Minggu, 16 Maret 2008

Lokalitas dalam Puisi

Sajak Mashuri


Tak Ada W di Madura

: Ahmad Faishal

1

di balik tanah kapur, tanahmu

kutemukan terumbu, tetunas karang, muasal asal

juga garam yang asin dan terasa kekal

pun kutemukan kisah-kisah karang, puisi-puisi terjal

juga aksara yang berdebur laksana selaksa gelombang

melebur lebar---dileburkan angin, dilebarkan akal

kuingat desing peluru yang pernah kau tembakkan

dalam percakapan malam, ketika

kita sembah kegelapan

demi terang dan pencerahan

desing itu terus memburu

: “lebih baik berputih tulang

daripada berputih pandang”

peluru itu terus memburuku

aku pun berlari ke diri, berkaca, bahkan

menyeberangi kota-kota, selat-antara: selat Madura

membalik dusta di mata

menyulap bencana menjadi kencana

lalu mengerling pada desing pelurumu yang lain

desing yang menghias dedinding nafas

: “bila buruk muka, kenapa cermin yang dibelah…”

serasa berabad-abad, kita menahan nafas

meski serapah menggenang di darah

menggulung waktu

memanggil-manggil kenangan merah

untuk berdiwana di aorta, tapi…

kini kita termangu di kapal penyeberangan

mencoba menyeberangi dua luka yang saling berjauhan

antara maut dan kemaluan

antara nyali dan kehormatan

antara kawan dan lawan

di balik tanah kapur, tanahmu

kutemukan terumbu, tetunas karang, muasal asal

juga garam yang asin dan terasa kekal

sekekal perih ketika garam diparamkan ke luka

luka kita

yang disayat dengan pisau berkarat

dalam kesabaran abad

2

aku mengerti, Madura bukan tanah persegi

aku pun mengerti, kata kadang tak cukup untuk berbagi

di sini, ketika kau lafadkan abjad-abjad ke seberang kiblat

dan kutemukan pelafadan cacat…

---jawa kau eja jaba, kawin kau baca kabin

sawah kau teriakan sabah, warna dengan berna

bahkan nyawa kau geramkan dengan nyabe--

bahkan berpuluh-puluh kata yang menyimpan w berubah

ketika kau deraskan lewat lidah

lidahmu, melewati jeda

persimpangan suara yang menggugah dan menyisakan tanya

ketika aku tanya, kenapa kau lafadkan kata-kata itu dengan salah

kau pun berkata: “tak ada w di Madura’

mungkin kau tak sekedar ingin berbagi lewat kata

tapi juga lewat pandang mata, gerak,

juga setia pada jejak-jejak yang tertanam di sepanjang tanah

di sepanjang jalan, sejarah

mungkin kau telah mengerti, Madura bukan tanah persegi

sehingga tak rugi

meski telah begitu banyak memberi, hati

lewat berkah tanahmu, sungguh

tak aku temukan cacat di lafadmu,

karena b selalu melebur w

di jejak ranah pelafalanmu

sebagaimana nafas lautmu yang selalu mengubur

dendam dengan kematian

gelombang yang tak pernah berhenti mematri

karang sebagai pelabuhan…

3

di depan pusara

pusara yang diagungkan darah Madura

aku terbata

lelaki yang terbaring dari selatan ke utara

itu bangkit, di mata

kuburnya terbelah; terbukalah peta

kulihat titik-titik arah

kulihat begitu banyak noktah dan nama-nama

di silang silsilah

: namaku tertera di sana

Surabaya, 2007

Hantu Ranjang

Ada hantu di kolong ranjang,

yang setiap kali

Menyundut bokong, kau pun melantang

: ‘oh, laki-laki!’

Kau mungkin takut sebagaimana dongeng

Yang pernah dianyam oleh ibu-ibumu di lubukmu

: ceruk yang coreng-moreng

Bahwa hantu, bahwa laki-laki, punya seribu ranjau

Yang bisa membuatmu perih

Tapi kini kau tahu, hantu atau ‘laki’ bukan untuk ditakuti

Kau begitu mengimani: bahwa hantu, laki-laki, hanya punya batu

Tak lebih

Kini kau tahu, kau tak lagi Mariyem yang terpana

Oleng, tapi Mary yang mampu

Menenteng

Berpuluh lenguh..

Dan setiap kali, tamu membuka pintu

Mantramu pun bergemuruh, meluruhkan tubuh:

“Dari Semampir-Tanjung Perak,

ludruknya nobong

Silahkan mampir Om-om, Bapak-bapak,

kamarnya kosong...!”

Ah, tapi semuanya bukan hantu, hantu itu

Kini, sembunyi di bilikmu

Kau pun terus memandangnya, mengikuti ujung ekornya

Menemukan matanya,

Di gelap kamarmu

Sambil kau dekap boneka kelinci, bantal kumal

Juga bayangan gambar-gambar penyanyi, pedangdut

Yang menyepi di dinding, di setiap jengkal

Rumput

di dinding hatimu, kau pun melengking

“janganlah kau takut padaku, Hantu;

aku pelacur

yang saban malam begitu setia untuk mendengkur

memberi tempat pada nada-nada yang menjauh dari kubur

kubur kejantanan para tualang, lelaki kesepian...

bolehkah aku beri nama kau adam

: pacarku, yang pertama, yang telah direbut malam”

sehingga setiap kali hantu itu berdiam di kolong

ranjangmu, lalu menyundut bokongmu

kau pun kini berguman lirih: “o, laki-laki, laki-lakiku

yang sebapa-seibu...”

Kau pun mengaji sinyal lemah yang pernah jadi denah

Muasalmu melangkah:

mulai dari warung-warung remang, binaan babah

Petak-petak kamar bangunsari, bangunrejo, kremil

Bahkan dolly, atau bordil yang pernah menjadikanmu terpencil

Ke gerbong-gerbong sidotopo, di pinggir rel wonokromo

“di makam cino,

kembang kuning,

aku pun pernah membuat para sontoloyo

loyo, dan terkencing-kencing...”

pada ibu-ibumu yang kini tinggal abu

di ingatanmu, kau pun pernah berkata:

“semua yang datang, lalu mekangkang

lebih hina dari binatang ---mereka hanyalah pejantan

yang butuh tanda tangan....”

mungkin kau butuh seorang laki-laki

yang bisa menjadi hantu di benakmu,

di pikiran sederhanamu sebagai perempuan, juga ibu

seorang yang bisa menggambar

kesunyian geletarmu, dalam balsam asap rokok,

bir,

sampai ayam berkokok

dan terdengar bibir bertakbir

sungguh laki-laki itu,

hantu, yang saban malam

tenggelam di kamarmu, dan menyundut bokongmu

dengan lisong dan batu.....

merenggutmu ke malam

ke waktu lain, yang membuatmu bisa berpaling

dari denting pelir, kelir takdir yang telah memarkirmu

ke pinggir segala pinggir...

Sidoarjo, 2007


Siti, Ayo Kawin Lari

Di ruang kelas, aku baca cerita

yang sering membuatku berpusing kepala

cerita yang mengingatkanku pada pacarku

yang kepalanya juga sering terancam pecah

cerita yang berpangkal pada cinta tak berpunya

dan berakhir dengan duka carita...

“syamsul bahri berlari-lari ketika siti melamun di tepi

perigi, sambil memuji diri sendiri

: akulah perempuan abadi!”

Aku lalu mengambil penghapus dari ruang guru

Membaca sebentar, meski berlembar-lembar

lalu dengan ringkas kupangkas

Nama yang selalu membuatku was-was

: Siti

pada Syamsul Bahri, aku sisakan hidupnya

karena aku tahu Marah Rusli pun menyisakan hidupnya

dalam cerita,

meski siti telah mati..

aku begitu kawatir, kalau Marah marah lewat guruku

dan menggantungku

di depan kelas, sambil terus menerus menjejaliku

dengan kertas-kertas, yang panjang

dan tak bisa aku ringkas

aku pun menulis begitu tergesa di kertas

: “Syamsul Bahri hanya mati sekali;

sekali nafas

terpangkas, sesudah itu impas, lunas...”

Siti telah mati,

aih, ternyata Syamsul Bahri pun mati

tapi kisahnya terus bersambungan di tv

aku pun menulis surat pada pacarku, Siti terkasih

yang kini sedang menunggu di kampung

: “mari kawin lari, Siti,

mumpung kisah belum ditulis bersambung

di televisi!”

Sidoarjo, 2007

Sihir Pasir

: Saudara Tua

mampirlah ke rumahku di pesisir, di pinggir pantai, di pinggir segala pinggir, tempat pasir memarkir takdir sebagai pembunuh; pasir yang saban hari tak lelah menjadi injakan kaki dan menjadi muara segala tubuh melabuh: tubuh lautan yang tak pernah mengeluh tapi menyulap keluh dengan nyanyian-nyanyian panjang

debur gelombang

kau akan mendengar karang ditabuh ombak, tubuh ditabuh riuh kehendak, kau akan melihat jejak-jejak retak yang membuatku tetap tegak meski gelap menggelegak bagai anggur memabukkan dan menyentak labirin kerongkonganku, kau akan menyaksikan…

ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam

mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti apa makna dari tepi: sepi yang berapi, merapi, sepi yang membahasakan diri di pucuk buih; bahasa-bahasa ombak yang menuntun mata; katupkan ufuk dengan cakrawala; rapatkan hiruk dengan rahasia

biduk asa yang tak berhenti untuk kembali

kau akan rasakan zenit meyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; doa putih, doa hitam; kau juga akan mendengar hingar doa yang memberi arus pada pasir, memberi ruh pada pasir, agar tubuh tak lagi berlabuh dalam gerak, tapi rubuh dan retak

lengan-lengan panjang yang merenda sejuta harapan

mampirlah ke rumahku, kau akan tahu, begitu banyak kanak belajar membunuh; mereka menghambur-hamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas mata; mereka membuat patung-patung pasir gaib sebagai malaikat pencabut nyawa yang menyelinap di balik tangkapan indera

begitu dupa dibakar, doa dihentakkan dan bibir melaju: fuh! pasir-pasir akan beterbangan memintal korban, memburu setiap lubang yang terhampar di sepanjang kulit, bangkitlah kesakitan; pasir pun akan merasuki dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan langit; langit hitam ---sampai terdengar suara-suara ratap, pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi; semuanya menyingkir untuk memberi jalan bagi kematian mengukir akhir

akhir penyaksian

kau akan tahu, bagaimana pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir lewat aorta; arus hidup akan membawa bulir-bulir pasir lurus ke jantung yang berdegup, asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu akan terus berasus ke ruas nafas, hingga hidup pun redup; jantung pun akan memberi jalan pada Sang Maut untuk bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”

mampirlah ke rumahku di pesisir, kau akan mengerti, begitu banyak kanak bermain-main takdir, mainkan sihir-sihir pasir, rapalkan mantra-mantra pengusir; mereka berlarian di pantai-pantai tak beratap; membangun bukit-bukit dan patung pasir dari jasad yang telah lumat; jasad yang telah disepuh dengan doa-doa merah; doa kaum teraniaya, blap!

gelap!

Surabaya, 2007

Bunting

istriku mengandung laut,

laut yang mencederai otakku dengan karang,

karang yang mengutip cakrawala

cakrawala dan kapal-kapal yang berlalu lalang

bahkan tenggelam dan terbakar di selat

selat yang selalu membuat istriku kumat

: “beri aku 1000 rakaat!”

aku pun ingat rabiah ---budak yang menapak

lewat batu, ke tangga penuh jejak wahyu

lalu sering kumat dengan mengganyang ribuan

rakaat dalam sekali malam dan sekali sikat

tapi istriku? mungkin ia sedang ngidam

begadang, malam-malam, di atas sajadah coklat

sambil mulutnya komat-kamit, penuh magnit

menarik, menombak dengan tepat

pikiranku yang sedang panik, dalam tidur

agar dengkurku tak lagi menjadi partitur

mimpi

mimpi tentang orang-orang yang terkubur

: kakek, nenek, buyut, canggah, wareng, gantung siwur...

aku bermimpi, tapi istriku sungguh telah mengandung

laut dan kumat dengan komat-kamit ribuan rakaat

dengan doa-doa panjang nan keramat

membanting harga diriku, dari lelap dan bisu

tentang asal-asul, tentang laut, tanah, udara, angin, api

juga sepi

ah, sungguhkah istriku bunting karena angin

laut, yang membawa berjuta plankton

ke ruang kosong... sungguhkah istriku hamil

karena gigil malam yang membugilinya diam-diam

di pantai, ketika lantai tak tepat lagi menjadi ranjang

tempat berbagi

ah, sungguhkah....

istriku mengandung laut

laut yang sering membuatku tercerabut

dari waktu; aih!

Sidoarjo, 2007


Persetubuhan Angka

1

aku ingin kau memberiku sembilan mawar, yang kau bungkus

dalam tiga kardus, ditali dengan tiga temali,

lalu kau letakkan berjajar

menghadap pintu

: untukku, untukmu dan untuk rindu

mari bersulang, o daging yang rawan harapan

selanjutnya, aku ingin kau suguhkan tujuh cawan anggur, yang

kau tuang

dari lima botol, lalu kau sorongkan ke bibirku

lalu kau menghitung satu, tiga, lima dan tujuh

aku pun mabuk tubuh, mabuk gemuruh

aku akan menujumu dalam satu altar,

satu meja

sebagaimana satu kehendak yang labuhkan hasrat ke tubuhmu:

aku akan menujumu dengan dua kursi yang disatukan tubuh

sebagaimana kakiku dua, tanganku, mata, telinga, lubang hidung,

telinga...

juga rambut, juga sejumput rambut,

bahkan kelaminku yang selalu ingin bersatu maut,

mautmu

2

aku ingin kau memberiku tujuh

: bumi, langit, surga, neraka, juga hari

dalam sebuah nampan sesaji

dalam sebuah mimpi

aku ingin kau tahu, aku juga menginginkan lima

pasaran-hari, juga ihwal soal sudut bintang

yang selalu kau mimpikan dalam tidurmu

seperti igauanku yang tak pernah

lelah untuk terus memanggil namamu, seirama

dengan lubang

sembilan, membungkus tubuhku dengan mawarmu

: aku ingin kita bersatu

3

aku ingin menghidupi angka-angka di tubuhku

dengan angka di tubuhmu

1+1= setubuh...

Sidoarjo, 2007


Senin, 10 Maret 2008

Sastra Tanpa Ideologi

Sastra Tanpa Ideologi
Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya
*

Oleh Mashuri


Pengantar
“Sastra Tanpa Ideologi; Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya”. Terus terang topik itu cukup berat. Menyimpan dua hal yang perlu diungkai. Pertama, ‘Sastra Tanpa Ideologi’, yang menyaran pada satu justifikasi bahwa ada sastra berideologi, yang tentu saja bersifat ideologis, sehingga ‘perlu dirumuskan’ sastra tanpa ideologi. Dalam satu sisi, ideologi sebagai sebuah disiplin memang telah merambah berbagai segi kehidupan dan sudah jauh berkembang, juga menyusut, dari penggagas awalnya Destutt de Tracy. Di sisi lain, sastra tanpa ideologi memberikan begitu banyak kemungkinan ancangan gagasan yang bisa menempatkan sastra sebagai sebuah produk kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas.
Kedua, ‘Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya’, yang memiliki konotasi bahwa hubungan sastra dan budaya haruslah tak berhubungan dan tak saling terkait. Ini tentu memberikan satu pertanyaan tersendiri perihal sastra yang dianggap sebagai anak kandung kebudayaan. Pun seakan menangkal alam tradisi kita yang selalu melekatkan sastra pada tradisi. Sebab dalam sejarahnya, sastra dan budaya adalah dua hal yang saling bersirapat dan bersikarib dengan mesra, meskipun sastra dipandang sebagai ‘alat’ semata dan bukan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari alam budayanya.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul seiring ancangan kedua tema tersebut. Adakah gagasan yang ingin dijabarkan itu sebagai sebuah ruh modern dengan berusaha memisah sastra dari budaya dan menjadikan sastra sebagai sebuah dunia otonom, meskipun kita tahu, Modern ‘dibaca kembali’, juga keotonomian sastra ‘dikaji’ lagi, seiring dengan politik identitas yang ditabalkan dalam arus global dan adanya kenyataan ‘patung modern’ keropos?
Kiranya banyak hal yang perlu dibicarakan kembali yang tentu saja bisa menjadi satu titik tolak pada perbincangan sastra dan budaya lebih lanjut.

Tarik Ulur Sastra dan Budaya
Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang tidak bersih. Di antara puncak-puncak terjadinya kooptasi sastra dan seni itu adalah ketika kubu Manifes Kebudyaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) terlibat polemik yang tidak hanya menyangkut perihal sastra ‘an sich’, tapi juga ideologi dan gerakan politik yang mendasarinya. Manikebu dengan dasar seni untuk seni, sedangkan Lekra dengan seni untuk masyarakat. Kubu Manikebu dengan dasar humanisme universal dan Lekra menggunakan aliran realisme sosial sebagai dasar kreasinya, meski ketika ditilik lebih jauh, bukan realisme sosial sebagaimana yang digagas oleh Maxim Gorki yang sering dijadikan rujukan bagi sastrawan Lekra.
Pada perkembangannya, sastra Indonesia modern yang dianggap mapan juga tidak steril dari ideologi. Katakanlah, apa yang telah digagas oleh HB Jassin, sebagai sebuah upaya untuk membalut sastra dalam sebuah dominasi ideologi tertentu. Lewat karya-karyanya yang sejalan dengan arus politik di Tanah Air, semisal Angkatan 45, Angkatan 66 dan beberapa karya lain, maka HB Jassin mendesakkan satu ideologi pula, yakni nasionalisme. Meski demikian, bukan berarti apa yang telah dirintis oleh Jassin tanpa menyumbangkan apa-apa dalam sejarah sastra kita, setidaknya Jassin telah menyentuh sastra dengan nilai-nilai manusiawi yang kental, juga dengan pendekatan empati yang tinggi. Di sisi lain, Ariel Heryanto dalam sebuah kajiannya menyebut adanya sastra mapan dan sub ordinat pada masa Orde Baru, dengan paradigma politik sastra yang menjadi latarnya.
Untuk masa sekarang, dengan maraknya wacana pluralisme juga bangkitnya kesadaran baru tentang identitas, bermunculan sastra yang memberi ruang ekspresi pada suara-suara yang selama ini ‘terbungkam’ dan ‘terpinggirkan’. Bisa dilihat pertumbuhan yang signifikan sastra yang berbasis etnis, sastra agamawi, sastra seksis, sastra kanan, sastra kiri, sastra berbasis gender dan label-label sastra lain, serta proyek ‘politik identitas’ lainnya, yang tentu saja, sangat sulit memandang sastra sebagai sebuah bangun yang steril dari kepentingan-kepentingan di luar sastra.

Dari sana, kita tahu bahwa realitas sejarah sastra kita adalah tarik ulur antara sastra sebagai bangun otonom dengan masyarakat dan kulturnya. Apalagi Teeuw pernah memberikan pernyataan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, sastra selalu memilihi hubungan dengan budaya yang melahirkannya, baik itu langsung dan tak langsung. Pun ketika membaca karya sastra, seorang pembaca haruslah seorang yang menguasai sistem bahasa, sistem sastra dan sistem budaya karya/pengarang yang bersangkutan. Dari dua hal itu pun kita tahu, sastra masih ‘menyusu’ dan terkait pada budaya yang melahirkannya. Ternyata, hal itu tidak hanya berlaku dalam sastra kita saja.
Dalam sastra Barat, hal itu pun berlaku untuk beberapa karya, di antaranya adalah novel ‘Animal Farm’, karya George Orwell (1903-1950). Banyak pengkaji dan ahli sastra di Barat yang menjelaskan, bahwa karya itu merupakan simbolisme terhadap kehidupan politik di Eropa saat itu; sebuah fabel politik yang sarkastik. Kisah-kisah hewan itu merupakan personifikasi dari tokoh-tokoh barat dengan segala kebangkrutan moral dan etika mereka. Bisa dikatakan, fiksi merupakan modus penyiasatan untuk menghadapi realitas.
Jika kita merujuk lebih ke belakang, sebenarnya, konsepsi realitas dalam sastra (juga seni) mengalami tarik ulur sejak zaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles sudah memperdebatkannya, terutama yang mengerucut pada konsep idea (Plato) dan creatio (Aristoteles). Pun demikian dalam tradisi sastra modern berkembang aliran sastra realisme, yang dalam tradisi sastra Perancis diwaliki oleh novel ‘Madame Bovary’, karya Gustave Flaubert (1821-1880). Detail yang diangkat dalam novel itu sangat realis. Hal yang sama juga terdapat dalam novel sesudah itu yaitu ‘Germinal’, karya Emile Zola (1840-1902). Bahkan realitas dalam karya sastra itu dianggap berparalel dengan realitas masyarakat saat itu. Dengan kata lain, karya-karya itu dianggap mampu mewakili zetgeist dan geliat zamannya .
Meski demikian, hubungan sastra dan realitas bukanlah hubungan yang mutlak. Hubungan sastra dengan masyarakat/realitas adalah hubungan yang tak stabil, terjadi tarik ulur yang tak kunjung habis. Apalagi dalam disiplin ilmu sastra hubungan antara sastra dan realitas hanya menempati satu cara pandang terhadap sastra, yakni mimesis, dan di luar itu, masih banyak cara pandang lainnya. Apalagi dalam disiplin sastra sendiri berkembang berbagai aliran yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur seberapa fasih imajinasi bisa membahasakan dunia ---dalam hal ini bisa berlaku rekonstruksi, dekonstruksi, mimesis, dan lain sebagainya. Ada realisme, simbolisme, naturalisme, surrealisme, absurdisme, yang masing-masing memiliki bentuk dan gaya tersendiri, juga cara pandang terhadap dunia. Meski demikian koridor yang harus tetap dipegang adalah sastra tetaplah berada pada wilayah fiksi. Dengan kata lain, sastra adalah dunia fiksi, meski kini pun mulai ada peleburan antara fakta-fiksi, juga fiksi dan sejarah. Jika ada yang menariknya ke wilayah lain, sekiranya tanpa menciderai sastra, pun tak masalah.

Kembali pada sejarah sastra Indonesia. Kiranya, selama ini, sastra Indonesia hadir dalam berbagai bingkai, ada yang hadir dengan ideologi, ada pula pula yang tanpa ideologi. Tapi cukup sulit menemukan sastra Indonesia tanpa mengindahkan latar kultur dan latar sosialnya. Pada beberapa sastra daerah yang biasa disebut sebagai sastra tradisional (?), sastra selalu melekat pada kebudayaan masing-masing daerah, dan membawa amanat. Sastra seakan tidak bisa dilepaskan dari perangkat kebudayaan yang melahirkannya. Kasus KRT Ronggowarsito dengan raja Jawa bisa dijadikan bukti. Pun nasib Syekh Hamzah Fansuri di Aceh bisa membuktikan itu. Keduanya mewakili kesusastraan lama kita. Belum lagi jika kita menilik sastra lisan kita yang memang memiliki kesenyawaan dengan bentuk kesenian lainnya dan menjadi penopang bangun kebudayaan yang ada. Pun ketika Indonesia berdiri, maka sastra pun menjadi bagian dari keindonesiaan. Pertautannya pun tidak hanya pada wilayah simbolis semata, tetapi juga bisa keluar dari kerangka karya itu. Untuk sastra Indonesia, maka ancangan pada nilai-nilai nasionalisme pun melekat pada karya sastra, sastra juga dianggap sebagai sebuah ‘shoft power’ yang turut membangun jiwa bangsa.

Namun demikian, sastra sebagai sebuah wilayah otonom juga pernah dijadikan satu pijakan yang menarik dan gagasan ke arah itu pernah dijadikan model pendidikan sastra kita, terutama di perguruan tinggi. Dengan kata lain, gagasan otonomi sastra merupakan gagasan brilian karena sastra menjadi sebuah disiplin tersendiri. Namun, apa yang digagas para ahli sastra dengan paradigma strukturalisme itu kadang hanya terdapat pada wilayah kajian. Perangkat teoritiknya juga ada, mulai dari formalisme Rusia, strukturalisme Perancis, naratologi dan lainnya. Sampai-sampai memunculkan satu ancangan ‘Pengarang Sudah Mati’. Namun kerapkali perangkat teoritik itu dianggap tidak mencukupi untuk menjelaskan berbagai hal dan kompleksitas masalah, sehingga banyak direduksi pada wilayah lain, serta meletakkan sastra pada bingkai kebudayaan yang lebih luas, sebagaimana munculnya gagasan tentang orentalisme, kritik sastra Marxis, cultur studies dan lainnya. Dengan demikian, maka campur tangan sesuatu di luar sastra pun tak terhindarkan. Apalagi ternyata ‘arus dunia’ ---termasuk materialisme, kapitalisme, dan industri budaya, memang selalu meletakkan ‘beban’ di pundak sastra, sehingga sastra tidak bisa mandiri sebagai sebuah dunia.


Semacam Konklusi
Pada kenyataannya, ‘selingkuh itu indah’ memang mengejawantah dalam hubungan sastra dan budaya, jika hubungan di antara keduanya memang dianggap sebagai ‘selingkuh’. Buktinya, semakin maraknya ragam ekspresi sastra di Indonesia yang bisa dimaknai sebagai sebuah politik identitas memang memposisikan sastra sebagai ruang ekspresi dan hasrat dalam pendakuan diri, perihal ‘kelas’ dan jati diri.
Para sastrawan perempuan kita yang sering menulis dunia perempuan dengan cita rasa metropolis dan seksis ---dan kerap menggambarkan perempuan sebagai ‘sontoloyo’ bisa pula dimaknai sebagai hal itu, seperti karya Ayu Utami, Djenar Mesa Ayu dan lain-lainnya. Meski demikian di luar itu, ada pula sastrawan perempuan yang sadar diri dan berwawasan gender menulis perempuan dengan semangat kesetaraan gender yang bergelora, semisal dalam ‘Geni Jora’ karya Abidah El Khalieqy.

Dari gambaran tersebut, maka sastra tanpa ideologi, mandiri dan otonom dalam dunianya sendiri menjadi sebuah angan-angan yang cukup mewah untuk arus dunia saat ini, meski itu bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, posisinya kini pun harus berjajar, bahkan bersaing, dengan berbagai mode ekspresi lainnya yang juga marak dan menghuni ruang baca kita. Keberadaannya bisa menjadi satu tawaran yang memungkinkan sastra bisa sebagai ‘pembanding’ dan penyeimbang, terhadap budaya massa bahkan budaya populer yang sungguh sangat meresahkan hati. Meski kita pun harus sadar diri, bahwa sastra bukanlah dunia sempurna dan menawarkan segalanya. Konsep ideal yang ditawarkan adalah konsep ‘menuju sempurna’, sehingga ‘proses’ menjadi kendaraannya.

Harus pula diakui, bahasa yang menjadi sarana sastra, tentu tak bisa memindahkan dunia ---baik fakta maupun fiksi—seutuhnya. Bahasa tidaklah bisa mewakili apa yang hendak diutarakan dengan segala kepenuhannya. Bukan hanya reduksi yang terjadi, tetapi juga salah tafsir dan sebagainya. Jika diibaratkan dengan orang yang menunjuk matahari, maka bahasa hanyalah yang menunjuk. Tentu penunjuk itu berbeda dengan mataharinya. Namun, yang terjadi salah kaprah, bahwa penunjuk itu dianggap sudah mewakili rembulan. Dalam konsep ini, apa yang digagas oleh Jacques Derrida perihal hubungan antara penanda dan petanda mendapatkan porsinya yang tepat dengan mengedepankan adanya keberjarakan, jejak, dan radikalisasi konsep arbitrer antara bahasa dan acuannya.
Ada dua fakta terkait dengan keterbatasan bahasa dalam mengkonstruksi dunia. Pertama, adanya bahasa universal yang tidak terkotak pada bahasa-bahasa manusia berdasarkan ras, negara dan lainnya. Bisa dilihat pada novel ‘The Alkemis’ karya Paulo Coelho dan ‘Leo The African’ karya Amin Maalouf. Kedua, ada sesuatu yang tidak bisa terbahasakan dengan bahasa-bahasa manusia. Ketakberhinggaan dan ketidakmampuan manusia membahasakannya. Hal ini meliputi masalah membahasakan Tuhan: logos yang tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menembus theos.

Dengan melihat berbagai hal itu, maka dalam memahami sastra pun harus berlandas pada khittah sastra sebagai dunia mungkin, dunia yang bisa jadi tanpa solusi, tanpa kemutlakan dan menggugah, juga kompleks. Siapapun bisa memahami sastra sebagai sebuah teks, yang tentu mengandung sesuatu yang diandaikan obyektif. Ruang penciptaan yang menjadi basis bisa menjadi tumpuan terkait dengan sastra yang lepas dari idelogi atau sastra ideologis. Sastra juga tergantung pembaca. Dengan horison harapan pembaca, serta latar belakangnya, maka pembaca bisa menarik ke manapun sastra. Ia bisa menambah dan mengurangi nilai yang terkandung dalam karya sastra, sesuai dengan potensi dirinya.

Dalam kaitan ini, memahami sastrawan dari berbagai dimensi adalah sesuatu yang juga paling mungkin. Selain menulis karya-karya yang merespon dan tergugah oleh realitas yang terjadi, sastrawan juga membuat karya yang brillian yang menyangkut dunia sastra sendiri. Sebagaimana Chairil Anwar yang dianggap sebagai penyair yang bisa menerjemahkan gagasan modern yang diancangkan oleh Surat Kepercayaan Gelanggang dalam karyanya dan dianggap melakukan pembaharuan terhadap sastra Indonesia pada masa Pujangga Baru, juga pembaharuan bahasa Indonesia. Pun Sutarji Calzoum Bachri dianggap mampu melengkapi mata perpuisian Indonesia. Jika Chairil dianggap mata kanan, maka ia pun mata kirinya, yang ternyata mengambil basis lokal, dengan warna kultur Melayu, terutama mantra, sebagai penegas identitas perpuisiannya yang juga mampu melakukan pembaharuan terhadap corak perpuisian di Indonesia.

Selain itu, dalam sejarah sastra kita terbukti beberapa karya yang ditulis ‘demi sastra’ memang memiliki dimensi yang menarik dan berkualitas. Dalam prosa karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan lainnya. Pun pada puisi, seperti puisi Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noer, D Zawawi Imron, Linus Suryadi Ag, Kriapur, Franz Nadjira, Hery Lamongan dan lain-lainnya. Karya-karya itu menyimpan jejak pengetahuan yang sublim, yang meski tanpa berpretensi apapun ---termasuk ideologi, telah memberikan begitu banyak arti bagi manusia dan kehidupan. Hal itu karena banyak sastrawan yang tak bisa melepas ideologinya dalam berkarya, di antara yang paling kental adalah ‘ideologi’ kemanusiaan.


Epilog
Gagasan sastra tanpa ideologi menyiratkan sebuah dimensi menarik terkait pertumbuhan sastra. Dengan demikian, sastra tak hanya berpretensi sebagai alat semata. Dengan demikian tawaran estetikanya bisa menjadi landasan yang penting seiring dengan tumbuh berkembangnya sastra sebagai dunia tersendiri. Meski demikian, bagi kita masih terlalu banyak hal yang perlu dibenahi untuk mewujudkannya karena sebagai sebuah dunia ketiga dengan masa kini yang masih timpang, masa lalu yang belum selesai dan gempuran ‘masa depan industri budaya’, maka melepaskan sastra dari bingkai budaya merupakan hal yang terlalu ‘beresiko’. Dengan kata lain, sastra masih diperlukan untuk bercermin, tempat ‘pulang’, serta menimba kearifan yang murni. Tidak diturutkannya kebebasan, karena saat ini kebebasan berekspresi sudah terbuka demikian lebar.
Di sisi lain, seiring dengan ‘tanggung jawab’ yang tak langsung itu, ada kemungkinan menarik. Lewat sastra maka upaya penyingkapan pada ranah-ranah yang selama ini sulit terjamah dalam lapis ketaksadaran kolektif kita, bisa lebih sublim dan dalam, sehingga trauma sejarah dan ingatan bisa diredam. Sastra juga bisa menjadi mode kreasi alternatif yang bisa dengan jernih melihat permasalahan kehidupan. Tentu, masih banyak kemungkinan lainnya yang ada, di antaranya sastra sebagai sumber inspirasi yang tak kering untuk dipasu ‘airnya’ dan selalu menawarkan kesegaran baru.

Sementara itu, untuk menuju pada proses jati diri sastra kita, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, semakin maraknya sastra ideologis ---kiranya asal mutu sastranya terjaga tak masalah, semisal adanya muatan-muatan politis, agamawi dan lain-lainnya. Kedua, tidak perlu diturunkan strandart sastra yang bisa menawarkan ‘sebuah dunia’ yang bermain pada wilayah pralambang, penuh jejak pemikiran dan memberikan tawaran estetik yang baik dan menarik. Jenis sastra ini adalah sastra serius (sebenarnya sastra serius juga ada yang ideologis). Ketiga, perkembangan jenis sastra yang menghamba pada industri budaya ---populer dan massa, yang semakin pesat, yang tentu saja arahnya ke hiburan. Tak menutup kemungkinan, masih ada catatan lainnya.

Semoga makalah ini bisa menjadi penghantar diskusi yang membuka beribu-ribu pintu pengetahuan. (*)





*] Disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra ‘Memahami Dunia Melalui Konstruksi Kata-kata, Telaah Kritis atas Logosentrisme Dunia Makna, di Aula Pascasarjana UIN Malang, tanggal 18 Desember 2007.

Rabu, 05 Maret 2008

Sajak Mashuri

Incest

Kuingin kau menjelma sundalku. Berangkat dari gelegar tertahan, penantian pada kekosongan dan memuja senja sebagai awal pengembaraan. Lalu di batu itu, batu yang setiap waktu merajam kepalaku, kita bisa telentang bersama, berdzikir bersama, dan mengaji setiap kerinduan, setiap geletar birahi, dengan mimpi-mimpi. Menuju abadi. Kuingin kau tidak memandangku sebagai pencetus darahmu. Kuingin kau memandangku dengan gairah seorang pemburu.
Tapi di belah farji, kau tetap menyematkan sebuah terali. Adakah kau ingin mengurungku, agar aku tidak bisa bebas tuk terbang dan menjemput setiap kenangan, setiap sintuh untuk menuju musnah, dan pemerian pada kala. Mungkin penyangkalan itu bukan kehendakmu, sebab aku ayahmu dan aku tahu, kau terlalu lemah untuk menolak kehendakku. Kau masih berkutat pada rimba dahagamu, bersimaharaja dengan keremajaan dan tak tahu, bahwa sahwat adalah tempat bertahta malaikat. Kau selalu mengabaikannya dan mengutuknya sebagai sarang para hantu.
Jika kau sudah melangkah dan melihat sebuah keinginan tertunda, kau pasti akan mendengar tarian-tarian daun, tarian laut, ketika maut berada di puncak-puncak api, bersekutu dengan tubuh, untuk melarung diri dalam sebuah genang air raksa: hampa. Kau akan tahu, lalu kaubimbing desah nafasmu yang memburu seperti ular dan kaulingkarkan pada mata batin.
Mungkin ketika kau bersijingkat, menghitung berapa butir pelir yang telah kau kunyah, aku tak akan lagi mengenalmu. Seperti tak kukenal dirimu, ketika kau masih berkutat di garba, mengenang pada kama, pada sel telur ibumu. Lalu kulaknati diriku sebagai lelaki dan kupuja segala tonggak yang berdiam di sukmaku. Kuingin kau menyebutku kekasih, lelaki dari negeri mimpi, bukan ayahmu. Kuingin kau menganggapku, seperti ibumu merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
Tahukah kau, dari penghkhianatan kita, dunia akan terjelma. Lalu kita berjalan di atasnya sebagai seorang bandit, yang telah lupa kapan dan di mana waktu pulang. Kita terus melangkah dan melangkah, merenggut kebebasan dan mengekalkan penyangkalan pada setiap indra yang terpahat di lahat. Kuingin kau menerima benih yang telah kusebarkan dan kaupupuk di haribaan, hingga ia tumbuh menjelma ingatan.
Ketika kau bangun dari telentangmu, kau akan melihat anak-anak kita telah bersenda dengan penguasa segala kebejatan. Ia bermahkotakan kegelapan, sedangkan kita dibaptis sebagai pecundang agung yang tak akan dilupakan waktu.

Surabaya, 2003

Ngising

Di atas kakus, kita adalah pemburu. Burung-burung akan terbang, lalu dengan sepucuk senapan kita bisa menembaknya dan membawanya di atas bara. Lalu kita bernyanyi bersama, bersuka bersama.
Tapi di atas yang bernama bahgia adalah air mata. Seperti ketika kita merajam segala yoni, dengan batu, dengan diam dengan kedihan dan segala umpatan-umpatan yang membahana. Lalu tangis merajut diri menjadi manik-manik indah, berhias di mata dan memberkati kita untuk melangkah: pergilah!
Di kakus, kita bisa melakukan segalanya. Meski bermain dalam bayang, bermain antara lupa dan ingat, dan kadang-kadang kita terperosok pada kekafiran. Tapi kita telah menjadi akrab dengan diri, dengan setan dan dengan segala kebejatan. Kita benar-benar menjadi nabi, sekaligus iblis.
Ketika batang-batang kaktus itu menyembul dari anus. Kita tahu, kita butuh sekarat, untuk mengerti rasa sakit. Kita butuh darah untuk melepaskan gairah. Kita butuh duri untuk menguji, segala hal yang pernah kita ikrarkan: tentang tarian-tarian, persetubuhan liar dan nyanyian pujaan pada hari perkabungan. Atau kita harus menyiksa tubuh kita sendiri, agar kita bisa merasakan kebebasan dengan tandas.
Tapi di atas segala yang bernama rasa sakit adalah air mata. Seperti ketika kita berjumpa perselingkuhan kekasih, lalu kita mengikrarkan perzinahan semesta. Biarlah burung-burung itu terbang, biarlah aroma birahi membakar, biarlah segala kesucian menjadi lantak tak bersisa.
Siapa tahu, di atas rasa sakit, di atas derita dan darah, di atas kesesatan, ada yang lebih abadi. Seperti mimpi, seperti menghirup bau busuk, seperti kelezatan ketika melepaskan beban dan dahaga. Lalu kita bertekad melayarinya, mencicipi asin darah, melepas tawa bahagia dan terus menghunus anus dengan tombak, dengan gairah.
Di atas kakus, kita tahu, ada yang abadi: tahi.

Surabaya, 2003

Di Tepi Serambi

Pejamkan matamu, kau akan melihat kunang-kunang beterbangan; kunang-kunang yang mungkin tercipta dari kuku jasad ibu-ayahmu, jasad yang telah terkubur ketika kau baru belajar mengingat dan kini ingatanmu itu seperti gambar bergoyang yang terus memutar pinggulnya, jasad yang mungkin kini telah lebur bersama debur gelombang dan waktu; kunang-kunang yang akan memberimu harapan bahwa di gelap berpalung-palung itu masih ada kelebat cahya penuntun
sungguh, pejamkan matamu, kau akan tahu di balik sungkawa yang menyesak nyawa, bergetar air harap yang bercucuran dari lubuk ratap ---kehilanganmu
Pejamkan matamu, agar jiwamu tak terusik oleh pernik duri yang berjejalan dan berserak di jalan sepi, agar kau tak berbalik menelisik sisik ikan yang tanggal di tapal pelabuhan, agar matamu tak semata mata ikan ---yang tak bisa berkedip, yang selalu berjaga dan begitu sengsara memahami arus dunia yang kadang tak malas untuk menggerusmu dan menghempaskanku ke tepian karang, tempat pantai penghabisan menunggu pembaptisan: antara siksa dan maut…
Pejamkan matamu, agar dunia yang terenda di luar sana, bisa kau tangkap dan tak terpangkas oleh liar bola matamu yang selalu bergerak-gerak seperti ombak. Ombak yang selalu menggulung relung dalam akuarium kalbu, gelembung udara yang bergesa karena rekayasa paru, pernik ganggang buatan, juga sekian juta plankton yang bersembunyi di balik kerumun buih yang terus berlari dengan rintih yang tak pernah bisa diurai dalam sekian dalih…
Kelak ketika kau bisa memejamkan mata sendiri, kau akan menyaksikan berpuluh lampu yang jumawa menjemputmu, memenuhi kelopak netra, berkelebatan antara retina dan kornea, sehingga kau akan menyaksikan seribu mercusuar terbangun dari cahaya dan dengan sabar melihatmu melangkah, menuju pulau ingatmu yang bersudah, meski darah bersimbah, meski luka kembali nganga…
Pejamkan matamu…

Surabaya, 2008