Adapun adegan yang cukup dramatis adalah ketika ayah Edith pulang dari perang. Ia mendapati Edith tergeletak di ranjang di rumah mertuanya, dan tubuhnya diselimuti kain mirip goni. Ia sangat terlantar. Louis langsung membawa Edith ke ibu Louis, di Normandy, yang ternyata sebagai pengelola rumah pelacuran. Ibu Louis atau nenek Edith Edith pun menerimanya, meski dengan setengah hati. Begitu tinggal di rumah bordil, ayahnya kembali ke medan pertempuran.

Meski di rumah pelacuran ini, Edith sakit-sakitan dan hampir buta, tapi di sinilah Edith merasa mendapatkan kasih sayang yang sebenarnya. Tentu ini sebuah hal yang kontradiktif, karena ibunya sendiri masih hidup dan mengejar obsesinya sendiri dan melupakan curahan kasihnya. Edith yang berusia 6 tahun, mendapatkan kasih-sayang sebagaimana seorang anak mendapatkannya dari seorang ibu dari seorang pelacur, Titine (diperankan Emmanuelle Seigner). Titine inilah yang memperkenalkan spiritualitas dan reilijiusitas pada Edith. Ia mengajak Edith mengunjungi makam orang suci St Theresa agar matanya sembuh. Pada perjalanan hidupnya, benih spiritualitas itulah yang selalu dibawa Edith, hingga dia menutup mata untuk selamanya.

Ada beberapa adegan dramatis dan menarik dalam film ini. Di antaranya, ketika Louis pulang dari medan perang membawa Edith pergi, Titine meraung-raung seperti kehilangan anaknya. Selain itu, nasib Edith yang kurang beruntung karena jadi pesuruh di rombongan akrobat ayahnya. Juga adegan Edith kecil yang menatap boneka di salah satu toko. Adegan lainnya adalah ketika Edith harus mengeluarkan keistimewaanya, berupa ‘suara emas’, karena dipaksa ayahnya untuk menunjukkan kelebihannya di depan orang-orang di jalan, dalam sebuah adegan akrobat Louis yang gagal. Dari sinilah diketahui, Edith memiliki bakat mirip ibunya, ‘sihir suara’.

Ada juga adegan istimewa lain dalam film ini. Ketika pertama kali Edith Piaf menyanyi di teater. Ia gemetar, nervous, dan mengurung diri di kamar gelap. Ia dibujuk oleh mentornya Raymond Asso (diperankan Marc Barbé). Sementara itu, penonton sudah mulai gelisah. Adegan ini merupakan awal karir gemilangnya di Perancis. Penggambaran adegan kemunculan Edith ke panggung memang sangat berkelas. Adegan ini berlangsung tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir, permainan mimik, gesture tubuh, gerakan tangan yang ekspresif, dan wajah-wajah penonton yang tersihir. Selebihnya sunyi.

Inilah film tentang hidup. Meski tak beralur linear dan menuntut kecermatan dalam mengikutinya, tapi inilah kisah utuh tentang kehidupan seorang artis bertalenta: Edith Piaf. Sebenarnya, hidupnya persis seperti siklus hidup manusia lainnya. Kecil tumbuh, berjuang, gemilang, lalu surut seiring berlalunya waktu. Hanya saja intensitasnya memang memiliki kekhasan dan lika-liku sendiri, karena pada masa kecilnya menyedihkan, masa remaja yang penuh perlawanan, masa gemilangnya, lalu tahun-tahun karirnya menurun karena ‘cinta’ yang karam, lalu dia pun mencari pelarian dengan mengkonsumsi obat bius. Bangkit, lalu usia yang mulai digerogoti penyakit. Akhirnya berujung pada kondisi penuh kesakitan dan menyedihkan. Meski begitu ada sebuah pesan menarik dari Edith. Di masa surutnya di Amerika, ketika ia suka pergi ke pantai untuk merajut (pekerjaan yang paling disukai Edith kalau tidak menyanyi), ia didatangi seorang wartawati dari Paris. Dari situlah sebenarnya kedewasaan dan kematangan hidup Edith tergambar. Ditanya soal apakah ia ingin hidup layak, ia mengaku sudah merasa hidup layak dan lebih dari cukup. Selanjutnya, ia ditanya soal nasehat pada anak-anak, perempuan, remaja dan semua orang. Ia pun menjawabnya: “cinta”.

Film berdurasi 140 menit ini cukup lengkap dan detail. Melibatkan banyak karakter sepanjang hidup Edith. Masa-masa suram remajanya, di antaranya kematian Papa Leplee (diperankan oleh Gérard Depardieu), yang dikenal sebagai mentor pertama yang mengentaskannya dari jalanan, yang justru dibunuh oleh teman-teman jalanan Edith. Leplee inilah yang menambahkan nama Piaf di belakang Edith yang artinya burung. Adegan lain yang juga menarik adalah kisah perjalanan kariernya ketika pindah ke Amerika, terutama tentang sambutan publik Amerika yang berbeda dengan Paris. Lainnya, tentang kisah asmaranya dengan seorang petinju berdarah Perancis yang sudah beranak-istri, Marcel. Dialah cinta sejati Edith. Kematian Marcel karena kecelakaan pesawat, membuat Edith terjerembab dalam lembah kesakitan dan seakan tak berujung. Ia berusaha bangkit, berhasil, tapi akhirnya terpuruk karena penyakit ketergantungan obat yang menderanya. Selain itu, yang menarik adalah lagu-lagu dahsyat Edith Piaf yang mengiang hampir sepanjang film.

Yang tak bisa dilewatkan adalah peran Marion Cotillard, sebagai Edith. Marion bisa menghidupkan peran penyanyi legenda itu. Ternyata, perempuan yang lahir di Paris 1975, ini mengawali karirnya sebagai pemain teater dan membintangi film Taxi (film pertamanya, tahun 1999). Ia mendapat penghargaan di César (Académie Des Art et Techniques du Cinéma César) sebagai pemain berbakat. Berlanjut tahun 2001 dalam film ‘le jolies choses’. Belakangan, setelah membintangi La Mome, namanya dibicarakan media di mana-mana sebagai satu peraih penghargaan artis terbaik wanita di festival film internasional. Perannya yang mengagumkan sebagai Edith Piaf cukup mengagetkan dunia perfilman perancis, bahkan di amerika sendiri dia menjadi tiba-tiba sangat terkenal dan dapat disejajarkan dengan nama-nama artis internasional lainnya. Marion juga meraih penghargai artis wanita terbaik di Académie des Art et Techniques du Cinéma César atas perannya dalam La Mome. Apalagi La Môme juga menjadi film terbaik tahun 2008 di Cesar.

La Mome sendiri beredar pertengahan Februari 2007 dan dibuat tahun 2006. Film ini diperkenalkan pertama kali di Fesival Film Cannes 2006 dan mendapat sambutan cukup hangat. Selanjutnya film ini diperkenalkan ke negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Inggris, lalu baru ke Amerika dan akhirnya sampai ke Indonesia tahun 2008. Selain Marion, yang berperan penting dalam penggaran film ini adalah Olivier Dahan. Dialah yang pertama kali menemukan Marion sebagai pemeran Edith Piaf, disamping itu tentu saja juga tak lepas dari peran penata rias artis yang sudah mampu mengganti wajah Marion menjadi wajah Edith. Selain itu, tentu kru lainnya juga berperan karena kerja film adalah kerja kolektif. Lalu bagaimana La Mome di ajang Oscar? Kabarnya film ini juga dapat penghargaan.

Di akhir film, tepat malam terakhir kehidupan Edith di tahun 1960, terdapat beberapa kejutan apik terkait dengan kehidupan Edith. Sebuah kejutan yang melengkapi jalan hidup Edith yang sudah terpapar dalam sekujur film meski dengan teknik alur yang tidak sebagaimana mestinya. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton, sekaligus perlu diacungi jempol dari segi seni sinematografi, keaktoran, artistik dan lainnya. Meski demikian, tiada gading yang tak retak, bukan? Nah, agar bisa lebih tepat penilaiannya, nonton saja. (mashuri)

Kamis, 04 Desember 2008

Tinjauan Film 3 Cinta 3 Doa











Santri Juga Manusia

Judul film: 3 Cinta 3 Doa
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Jajang C Noer, Butet Kertarajasa.
Sutradara: Nurman Halim
Penulis Naskah: Nurman Halin
Produksi: Triximages dan IFI, 2008
Genre: Drama.

Dian Sastrowardoyo main bareng lagi dengan Nicholas Saputra. Tentu, tampilan mereka dalam film terbarunya ini 3 Cinta 3 Doa berbeda dengan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) karena seting dan fokus yang diangkat berbeda. Jika AADC berbicara tentang lika-liku cinta remaja kota, film terbaru ini berbicara tentang cinta tiga santri. Meski berlatar pesantren, jangan dibayangkan film ini seperti film religi Ayat-ayat Cinta. 3 Cinta 3 Doa ingin terbuka berbicara soal santri sambil mengangkat kredo keras-keras: santri juga manusia.

Film yang disutradarai Nurham Halim ini berkisah tentang cita-cita dan angan tiga orang santri. Huda (diperankan Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama) dan Syahid (Yoga Bagus). Latarnya adalah sebuah pesantren di sebuah desa di Jawa Tengah. Meski berlatar pesantren, film ini tidak bisa disebut film religi, karena film ini bertutur tentang kehidupan santri dari berbagai sisi. Para santri dalam film ini adalah manusia biasa yang punya hasrat, nafsu, bahkan tak bebas dari salah dan keliru. Tentu itu berbeda dengan AAC yang menampilkan sosok Fakri yang sempurna, ideal, dan mengemban ide-ide keagamaan yang kental.

Misalnya saja, ada gambaran santri ereksi saat bangun pagi. Mengantuk pada saat shalat subuh. Santri dengan diam-diam suka dengan lawan jenis. Ada kiai yang tukang kawin, ada ustad yang gandrung menyerukan ‘hancurkan Nasrani dan Yahudi’, serta banyak pernik santri lainnya yang lebih bernilai manusiawi. Sepertinya sang sutradara Nurman Halid (yang pernah nyantri di sebuah Pesantren di Demak Jawa Tengah) ingin berkisah lebih terbuka dan menyentuh sisi manusiawi pemirsa, karena ia sangat tahu seluk beluk dunia pesantren yang sebenarnya juga hampir sama dengan kehidupan di luarnya, karena pesantren pada dasarnya adalah ‘miniatur’ dunia yang tentu saja tidak bisa kalis dari godaan dan hasrat manusiawi.

”Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal,” tegas Nurman.

Film yang awalnya berjudul Pesantren ini dibuka dengan adegan kebiasaan tiga santri (Huda, Rian dan Syahid) yang kerap mengeluh atau curhat pada reruntuh tembok di dekat pesantren. Huda gemar menuliskan tahun-tahun wafat orang yang penting atau berjasa dalam hidupnya di tembok itu. Sambil menghisap rokok, ia berkisah tentang terdamparnya ia ke pesantren tersebut. Sejak usia 11 tahun, ia diditipkan sang ibu ke pesantren tersebut, dan hingga dewasa tak tahu, di rimba mana sang ibu itu kini berada. Lamat-lamat ia hanya mengingat, sang ibu berada di Ibukota Jakarta. Oleh karena itu, ia bercita-cita mencari ibunya. Cita-cita itu pun menjadi doa, agar ia bisa menemukan sang bunda yang begitu amat dirindukannya.

Berbeda dengan Huda yang melankolis, Rian memiliki pengharapan berbeda. Santri ini punya pikiran praktis. Ia bercinta-cita mendirikan sebuah video kawinan, setelah usai menimba ilmu di pesantren. Sementara itu, Syahid, sebagaimana namanya syahid, memiliki cita-cita super ideal bagi seorang santri dan pemeluk agama yang teguh: mati syahid.

Sesuai judulnya ‘3 Cinta 3 Doa’, plot atau alur utama film ini berkisar pada cita-cita dan doa tiga santri tersebut. Huda yang rindu ibu, dituntun dengan kerinduannya. Rian yang ingin menjadi pebisnis dituntun dengan naluri dagangnya. Sedangkan Syahid dengan geloranya sendiri dituntun dengan keyakinannya. Kayaknya ide besar dari film ini adalah mengurai spektrum atau perspektif yang seimbang tentang dunia santri dan profil santri sendiri, yang kadangkala berprototipe unik: udik dan tradisional. Sedangkan pada sepuluh tahun ini, mengalami degradasi dengan label: teroris dan suka marah dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Karena idenya itu, tak heran, dalam film ini, seringkali nampak hal-hal manusiawi yang terjadi terutama ketika terkait dengan pemahaman diri terhadap agama. Misalnya, Huda menolak ikut ustad yang menghujat agama lain. Di sisi lain, ada santri yang tertekan secara ekonomi dan mudah terpesona oleh kharisma dan wibawa seseorang, lantas saja mendaftar menjadi ‘relawan’ untuk ‘jihad’, sebagaimana yang dilakukan oleh Syahid. Penggambarannya tampak berimbang dan alamiah yang menunjukkan jalan penghayatan keberagamaan antar orang itu berbeda, meski digodok pada satu lembaga.

Lalu di mana si cantik Dian berperan dalam film ini? Jangan khawatir, si jelita cucu dari sastrawan Soebagyo Sastrowardoyo ini masih cukup memikat aktingnya. Dalam film ini ia didapuk menjadi penyanyi dangdut Dona Satelit. Karakter Dona: seksi, menor, mata duitan, dan punya ambisi segunung ingin menjadi bintang sinetron. Soal peran Dian ini, tentu mengingatkan pada peran serupa yang diemban oleh bintang AADC, Titi Kamal dalam filmnya: Mendadak Dangdut, yang melejitkan lagu-lagu seperti Si Jablai. Tetapi sungguh, dalam film ini Dian tampil optimal dan ciamik sebagai seorang penyanyi dangdut. Konon, ia nyanyi sendiri di film ini. Cengkoknya dangdut dan sangat alami.

Pertemuan Huda dan Dona terjadi di makam dekat pesantren. Dona, yang sedang menunggu panggilan casting, sering manggung di malam hari. Sedangkan siangnya ia rajin berziarah ke makan ibunya di dekat pesantren Huda. Nah, di situlah mereka bertemu. Setelah berbincang, si santri lugu Huda minta bantuan Dona mencari ibunya di Jakarta. Apakah Huda dan Dona menjalin cinta? Nah, kalau soal ini, tonton saja filmnya biar tahu sendiri. Juga sekalian biar tahu, apakah Rian sukses menjadi pebisnis video kawinan dan si Syahid benar-benar bisa mati syahid sesuai cita-citanya.

Dian patut dipuji dalam film ini. Karakternya cukup matang. Nicholas pun tak juga luput dapat pujian. Meskipun ia terkesan ‘terlambat’ panas dalam film ini. Meski begitu, Nicholas bisa mengembangkan karakter yang lumayan bagus. Awalnya sangat ganjil melihat santri lugu yang indo, tetapi pada perkembangannya, ia bisa menjadi santri yang mantap. Perkembangan karakternya dalam film ini terbilang unik: ia yang santun dan pendiam, akhirnya terguncang hatinya melihat garangnya Jakarta. Kata seorang pengamat film: ‘ia paling cemerlang dalam film ini’. Soal sutradaranya, Nurman terbilang sutradara potensial. Posisinya akan sangat diperhitungkan dalam jagat perfilman Tanah Air pada masa mendatang. Ia mampu memadu dengan apik film ini menjadi kisah yang alami, alurnya mengalir lancar, dialog yang bernas dan cerdas, dan terlebih penuh humor, meski di beberapa bagian cukup sarkas.

”Pesan utama dari 3 Doa 3Cinta adalah kedamaian dan cinta mengalahkan segala bentuk kekerasan dan kebencian.” demikian tutur Nurman Hakim

Ibarat tiada gading yang tak retak, bukan berarti film ini tanpa celah. Ada beberapa adegan yang kelihatan amatiran, yang dalam bahasa filnya: terkesan klise. Namun demikian, tentu saja, tidak mengurangi performa dan pencapaian film ini secara keseluruhan. (uri/berbagai sumber)

Kamis, 27 November 2008

Sajak Yang Berkisah













Sajak Mashuri

Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi
aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi
juga secangkir kopi
di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari
di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus
hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan
---api dengan jalang mengamuk rumah bordil
para perempuan hibuk berlari sambil bugil
tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang
kini, jiwaku pun menggigil
aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi
aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli
aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku
aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing
yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;
ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium
bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…
aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu
masuk surga”
aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga
kucing dan anjing yang berkejaran di perutku
yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Seorang Perempuan Muda untuk Hari Tua


perempuan berkulit kencana itu menata batu di hatimu
meski jemarimu jompo untuk menyangga lengan mimpi,
kau masih bermimpi: kau seorang pangeran teruna
menunggang kuda putih, mengokang senapang
ke arah rusa berlari kencang
---dan begitu banyak penjudi yang bertaruh
rusa itu dirimu atau perempuan muda itu

tapi sesumbarmu membuat seluruh hutan beku:
‘akulah pemburu yang rakus daging mentah
lihatlah betapa batu-batu itu telah menjadi rumah
tempatku bertolak dan berpulang…
aku akan membidik binatang itu tepat di kelaminnya
agar kelelakianku bisa bersuara….’

tapi siapa percaya pada suara yang keluar
dari kerongkongan renta ---suara yang tak bisa menyapa
dirinya sendiri
bahkan kulitmu pun kertas tisu bergelambir
dengan kaki seperti mesin yang harus langsir

setelah telanjang
dan kau menyaksikan tubuh perempuan itu kejang
sendiri di ranjang
ia pun berbaju
zirah, mengiringi keberangkatanmu yang terbata
ke rimba buruan, tempat anganmu berpulang
pada kelamin lecet
sambil bernyanyi ‘gugur bunga’
yang terpeleset
‘telah gugur kejantananku….’

kau menatapnya dengan mata terpejam
dan berangan baju logam itu tenggelam ke lautan asam
dan kau bisa menyaksikan sebentuk tubuh melepuh
dan erangnya membuat seluruh sendimu rapuh

---para penjudi mengangkat cawan arak,
bersulang pada jejak
: tubuhmu berubah
ditumbuhi bulu, berjalan merangkak
dengan kemaluan bengkak oleh peluru…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Peristiwa Luka


di akhir 1400, kau mencatat peristiwa luka
--ingatan-ingatan dihancurkan, kata terpenggal,
juga rindu terjungkal ke kelam waktu…
apa yang tersisa, kecuali senyap yang kelewat batas
kecuali harap yang kelewat gelap
juga abjad-abjad membatu…

ada yang beku di ubunmu
seperti tetes es ---yang tak mungkin mencair
meski matahari kau undang sebagai tamu
dan duduk di tamanmu

tapi kau mencatat lewat bibir bertabir
lewat sakit yang berulir, juga nestapa yang memuncak
ke batas tiada ---duka yang tak pernah berbilang
angka
kisah-kisah itu tumpah ruah
tapi terusir ke pinggir tanah
terguling ke kawah
yang dengan hikmat kau sebut sejarah

kau lihat panji lain berkibar
sebentuk bibir berikrar: sebuah dunia baru
yang tumbuh dengan sayap-sayap kekar
telah memacu nadi untuk lari atau berposisi

di akhir 1400 itu, kau lihat angin menggunting
pohon asam
sebatang tumbang di tepi jalan
sebatang lain ditanam di gigir pegunungan
lewat desir nyiur, kau saksikan pesisir mengalir
dan matamu pun berair, karena anyir darah
tak kunjung bersudah
dari pelupukmu yang berwindu gelisah

agar kau lupa lara, kau khianati diri
sambil terus bersetia melabuh mimpi
meski lewat sepi
lewat cakap tak terkatakan, tak terwartakan
dengan gerak dan pandang
bahkan cukup hanya dengan diam

Surabaya, 2008

Senin, 17 November 2008

Tiga Puisi Berapi
















Sajak Mashuri

Sajak yang Menolak Ditundukkan

di ujung musim, kepalaku bengkak oleh pikiran
aku lalu memarkir bibir di bir
aku tulis sajak dalam kemabukan ---seperti angin
yang berputar dan menjelajah perbuktian
seperti burung yang bercicit dari dahan ke dahan
juga selaknat mayat yang terguling ke lahat
dan dihajar gelap…

aku berharap
sajakku muram ---serupa malam yang berderap
ke retina, seperih nyanyi sunyi mengungsi ke bilik
hati; aku yang bercakap sendiri
aku berharap sajak yang menawar dahaga,
menggunting resah kepala…
tapi terngkorakku masih bergasing juga
berkelok di jalan-jalan berlubang
kadang terperangkap, kadang bisa melenggang
sampai bunyi cericit roda pikiran
membentur dinding ---menggelinding
ke ruang tak dikenal, tak terpahami, ruang-ruang
liar dari diri

ah, sajak sengak sundal tak mau diajak menjadi begundal
pikiran, sajak yang menolak
ditemali, sajakku melompat ke luar jejak
yang tercetak di jalan-jalan yang terlampaui…
aku pun tak memahami diriku sendiri
o sajak, kenapa kau penjarakan aku di sini!

aku pun menyepi ke ruang berterali
---o sajak, hilanglah segala ruang
kenapa aku cari kebebasan yang berlari di balik kabut
kenapa aku harus bunuh diri demi pikiran-pikiran basi
kenapa aku tak mengungsi…

di tepi musim, aku masih bertugur di tepi
tapi hatiku pun terisi oleh hasrat mati
: tembaklah kepalamu, penggallah kepalamu…

aku tenggak lagi kemabukan, aku tulis sajak-sajak
aku berharap sajakku hitam agar aku terbebas
di dalamnya dalam malam-malam panjang tak terbatas
: melepas pikiran-pikiran, membebaskan hati dari kematian
meski aku tahu, sepanjang musim, sajakku selalu
menolak ditundukkan…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Ruang Tamu Peristiwa

lelaki itu mencukur rambut kemaluannya di televisi
di ruang tamuku, handuk dan sikat gigi di meja
aku hendak berangkat kerja
aku teringat pada jeda, kisah bunda mengantarku
meneguk mimpi ketiga, tentang peri yang terperangkap
lalu ditelanjangi beramai-ramai
oleh bibir perempuan yang menidurkan anak-anaknya
tapi tak ada bidadari dalam memoriku, juga memori
anak-anakku, pun tak ada keajaiban karena keajaiban
hanya milik peri yang menghuni kisah-kisah pengantar tidur
ketika aku angkat telepon, nenekku segera dikubur
terwarta: ada pentol bakso nyangkut di tenggorokannya
yang menyudahi tugas jantungnya selama 100 tahun
aku teringat pada labirin dongeng 1001 malam itu,
jalannya berliku dengan pusat-darah dicatat berbuku-buku
cerita berbingkai itu membingkai hidupku ---sampai aku bisa
onani sendiri dengan pasta gigi
lalu bisa melupakan peri dan cerita parsi itu
tapi lelaki itu tak juga berhenti mencukur di ruang tamuku
setelah rambut kemaluan, ia mencukur rambut ketiak, cambang,
kumis dan rambutnya sendiri; setelah ia sempurna dari evolusi
---ia kemudian mencukur rambut anak-anakku,
istriku, juga rambutku ---aku pun membebaskan tubuhku dari bulu
aku lalu bertanya pada istriku yang gundul: ‘masihkah peri itu
tinggal di ranjang kita, agar anak-anak kita segera tidur
sebelum kita sadar bahwa di antara kita tak menghuni ruang
yang sama, kita telah sama-sama mengungsi dari rumah, terusir
dari ruang tamu kita yang berjejalan peristiwa’

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Api Mimpi Rajasa

Sebuah nama, sebuah tanda
Dalam nama tergantung segalanya, meski hampa
tak dikenal hulu-muara, tak dikenal makna-kata
tapi sebuah nama tetap bermakna, tak sia-sia
seperti ruh yang tak kenal angka, mula, atau
sebait panggilan-panggilan sengau, tapi riuh
panjang pasti menggema
di ingatan, di kenangan, juga di malam-malam
sebagaimana adam…

juga Arok!

sebuah nama tak dikenal arti, kecuali api
mungkin carok! atau mengulang sapaan ibu, Endok
tapi ketika benih tersemai di rahim Bunda
dihisapnya hidup sang ayah, Gajah
belalai pun terkulai, hanya gading yang tertinggal
dingin yang retak, amsalkan jejak, asal pal
sebentang nama yang tanggal, tapi kekal
‘ada yang datang, ada yang berpulang’
tapi ada yang bersulang: mungkin Arok julung sungsang

ia lahir di Pangkur, tapi dibuang ke kubur
Lembong menggendongnya, membaptisnya
sebaga putera: sosok pencuri kecil telah tercipta
terbit melewati cahaya, bias cahaya yang menuju arah
entah…

‘dalam Para Datu, ia titisan Wisnu
tapi siapa yang sungguh tahu’

hikayat memahatnya di pohon-pohon hayat
penuh liku; akar-akarnya meliar
membayang di batang-batang hitam
daun-daunnya bersepuh tembaga
seperti sebuah tekad: “tulang iga
yang lepas dan harus dirampas”
ia terlahir dari darah hitam yang memanas
di sumbu-sumbu waktu
kadang memberi amar pada bambu
: buatlah pagar dan pembatas, tapi tak ada janji
segala yang telah ditepati tak bisa retas
oleh api, oleh nyala abadi

ia tak punya pilihan, kecuali harus meraih
ia tak punya angan, kecuali harus menggapai
dilampauinya lalu, ditujunya mimpi ---seindah
negeri dewa-dewa, sebuah masa depan yang bernyawa
tak lagi ingat ibu, ayah, juga darah
yang membasah, melayah di sekujur pembuluhnya,
tak lagi ia harapkan lagi tangan-tangan trah
untuk menuntunnya menaiki tangga, bahkan pada pelangi
ia telah berjanji akan menaiki, dengan kaki sendiri

sejarah mencatat lewat taklimat...

sahdan, di sebuah negeri, ketika segala rakyat
masih demikian taat; tak ada khianat
kecuali hasrat ---pada wanita, tahta
juga wewangian kembang ketika musim kawin tiba—
ada pusat, ada pusar, ada titik tunggal
tapi tak selamanya pinggir tersingkir,
tak selama titik-titik terpenggal dari akal-takdir
segala lingkaran sempurnakan pusaran
dan Arok menjulang dengan lidah jalang, keramat
kemarahan memintal hari depan
dengan perintah, dengan gairah, dengan letup
berdegup di sepanjang jazirah: kuasa Jawa

tapi ia masih kanak; riak-riak yang bermimpi
menjejakkan jejak di batu-batu waktu
mengukir segala tabir dengan satu sentuh: tubuh
onak pun memberinya bukti, bahwa hidup
tak seteguh mati; mati tetap berderap
meski segala lampu redup, meski segala dunia gelap
meski segala waktu dirampatkan ke titik tak teraih
dalam kelahiran: awal segala raihan
tapi keabadian maut pun terpahat
menitipkan alamat-alamat di kakang kawah, adi ari-ari
puser juga darah yang menyembur
dari liang garba, muasal segala ada, muasal nyawa…

ia mencuri wahyu, dari sebuah waktu
melampirkan waktu lain, menanamkan benih lain
di lipatan angka-angka yang menghening
lalu riwayat mencatat: ia seorang perompak, pencuri
riak yang tuju ombak, seorang yang diberkati
---sakti, dengan berpundi-pundi ruh suci
tapi berkat, juga keramat, hanya bukti,
bahwa mimpi tak bisa lari dari hati
sebab garis edar tak mesti keluar lingkar
sebab segala nubuat tak mesti tersesat ke ingkar
segalanya mungkin, seperti batu tulis menulis sabak hitam
segalanya mungkin, seperti siang yang digantikan malam

lalu nama-nama sampiran, seperti Bango Samparan
memberi arti tentang nasib dan perjudian
juga sekilas nama yang memberi bukti arti
sebuah pencurian hati,
juga pertaruhan yang berarti, nanti
ia pun bangkit dari langit, melangitkan diri,
segera didapatkan nama yang ber-isi
nama yang terakit dari segala bait-bait putih,
langgam sutra penuh hati, kuasa ilahi
di jati Lohgawe: seperti nirwana yang kembali
ke belantara, Arok bisa memetik mimpi, lewat kaki
membuka mata dan hati pada penafsiran suci
bahwa nasib sungguh tak tersalib, jalan yang harus disalib

dunia memang tak terterka, mungkin tak kenal angka
dunia bisa bermula dari kebetulan
ketika Arok meniti pelangi lewat gapura pengabdian
kepada sang akuwu, ia menjalani laku
kepada sang kalbu, ia deraskan rindu
kebetulan pun menderas seperti air terjun
yang akan terus turun dari tebing, teriring ke lembah
saat kuda-kuda berhenti, kereta pun berhenti
sepertinya segala nafsu berhenti
nafas merambati batas; diam, segalanya hamparan
bersepuh kembang; jika malam, gelap pun penuh bintang,
seindah taman swargaloka, sang Indah bermadah
puja-puji, doa panjang, juga alunan musik
yang mengusik raga, menukik jiwa..
Sang Bayu pun terpanah…
angin pun berlayar dari satu jeda ke jeda lainnya
irama gegap, seperti kuda yang tersentak
tangan-tangan gaib, tangan angin tergeragap
menyingkap jarit tuk pertama
buat mata yang tak pernah lelap pada warna
: mata perjaka, indera Arok

‘dari kandang ke kandang
hanya tetes air yang terdengar
dari pandang ke pandang
sinar Dedes yang mengukir getar’

‘dawai telah dipetik, sunyi terbetik
sesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyi
tubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke api
ruh seperti bangkai, busuk tapi suci’

Sebuah rahasia telah terwarta, sebuah angan telah
menuliskan rumusnya: gending-gending perang bertahta
di gendang telinga
Segala indera terpusat ke pusar tak teraba
merabuk segala geletar, menggunduk liar
Sebuah pilihan telah menemukan pintu dan jendela
Rumah khayalan pun dibangun, api pun berunggun
bejana ditengadahkan, piring dan meja disiapkan
: pejamuan siap digelar bersama iringan-iringan
Segala rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan
-masakan mimpi yang masih mentah, dan perlu diberi bara
Wajah Arok membara seperti langit senja
tapi bukan senja yang tergambar: kecuali geletar fajar
merah menyambut matahari, merah Venus...

Dari pinggir ia menyisir, dari alir ia mengukir takdir
lalu waktu menuliskan arah ke pastian,
ketika langkah terus dilesakkan ke pembuktian
ada siasat, ada muslihat, bahkan ada niat-niat
yang tak tercatat: sebab hati begitu dalam untuk diselami
berbekal Venus, ia hunus arus: Gandring pun digiring
ke dingin dinding: keris telah menggaris batas
antara warangka dan rangka, antara upas dan nafas
lautan kutuk mengganas, ketika batas datang demikian lekas
si empu pun mengukir sabda dalam waktu,
di waktu lain, Arok terus meluruskan impian
dalam waktu, ia talkin tubuh-tubuh dingin ke balik dinding
di luar waktu, ia telah menanting ingin, menantang angin

Daun melinjo bernama So, Kebo Ijo dipaksa ngaso

Lontar pun menulis: “cuaca begitu gerimis
Tumapel demikian amis ---bunga-bunga sekar disebar
beriring tangis; tapi geletar tak henti di altar
Tunggul Ametung terkapar!
Arok mencuci keris, diraihnya dampar
kencana: diraihnya tahta, wanita juga getar-
getar kalbu yang tak berhenti pada langit biru
sebab zenith masih jauh di cakrawala, langit masih membiru
dalam gelombang-gelombang penantian, larungkan sesal
doa-doa seperti salah dirapal, tetapi ada yang telah kekal
dan tak bisa disangkal: dunia bukan surga!”

di balik kelambu, di peraduan ratu, Arok membisikkan rindu
seperti seorang yang terharu menapaki batu-batu
tapi batu-batu tumbuh demikian cepat dari langkah
kadang langkah memang tak berjangka
bahkan kiblat pun lungkrah, arah seakan tiada
seperti seorang pejalan merasa kehilangan peta,
meski peta sudah tertera di kepala, di hati
juga di hamparan-hamparan seprei…

di rahim Dedes, telah tersemai benih, laksana es
dan Arok adalah api, adalah mimpi
yang tak kunjung selesai, sebelum Daha-Kediri
menjadi abdi, lalu ia melangkah ke dalam waktu
menghitung kembali serdadu: ia pun menyerbu
ia meraih getih prabu di Ganter: mereguk getih biru

cakra telah berputar, nasib telah melingkar
gelar disandang, Sri Rajasa terpandang

namun di luar jam, es telah mencair dan tak diam
tetes terukir ke takdir Anusapati
---putera yang menukik ke bilik duri;
duri yang berdiam di daging, bergasing dari tepi ke tepi
pucuk yang tak berhenti mengoyak kerak-kerak lampau
seperti angin, tak terbendung dinding
seperti air, mengalir dari tebing
seperti api, magma tersimpang di perut bumi, bunting

lewat keris yang belum rampung dibuat
lewat hati yang tak pernah dirawat,
lewat bayi bajang maut yang tak berhenti dalam saat-
saat istirahat; Anusapati melunaskan kesumat
gunung meletus, air berarus, angin berubah lesus
keris pun dihunus!
Arok tumbang, perjamuan berhumbalang; ia sekarat
tapi sorot mata itu masih berkilat
ia meninggalkan alamat-alamat
seperti peta, seperti sebuah negeri dengan kawat
berduri…

“sengkala telah ditiupkan sangkakala
tanah basah darah: lingkaran telah patah
segala renjana menunggu titah
segala pusaka bertuah air mata
: ruwatlah segala nubuat dengan ruwatan murwakala!”

seperti sebuah masa depan, antah-berantah
ketika bahasa darah berdiwana, ketika segala luka
menganga ke dalaman tak terkira:
berabad-abad di jalan kegelapan,
berabad-abad disepuh riuh kesenyapan,
berabad-abad luka tak kunjung bisa disembuhkan

tapi ada yang mencatat, menggurat firasat
ditabalkannya aksara di lelembar wasiat
bahwa dunia bukan di masa lewat, bahwa segala nujum
harus dirangkum dalam langkah dan aum
bahwa sebuah impian adalah kampung yang harus dibangun
dengan keringat, dengan melihat gurat daun-daun…

tapi nama itu, Arok itu, bukan sekedar geletar tak tentu
ia bermimpi, ia melihat kilat suci dari farji sang puteri
ia pun menjadi suami, juga sang amurwabumi

ketika ia diperabukan, terdengar teriakan
:”Inilah api! inilah inti mimpi!”

Surabaya, 2007

Cerpen Superrealis




















Kematian Matali
Cerpen Mashuri

Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia.

Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.

Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung, banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.

“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”
Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan PIL, bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.

“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur.

Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?
“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.

Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.

“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.

Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh.
“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang tok cer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.

Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semalin tak bertenaga.

“Perempuan itu sedang garang-garangnya...,” tutur Ngahngoh.

“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”

Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.

“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.

Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.

“Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.

Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.

“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.

“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.

“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.

Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang itu. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.

“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi.

Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.

“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur

“Itu sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.

“Hasilnya?”

“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.

“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul korak.

Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka.

****^****
Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata.
“Pa, kepergianmu sungguh indah...” bisiknya, lirih.

Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”

Selasa, 11 November 2008

Puisi Ngilu















Sajak Mashuri

Kopi Mimpi

aku mencium aroma mimpi di kopimu, Sepia, seperti aku cium leher pelacurku yang tak setia. Aku lalu reguk penghabisan itu, seperti doa, yang terkubur bersama lolongan ---kubah pun tercipta dari madah buta, perihal langit yang jauh, sejauh aku telah melayari tubuhmu. Tapi di kopi itu, aku melihat jelaga yang sama, hitam yang pernah kau pesan di sebuah pagi, lalu kau jadikan selimut pada malamnya; aku menyebutnya dengan bintang rapuh, tapi kau selalu tersulut dengan kegelapan akut nan berpiuh

ah, Sepia, jika di secangkir itu aku bisa mengukir lekukmu yang kikuk, aku akan menanamkan waktu di cerukmu: sebagaimana angin yang menulis dingin di antara kita, lalu kita selalu terjungkal ke meja yang sama, lalu bertemu untuk berpisah. Jika setia adalah kata, Sepia, aku ingin menghancurkannya di pusara pusaranku, lalu kita berenang ke tepian, sambil bercakap tentang ingatan-ingatan sorga, di sebuah purwa, meski aku tahu ingatan itu selalu memesan siksa ke lubukku, lalu membuatku berpaling dari palungmu

Sepia, di kopi ini, dulu, aku pernah memeram mimpi, seperti aku memeram dengusmu di dadaku yang berapi

Surabaya, 2008

Kamis, 23 Oktober 2008

Ubud dalam Kenangan 1















Ajang Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) 2008 memberiku kesempatan mejeng di Museum Antonio Blanco.

Ubud dalam Kenangan 2















Di antara Faizi, Dino Umahuk dan Iyut Fitra

Ubud dalam Kenangan 3
















Ada Guntur, Bang Iyut, Dino Umahuk dan PW. Di belakang media centre yang ciamik

Ubud dalam Kenangan 4

















Bersama Bang Iyut Fitra dan Mas Triyanto Tiwikromo. Sebuah siang, di Alila yang merangsang

Ubud dalam Kenangan 5
















Ubud Writer and Reader Festival 2008 memang udah usai. Ada kenangan yang tergurat di hati. Di latar belakang itu, ada Kadek, Ina, Pak Tohari dan seorang penulis Malaysia.

Senin, 06 Oktober 2008

Sesobek Komentar Puisi














Inti Puisi Adalah Dekonstruksi

(Epilog Untuk Buku Puisi Javed Paul Syatha )


Oleh Mashuri


Kawanku Paul yang baik

Aku telah membaca sajak-sajakmu. Ketika kau bagi sajakmu menjadi tujuh bagian, aku teringat pada martabat sab’ah karya Al Burhanpuri, juga teringat pada maqomat tujuh dalam dunia sufi: sebagaimana Athar melukiskannya dengan sangat baik dan imajinatif dalam: mantiq at thair. Aku berkata begitu, karena sajak-sajakmu mengajakku berenang ke dunia ‘dalam’ itu, sekaligus menyelaminya. Meski terus terang, aku ingin menolaknya. Entah kenapa aku selalu merasa belum waktunya untuk menyelam ke dunia yang selalu bersintuh dengan riuh langit itu. Aku masih terlalu gandrung pada ‘karang langit’: terjal tapi menggigit.

Namun, ketika aku berusaha untuk bertaklimat pada maqomat tujuh dalam kumpulan sajakmu, aku pun tahu, bahwa tujuh di situ bisa jadi hanya pembagian teknis semata, tanpa tendensi ke arah sana (tapi tak menutup kemungkinan juga ke arah sana). Memang, membaca puisi dan merasa sok pintar dengan konsep-konsep yang sudah ada, marak dan berjejalan di luar puisi adalah sebuah kebodohan dan kepongahan. Puisi memiliki logikanya sendiri, yang tentu saja menolak untuk dijajah atau ditundukkan dengan konsep-konsep lain di luar dirinya. Puisi akan lebih bernilai jika didekati dengan logika puisi.

Meski begitu izinkan aku untuk masuk ke sajak-sajakmu dengan pendekatan sufi itu, karena ada beberapa hal yang terasa ‘berharga’ dan pas bila aku memasukinya lewat itu. Pun pintu dan jendela yang disediakan oleh sajak-sajakmu mengarahkanku pada dunia itu. Tentu aku tidak ‘lepas landas, karena perangkat puisi masih tetap di kedua genggaman tanganku. Seringkali aku berkata pada orang-orang bahwa ketika seorang penyair sudah sampai pada inti, maka ia berjajar dengan sufi. Tapi ruang keduanya berbeda. Sufi adakah sufi, sedangkan penyair-sufi adalah seseorang yang telah mengetahui sumsum dan darah bahasa. Orang yang kelewat keras kepala untuk menukik ke lubuk dasar kemanusiaan lewat bahasa. Ia sudah mengenal hakekat penciptaan bahasa, yang Tuhan sendiri juga menggunakannya untuk menciptakan alam raya dan seisinya dengan sabda: ‘Kun!’

Tapi Paul yang baik, seringkali kita memang terjebak pada kesufian penyair dari sudut pandang yang lain. Kesufian penyair yang karena ia menulis puisi-puisi sufi. Tentu dalam hal ini kita patut untuk takut dan ngeri karena bagaimana pun jiwa seorang penyair tak bisa sebersih jiwa sufi. Kedalaman seorang penyair dalam menyelami dunia ketuhanan tidaklah sedalam seorang sufi. Penyair hanyalah seorang yang begitu naïf untuk mereguk kesempurnaan lewat bahasa, sedangkan dirinya masih terkokang oleh nafsu badaniah semata. Dan, aku selalu menempatkan diri sebagai penyair itu.

Aku sendiri juga sangat takut terjebak dalam pusaran samudera ilahiah ini, karena aku begitu takut disebut sebagai seseorang yang sudah sampai pada pencapaian inti pencarian, sedangkan aku masih berkumpar pada masalah bahasa. Bukankah bahasa hanyalah ‘alat’, sedangkan inti atau maksud sebenarnya adalah yang tentu sangat berbeda dengan alat itu. Jika diibaratkan sebagai sebuah jalan dengan rambu, maka bahasa hanyalah rambu penunjuk arah, sedangkan arahnya sendiri masih jauh di depan. Tentu kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang diamalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi, yang terus berputar dalam tariannya dengan mulut yang tak henti alirkan syair, lalu murid-muridnya mencatatnya. Itu kondisi fana’ yang sesungguhnya, sedangkah aku sama sekali tak seperti itu. Aku menulis syair karena rasa pukauku pada perempuan, pada keindahan dunia, pada sesuatu yang sementara. Aku menulis syair sebagai sembah baktiku sebagai seseorang yang bergulat dalam bahasa dengan segala kontradiksinya.

Mungkin itu hanya gelisahku sendiri, Paul. Yang jelas, begitu membaca sajak-sajakmu, aku bisa tersenyum. Meski aroma sufi begitu kental dan meragi, tapi sajak-sajakmu masih sangat manusiawi, masih melambangkan pergumulan seorang anak Adam untuk menuju kesempurnaan. Di dalamnya, terdapat berbagai pertanyaan, masalah, godaan, juga hal ihwal yang bernama dunia, daging dan ingin. Aku suka sajak-sajakmu.

Meski di beberapa bagian juga aku sering masuk ke dalam ‘sumur’ yang kau ciptakan yang membuatku basah dan sunyi. Kata-kata yang kau gunakan sepanjang sajakmu membuatku turut larut dalam pencarianmu. Aku bertemu: ‘assalamualaikau, hijrah, mi’raj, dan hijab (Muqadimah), munajad, ayat, dzikir (munajad), sidrah, jibril, Muhammad, shalawat, salam, sahadat, rohani (jadzab), maqom, amien (Doa Gembala), syahadat, tahiyat, rekaat, bismillah (Lanskap Telunjuk), tawassul (langit bermata senja). Untunglah di puisi berikutnya kau bisa terlepas dari kata-kata itu, sehingga kau seperti seorang pecinta yang bebas tak terbelenggu majas-surgawi. Soalnya, begitu aku bertemu dengan diksi-diksi penuh pukau langit itu, aku seperti terbentur batu. Metafora itu terlalu keras dan utuh bagiku. Sedangkan aku mencintai metafora yang mencair yang bisa luruh dan berenang di pembuluh darahku.

Di sajakmu Muqadimah aku menangkap bahwa sajak-sajakmu memang kau cipta dalam kesadaran seorang salik:

aku datang sebagai anjing

berpijak di kegelapan purna!

Metaforamu cukup menarik dan memiliki basis kultur yang terukur. Sungguh, kita memang anjing, Paul. Jika kau mendaku begitu, aku bisa memahaminya.Tentu kita tak bisa membayangkan seperti anjing Ashabul Kahfi (Qitmir), yang masuk surga meski telah tertidur beratus tahun di goa. Kita mungkin seekor anjing kumal yang kehausan di tengah padang dan menunggu seorang pelacur mengambil air dari sebuah perigi dengan kaos kakinya, sebab kita berpijak pada kegelapan purna (tanpa tahu arah, bukan?) Dalam sajak Munajad, gelap pun membayang, bukan?

kekasih

gelap ini

kugenggam

munajad

serapuh

ranting

hati


Pun kau masih berusaha ingkar.


aku nelayan itu

bukan nabi

yang menggambar jejak

pasir putih.

Aku juga menangkap beberapa jejak penyair kita (baca: Indonesia) di sajakmu. Perihal kata sambung yang digandeng, mengingatkanku pada Dorothea.Juga perihal kata-kata adiluhung mengingatkanku pada Kuswaedi Syafii, baik dalam Pohon Sidrah maupun Tarian Mabuk Allah. Aku juga menemukan jejak Rumi di situ. Meski begitu, aku suka mendekati puisi-puisimu seperti karya Atthar dalam Mantiq At Thoir. Di situ, juga digambarkan dengan perjalanan Simurg melayari tujuh lembah pencarian. Karya Atthar memang berbincang tentang kembara ruhani, seperti ziarahmu untuk selalu mencari.

Aku suka sajak-sajakmu di bagian Ziarah Cinta. Sajak-sajak yang telah tumbuh dewasa. Sajak-sajak yang bisa menyimpan maksudnya dengan rapi dan membangun dunia tersendiri. Aku merasa sajak-sajakmu dalam bagian ini berbeda dengan di awal-awal. Dalam Ziarah Cinta, aku menangkap semangat sajak-sajakmu dalam bagian Lazarus. Sajak-sajak itu juga tumbuh dewasa. Aku senang karena sajak-sajakmu bisa diajak bercanda dan seringkali membuatku tak terjatuh ke lubang sumur yang kau gali dan terbentur batu di dasarnya, sebagaimana sajak-sajak awal. Ada beberapa pencanggihan dan pemutakhiran teknik di dalamnya. Sajak yang bisa diajak untuk bermain tafsir.

Ada sebuah sajak sederhana dalam bagian Ziarah Cinta yang mengingatkanku pada semangat Zen. Mirip haiku Jepang. Meski sederhana, tapi menarik, meski tarikan jatuh ke arah klise juga demikian kuat. Alegorinya cukup asyik. Judulnya Pelukis Sepi.

Pelukis Sepi

lukis saja burung terbang

dalam kanvas burammu

agar anganmu pun melayang

atau,

setidaknya kau tak lagi

melukis sepi

sebagai pengembara

dan hanya bisa bermimpi.

Lamongan, 2003

Paul yang baik, dari tujuh bagian sajakkmu, mungkin bagian The Lamongan Soul yang agak berbeda. Kau bertaruh pada sesuatu yang nyata. Aku pun memakluminya karena bagaimanapun seorang penyair tak bisa alpa dari kampung halamannya.Jika ia pergi jauh, maka kampung halaman itu adalah oase tempat ia istirah untuk mereguk sejuk air dari sebuah perjalanan panjang nan kerontang. Jika ia dekat dan selalu bergumul, maka kampung halaman (yang di dalamnya terdapat ingatan, kenangan, pengalaman dan lain-lainnya) adalah tempat mengasah kepekaan yang tak tertandingi. Ia adalah harta karun bagi penyair.

Tapi yang mengganjal di hatiku adalah kau menggunakan kata Inggris untuk menyebut ‘jiwa’. Meski di puisimu yang lain kau menggunakan judul Inggris, tapi dalam bagian ini jelas menyimpan sebuah ‘kesan’ yang lain. Itu memang hak prerogratifmu sebagai seorang pengarang, tapi jika itu aku maka aku akan menggunakan kata ‘atman’ atau ‘sukma’. Hal itu lebih senada dengan enam bagian sajakmu lainnya. Jika kau mengangankan puisimu ini sebagai sebuah komposisi simponi, maka kau telah menciptakan sebuah ‘disharmoni’. Jika itu memang kau sengaja, ah alangkah indahnya. Tentu indah di sini adalah alternatif dari sebuah simponi yang merusak harmoninya sendiri (komposisi simponi dengan citarasa postmodern). Dengan kata lain, di dalam harmoni juga menyimpan disharmoninya dan itu bukanlah cacat ciptaan tapi niscaya. Mungkin aku terlalu udik dalam hal ini. Maafkan, kelancanganku.

Meski begitu, aku suka diksi yang kau gunakan dalam puisimu Kali Lamong. Terasa benar Lamongan-nya. Aku suka musik yang tercipta dari diksi-diksinya. Terkesan otentik dan menggelitik.

sementara bocaboca telanjang mengarungi

jeram riciknya

dengan sorai nyanyian

dengan rumbaian dan tambang

ingin membangun jembatan

Sampai di sini dulu, Paul, kawanku. Maafkan aku yang dalam kesempatan ini kurang bisa berpanjang lebar menggelar sajak-sajakmu di ruang rasa dan pikiranku. Semua itu karena keterbatasanku. Jika kelak masih ada waktu, aku ingin bertemu dengan sajak-sajakmu dalam kesempatan yang lain sehingga aku bisa mengirimkan kembali surat cinta, yang lebih panjang, mendalam dan karib. Sebuah surat cinta yang tetap meyakini bahwa dekonstruksi adalah inti puisi.

Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

Siwalanpanji, 2008

Esei Kritik Sastra













Jalan Simpang Kritik Sastra di Jawa Timur (Juga Indonesia)

Oleh Mashuri

“Seorang kritikus sastra adalah seorang sastrawan yang gagal,” demikian pernyataan seorang pesastra Surabaya yang menjadi moderator dalam sebuah bedah buku di TB Gramedia, Delta Plaza, beberapa waktu lalu. Pernyataan itu menerbitkan sebuah tanya sekaligus renungan yang dalam. Apalagi ‘ekologi’ sastra di Jawa Timur terbilang timpang, di mana porsi produk karya tak seimbang dengan kritik sastra.

Sebuah ekologi sastra dikatakan berimbang, jika rasio antara penulis, karya, pembaca dan kritikus sastra juga berimbang. Di Jawa Timur, kondisinya cukup memprihatinkan karena karya sastra terus tumbuh, baik itu bergenre prosa maupun puisi, tapi kritiknya langka. Ada memang kritikus, tapi lebih banyak yang mengulas karya-karya yang sudah dianggap canon sastra. Padahal posisi kritik sastra dalam sebuah lingkungan sastra sangat penting, sepenting posisi sastrawan sendiri.

Kegunaan kritik sastra meliputi tiga hal utama, yaitu kegunaan pada ilmu sastra, penerangan/jembatan pada masyarakat/pembaca dan bagi perkembangan kesusastraan. Jadi kritik dalam dunia sastra bukanlah mencemooh atau menimbang baik dan buruk saja, tapi juga mengungkap sisi tersembunyi dan sisi yang tak tertangkap oleh pembaca umum/awam yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Selain itu, kritik sastra juga berguna terhadap ilmu sastra karena dari kritik inilah dimungkinkan muncul teori sastra baru. Begitu pun dengan perkembangan sastra, karena dari kritik inilah sangat mungkin muncul sejarah sastra baru dan bisa menjadi tolak ukur perkembangan sastra.

Anggapan Keliru

Selama ini, ada anggapan salah di publik kita, bahwa kritik selalu berorientasi negatif, padahal dalam sastra kritik adalah tafsir dan takwil pada karya. Ada kalanya sebuah karya dalam dunia sastra itu terlalu berat bagi pembaca awam, karena mengandung pemikiran-pemikiran dan gagasan yang mempertanyakan kemapanan dan seringkali berlawanan dengan selera publik. Maka, tugas kritik sastra adalah mengungkapkan dan menerangkannya. Di sisi lain, ada pula karya sastra avant garde yang mendahului jamannya sehingga pembaca pada masanya tak bisa memahami karya itu, maka kritik sastra sebagai jembatan. Dalam posisi ini, seorang kritikus adalah sosok yang cerdas. Dalam sejarah sastra Indonesia, hal itu sudah terbukti. ‘Chairil Anwar’ yang ditemukan oleh kritikus sastra HB Jassin adalah peristiwa yang bisa dijadikan pijakan seberapa pentingnya kritikus sastra dalam dunia sastra. Jassin melihat dalam puisi dan diri Chairil Anwar mengandung sesuatu yang bernilai bagi (kesusastraan) Indonesia.

Dalam tataran ini, seorang kritikus bukanlah orang yang gagal dalam berkarya, sebagaimana pernyataan pesastra Surabaya yang dikutip di awal tulisan ini. Kritikus sastra adalah seorang yang mememiliki kecerdasan istimewa yang bisa menafsirkan karya secara proporsional dan menggali makna dari kapasitas karya. Bahkan bisa melihat hal-hal tersembunyi yang bisa jadi tak terpikirkan oleh sastrawannya. Ada beberapa contoh kritikus sastra seperti itu. Misalnya, jika berkaca pada kritikus dan ahli sastra dunia Edward W Said, maka kita sungguh akan terperangah. Ahli sastra perbandingan dari Universitas Columbia itu mengungkap ideologi beberapa karya sastra Eropa yang ternyata menyimpan maksud tersembunyi, semacam kolonialisme. Dari kritiknya, ditemukan teori orientalisme yang demikian mendunia dan mempengaruhi beberapa ilmu lainnya, termasuk filsafat, sosial dan kebudayaan yang luas. Selain itu, Roland Barthes, pemikir dan ahli sastra dari Perancis, dalam sebuah tulisannya menyebutkan, seorang eseis dan kritikus seni juga seorang ‘sastrawan’. Ia telah membangun sebuah dunia dari teks-teks dan memperlakukan teks itu sebagai sebuah kesenangan dan karib. Dari beberapa contoh itu kiranya kritikus sastra bukanlah orang sembarangan.

Bisa jadi ungkapan ‘kritikus adalah sastrawan yang gagal’ adalah sebuah ‘black humor’ dalam kehidupan kreatif sastra dalam sebuah ekosistem sastra. Sungguh itu hanyalah sebagai sebuah humor semata. Bisa jadi, humor ini bermula dari kiprah HB Yassin yang dikenal sebagai kritikus sastra Indoesia berwibawa yang menekuni kritik karena karya-karyanya dianggap gagal.

Sastrawan Sekaligus Kritikus

Jika kita melihat daftar sastrawan kita lebih banyak yang merangkap juga sebagai seorang kritikus sastra dan dikenal sebagai kritikus yang handal. Dari Jawa Timur bisa dilihat pada sepak terjang Budi Darma. Penulis novel mashur Olenka ini tidak hanya seorang sastrawan, tapi juga ahli sastra dan seorang kritikus sastra berwibawa. Selain itu, dari kalangan sastrawan Jawa Timur bisa dilihat pada kiprah Akhudiat, Bonari Nabonenar, Moh. Shoim Anwar, Budi Palopo, Tjahyono Widiyanto, Tjahyono Widarmanto, S Yoga, Ribut Wijoto, Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, Achmad Faisal dan lainnya. Sedangkan dalam jagat sastra Indonesia, sekadar menyebutkan adalah Sapardi Djoko Damono, Soebagio Sastrowardoyo, Goenawan Muhammad, Afrizal Malna, Abdul Wahid BS, dan lain-lainnya. Umumnya kritik sastrawan bukanlah pada karya sendiri tapi pada karya orang lain dan perkembangan sastra.

Kiranya bukanlah sesuatu yang tabu bila seorang sastrawan juga merangkap sebagai kritikus sastra. Ini bisa dijadikan solusi bagi kelangkaan krikitus sastra di Jawa Timur. Selain untuk menyeimbangkan ekosistem sastra di Jawa Timur, bisa juga digunakan untuk menyampaikan gagasan, ide dan pemikiran sastranya. Seorang sastrawan yang cerdas memang harus bisa merumuskan gagasannya dalam berkarya, karena sastra adalah dunia pemikiran dan gagasan dan bukan sekedar pengrajin kata-kata.

Sebenarnya kelangkaan kritikus sastra di Jawa Timur adalah kasus laten dalam kesusastraan Indonesia. Meski demikian, bukan berarti kita harus mengamini mati suri kritik nasional itu sebagai biang langkanya kritik sastra di Jawa Timur. Hal itu karena wadah untuk menjadi seorang kritikus sastra di Jawa Timur terbuka dengan lebar. Tidak hanya jurnal-jurnal ilmiah yang banyak, mengingat cukup banyak fakultas sastra di Jawa Timur dan maraknya lembaga kebudayaan, tapi media massa umum yang bisa menampung tulisan kritik juga tersedia.

Selama ini ada beberapa kritikus sastra yang sudah dikenal di Jawa Timur, tapi sangat jarang yang berusaha untuk membahas karya-karya sastra yang tumbuh, berkembang dan berlatar sosio-kultur Jawa Timur. Sebenarnya, dari sini, juga menerbitkan beberapa tanya: Pertama, benarkah karya-karya sastra di Jawa Timur yang regional itu belum layak untuk dibahas dan disejajarkan dengan karya sastra yang bertaraf ‘nasional’. Kedua, bukankah karya bagus mulai bermunculan di Jawa Timur dan beberapa sastrawan Jawa Timur sedang naik daun dan menjadi perhatian publik dan disorot media nasional. Ketiga, apakah masih pas untuk saat ini dalam memilah antara regional dan nasional. Kiranya, waktu yang akan menjawabnya. Yang penting, habitat sastra di Jawa Timur harus seimbang, sehingga rotasi pengetahuan bisa berjalan dengan harmonis, nyaman dan kehidupan pun semakin indah dan bergagasan. (*)

Sajak Penuh Terasi



















Sajak Mashuri

Klosetku Mampat

klosetku mampat pagi tadi; tahiku mengambang di antara air yang kuguyurkan ---tahi itu menjadi matahari di pagiku, yang tanpa kopi, koran dan sarapan pagi; baunya membaur di dapur, meja makan, juga tempat tidur, dan berseliweran di antara berita-berita pagi yang memasuki ruang tamu; karena di situ, isteriku terus-terusan mengunyah berita, memutar balik tombol pengganti chanel, sambil terus ngomel

malam ini, ketika istri dan anakku dibuai mimpi, dan televisi mati, aku ingin memutar peristiwa yang tadi pagi membuatku tak enak makan seharian, membuat anak-anak berak di kloset tetangga, membuat anak-anakku berteriak karena bau sengak di rumah; aku pun kembali ke kamar mandi, aku kembali duduk di situ, sambil membayangkan sebuah matahari bakal muncul di malamku dan mengganggu dengkur keluargaku…

ah, tapi di atas kakus itu, aku tahu, ada yang abadi: tahi, tapi sungguh aku sempat berdoa, agar pada malam ini, klosetku tidak mampat lagi, sehingga matahari bisa muncul tepat pagi nanti

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Kipas Angin di Dada

aku ingin tahu berapa harga kipas angin yang kau pamerkan itu; kipas angin yang selalu berputar di dadamu; sebab kotaku hanya kotak persegi empat, dengan satu matahari setinggi tombak; matahari yang tak lelah menggaringkan kulit, sebagaimana ia memanggang ikan asin di pantai atau menguapkan air laut di tambak-tambak garam; aku terlalu takut jika sekujur tubuhku bergaram, karena keringat terhisap panas, dan tinggal butir-butir asin putih yang membungkus kulit ---aku takut kau menganggapku mayat dibalsam, dimumi, aku takut kau menganggap: tubuhku sengaja dikeringkan menjadi dendeng….

ketika aku sendiri, aku juga kerap mendengar kipas angin itu bergerak dan berbunyi di dadaku, tapi aku langsung mematikan tombolnya; aku begitu khawatir jika para tetangga tahu aku menyimpan baling-baling, menyimpan kumparan, lalu mereka akan mendatangi atau menjauhiku, karena mereka tahu ada yang sedang bergemuruh di dadaku; aku pun harus siap dengan panas mentari yang membakar, juga udara yang membuat seluruh pembuluh kelojotan, tapi sungguh setiap orang juga merasakan gusar yang sama ---tapi aku tak tahu berapa harga kipas anginku karena aku selalu menyimpannya, aku selalu takut menjadi orang baling-baling

aku ingin tahu berapa harga kipas angin yang berputar di dadamu; jika aku bisa membelinya, kipas angin itu akan aku beli, lalu aku matikan tombolnya, karena aku tak bisa tenang mendengar deru kipasmu, meski aku tahu, kau ingin menjadi kota kita menjadi sepetak kota penuh udara, tapi suaranya itu begitu bergemuruh dan membuat kota kita tak lagi punya peta ---karena kau sama sekali tak mengerti, bahwa ada saat kipas itu berputar dan tak terus-terisan berpusar….

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Not Nocturno

1
Tahukah kau, apa yang kudengar dari denting ranting, ketika aku terlelap di seberang dinding, ketika aku tersekat di antara lembah dan tebing ---mungkin suara cicak yang kelewat berat dan serak, kerna dinding itu retak dan dari nganganya terlihat sepasang mata yang tak pernah membiarkan apapun melata di antara kedua lensanya; mata yang mampu memerintahkan saraf-saraf untuk bergerak laksana kuda, lalu menabrak apa yang tampak, meski gelap menggelayuti permukaan dan memunguti riuh rendah tempaan tak berbilang, perihal nyanyian-nyanyian malam, yang terenda dari diam, gerak perlahan, atau suara yang bersahutan antara kelesik dan berisik, antara musik dan rintik, antara… seperti jarak antara kita, yang terpeta di dua dinding, sisi koin, dan kita hanya menghadap hamparan berbeda, dengan sunyi yang menabuh dada dengan bunyi yang lain…

2
tahukah kau, ketika angin bersiut, menjemput suara rumput, ada yang terbangun dari malam, seperti bohlam yang nyala, lalu sepasang mata itu berbinar, menerka berapa jumlah bata yang tertata di dinding… tapi suaranya tak lagi takjub seperti saat denting ranting mengapung di antara gelap dan jeda, suaranya seperti nafas yang tertata, lalu melaju dari hidung ke dada; suara-suara yang entah bagaimana menggiring denting yang lain…. Dan suara itu membuat kita berpaling, sehingga kita sejenak bisa bercakap, meski kita hanya berbicara perihal gelap yang kita rasakan, atau pengap yang hinggap di derap kita, meski ketika angin berhenti, kita pun kembali menekuri lantai sendiri…

3
tahukah kau, aku tak bisa berharap ranting itu bercakap, ketika kau menyimpan lembaran-lembaran ingatan di almari memori, lalu ngengat melaju ke situ, dengan satu tuju: membuat lubang, lalu berlalu.

Surabaya, 2008