Minggu, 31 Agustus 2008

Esei Sastra Mashuri














Merindu Genre Puisi Epik di Jawa Timur


Oleh Mashuri

Peta perpuisian Nasional setelah 2000 memang diwarnai dengan banyaknya puisi gelap yang bersumber dari penyair Jawa Timur. Sederet nama sudah didaftar S Yoga dalam Kompas (Selasa/22 Juli 2008), yang bertajuk: ‘Taman Puisi Gelap Jawa Timur’. Kenyataan itu memang membanggakan. Meski demikian, ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan dinamika sastra di Jawa Timur, yakni absennya jenis puisi epik. Padahal secara historis dan kultural, Jawa Timur adalah lumbung puisi epik. Di sisi lain, lewat puisi epik, sastra juga bisa membumi di masyarakatnya sendiri.

Puisi epik seringkali dipahami tidak bersemangat puisi modern oleh kalangan penyair dan sastrawan Indonesia. Pasalnya, epik dianggap terlalu klasik dan memapankan pusat, karena bertumpu pada tokoh-tokoh sentral dan heroik. Padahal jika diurai kembali, lewat epiklah sastra Eropa dan dunia menjadi besar. Tentu saja, anggapan salah kaprah itu harus direvisi ulang. Apalagi di kalangan penyair Indonesia, anggapan itu muncul karena terkait dengan ruang sastra modern Indonesia, yang lebih bertumpu pada majalah dan koran, yang tentu saja sangat terbatas dan tidak memungkinkan mengeksplore kekayaan dan kemungkinan dari epik. Padahal dari puisi epik bisa memungkinkan mencapai banyak hal, baik dari sastra/puisi, maupun dari kultur lebih luas.

Dari sisi kultur, puisi epik bisa mengungkai banyak hal yang tersembunyi dari lapis kesadaran masyarakat, yang tercerabut dari akar jati diri. Apalagi pengaruh luar sudah tak terbendung seperti sekarang ini. Pasalnya, epik selalu mengacu pada sejarah dan ingatan kolektif, yang dari sanalah bisa dirunut tentang berbagai hal di masa lalu dengan persimpangan dan pertemuannya. Dalam konteks ini, puisi epik bisa berupa tafsir kesejarahan yang kontekstual, sesuai dengan zeitgeist/semangat zaman, yang bisa sebagai tawaran/alternatif wacana dari arus hiperreal. Apalagi puisi epik juga bisa menimang banyak bidang, baik itu aras sastra, budaya, sosial, filsafat dan lain-lainnya. Sehingga kebutuhan pada pembacaan sosio-kultur yang holistis, yang pada dasawarsa saat ini sangat dibutuhkan, bisa tercukupi.

Jika dilihat dari segi sastra, bentuk puisi epik memiliki akarnya. Sejarah sastra Indonesia tidak terputus dari akar kesusastraan, yang kerap berupa epik. Dari sinilah, landasan berpuisi/bersastra bisa sambung dengan tradisi kesusastraan yang menjadi akar sastra masyarakat, karena bagaimanapun tidak ada ‘karya yang lahir dari kekosongan’ budaya’ (mengutip pendapat A Teeuw). Ditambah lagi, tradisi puisi Jawa Timur (terutama sastra lisan) sangat bernuansa epik, dengan metrum lama: tembang, dan sampai kini masih sering dijumpai di masyarakat tradisi. Dari sinilah gagasan membumikan sastra Indonesia bisa dimulai. Apalagi selama ini, ada kesan kesusastraan modern kita, tercerabut dari akar tradisinya dan tidak lagi bersentuhan dengan masyarakat yang melahirkannya. Tawaran tentang puisi epik dengan nuansa baru yang berbahasa Indonesia/hibdird, yang mengangkat epik Jawa Timur, merupakan tawaran yang menjanjikan dari segi kreativitas, bahwa yang lawas dan yang modern bisa tersaji bersama dalam sebuah inovasi puisi.

Potensi Puisi Epik

Dalam sejarah sastra Melayu lama, dikenal dengan cerita Panji. Cerita itu ternyata menyebar ke seantero Asia Tenggara, baik itu Tailand, Malaysia, dan Singapura. Ketika diusut, cerita itu berpulang pada kesusastraan Jawa lama, yang bersumber dari kepustakaan kerajaan Kediri di masa lalu, yakni mengangat kisah epos Raden Panji Asmorobangun, raja Daha (sekarang Kediri). Meski cerita Panji itu telah mengalami metamorfosa di ranah seberang, tetapi latarnya masih menyangkut wilayah kemunculannya dan Jawa Timur.

Cerita Panji adalah salah satu contoh epik Jawa Timur, yang ditulis dalam bentuk puisi, meski berkembang pula dalam bentuk prosa di beberapa ranah seberang. Puisi epik yang lebih lama juga dapat kita jumpai dalam beberapa khasanah Jawa Kuno lain, yang tumbuh dan berkembang di Jawa Timur, seperti Pararaton (kisah tentang Ken Arok), Arjunawiwaha (tentang Prabu Airlangga) serta berbagai khasanah lainnya, yang transformasi pengetahuan dan literernya sangat sulit kepada generasi sekarang.

Dalam beberapa pagelaran sastra tradisional, sastra epik dalam bahasa Jawa, masih kerap dipentaskan. Biasanya dalam bentuk tembang, dan sering sebagai pegiring bentuk lakon atau drama. Hal itu karena dalam khasanah sastra tradisional, sastra umumnya ditulis dalam bentuk puisi, dengan beberapa aturan ketat, agar nanti bisa ditembangkan dan diiringi musik. Bisa dijumpai pada pagelaran wayang, ludruk, kentrung dan lain-lainnya.

Dengan adanya berbagai khasanah epik, yang tentu saja sekarang masih hidup dan dihidupi masyarakatnya, maka diperlukan sebuah penulisan kembali khasanah itu dalam bentuk puisi epik. Soal genre puisi epik ini bukan harga mati, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati, yang menunjukkan kelebihan genre ini bila digarap bila dibandingkan dengan genre lainnya, semisal prosa. Kelebihan puisi epik adalah:

Pertama, pertimbangan peta perpuisian nasional, yang saat ini cenderung lirik, tanpa menawarkan hal-hal baru, dan terjebak pada homogenitas. Kedua, dinamika kesusastraan jatim. Pertimbangannya, selain puisi surealis dan gelap, tentu harus ada warna lain yang lebih menjanjikan dan memberi warna dan keragaman pada perpuisian Jawa Timur. Ketiga, dinamika kultur. Dengan adanya sentuhan dan tafsir baru pada kekayaan kultur lewat eposnya, maka dialektika budaya akan lebih dinamis karena puisi lebih bersifat psiko-sosial. Ketaksadaran kolektif bisa dirunut muasal dan akarnya. Terlebih lagi, puisi epik dimungkinkan bisa mendekatkan sastra dengan masyarakat, tanpa menurunkan kadar literernya. Selama ini, ada kecenderungan mendekatkan sastra dengan masyarakat/komunitasnya dengan cara menurunkan kadar literernya, yang tentu saja merupakan tindakan ceroboh dan bodoh.

Tentu saja, puisi epik dalam hal ini bukan terpaku pada ihwal normatif semata, tetapi juga merupakan hasil dari ‘eksperimentasi kreatif’ yang menjanjikan tawaran-tawaran baru. Bagaimanapun hakekat sastra adalah ketegangan antara konvensi dan inovasi (mengutip A Teeuw lagi). Dengan demikian, diharapkan muncul puisi epik dengan ruh pembaharuan, yang bisa saja bercorak antiepik, antihero dan lain-lainnya, atau bahkan memunculkan epik baru yang ternyata bisa lebih inspiratif dan imajinatif.

Sementara itu, jika ada penyair yang menulis puisi epik dalam dalam bahasa Jawa/Osing atau Madura, sebagaimana bahasa etnis subkultur Jawa Timur, tentu tidak menjadi soal dan lebih kental warna lokalnya. Namun karena ini menyangkut sumbangsih dalam peta perpuisian Indonesia, maka akan lebih menarik ditulis dalam bahasa Indonesia. Apalagi, spirit lokal pun tetap bisa dicapai dalam bahasa nasional. Selain itu, untuk saat ini, puisi epik berbahasa Indonesia bisa dibilang langka dan tawaran kreatif ini bisa menjadi pionir yang sungguh indah.

* Artikel ini pernah dimuat di Kompas Jatim.

Kamis, 07 Agustus 2008

Sajak-sajak Teler


Sajak Mashuri


Doa Kutilang

aku berdoa dengan tangan disalibkan karena harapan hanya bunyi yang kelewat sumbang didengarkan: elli, elli, elli! lalu laut dadaku susut bagi tembikar yang kering usai dibakar; jantungku bernyanyi serupa derap sepatu tentara yang berlari ---ah, aku harus mengungsi ke mana, jika nanti kemah jiwaku dibongkar dan hartaku yang terpendam bakal menjelma bohlam yang ‘lah padam.

aku pun merasa ditinggalkan kutilangku, burung yang selalu bernyanyi di aliran aortaku ---suaranya yang memagut lautku agar tetap berdebur dan tak undur ke surut, kicaunya bagai gelombang pasang yang menarik perahu-perahu pencarianku ke tengah pelayaran; kini rautku serupa rambut ibu yang sepuluh tahun tak tersentuh ---jiwaku pun mengapung, hanya bebayang lanun yang terjelma di ubunku seperti sebuah kesetiaan pada usia yang sia-sia; aku pun menyentuh nyawaku yang tinggal di kerongkongan, agar ia berjanji untuk tetap sepi dan tak bermimpi tentang firdaus nan kudus, agar ia tetap menghunus arus dan menolak ajakan-ajakan...

di ujung sekarat, aku mendengar kicau kutilangku ---tapi ia kelewat berat membuka pintu kalbuku; aku pun berdoa dengan tangan terentang, lalu membayangkan darah mengalir kembali dari rahim ibu, membasahi tubuhku, memerahkanku, lalu berharap ibu melahirkanku kembali dalam wujud laut dengan debur yang tak habis-habisnya, laut yang di palungnya berbiak nyanyian-nyanyian kutilang dan mengalir di pembuluhku tanpa nada sumbang…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Membaca Lontar

aku membaca dari balik kaca, ketika kata berpilin dan huruf raib dari mata ---hanya tampak titik-titik panjang yang berjejak seperti tilas tinta yang membekas, yang aku harus merunutnya menjadi amsal bermakna; aku tak bisa memunguti sisa-sisa ---huruf-huruf lain seakan beringsut, udzur dan tak dikenali; tapi ketika kaca itu dipecah, segalanya berhamburan ke muka, seperti air yang muncrat dan memikat segala tempat untuk menerima; lalu segalanya menjadi sebuah titik tersendiri, titik balik dari keriuhan dunia...

Itulah peristiwa yang sempat aku ingat: seserpih pipih kaca menancap di ubunku, seserpih lain mengoyak pelupukku, dan seserpih lagi membuka ruang hening yang bersemayam di kalbu ---aku pun menjerit seperti burung hitam melihat maut; jeritku memilu hingga gemanya membuat langit-tuah di lembar-lembar lontar itu tertebar, tapi ada yang terbakar dari diri; aku pun mengerti, kaca itu telah menjadi tabir dari kehadiranku yang ingin sempurna

setelah kaca pecah, dalam gelap, aku mendapati lontar-lontar itu terbuka, lembar-lembar itu tertata dan seluruh aksara berbicara laiknya seorang pendongeng pada kanak-kanak yang dengan setia menunggu kata per kata seperti butiran permata.

Surabaya, 2008


Sajak Mashuri

Insomnia Ruang Kaca

aku tulis surat cinta yang paling bugil kepadamu, ketika pupilku terjaga dan ruang mencabuli hasratku dengan jemu; surat itu aku lipat di bawah kemeja, yang kemarin baru saja disetrika, agar ia sampai kepadamu dengan wangi raga, juga menunjuk pada kerapianku menyembunyikan sebuah rahasia ---tapi rahasia bisa jadi hanya seutas kata percuma, ketika kamarku diselimuti dinding kaca, dan siapapun bisa melihat sosokku yang memunguti aksara di hati lalu menempelkannya di lembar-lembar bergambar mawar; siapapun tahu sepanjang malam itu aku selalu terjaga dan dari mulutku aku mengigau namamu; aku terlalu kesurupan untuk menjadi diriku sendiri dan berhadapan denganmu sebagai pribadi…

aku pun memuja malam, karena di malam itulah aku bisa bersembunyi…

aku pun mengutuk diriku sendiri karena di ruang itu, aku tak menemukan kamar mandi, aku tak menemukan cermin di dinding, juga diriku yang utuh dengan cabang-cabang riuh harapan yang selalu menuju dirimu ---apalagi pada saat aku bayangkan dirimu menari, di antara seprei dan kasur, aku bisa menangkapmu di balik selimut, lalu menuliskan surat itu ke tubuhmu, dengan lidah, gigi, juga dengan hasrat yang bernama berahi…; saat bayangku pudar, aku pun orgasme sendiri dengan mematikan lilin yang nyala dan menutup mata, karena aku begitu ingin sendiri, tanpa mata-mata yang menatapku dan membuatku seakan sebagai terdakwa

jika kelak kau membaca suratku itu, aku ingin kau lepaskan gaunmu satu-satu, lalu kau berguling ke balik malam, karena aku sudah menunggu di sana, dengan selimut kegelapan yang aku curi dari ruang kaca; ruang yang ternyata begitu bercahaya bila dilihat dari luar sana.

Surabaya, 2008


Sajak Mashuri

Bintang Jatuh di Hatiku

Senja mulai pudar, sayangku. Mega-megah telah beralih rupa. Udara telah basah. Jangan diam mematung, mari berarak menapaki jejak bunga, memberi pesan pada waktu, agar ia sabar menunggu. Siapa tahu, kita bisa menemukan kuntum rekah di sela batu

Aku tak tahu sampai di mana kau simpan bentang rahasia, sehingga aku tak menemu pucuk buhulnya. Aku pun hanya bisa menebak, ada yang semerbak di ruang dadamu, seperti aliran kesturi, seperti buai mimpi-mimpi, seperti dunia kecil dengan beribu-ribu peri. Aku pun ingin sabar menunggu seperti keinginanku pada waktu, tapi…

“Aku akan memilihmu, bila ada bintang jatuh di hatiku,” katamu.

Aku bebal membacanya, sayangku. Tidak tahukah kau bahwa bintang tak pernah hilang dari langit hatiku dan aku tak ingin bintang itu jatuh dan menerpamu. Aku hanya berharap cintaku membawamu pada api janji, meski api itu diam-diam kau simpan dalam kegelapan, kau lipat di balik jubah malam, kau ungsikan ke daratan yang tak pernah aku kenal; sayangku, meski aku tak merasakan pijar bara dan hanya menyaksikan gelap semata, aku ingin bila malam telah tenggelam dan esok menjelang, kau sudah berkubang dengan sebuah harapan dan memberiku secercah fajar.

Tapi ketika kita sampai di taman, di dekat lampu yang benderang, aku tersudut ke tubir maut. Begitu wajahmu tengadah karena bintang jatuh di ujung cakrawala, aku melihat setitik cahaya yang membuatku begitu aniaya. Aku melihat di lehermu masih terkerat bekas cupang; tergurat merah-rangsang.

Sungguh bintang itu telah jatuh, sayangku, dan menimbun hatiku.

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Bunga Tumbuh di Perahu

di ujung, ketika kaki kita kerap tersandung batas, kita langsung menciut ke laut; ada yang susut dari kita dan kita ingin menguntitnya, meski kita tahu, itu selalu saja membuat kalbu kita luka…

nan jauh, masih membekas tilas biru, tempat kita dulu bersenandung di atas ayun perahu, ketika gelombang tak lekas jadi bandang, ketika lengkung langit adalah kubah yang nyaman dijadikan rumah. Bunga-bunga pun bermekaran di dinding kayu, merapat ke tubuh kita yang ‘lah dibebat rindu, kita pun diungsikan ke sebuah ruang, di mana ada percakapan dan kebisuan menyusut ke tebing lain; kita seperti nelayan yang sedang berlayar di bebukitan dengan perahu terbang, di saat yang lain kita adalah nelayan yang berkarib dengan ikan-ikan lalu merengkuhnya dengan girang; di puncak tawa, kita lalu melolosi baju, membuangnya dan berharap kenangan penuh lagu itu abadi di dasar sepi dan tak terungkit lagi; kita ingin sebuah kenangan yang abadi yang bisa menjadi tempat kita selalu pulang dalam sebuah kelana…

tapi kini, riak waktu terus bersikecipak; ikan-ikan berlompatan menjauhi kenangan; ketika perahu berhenti dan ombak menepi ke pantai, kita hanya bisa menatap cakrawala yang tersia; di jala, kita hanya menjaring sampah, juga seperangkat pakaian kita yang tak lagi utuh, pakaian yang membuat kepala kita semakin berdenyut dan semakin susut oleh rasa kehilangan yang lain; di pakaian itulah kita pernah berikrar, masa lalu adalah altar kita merajut geletar pertama, lalu kita menuju ke pulau lain yang dipenuhi renjana; tapi sungguh kita selalu saja terlempar ke masa lalu dan selalu saja merasa tidak utuh dan rapuh…

Surabaya, 2008