Rabu, 05 Maret 2008

Sajak Mashuri

Incest

Kuingin kau menjelma sundalku. Berangkat dari gelegar tertahan, penantian pada kekosongan dan memuja senja sebagai awal pengembaraan. Lalu di batu itu, batu yang setiap waktu merajam kepalaku, kita bisa telentang bersama, berdzikir bersama, dan mengaji setiap kerinduan, setiap geletar birahi, dengan mimpi-mimpi. Menuju abadi. Kuingin kau tidak memandangku sebagai pencetus darahmu. Kuingin kau memandangku dengan gairah seorang pemburu.
Tapi di belah farji, kau tetap menyematkan sebuah terali. Adakah kau ingin mengurungku, agar aku tidak bisa bebas tuk terbang dan menjemput setiap kenangan, setiap sintuh untuk menuju musnah, dan pemerian pada kala. Mungkin penyangkalan itu bukan kehendakmu, sebab aku ayahmu dan aku tahu, kau terlalu lemah untuk menolak kehendakku. Kau masih berkutat pada rimba dahagamu, bersimaharaja dengan keremajaan dan tak tahu, bahwa sahwat adalah tempat bertahta malaikat. Kau selalu mengabaikannya dan mengutuknya sebagai sarang para hantu.
Jika kau sudah melangkah dan melihat sebuah keinginan tertunda, kau pasti akan mendengar tarian-tarian daun, tarian laut, ketika maut berada di puncak-puncak api, bersekutu dengan tubuh, untuk melarung diri dalam sebuah genang air raksa: hampa. Kau akan tahu, lalu kaubimbing desah nafasmu yang memburu seperti ular dan kaulingkarkan pada mata batin.
Mungkin ketika kau bersijingkat, menghitung berapa butir pelir yang telah kau kunyah, aku tak akan lagi mengenalmu. Seperti tak kukenal dirimu, ketika kau masih berkutat di garba, mengenang pada kama, pada sel telur ibumu. Lalu kulaknati diriku sebagai lelaki dan kupuja segala tonggak yang berdiam di sukmaku. Kuingin kau menyebutku kekasih, lelaki dari negeri mimpi, bukan ayahmu. Kuingin kau menganggapku, seperti ibumu merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
Tahukah kau, dari penghkhianatan kita, dunia akan terjelma. Lalu kita berjalan di atasnya sebagai seorang bandit, yang telah lupa kapan dan di mana waktu pulang. Kita terus melangkah dan melangkah, merenggut kebebasan dan mengekalkan penyangkalan pada setiap indra yang terpahat di lahat. Kuingin kau menerima benih yang telah kusebarkan dan kaupupuk di haribaan, hingga ia tumbuh menjelma ingatan.
Ketika kau bangun dari telentangmu, kau akan melihat anak-anak kita telah bersenda dengan penguasa segala kebejatan. Ia bermahkotakan kegelapan, sedangkan kita dibaptis sebagai pecundang agung yang tak akan dilupakan waktu.

Surabaya, 2003

Ngising

Di atas kakus, kita adalah pemburu. Burung-burung akan terbang, lalu dengan sepucuk senapan kita bisa menembaknya dan membawanya di atas bara. Lalu kita bernyanyi bersama, bersuka bersama.
Tapi di atas yang bernama bahgia adalah air mata. Seperti ketika kita merajam segala yoni, dengan batu, dengan diam dengan kedihan dan segala umpatan-umpatan yang membahana. Lalu tangis merajut diri menjadi manik-manik indah, berhias di mata dan memberkati kita untuk melangkah: pergilah!
Di kakus, kita bisa melakukan segalanya. Meski bermain dalam bayang, bermain antara lupa dan ingat, dan kadang-kadang kita terperosok pada kekafiran. Tapi kita telah menjadi akrab dengan diri, dengan setan dan dengan segala kebejatan. Kita benar-benar menjadi nabi, sekaligus iblis.
Ketika batang-batang kaktus itu menyembul dari anus. Kita tahu, kita butuh sekarat, untuk mengerti rasa sakit. Kita butuh darah untuk melepaskan gairah. Kita butuh duri untuk menguji, segala hal yang pernah kita ikrarkan: tentang tarian-tarian, persetubuhan liar dan nyanyian pujaan pada hari perkabungan. Atau kita harus menyiksa tubuh kita sendiri, agar kita bisa merasakan kebebasan dengan tandas.
Tapi di atas segala yang bernama rasa sakit adalah air mata. Seperti ketika kita berjumpa perselingkuhan kekasih, lalu kita mengikrarkan perzinahan semesta. Biarlah burung-burung itu terbang, biarlah aroma birahi membakar, biarlah segala kesucian menjadi lantak tak bersisa.
Siapa tahu, di atas rasa sakit, di atas derita dan darah, di atas kesesatan, ada yang lebih abadi. Seperti mimpi, seperti menghirup bau busuk, seperti kelezatan ketika melepaskan beban dan dahaga. Lalu kita bertekad melayarinya, mencicipi asin darah, melepas tawa bahagia dan terus menghunus anus dengan tombak, dengan gairah.
Di atas kakus, kita tahu, ada yang abadi: tahi.

Surabaya, 2003

Di Tepi Serambi

Pejamkan matamu, kau akan melihat kunang-kunang beterbangan; kunang-kunang yang mungkin tercipta dari kuku jasad ibu-ayahmu, jasad yang telah terkubur ketika kau baru belajar mengingat dan kini ingatanmu itu seperti gambar bergoyang yang terus memutar pinggulnya, jasad yang mungkin kini telah lebur bersama debur gelombang dan waktu; kunang-kunang yang akan memberimu harapan bahwa di gelap berpalung-palung itu masih ada kelebat cahya penuntun
sungguh, pejamkan matamu, kau akan tahu di balik sungkawa yang menyesak nyawa, bergetar air harap yang bercucuran dari lubuk ratap ---kehilanganmu
Pejamkan matamu, agar jiwamu tak terusik oleh pernik duri yang berjejalan dan berserak di jalan sepi, agar kau tak berbalik menelisik sisik ikan yang tanggal di tapal pelabuhan, agar matamu tak semata mata ikan ---yang tak bisa berkedip, yang selalu berjaga dan begitu sengsara memahami arus dunia yang kadang tak malas untuk menggerusmu dan menghempaskanku ke tepian karang, tempat pantai penghabisan menunggu pembaptisan: antara siksa dan maut…
Pejamkan matamu, agar dunia yang terenda di luar sana, bisa kau tangkap dan tak terpangkas oleh liar bola matamu yang selalu bergerak-gerak seperti ombak. Ombak yang selalu menggulung relung dalam akuarium kalbu, gelembung udara yang bergesa karena rekayasa paru, pernik ganggang buatan, juga sekian juta plankton yang bersembunyi di balik kerumun buih yang terus berlari dengan rintih yang tak pernah bisa diurai dalam sekian dalih…
Kelak ketika kau bisa memejamkan mata sendiri, kau akan menyaksikan berpuluh lampu yang jumawa menjemputmu, memenuhi kelopak netra, berkelebatan antara retina dan kornea, sehingga kau akan menyaksikan seribu mercusuar terbangun dari cahaya dan dengan sabar melihatmu melangkah, menuju pulau ingatmu yang bersudah, meski darah bersimbah, meski luka kembali nganga…
Pejamkan matamu…

Surabaya, 2008

Tidak ada komentar: