Selasa, 23 Desember 2008

Sajak-sajak Hongwilaheng














Sajak Mashuri

Khidr 1
: perburuan

Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…

Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.
Kita bertemu…

Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”

Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 2
: amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu

Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi

Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 3
: surat pembuka

Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca fatihah berjuta-juta; aku kirimkan kepadamu dengan jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti tersengat bisa dari ular yang paling berbisa; tapi aku selalu saja ingin mengulang kata demi kata dari surat pembuka, agar tuah terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia entah”

Lewat fatihah pula, aku berharap ada yang bisa aku buka dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.

Tapi begitu surat itu aku baca, maka kunang-kunang langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “fatihahilah lukamu, luka kerinduan yang selalu membuatmu ingat dan berharap…”

Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan… aih!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 4
: alif

“Bacalah atas nama tuhanmu yang telah mengajarkan aksara-aksara penuh biru ke kanvasmu, bacalah…”

Aku pun membaca, tapi selalu berkumpar pada alif-alif saja, sungguhkah aku harus berdiam di tonggak, menyemai jejak di awal, sambil terus mendaras seribu arus yang berkumpar di antara beribu-ribu lompatan… kau pun lalu menudingkan tongkat, ke heningku yang khianat, aku pun mulai membaca dan membaca

Tetali ejaku kembali terpaku di awal: alif, alif, alif… ah, sungguhkah aku telah tersalib di sini, telah berpusar ke tepi segala tepi, tanpa bisa memusat ke relung hikmat, ah…

Kau tersenyum bagai seorang lelaki yang menemukan pisaunya yang tercuri, kau belah dadaku, lalu kau isi dengan taklimat-taklimat, dengan abjad, dengan…. :“Bacalah!”
Aku pun tergagap, dalam satu ruang yang menyulap segala kenang dan ingat, aku pun berteriak: “ALIF!”

Ah, kenapa aku selalu saja kembali ke mula

Surabaya, 2007


Sajak Mashuri

Khidr 5
: delta plasa, sebuah waktu

Kita bersua di sebuah kala, ketika air mataku tak pernah berhenti tumpah, di delta, di sebuah simpang, ketika manekin-manekin berbaris di balik etalase dan sungai-sungai berbuih; kita bersua ketika kanak-kanakku tumbuh, ketika aku disapih tubuh, ketika segala sayatan luka lampau bagai cambuk berduri yang menghajar kulitku; kita bersua ketika ikan dan buaya sedang saling tikam dan bunuh…

Kita bersua, ketika air mataku mengalir bagai buliran-buliran hujan, hujan yang tak henti membuat dadaku sesak…

“teruslah menangis,” katamu. “padamkan neraka dengan air matamu. Neraka jiwamu yang bisa membuatmu bagai tugu…”

Duh, sang kelana, kenapa kau kirimkan hujan ke ranjangku, kenapa kau kirimkan rindu ke hatiku yang kemarau. Bak kerikil yang jatuh di danau, bebulir air mata itu mencipta riak-riak yang jauh; riak yang mungkin membuatku terjatuh dalam kesedihan yang dalam; tapi kau pun memungutnya, lalu meletakkan di antara silang kata: aku membacamu membuat peta, sebuah kiblat malam bagi para pencari kata

“Kau tak boleh berhenti di sini, kau harus terus mengaji; mengaji hidup yang tak pernah selesai”

Di delta itu, aku pun mencari kitab yang pernah sentuh, ketika tubuhku masih tubuh. Di sana, kutemukan namamu, juga namaku; di sana, aku menemukan tabir yang mengalir dari segala kelir; aku saksikan ikan-ikan berlompatan, buaya berlompatan, aku saksikan arus air lurus, aku saksikan, segala berbalik menantang gravitasi, aku saksikan diriku membelah, aku saksikan api membakar jiwaku yang ringkih….

Boneka-boneka di balik kaca pun bangkit, sungai-sungai meluap. Kata-kata pun melata ke langit, segala suara berderap. Kau masih saja tegap bagai tonggak tak tergoyahkan… aku pun memeluk lututmu, lutut yang bersirip; aku memeluk tubuhmu, tubuh yang tak pernah berkedip; aku pun merasuk ke riuhmu riuh yang tak pernah membuat siapa saja tersalib…

Kita memang bersua di sebuah kala, ketika wajahku banjir air mata. Kini aku pun dilanda bah yang melimpah, kerna dunia yang kau titipkan terselip di antara ribuan igau, ribuan mimpi yang terlontar dari lontar yang pernah kau kabarkan kepadaku, dulu…

“kelak, ketika kau sampai, kau akan bisa berlari di atas segala yang bernama arus dan segala batas hanya kaca yang lekas tumpas….”

Tapi kemanusiaanku kerap tumbuh melebihi bukit tubuhku dan aku pun kerap terjerembab ke lembah batu… Aduh!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 6

: Ujung-Kamal

Dengan bersalam kepadamu, aku akan menyebarangi laut ini: “salamualaikum baginda kilir!” Aku berharap alir yang berulir ke relung yang memalung hatiku yang kikir tak memarkir langkahku pada satu takdir. Kerna di seberang, tanah terjanji telah memberi api terhadap beribu-ribu hati; aku ingin melihatnya, mencatatnya sebagai pelancongan yang berjalan di jalan-jalan kabut, tetapi pada sinyal laut yang tak henti memberiku mimpi yang paling berarti: perihal bergoyangnya rerumput…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 7

: rumah

Aku merindu, o pengembara dengan lesatan-lesaran udara; aku merindumu, juga merindu rumah tempat kita bersua; tidakkah kau juga rindu padaku, juga rumah yang telah kita pahat di batu kalbu, rumah yang selalu membuat kita termangu tapi membuat kita selalu ingat meski jalan dipenuhi persimpangan dan seakan membuat semua yang merambahnya tersesat…

O pejalan yang bernafas sunyi; kuingin kau ingat pada rumah itu, rumah yang sama kita sembah, rumah yang pernah kau cuci dengan air hati; rumah yang selalu menyimpan rindu untuk selalu bertemu, rumah yang pernah membuat kita juga bertemu di sebuah pintu, ketika kau ucapkan salam pertama, salam dari seorang asing kepada orang asing juga, lalu saling mengerling, saling bergasing di lubuk hening dan terjaga…

“Silahkan masuk, silahkan duduk, kursi ini bukan kursi yang membuatmu disulut api, lalu kau mengutuk sepi yang berufuk di kalbumu…”

Di rumah itu, kau bersujud bagai lumut menghikmati batu, aku pun bersujud bagai rumput yang tumbuh di taman perdu…. Kita kembali menyembah rumah yang sama, rumah yang sering kita tinggal menziarahi jazirah-jazirah lain, tetapi tetap tersimpan di dada, tempat kita selalu pulang dan tak pernah merasa kehilangan

O pengembara perajah sejarah, kau lalu menggurat dinding ruang tamu, memasang gambar di ruang tunggu, bahwa masih banyak orang menunggu di luar, tapi tak bisa merasuk dalam geletar yang kau renjanakan dalam kembara dan kembara, dalam samadi abadi

Di pilarnya, aku baca namamu, bersanding dengan nama-nama yang berkumpar dari doa-doa panjang, doaku yang tak lekang dimangsa waktu, untuk selalu memburumu bertemu denganmu, di rumah yang pernah kita jadikan tempat berhikmat, berkiblat, mencatat luka dunia yang tak pernah terpeta

Dan, dalam kembara itulah kau seakan mengaku, butuh rumah untuk pulang, sebagaimana camar yang mengepak di atas laut, sebagaimana kelelawar yang kembali ke liang ketika subuh mengatupkan waktu, sebagaimana titik air yang kembali ke langit setelah mengecup bumi… dan di rumah itulah kau bisa pulang setelah berpindah dari ruang ke ruang, kau pulang dengan sekerat pesan yang tak bisa dibahasakan dengan lisan-lisan kasat mata

Di lisanmu yang berbahasa sandi, segala bahasa seakan rahasia, bahasa yang terjalin ke lubuk teki; dan rahasia yang terwarta, hanya bisa aku tangkap lewat arus udara, getar yang berderap dari arus nada-nada rendah, di bawah suara, di atas suara, bahasa yang mengunci segenap api ke lubuk tak teraih, memberi mimpi pada ruang yang kau beri nama sebagai ilham abadi…

Di rumah itu, aku merindukan kau menghitung petak-petak kamar, ubin, menghitung lalu menempatkanku pada sebuah kamar sendiri, agar aku kembali mengaji jalan-jalan yang pernah tertempuh dan merelung kembali ke gelung waktu, menggulung waktu, melipat sekat…

Surabaya, 2007

Tidak ada komentar: