Rabu, 24 September 2008

Cerpen Magisme Realis











Reinkarnasi Angin

Cerpen Mashuri

Ketika ia memperkenalkan namanya dengan: Bajra, aku sudah curiga. Kulihat matanya yang berongga dan terkesan sangat dalam. Tulang tengkoraknya besar dan menonjol, alis mata tebal dan sekuntum kamboja terselip di kupingnya. Aku seperti menemukan sosok asing tetapi terasa dekat dan sangat kukenal. Aku lalu mulai menebaknya.

”Kau orang Bali?” tanyaku.

Ia menggeleng. Aku lalu mengambil sebatang lisong dari saku, kunyalakan dan kukepulkan asap ke langit-langit ruangan. Ia masih tampak membisu, sambil mempermainkan matanya. Ia seperti punya sihir di mata itu. Siapa pun yang dipandangnya, pasti berdebar, terseret dalam pusaran tak berujung dan akhirnya terkapar.

”Aku berasal dari sebuah wilayah yang kau tak ingin tahu,” ia mulai membuka percakapan.

Kali ini aku diam saja. Kupandang matanya yang tiba-tiba saja terpejam. Tak kutemukan apa-apa di sana, kecuali lubang hitam yang sangat dalam dan memendam sejuta rahasia. Dari relung gelap itu, peta-peta dan sekuntum mawar dengan duri-duri tajam yang keluar. Ia menantangku untuk menerjemahkan gelap berpalung-palung yang mengurung pandangannya. Sayang ia tahu, bahwa aku mengikutinya dan berusaha membaca peta-peta yang terkabar dari pupil, retina dan sesobek kornea.

”Kau menjajakiku. Aku sumur, wilayah yang tak terukur dan kau tak ingin tahu. Kenapa kau mengikutiku?” ia berbicara seperti pada dinding, dingin.

Aku tepekur. Tak ada suara dalam ruang itu, kecuali napasku. Napas sosok yang memperkenalkan diri sebagai Bajra itu sudah hilang entah kapan, tetapi aku menangkap kehidupan dari hawa kehadirannya, dalam sintuhnya yang diam. Di sana, aku menangkap sebuah jarak yang terbentang tapi akrab dan menantang.

Di ujung diam, ketika lisongku tinggal puntungnya, kudengar sebuah pengakuan yang menggelegar. Aku tidak hanya terkapar, tetapi seakan merasakan diriku melantai di altar, dan duri-duri kaktus menancap di telapakku hingga aku merasakan kesakitan yang sangat.

”Aku adalah plungsunganmu, masa lalumu. Kau reinkarnasiku,” katanya.
Aku diam dalam bahasa yang tak bisa dipahami siapa pun, termasuk juga kunang-kunang yang mendadak menyergap korneaku dan pandanganku terasa gelap dan gelap

***@***

”Dari mana saja kamu, berhari-hari kucari, tak tahunya muncul dengan tubuh kurus kering begini,” aku kenal suara itu, meskipun mataku tertutup. Itu suara Frida, teman wanitaku paling karib. Ia pacar temanku Ronald. Meski ia sudah punya pacar, ia sangat sayang padaku. Malah, kami kadang bobok bersama, ketika Ronald yang anak band itu sedang keluar kota.

Aku diam saja, karena aku memang tak ingin membuka mata. Kepalaku terasa digodam, terasa berat dan penat.

Kuingat perjumpaan kami yang pertama. Kala itu aku sedang di lobi Hyatt, ada sebuah pameran lukisan. Kulihat ia sedang menikmati sebuah lukisan karya seorang temanku, Amang Pekasih. Ia memandangnya sampai lama, ketika matanya sampai di ujung lukisan, ia mengernyitkan keningnya. Aku tertarik dengan perubahan rona muka yang demikian ekstrem itu.

”Itu memang lukisan yang berpikir,” tukasku, begitu aku berada di dekatnya.

Ia tidak memandangku, tetapi terus memandang lukisan itu. Di sana, ada dua orang perempuan dalam bingkai biru laut, rambutnya seperti tertiup angin dan membentuk awan. Di atasnya, rembulan bersinar sama warnanya dengan rambut dua perempuan itu. Kedua perempuan itu seperti melangkah pada sebuah lubang bercahaya yang tak tahu di mana letaknya karena berupa kuasan-kuasan yang terang. Lubang itu berada di ujung lukisan. Lubang yang cukup dalam.

”Salah satu dari mereka adalah aku,” ia berkata tanpa menengok padaku. ”Aku sering berkisah tentang diriku yang lain dan menuju ke lubang itu. Pelukisnya pasti seorang saman dan tahu arah perjalanan. Ini bukan lukisan berpikir, Bung, ini lukisan darah,” lanjutnya.

Aku berusaha mengikuti arah pembicaraannya, tetapi aku gagal. Mungkin karena lama melihatku membisu, ia lalu memalingkan pandangannya kepadaku. Ia tersenyum, dan aku semakin bingung. Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang ia senyumkan. Ia lalu mengulurkan tangan, dan berkata dengan kata-kata yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayat.

”Kamu Bayu kan? Kita pernah bertemu dan saling mengasihi. Rumahmu menghadap ke selatan, dan rumahku dua gang dari rumahmu, di gang Kertopaten. Kita dulu suami istri, ketika Panembahan Senopati menjadi penguasa Mataram,” tandasnya, sambil menggenggam tanganku.

Aku sama sekali tidak mengerti dan ia sama sekali tak peduli.

Sejak itu, aku mulai dekat dengannya. Meskipun, ia juga memperkenalkan pacarnya yang rambutnya dicat merah kepadaku, tetapi aku tidak bisa berhenti untuk selalu dekat dengannya. Sepertinya, aku pernah dekat dengannya dan aku tak tahu itu di mana dan kapan.

Aku tersenyum mengingat itu semua. Meski terkesan misterius, tetapi aku menikmatinya. Aku berkutat dalam dunia yang tak jelas. Mungkin dunia bayang-bayang.

”Lho begitu, disapa malah tidak membuka mata, malah tersenyum,” suara Frida kembali terdengar.

Setelah itu kurasakan ada benda basah menempel di keningku. Kutahu, itu bibir Frida. Ia sepertinya mengecupku. Kemudian, kurasakan ada benda basah pula menempel di bibirku. Kurasakan itu bibir Frida. Ia masih tetap seperti dulu, suka mengulum lama dan tak mau dilepaskan kalau tidak digigit. Tetapi, kali ini aku tidak bisa menggigitnya. Ia pun mengulum cukup lama, sampai aku hampir hilang napas. Begitu ia melepaskan kulumannya, kurasakan bibir bawahku basah, terasa asin. O ternyata, bibirku berdarah. Kali ini Frida yang menggigit bibirku.

”Cepet sembuh, kutunggu di apartemenku. Awas, kalau tidak lekas sembuh, aku gigit lagi!” tandasnya.

***@***

Ketika aku sadar, orang pertama yang ada di hadapanku adalah ibu. Seorang wanita yang sudah cukup tua, dengan penderitaan yang berderet di belakangnya. Kulihat ia sedang membersihkan kaca ruang serba putih yang sempit itu, seperti kamar rumah sakit.

”Ibu..!” bisikku lirih.

Mungkin di sinilah keajaibannya. Meski suaraku lirih, tetapi ibu itu bisa mendengarnya. Ia berpaling ke arahku, lalu menghambur dan memelukku. Tak lagi kurasakan kepalaku yang berat dan penat. Aku merasakan belaian hangat yang selama ini selalu setia menemaniku. Belaian dari orang tua tunggal yang bersusah payah mendidikku dan mengajariku tentang terumbu dan hidup.

Aku tak ingat kapan ayahku meninggal, karena ia meninggal ketika aku masih di kandungan. Kata ibu, usiaku kala itu masih 7 bulan di kandungan. Ayah meninggal, setelah ibu mitoni. Sejak itu, ibu bertekad tidak akan menikah lagi, meski ratusan perjaka dan duda melamarnya. Ia bersikeras untuk membesarkanku sendiri. Ia masih terlalu takut berspekulasi kawin, karena ia takut aku membencinya. Sebab, ia tidak bisa menjamin, laki-laki yang dikawaninya kelak, bisa sebagai bapak yang baik.

”Aku tak ingin kau menjadi Sangkuriang,” demikian ia menuturkan alasannya yang paling dasar tentang pilihannya itu. ”Aku takut kau menjadi Sangkuriang, karena moyangmu adalah Sangkuriang. Kau anak anjing, kau anak angin!”
Aku tak mengerti betul alasan ibu itu, tetapi kupikir itu alasan yang baik. Kuanggap baik, karena keluar dari bibir ibuku.

Meski aku sudah beranjak remaja dan dewasa, ia masih juga bertahan dengan prinsipnya itu. Ia selalu mengatakan tak tega mencarikanku bapak tiri. Biarlah kesetiaanku pada ayahmu kubawa sampai mati, katanya. Aku mencatat, segala apa yang dilakukannya, sampai aku kehabisan daya ingat. Tetapi, kali ini, aku harus bisa menahan diri, sebab kurasakan pelukan ibuku semakin lama semakin erat, dan bajuku terasa basah, bukan karena keringat.

Sepertinya, bukan ibuku saja yang menangis saat itu.

****@****

Di buku harian kucatat kejadian pada hari naasku itu.

Surabaya, 17 Agustus 2000
Pada pagi hari, ketika aku sedang belanja buku di pasar Blauran. Tiba-tiba ada seorang perempuan setengah baya berteriak: copet! copet!. Aku langsung meloncat, begitu kulihat seorang lelaki berlari kencang menuju jalan umum. Begitu dapat kujangkau, ia langsung kupukul punggungnya dan terjerembab.
Ketika ia berusaha bangkit dan akan lari, aku langsung meneriakinya: copet, copet copet!
Tetapi tak ada yang datang membantu. Malah, ada empat orang datang menghampiriku. Seorang menendang perutku, seorang lagi menendang kakiku. Aku kini yang terjerembab. Lamat-lamat, kulihat pencopet yang kupukul tadi, berjalan ke arahku. Anjing! Begitu ia menyerapahiku, lalu diambilnya batu di pinggir jalan, lalu dihantamkannya ke kepalaku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Setelah itu yang kuingat aku seperti berada di padang tak bertuan. Di sana aku sendiri berjalan menembus panas. Aku tak tahu itu tempat apa. Ketika aku merasa kehausan, aku bertemu dengan seorang anak kecil. Ia membawa kendi dan kumintai minum. Tetapi ia mengatakan, sedang menunggu ibunya.
Aku tak tahu harus ke mana.
Tiba-tiba aku didatangi seorang lelaki tinggi besar. Ia lalu melemparkanku ke sebuah lubang. Aku sadar berada di sebuah bangsal, tetapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Sepanjang hari, aku didatangi seorang teman baruku, ia mengaku bernama Bajra. Katanya, aku adalah reinkarnasinya. Aku sama sekali tidak mengerti dengan omongannya.
Mungkin aku harus mempelajari ajaran Budha, karena reinkarnasi itu adalah ajaran Budha. Katanya, berisi kelahiran kembali. Aku tidak tahu, apa maksudnya…
Aku ngantuk, aku tidur dulu, lain kali disambung. Dah, my diary, I always love you, you’re my best friend… mmuah!

****#****

Aku jalan-jalan dengan Frida di Tunjungan Plasa. Mumpung Ronald sedang manggung di luar kota. Ketika kami melewati sebuah toko buku, aku mengajaknya mampir.

”Mau cari buku apa?” ia bertanya kepadaku.

”Buku kebatinan”

”Sok suci kamu”

Aku diam saja. Ternyata aku tidak menemukan buku kebatinan yang sesuai harapanku. Aku lalu cabut dan mampir di sebuah gerai fast food.

Setelah memesan makanan, Frida duduk persis di depanku. Kuamati wajahnya yang sering kujamah tanpa ampun. Ketika ia sedang lengah, kutelusuri rongga matanya yang dalam sedalam sumur tanpa dasar. Kali ini, aku sangat terkejut, katika kulihat sisa tatapan Bajra di sana.

”Kau kenal Bajra?” tanyaku, spontan.
Ia tak menjawabku, masih sibuk mengunyah sayap ayam yang dicampur dengan saos tomat dan sambal, ia tersenyum.

”Ya, aku mengenalnya,” katanya.

”Hah! Di mana? Kapan?” sergahku.

”Ia kini ada di hadapanku” jawabnya.

Entah apa yang sedang menimpaku, mendadak kurasakan kunang-kunang hadir di mataku, dan berputar-putar. Aku merasa terjatuh ke dalam lubang sumur. Kurasakan gelap, dan gelap.

* Cerpen ini pernah dimuat di Sinar Harapan.


Selasa, 23 September 2008

Esei Teater








Artikulasi Tubuh dan Penjara Kata-kata

Esei Mashuri

Bahasa teater tak sepenuhnya bisa diwakili dengan kata-kata. Jika teater hanya berkutat pada kata-kata, teater hanyalah aktualisasi dari sastra. Teater memiliki bahasanya sendiri sebagai eksplorasi ruang dan tubuh, dengan penekanan pada artikulasi dan pemahaman kemungkinan pada gerak dan distorsi tubuh, latar, kostum, musik juga tata lampu. Pada titik ekstrim, komunikasi teater bergaung secara metafisis dan spiritual tanpa perlu dibahasakan secara utuh dan verbal. Hanya saja jika teks naskah terlalu dominan dan teks terkesan berbeban makna dan diskursif, dengan sendirinya bisa menyita komunikasi yang seharusnya berlandasan pada pencerapan indra, untuk menangkap momen-momen dan kemungkinan dari menghidupkan tubuh dan ruang di panggung. Setidaknya itulah kesan sebagian dari pentas monolog Djarot B. Darsono di Gedung Utama Balai Pemuda, akhir April 2005.

Pentas itu berlandaskan naskah ‘Kapal Terbang dari Bantal’ karya Afrizal Malna. Bisa ditebak, naskah tidak hanya mendesakkan serangkaian penafsiran berlapis, karena naskah bertaburan akrobatik kata-kata dengan paradigma ‘keterpecahan antroposentrisme di belantara hiperreal khas Afrizal’ seakan-akan mengundang paradoks-paradoks sekaligus memberi daya sugesti tersendiri. Jika ini dituang dalam puisi, mungkin ‘kekekalan’-nya ada dan tafsir serta penciptaan makna bisa diulang, tetapi karena digarap dalam teater maka ‘kefanaan’-nya yang bicara. Ada unsur yang pada satu momen terlepas, kemudian pada momen selanjutnya tertangkap, begitu pula sebaliknya. Itu sangat tampak ketika Djarot bermain dan mengulang-ngulang dengan ekspresi yang hampir sama dalam beberapa adegan: “Ikan-ikan di akuarium itu harus diberi makan, kalau tidak diberi makan ikan-ikan di akuarium itu akan mati. Tapi di mana akuariumnya?”

Pada ungkapan selanjutnya pun seakan terkesan memberondongkan serangkaian mantra ‘mutakhir’ untuk mencuri, menyerang dan ‘menguasai’, dengan cara menjejer benda-benda sebagai satu rangkaian parade. Malah pada momen tertentu menyentak dengan membalik logika, baik lewat permainan kata dan sintaksis yang berefek filosofis dan mampu meledakkan ambiguitas tafsir. Satu sisi seakan mengembalikan teater pada akar purbaninya, sebagai pengejawantahan tindak komunikasi komunal dengan alam; upacara dilakukan oleh shaman dipandu dengan nyanyian, mantra dan tarian, apalagi aktor yang berlatarbelakang tari itu terus berikhtiar berkomunikasi dengan teks naskah dengan bahasa gerak dan tubuh.Tapi di sisi lain juga melesakkan kesadaran baru perihal kekinian: terutama ketika simbol-simbol Indonesia didesakkan di panggung, baik pada ungkapan: “Indonesia di dalam akuarium”, atau “akuarium di dalam Indonesia”; serta pada kostum pemain yang bergaris merah putih serta guling yang diandaikan sebagai tabung oksigen yang digantung: berwarna merah dan putih, juga soal kuasa dan kekuasaan, pelanggaran hukum, terlebih korupsi.

Untunglah, meski jejalan teks-teks itu sangat diskursif, aktor tidak berhenti, ia masih terus mencari dan mencoba membahasakannya dengan tafsir tubuh, gestur, serta gerakan-gerakan eksplore yang dimungkinkan bisa mengembalikan aura pertunjukan pada satu bentuk tontonan. Pada titik tertentu, tafsir teks pemain dengan bahasanya sendiri memang tidak maksimal. Tetapi mengingat ia berhadapan dengan teks Afrizal yang pada beberapa adegan terasa mencengkeram dan sangat disadari oleh aktor sampai-sampai ia menyebut nama “Afrizal” dalam pentas, hasil yang dicapai cukup bisa dijadikan acuan, karena pada beberapa momen artikulasi tubuh dan ruang tidak hanya berupaya mengatasi kata-kata, tetapi bahkan mampu menghidupkan kata-kata. Apalagi terkesan pencarian itu belum berhenti dan dialog antara aktor dan naskah tetap berjalan secara substansial.

Sebenarnya bukan satu soal yang mendesak untuk segera mendikotomikan antara sastra dan teater secara konfrontatif, dan belum saatnya ‘teater anti sastra’ dilesakkan sebagai satu sikap terhadap ketergantungan dan dominasi sastra dalam teater. Bagaimana pun teater memang bermula dari naskah dan naskah ditulis oleh kebanyakan penulis naskah yang juga sastrawan. Selama ini, peran keduanya pun sangat proporsional, tanpa berupaya berebut kuasa dan hubungannya pun tidak terjalin dalam konsepsi dominasi abdi-penguasa demikian.

Tetapi sebagai satu pilihan, teater tanpa kata ---atau melepas kata-kata dari panggung--- bisa jadi sebagai tawaran esensial demi kepentingan estetik; apalagi jika dirasa kata-kata tak lagi bisa menyumbang lebih pada pentas dan terkesan membatasi, bahkan mengganggu. Apa yang telah dirintis WS Rendra dengan konsep ‘Mini Kata’, merupakan penyikapan yang ekstrim terhadap kata-kata yang bisa ditafsirkan sebagai ‘penjara’ di pentas teater. Dengan mini kata dan mendayagunakan tubuh sampai batas sebagai satu bahasa di panggung, komunikasi yang terbangun lebih bergaung, melesak ke ruang-ruang kesadaran dan mampu memberi ‘terapi’ pada mata, juga telinga. Pilihan ini, bukan karena aktor malas dan bebal untuk menghapal naskah atau menghayati peran, tetapi konsepsi ini sebagai satu tawaran atau pilihan dalam berteater.

Seorang dramawan Surabaya dari Teater Gapus, Muhammad Aris pernah juga mencanggihkan konsep ‘mini kata’ itu dengan konsep baru teater fana’ (inklusif); berpatok pada ‘proses’ menuju keadaan ketika kesadaran pada keterbatasan diri tidaklah tetap ada, tetapi pada titik tertentu kesadaran itu kembali. Ia mengembalikan teater pada kodrat manusia yang paling murni: antara menangis dan tertawa, yang berparalel dengan ekspersi sedih dan gembira. Dua batas yang sebenarnya tak bisa dimaknai sebagai satu penanda perasaan: karena keduanya juga riskan untuk dimanipulasi atau bertukar tempat. Menangis tidak hanya sedih tapi bisa pula karena terlalu gembira. Sebaliknya tertawa tidak hanya gembira tetapi bisa karena kelewat nelangsa. Dalam pentas garapannya bertajuk “Plung” yang sempat beberapa kali pentas di kampus-kampus Surabaya, beberapa waktu lalu, konsep itu pun dijadikan acuan dengan eksplore tangis dan tawa pada titik ekstrim. Mulut dibisukan dari artikulasi kata-kata yang menyaran pada satu pengertian dan bisa menyulut proses pencerapan kognisi. Suara dikembalikan pada dikotomi ekstrim: hanya bertaruh pada erang dan gelak. Satu tarikan radikal untuk mengembalikan teater pada posisi yang paling subtil dan menyublim ke ranah ketaksadaran. Secara bentuk, eksplorasi Muhammad Aris juga mengembalikan ciri teater pada titik awalnya: sebagai sebuah upacara.

Apalagi gerak yang diacu dari konsep itu adalah gerak melingkar ---sebuah pandangan yang terkait dengan konsep waktu, takdir, juga keberadaan semesta yang sebenarnya tak bisa direka, diduga atau diraba seluruhnya tetapi tetap hadir meski tak disadari kehadirannya. Posisi aktor bisa jadi sebenarnya diam, tapi diam yang bergejolak. Kiranya eksplorasi gerak melingkar memberikan kemungkinan untuk diembannya dua paradoks itu; seperti permukaan air yang diganggu: kelihatan bergerak, tapi esensinya tetap dan tidak ke mana-mana. Apalagi gerak yang dilakukan para aktor pun menghantar pada satu momen penting yang dilakukan oleh para darwish dalam tarian berputar Maulawiyah dari Maulana Jalaluddin Rumi. Satu tarian yang mampu menghantar pada satu titik: ektase, yang berakar pada kesetimbangan tubuh yang tak terpahami secara nalar, saat ia ikut berputar dan berpusar seperti bumi pada porosnya.

Kiranya pilihan tak bersuara atau tak menggunakan kata-kata bisa menjadi satu pilihan eksperimental, karena bila perpaduan antara gerak-gerak tadi dengan membahasakan gambar dengan eksplore tubuh terpadu; maka terjemalah satu bahasa teater, satu bahasa yang tidak memerlukan kata. Kehadiran kata malah mengganggu dari pencapaian teater yang diinginkan: satu momen yang ingin ditangkap, dirasa, tapi terlepas oleh daya serap indra yang terbatas dan sekilas.

Kembali pada pentas Djarot, pada dasarnya sebagai satu teater, pentasnya bisa dikatakan berhasil. Jika ada bagian adegan yang terkesan dikuasai teks naskah, kiranya itu sebuah keniscayaan karena naskah Afrizal memang berbobot dan bagus. Tetapi jika dicermati lebih jauh, pergulatan aktor pada naskah, dan mungkin gagasan yang ingin didesakkan naskah itu, bisa diantisipasi dan dibahasakan dengan bahasa aktor sendiri di panggung. Djarot tidak sekedar menjiplak naskah secara harfiah, tetapi melakukan proses internalisasi tanpa terjebak pada aspek-aspek puitis dan gelap.

Di pentas, terkesan ada kesejajaran dan saling menghidupi antara aktor, seting panggung, musik, tata cahaya, serta teks naskah dan menjadi teks panggung yang utuh. Musiknya pun tak berlebihan, bahkan seakan-akan menafsirkan sendiri naskah, tanpa kehilangan momen untuk saling bertemu dan bersapa dengan gerak dan ekspresi aktor. Tafsir ini pun termanifestasi pada pilihan seting. Jika naskah mengacu pada ruang-ruang penjelajahan yang dipenuhi dengan belukar benda-benda dan berjejal wacana, panggung bisa menampilkan sebaliknya: minimalis. Tetapi bukan distorsi yang terjadi, karena dengan pilihan minimalis dan memberi titik tekan pada simbol, setting semakin efektif mendukung gagasan dan imaji yang ingin ditawarkan.

Adapun, terkait dengan judul pentasnya: pentas monolog, kiranya, monolog hanyalah satu teknik pementasan dalam berteater.

* Pernah dimuat di Media Indonesia

Sepercik Sajak Mashuri 2005












Sajak Mashuri

Dinding Tanpa Pigora

aku tak mungkin berhenti di trafficlight ini
kerna aku tak berjejak; rumahku pohonan
yang dibekukan kicauan; serupa burung-burung
beterbangan
saat kalimat tak lagi tamat di tenggorokan; dan mata
tertumbuk pada kanvas sederhana
serupa potret usang masa lalu
di dinding; tanpa pigora

jika ada dada di persimpangan, juga selangkang
mungkin ada yang tetirah, meski serapah
lebih membumi dari segala puja
dan umpatan waktu, serupa lompatan
dari seribu batu, menghardik diam buku-buku
dengan penyangkalan
dan tak ada halte di kota ini
seluruh arus adalah jalan-jalan panjang
berhenti berarti mati

tapi samadi tak berarti diam dari api
segalanya bisa terseret dalam alur-alur tak pasti
pasar-pasar terbakar, sembahyang akbar
bahkan rapal-rapal kekal dari kuburan-pelacuran
dan onani serupa kewajiban,
serupa amuk yang terbentuk dari gelinjang
dan dunia bisa terbelah dalam sekali tepuk
: ini surabaya, dancuk!

aku tak mungkin berhenti di persimpangan ini
kerna rumahku masih berdepa-depa dari sini

Surabaya, 2005


Sajak Mashuri
Kali Mas

seluruh kesementaraan ini luruh
karena hujan tak berhenti di ujung daun
dan payung terbiar terkungkung di tubuh
serupa pakaian yang terlipat

lalukah waktu mencahar di siang yang terpendam
dalam buai awan, rintik yang tertahan
di lengan, juga sebentuk misal yang mengekal
di bawah jembatan

sungai
sungai tak bergerak
katak melompat dari retak-retak lubang
limbah
sampah yang mewarna darah
dari luka
pertarungan diam, dilindas kata-kata
kerna panas masih terpeta
di silam yang dibutakan sejarah

nyali bertempur sendiri ujung belati
rituskan dalih paling murni dari penyangkalan
serupa tubir waktu
mengulang yang tersingkir
ke buku, batu
menghujani diam yang lengang
di alir busa
dalam kesementaraan yang terwarta
saat tubuh lebih berkuasa dan setubuh
sebagai pertanda: ruh
masih abadi
dengan gemuruh

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Dunia Kita

dunia kita tak berjarak dari retak
jiwa, ketika ingatan diperam dan dimusnahkan
tapi kita tak bisa membaca
dalam kejenuhan cuaca, sebab akal terlontar
ke mata, lebih liar dari sejuta geletar

dari lampu yang memancar sendiri, tanpa dibakar
api, dari layar yang berkibar dan menyala tanpa
dihembus udara ---kita
diam, terpaku, dalam sihir-sihir mata, telinga
kenikmatan kita serupa angsa
di danau taksa; jumbuh dalam sengau
kata-kata
--mantra yang didengungkan seribu lebah
kasat mata

kita tercampak dalam gelak
kesempurnaan, yang tak sempurna; kerna lalu
masih berlalu di batu-batu, memahat di kalbu
tapi tak tampak sebagai muasal, sebentuk amsal
penciptaan
kerna kita serupa arca yang berdiri
di pojok perempatan
masih mengenal tanda, dari pal-pal

dan kata-kata purba, berlalu di aorta
darah kita disucikan kini
dalam buhul-buhul nan pasti, meski kepastian
sendiri terpatri dalam kemungkinan
lazuardi
ah, alangkah nista, alangkah sempurna
ketololan, riwayat,
alangkah tak terhormat kita, mengenal
asal dari senja

kita tak bisa membiar kembang-kembang
berkembang
sendiri, tanpa mimpi, kerna buah tak berbilang
hari
dan waktu tak sempat menunggu
hati
tetirah; di keremangan, bunuh diri

sungguh dunia kita tak berjarak dari celah
kini
tapi kita lupa, amnesia dan tak mampu memakna
puing-puing yang melenting
ke dingin kita
serupa tubuh malaikat melesatkan nyawa
dari tubuh kita
dan kita tercampak percuma
dalam kekinian yang tak sempurna
hilang arah

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Eram

dalam kesempurnaan mimpi, kita sering lupa
mencatat, kerna kita tak lengkap dibuahi
serupa putik yang dierami serbuksari


Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Romana
Buat Kawan TJ
1
kikis sudah terumbuku; saat lautmu langut
di getir senyum
di bibir kesunyian, merangkum
awan
kuingat ibu
tapi hanya khayal sendiri, dilahap mimpi
sebelum gelap digenapi, serupa nabi
diilhami sepi

dan wahyu tak terikat pada hempasan-hempasan
perahu, sepertih almasih
yang sendiri, dalam kepulangan pasti
sambil bersimbah; dikucilkan matahari
kerna waktu tak terbagi hari ini, lusa mewarta
lebihi pasti
bahwa kesucian lebih abadi dari pagi
bersinar dari dada wanita
yang disepikan keperawanan
azali

mungkin lumut berbicara dalam gairahmu
---pemberangkatan
kerna sungai bakal bertemu di ujung batu
dengan jarak
ombak; dan delta mewarna lebihi mata
saat pesona terhuyung
ke embun
dalam ritus-ritus pulau, yang mengapung
dalam galau

mungkin maujudmu dijemput luka
di tenda pagi, kerna kesementaraan
serupa maria
yang tak ternoda, tapi tersiksa
karena kata-kata
saat kau undur dari pelupukku, dan peluk
pasir di pantai
merajamkan sangsai ke tengkukmu
nan biru
di batas cakrawala

dan kesaksianku
terlalu pilu tuk dirembangkan ke kekayu
salib, yang dititipkan, kerna jam bakal berderap
ke ufuk, serupa jarum
dan terbenam dalam sumur
dan tak mampu kuarungi segala kubur
kehendakku; serupa gelombang pasang
saat lautmu berdebur
dalam keremajaan dan hilang
di pelabuhan

2
di kota yang dikutuk
serunaimu bangkit; tetapi bukit masih memencilkan
sunyi
serupa dermaga, tapi selalu palung yang digulung
duka; kerna pikiran dipinggirkan
dan dada berkibar melebihi bendera
meski ½ tiang!
---kerna rahsiamu serupa laut, tak berbilang terumbu,
juga
ibu, serupa pencarian
kau masih bergelombang dihantarkan, ditimang
gamang—

tak ada belasungkawa, di rautmu yang jawa
serupa anak-anak yang dikirim hutan
terbiar belajar, meski altar lah terjanji
di liturgi suci, bahwa maut
tak berujung pada tembang; hujan
kerna segala suara memagut
kelam
di relung laut

3
malam, juga matahari, selalu berjanji
esok akan elok lebihi mimpi, kerna tubuh tak mungkin
berhenti di titik ini


Surabaya, 2005



Sajak Mashuri
Surabaya 2020

kukubur debur kesendirianku di kota
renta, serupa pucung
kerna ingatanku terkurung di cungkup
bapa di ampeldenta
tapi hanya terminal-terminal, dermaga
mungkin juga kamar mandi sementara
---tempat onani
lalu laki-laki bisa berlalu ke doli
mengunyah senyum dengan noni-noni pribumi
: “aih, inikah buih kemabukan; terpahat
di meja-meja keparat, tapi nikmat!”

o waktu, alangkah indah ziarah
---zinah?
serupa meratap-rapati silam yang berjela
saat gejolak muda masih berombak berandal
tak kenal alif, ba’ atau dal
kerna usia dipintal nganga di jalan-berpal
pahlawan; dipenuhi pantat sintal
bergoyang

---tapi keremajaan nanti masih jelas
membekas; di nafas puisi
serupa lalu lintas yang berlintasan di mimpi
dalam ilham abadi
pewahyuan, hingga segala yang meletup
tak bisa tertutup
kecuali dari katup-katup waktu, sesayup
esa di ujung badai
di selatan kota; yang diarahkan perhitungan
hari; tuk menata gerbang cakrawala
seusai sayonara pada kota
yang dikutuk sekedar singgah---

dan tak kutemui apapun, siapapun
di ujung pantai; hanya kilasan-kilasan silam
karib yang tenggelam; atau
daun-daun berguguran, tunas yang tumbuh
tapi tak ber-ruh; juga blingsatan
jeram
yang bergemuruh oleh seluruh
asap; kenangan
kerna segala lintasan dipenuhi pagar
dan segala binatang terjebak
di kebun; alpa dan tak kuasa bergerak!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Pesta

langit tak sedekat debu di kulitku, kerna asap
adalah nafas
yang tak berhenti; gurauanku hanya lisong
di secangkir kopi, cermin diri
hingga terakota jelma berhala di mimpi
tanpa ukiran

aku tercerabut dari bebulu, serupa gerimis
hampa kurayakan
debur partitur kudesakkan
ke selangkang
bak terompet
dinihari, dalam pergantian tahun
di pantai, disetubuhi alam
sebagai kelahiran yang tak bermula

perayaan terjelma tanpa kata
dalam persintuhan
ari, yang mencicipi riap lazuli
dilapisi gulali
serupa angan
terampas
oleh gelas-gelas
yang beradu, di meja, yang tak pernah terselesaikan


Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Burung Kematian

burung-burung kematian beterbangan di kotaku
sayap-sayapnya awan, hitam
sampai suara pecah berantakan
bertalkin: ibu, ibu
dan tak ada, goa di pinggir jalan, menawarkan dahaga
dalam gelap batu
dan sumur hanya menyajikan kejijikannya
pada waktu
tentang air yang diam, tentang duka malam
yang diandaikan abadi
tapi tak pernah sampai

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Bahkan

bahkan seluruh kesunyianku pun luruh
ketika rembulan merampok malam, dan daun-daun
tanggal tak berbilang; segala jambangan pecah
dan bunga berdarah-darah

bahkan jeritku pun tak mengembalikan segalanya
hanya sayonara sayonara dan sayonara
berdengung di telinga bak resah lebah
ketika segala pohonan, akar dan reranting
dibanting ke terjal ajal
dikepingkan geraham; waktu
melebar dengan cakar-cakarnya nan membiru

bahkan kembang tanah pun tersibak di retak
luka ini; lalu lalang nganga bak onak yang menjebak
setiap gerak, hingga gelap dipahami dalam wujudnya
yang paling sempurna: tuhan
dengan menutup segala jendela, juga pintu
dan mengusir segala tamu
yang bercakap belasungkawa

bahkan aku terdampar di langgar tanpa dampar
dan kukaji prasasti dengan huruf-huruf yang meloncat
ke mataku
sendiri, menuntutku tuk merunutnya, membacanya
hingga keperihanku semakin dewasa

bahkan tak ada yang tersisa dari seluruh duka
kecuali sepotong kepala dan sepetak dada
yang telah cedera

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Dunia Lama

melesat secepat kecepatan cahaya
dari abad-abad karma
aku meregang dari primata, hingga seluruhku keruh
dalam bulu-bulu; jiwa dihinggapi kemarau
kegelapan yang dipayungi daun
dari hutan-hutan; kusebut katulistiwa, hingga embun
menghias ubun-ubunku
dengan kejernihan usia

tak kusangka, deritaku diikat dalam lambang-lambang
adam; mimpi yang dilahirkan dan dibuang
dari taman-taman surga, adakah jejaknya terbilang
di pucuk karang, dalam kecipaknya yang paling ganas
amsal tetabuhan, ataukah segala terompah dirompak
di gelak ombak, saat nuh menitahkan bahtera
dan segalanya dilarungkan dalam jaman-jaman
yang dipenuhi penyesalan, dosa, ketika segala jazirah
masih bersua dalam bahasa purba ---isyarat-istarat
tubuh,
dan mimik yang tak tergetar oleh riuh
pikiran---
dan semua ingatan, tak juga indera, ditenggelamkan
ke dasar samudera
dalam ingatan-ingatan berkala, yang tak mungkin
dijala

dan menghindar dari suluh dada, aku tak mungkin
mengingkari
lingkaran-lingkaran pamali
derajatku terbilang matahari, segala mula berawal dari
sini, ketika
otak dipuja, dada dibelah dan berjalan dengan kaki
dikenal tuk pertama ---meski di gelembung udara
masih kerasukan kera--- tetapi dari sana
ada

dunia lama dimulai dari sini, serimpi yang
mengibas-ngibaskan lelaki
lewat kota
bengawan dan duka terpatri dari perempuan
tapikah unggun bakal tergenang di racun pertama, saat
cinta
terbenam, dan kelam menghardikkan setubuh

aku lah tercerabut dari kulit serabutku
kerna kepergianku hanya berjuta dan senyampang
penyangkalan masih diterima
bukankah firdaus tak pernah hangus dalam kata-kata
dan segala pintu selalu menganga
untuk menuangkan kemabukan baka

di gapura, kuhitung langkah-langkah dari kerabatku
tapi hanya binatang melata, dengan gigi bertaring,
dengan api
bertarung yang mengurung darah
dan pembasmian adalah bahasa sederhana
dari hidup
saat degup dada dipenuhi pengungsian
dalam cadar-cadar waktu
ditempiaskan ke batu-batu
dalam belulang beku

usiaku ditimbang dari tanah ini, dan aku telah pergi
dari asali
secepat kecepatan cahaya aku berlari
meninggalkan gerbang surga dengan duri-duri
yang menghujani mimpi
kerna dusta, dosa lebih mengekal dari khuldi
saat kenikmatan membisikkan rayuan
serupa sapuan mata yang ingin dicumbu dalam keabadian
dicampakkan ke hutan-hutan
dengan lambang
yang menusuk-nusuk jiwa, tuk ditafsirkan
dengan atau tanpa pikiran

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Wonokromo, Simpang Waktu

kita serupa turun dari bis kota; dengan pakaian
dicakar-cakar; tubuh bau ikan di pelelangan; kepala
kita hanya pasar: dipenuhi terasi, lombok, kemiri,
bawang merah, putih dan lumpur di batas kaki
tapi kita tak tahu, sampai di batas mana botol-botol
terguling, juga rambut kita yang terpangkas dengan
lekas, serupa maling; saat suara cadas berderap di
trotoar, dalam bising, hingga malam larut ke jerit,
kelelawar, kereta atau orang-orang yang tumpah
---tapi masa lalu, hutan, persinggahan, dan deret
orang berdesak-desakkan seperti api yang hampir padam!
saat peluit terakhir, kita bisa mencuci kelamin di
gigir jagir, bersama seorang tak dikenal atau dikenal,
yang selalu menyentakkan kesadaran: “tolong, matikan
alarm yang terus meraung di jantung, kerna aku hanya
punya tikar dan sabun”. kerna setiap yang berumah di
mimbar kumuh, pasti menderapkan ingatan pada kampung,
entah di seberang, atau melekat erat di badan!
ketika kita mendengarnya terapung, mungkin keesokan
hari atau suatu saat nanti, dapat ditebak, kita bakal
tak membisikkan ajal yang kelewat jauh, tapi cukup:
kalap telah memanggilnya tuk terlelap!

Surabaya, 2005



Sajak Mashuri

Seamsal Sunyi

sebuah kota tidak ditundukkan dengan geraham
kerna malam tak bernyanyi sendiri
seamsal sunyi
kicau burung-burung masih mengurung

Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

Bonbin, Satu Siang

di atas air, tubuh mengalir; siapa rubuh, siapa
terjungkir
sepasang sejoli, menggenangkan tafsir; pada cinta,
rindu, mangkir
atau birahi batu-batu
menguji diri, dalam kealpaan
binatang

bibir waktu dilumat dalam jam-jam, selangkang
dijadikan mainan: serong ke kiri, serong ke kanan
dan tuhan
hanya kiasan dari ikan-ikan yang beradu di dasar
lumpur sungai; gulung tikar, melipat sangsai!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Linggar Terumbu

bahwa aku pun terseret ke linangmu
adakah gempa
gempitakan akar, lalu laut mengubur linggar
terumbu

mungkin tak ada yang hilang, di remang ini
kecuali daun sendiri, yang tergetar oleh sepi mimpi
gelombang yang menekuri kesempurnaan
tanpa api

tapi kusangsi, kerna udara telah membisikkan bunyi
tentang arti
berpisah, darah dan nganga luka

inikah isyarat berangkatmu
ke muara
hantu-hantu, di simpang tugu
saat pilihan ada bara
kiriman renjana

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Arena

pertaruhan, pertarungan dan arena kita
berbeda
kerna nujumku adalah jaman, saat batu masih cadas
dan aku bergegas
melepas hidup, dalam kematianku
yang redup
dan mimikmu masih sealir air, pasir
di pantai
yang terberi
dalam kesangsian
hidup; berperigi, tapi tak mengerti
---abjad-abjad
mati

bila pun aku ke neraka, memang
lah kueja dari baranya
dan surga
hanya istirah, dari jejalan bunga
maujudmu
saat segala aliran
menyungai
mendaraskan gegap sangsai
di sebuah pertemuan
di luar

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Bangkai Bunga

hidup
mengambang di ambang waktu
redup
jiwaku
serupa wahyu yang terpaku di keesaan
tangan
kekerdilan diri, yang dicercapi sepi
dibilas nafas
nir surgawi

kueja nama, sekat-sekat kamar, mawar
tapi racun membumbung
lebihi wuwung, atap, suwung
duniaku
runtuh, tubuhku melepuh
dari ingatan, ruh
terbayang
di ranjang
dibuhulkan renjana

sapuan
bunga
mungkin sapu tangan
ungu
melagu, ke cercap warna, gelap luka
kesementaraan bata
di gapura, gerbang: sanggama
diam, diamkan
dada, serupa tikam malam
tanpa risalah, didera darah-darah
panjang
jarit
jerit
dibangkitkan
lelawa; dalam partitur sunyi
kubur segala
sepi
tanpa peta, suara atau lambang-lambang cahya; api
sujudku buta!

dan kepergianku
dari gelombang
serupa tembang,
mengambang
ke pukat
sukma
melekat
tanpa karma
kerna palung lah terikat
ke luasan
sajadah ---jasadku
yang dimakamkan rindu
ke bebunga
dalam kubur kupu-kupu


Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Tudung Perawan

berlindung dari ciprat hujan, di bawah
tudung perawan ---apa yang terjanji
selain kawah
api
dan batu bata merah yang tak lagi memberi
batas, nafas
kerna lapangan adalah arena
bermain lumpur, di bawah guyur
langit
sendiri
sebagai saksi

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Pengantin Pantai

semawar api, ranum, ingin kupetik putikmu
tapi kandil dada ini, masih gigil, rintik demikian
menukik
hingga kerongkonganku ditinggalkan
mata air yang mencair ke nir pelir
suara dalam gemuruh cuaca, dan kutak bisa
terka: adakah kelopakmu sudah membuka
atau menunggu sekilat bara

mungkin dingin ini serupa musik
saat dawai lembab, dan rebab
hanya terusik oleh satu sebab
pemantik

tapi apimu membara di batu-batu
di sepanjang jalan
yang kulalui
di perbukitan yang tak dinamai
: pengantin pantai

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Impian Nanah

aku tersudut oleh kepiluanmu, puput
hingga 1/3 malam kutabalkan dahi
di lantai
dan sunyi tak juga menjengukku
di beranda, mimpi
mengasing
serupa gasing yang terus mendaraskan
ayat-ayat
sekarat
dilindas suara diri
yang memercik, lebihi api

serupa musik, langgam diam lebih mengusik
dari sejuta kelelawar
----di dadaku
saat matahari diperam gelap, dan rembulan
bertasbih di keremajaan jam
tentang keberadaan, keabadian
tapi tak ada surya di peta ini, serupa cahya
yang memancar dari ubin
saat segala mayat dingin
dihisap angin bertembikar
bercakar
duri

sungguh segalanya tak serupa kelahiranmu
---di awal hari
saat mula berlari
saat kokok ayam telah usai
namun tanda tak berhenti pada waktu

di jasadku
nira hitam mencatat waktu lain
--kemabukan
meski sayatan di lengan pipihmu, serupa batu
bermata, segitiga
dan darah menderaskan risalah
dalam liris bebunyi, getah
tersembunyi
di tangga-tangga
kelahiran
serupa maria
yang selalu pilu
di jalan sejarah

di 1/3 malam, kenabianku melahirkanku
dalam beku
tuk mengenal cadas kupu-kupu, batu-batu
juga diammu
bisu
yang dirajam dalam ketaksaan siksa
dunia darah
impian-impian nanah

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Langitan

kalamun qadimun la yumallu samaa’uhu
tanazzaha ‘an qaulin wa fi’lin waniyatin

di kerajaanku, mimpi berdesing melebihi peluru
langit melebur –tak kenal kubur
atau dubur—
hingga ruh bergelimang gemuruh
talkin
melesat melebihi bayangan
dinistakan ingin

kuhisap muasalku dari pipa panjang
waktu; gelimang
tubuh, gamang
selusin kengangaan yang terperenang
di kedalaman
kalam, samudera
mendesirkan alir-alir tak disangka
: kun!

asap melingkar
gelap terjangkar
dunia dibongkar
rahasia tergelar

di mihrabku, kata tak berjejak
serupa makna yang berlari dari tanda
menggapai dunia sendiri
hu ya!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Mati Suri

burung-burung hitam menerobos alisku
kurasakan darah membungkus air mata
serupa maut yang menggambar jelaga
di seberang jendela
sedang aku terbujur sendiri, di dipan beranda
menanti tamu dari dunia tak berjeda

ah, kesia-siaan ini tambah mengeras, serupa cadas
nafas, saat setubuh
dan suara menjauh di keremangan ruh
tubuhku berderit sendiri, serupa pintu
menutup; hingga kurasakan kelopakku mengatup
diam-diam
meski masih masih bisa kudengar bisik-bisik
angin pada dahan, pada daun, pada bunga
juga jemari lentik yang menyuapkan irama

tapi tetap kurasakan desirku nadir di pucuk-pucuk
udara
alir berhenti, waktu terpuruk, batu-batu terjerembab
di ufuk ---ingatan basah dan lembab
duniaku ambruk; indraku tak terbentuk

lalu gelap mengangkasa di ruang pikiran, kurasakan
selusin cahya meloloskan pedang
duli diriku ditebas, nafas
tersengal, aku terpental dalam terjal ajal
entah di mana ruang ganti itu menunggu, yang jelas
aku berlalu dengan tubuh dipaku
kecemasan, dihisap dari sari hati
diri yang dicampakkan ke tepi
segala tepi
ditimang gamang
dihentak gelombang, tanpa haluan

Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

Hijrah

--Airlangga, di
Sebuah Kala
di jalanmu
aku hanya bersua dengan nisan
dan rumput yang pucuknya masih mimisan
tak kudengar pertempuran lagi di meja ini, meski
segala gelas, piring, dan pisau terdampar
di trotoar
sebab buku-buku telah diangkut ke pembaringan
untuk ditidurkan; lalu dicopot satu-satu
hurufnya
dipaku di dipan tua, sebagai saksi, bahwa pernah ada
seseorang yang pernah berderma
mengabdi dengan separuh nyawa
pada kata-kata

ah, surabaya, dekilmu melebihi kutu di rambutku
tapi kenapa bugilmu tak melebihi
gelisah di sejarah
sejarah yang didarahkan risalah
risalah
---yang meresah di benakku
seresah abjad di kitab-kitab, bertabir gelambir
hitam, kumal
sekelam akal

dan mataku tak henti dirajam imsonia
dalam malam-malam
saat aku berjaga meleburkan dunia dalam kata
saat kegilaanku meraung di ruang tak terpeta
--pengetahuan
saat ibu menguji kesetiaanku tuk satu pilihan
--perempuan

lalukah waktu melumat dan memecatku
dari peta dermagamu
: ibarat kapal sekedar merapat lalu berangkat
hingga aku harus hijrah ke jazirah
berbatas usia; tanah berjejak
menggenangkan sajak di petak-petak bertuah
: selatan arah
hingga terumbuku mengusik segala diam
meluruskan arus yang memusar; liar
lalu segala pasir minggir ke tepian

o kota bara! kini di jalanmu aku sendiri
menyulut api
karena semuanya telah pergi
demi sesuatu yang pasti

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Larasliris

beribu windu kami melebur di kedalaman debur
kubur kami laut
hamparan ketidakpastian, maut
bersendawa di antara geraham,
dan kami tak bermalam tuk satu arti
: ranjang

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Lukisan Dara

susumu terlalu kecil; kubayangkan buah
apel, di rahim purba
waktu, niskala; saat firdaus masih meritus ke daun
tapi sejarah ditali, digelimangkan pamali
hingga rusukku tandus sendiri
dipestakan kaktus

di kanvas ini, ulat, ular dan kita
segaris
dilipat amis darah
kau bertahlil tanpa suara; dadamu rata
dan talkinku
serupa angin yang menyodok peparu
menitipkan ledakan
di luar waktu
: sebermula dari firman dan tabu

dara, payudaramu tak berkibar bendera
dan aku tak bisa menggambar geletar renjana,
kerna sukmaku dibugilkan udara
di hidup gelombang

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kilas Balik

pesawat menderu di kepala kita
: radio, tv, kipas angin, juga mesin
dan kita diasingkan dari angin
tuhan, bermukim di batas musim
dalam hujan, atau kemarau
atau pispot, wc umum, atau
panggung

tak ada gambar lain, kecuali ritus purba
ketelanjangan
: beha berkibar, payudara, kelenjar
dan segala kelamin
dibentangkan
bak jemuran; lalu kita digiring ke arena
untuk memungut
atau direnggut

mungkin tak ada waktu untuk
bersendiri
diri remuk, hilang amuk

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Koma

bahkan kami pun terasing dari tuah tanah
segalanya dihisap sampai nanah,
dan gelap akar kami menyulur ke atap
otak, ditilap berabad-abad
kami koma dalam keberadaan, menghuni
liang ketaksadaran
ingatan
tak serupa penghuni goa
yang ditidurkan hujan; tuk satu pewahyuan
tentang perubahan dan tangan

kini kami, tak kenal bunyi yang tercurah
dari gerimis prasasti
aksara mati, dan kami diasingkan dari silam
dalam ritus pelupaan dan dendam
dan jejak yang terwarta dari malam-malam
mengingkari bahasa
dan sapa kami tandus sendiri di muara

jika jiwa kami terbelah; kerna menara
seperti menjulang di angan-angan
meski hanya bebayang dan hilang
segalanya dinadirkan tuk satu pencarian
gelisah yang memecah
kebekuan, hingga dunia tercipta dalam langgam
tak prasangka
---kelamin dingin, nista angin, juga indra yang
ditunakan
kehendak—
sebelum segalanya lebur ke ombak
dalam debur gerak ---persetubuhan!

serupa hujan
kami menginap di keremangan, benih
kami semaikan di ladang-ladang lapang
agar silang yang jernih
berkumandang di sendang
melilitkan selendang
bak penari yang diiringi bunyi
basah kuyup birahi

tapi ingatan kami
secadas padas; saat seorang pendaki terpelanting
di gigir dingin
kerna gerimis, lebih magis
dan sebuah tangis; kehilangan kami yang berjuta
saat kami disekap di sangkar
dan kami diburungkan oleh perompak
dengan bius yang dihunus dalam jarak
dan kata

berabad kami koma
dan ingatan kami hanya bercak roda
kereta; yang berderak dari beranda
ke jalan-jalan samun; berselimut halimun
Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Ratu Ibu Syarifah Ambami

ada yang tertinggal di rambutmu, saat aku berucap
waktu
kerna ruap pudak; aroma padma
tubuh berpandan; terukir di tangga-tangga
sebelum gelap menjadi jelaga; bukti nyala
yang kini diredupkan cuaca

namamu sedingin muasalku, hingga bibirku bergetar
sendiri, sungguhkah hidup
ini, tak lebih liar dari perjumpaan, degup
sementara; dari jantung yang bergulung darah
hingga sejarah menggamit segalanya
tuk satu perjumpaan semesta
tanpa kaki, tangan, juga mulut yang diasingkan
dari laut dan peta

tapi nisan yang kau pahat di jejak-jejak keramat
serupa arus yang menghunus hikmat
buayaku tumbuh; kesedihanku jumbuh
antara tawa dan riuh
pembuluh; saat sabit pertama mengukir jerit
di balik bukit
hingga dosaku rubuh; mencecapi rakit-rakit
di atas sungaimu, sepanjang rambut
yang terurai;
dan di pantaiku, segala gelombang terjelma
dalam kerinduan dahan dan dedaunan

di gunduk yang dikapurkan kubur; sendiriku
melulur jasad
wangimu
---tersembunyi dilipat gelap
hingga tangisku pecah serupa jambangan bunga
dan kelopak-kelopak kembang beterbangan
mengiringi derai air mata

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Pena Darah

jika engkau berpikir bahwa engkau bisa hidup tanpa
menulis
jangan sekali-kali mencoba menulis
---Rilke

pena darah ini, jemari tak henti menari
sangkur kuhunuskan
di jidatku
serupa keparat riwayatku, saat ingatan meloncat
dari linggar kering
dan denting gelasku menjauh di kedalaman
sumur
tanpa mata air
kubangkitkan serdadu takdirku
mencatat, melipat, melesatkan
hidup
dalam satu pertaruhan

dan tak ada alasan berpaling
dari kerling tulisan; kerna perawan tak mampu
dicumbu
segalanya rumpang; serupa kesabaran
yang ditikam
sebelum malam pertama
lalu pengantin rubuh, bersimbah
serupa noktah-noktah kecil, titik, koma
di selembar
lontar
saat ingatan meliar

dengan tinta
di atas gaun, sprei dan kelambu abu-abu
kutuliskan pengetahuanku
pilihan yang melampau ruang
dan waktu
melampaui masa lampau
atau
kabut di jalan-jalan pendakian
yang menantang
di seberang

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

VV

1
mengutip sinyalmu dari langit
tuhan turun
tapi bukan kupu-kupu, melainkan rasi bintang
dan arahku terpuruk karena ku salah
menafsirkan
berbahagialah surga, berbahagialah

2
ada yang hilang dari suara hujan, saat dain
ikut berjatuhan
dan malam menutupkan pintu
hanya laut yang mampu beri harap
bahwa gelap bisa bersua dengan ombak
di bawah payung bintang-bintang
3
siapa bisa melarang mimpi datang, jika malam
adalah doa-doa panjang
dan hujan beri harap pada gelap
mungkin tamparan angin bisa
memalingkan muka
tapi hanya sementara
luka

4
haruskan kugelombangkan hijrah
ke haluan
kerna laut telah susut
dan segalanya menjauh
dari pertaruhan

5
bismillah abracadabra

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kelamin Berkecambah

di lokan, saat ikan mulai bisa dipanggang
keraguan
dzikir berulir di jauhan ---dan kelamin ditanting
di hamparan
serupa pesta

ah, ngilu
kerna kecambah merambati paha
ada yang tumbuh, di luar sangka
sampai lubang-lubang persembunyian
bergetah, darah
sebab akar tak diam
dalam satu cabutan; serabut selalu
membalut kelindan, antara lumpang dan alu

hopla!
kecebong berlompatan dari bebulu
angsa diam di hulu
ada yang turun sambil tersedu
: di mana bijiku, adakah ia hilang, atau tumpah
di mulut dikau!

demi waktu
setelah panen ikan; dari rahim waktu
terulur tangan batu
dengan gigi bertaring, berbaju
ranjau; dihunuskan galau

dan permainan tersisa
hanya melangkah, diam
atau maut memberinya malam
paling berkesan sepanjang hayat
: blam!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kucuri Nafas Rahasia

kucuri nafas dari baling-baling yang menggiling
rahasiaku, kusebut sirr, tapi pesing angin
menampar; muncrat lebihi kencing
dan sendiriku hancur dikubur riuh
terakota; saat pertemuan di gapura
antara siang dan malam, nanti dan silam
merajam hening yang kupahat di kening
serupa batu-batu; pasujudanku
diarak ombak; karnaval kata-kata
yang berkicuan sepanjang jalan, buta
meski punya mata, hingga tubuhku terpanah
bukan kerna cinta, kerna dada dilapisi
perisai; meski sangsai masih melantai
di altar; dengan gelar doa-doa dan sebaran
mawar: tanda geletar renjana!
praharaku terbungkus angin, sendiriku hangus
di kelamin; lalukah waktu menderitkan pintu
dan menutup katup pencarian, hingga
segala wilayah terjajah dan tak menyisakan
sepetah denah, ruang istirah, tempat pertemuan
diri dengan diri, mimpi dengan mimpi
kucuri nafas dari denting suara yang menyayup
dari lengan pipih, serupa dalih pengantin
yang dijauhi angin, kerna segalanya dipersandingkan
dalam satu upacara; ditasbihkan dalam satu pesta
dengan hujan; air mata sedih dan gembira!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Membatik Langit

kucelupkan jemari ke lautmu, pikiranku
susut ke kalbu
adakah rindu harus kurajang di nampan
sesajian ---sampai bahasa berguling ke pantai
disangsikan arti; lalu selendang berkibar
di kedalaman debar
sejumput waktu sebelum penantian

tapi langgam ini bukan pinangku; nyiur masih
diguyur getih; serupa maut yang meraut
kelapa ---hingga tengkorak melelehkan air
dan payudara berkejaran di pasir
berpelesir dari dada; menghindar surya
sinar yang dalam menukik di bilik
rahasia; tanpa kata-kata dan rencana

perempuan berjarit; membatik langit
tanpa canting
kerna kelamin dibanting;
serupa pembakaran sinta
dalam api berdupa
sehingga sanggama seperti irama melenting
diasingkan gending

dan kerinduanku terlalu sederhana tuk amsal tanah
asal kau datang
sendiri; lalu kutabuh rebana, iringi sunyi
yang pasti menikam hati
lalu jemariku menggambar rautmu, di gunduk batu,
yang terus mengusikku
tentang nama, kapan dan pelarungan-pelarungan
yang selalu abadi di batu hitam
: nisan

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Qasidah Hah

di tepi kali, ingatan
memayung daun, meski tak hujan; kuingat pisang
lalu kulemparkan piring, pisau, nampan
juga keraguan
di perjamuan

kupas saja dengan tangan, jangan pernah
kau sintuh gagang
demi tuhan, kawan

sungguh ranum buah kesangsian, bukan
tapi tongkat ini tak juga diam, serupa tasbih
yang berputar, berpusar hingga telunjukku memar
dan air terus saja mengalir dari pelir
mayat-mayat

dan tak ada pisang bertandan
di ranjang
demi tuhan, kawan

demikianlah, ingatanku sesundal anal
saat usus murus
saat maut dan perut berebut kelelawar

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Musim Gending

cahya kami luruh digempur musim
kami masih bertempat tapi tak tercatat
kerna keagungan kami mampat;
di lorong
ketika suara bergaung sendiri; tak bercerobong

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Pernikahan Tanpa Pengantin

bumi merindu; dengarlah tangisnya haru biru; hingga
rumput-rumput semaput; saat ditanya: kerinduan itu
menuju satu, atau tiada
bukan maut yang dipusingkan di lantai ini, kerna kaki
bisa mencakar sendiri; menopang kesendirian; tapi
lagu, juga nyanyian, selalu mengundang: mari menari,
hingga darah kita rebah ke denah tak bernama:
kekosongan; dan kepala kita membentur partitur tak
terukur: kubur
meski lacur jiwa kita serupa sejuta bunga; ditabur di
gang-gang, lengang; juga tanah lapang yang tak
berjejak apa-apa, kecuali kesunyian

langit mencumbu, lihatlah pekiknya yang berbatu;
hingga burung-burung menggelepar, sesaat mendengar;
ada yang akbar, dan bertitah tentang musnah dan rajam
bukan doa yang hendak teraih di remang ini, cakrawala
masih terbuka dan segala pintu surga; tapi dalih
tentang pertemuan, masih harus diurus tanpa peraduan;
serupa maryam yang tertatih di balik malam, dalam
ujian-ujian; hingga nujum dunia dipastikan tidak
pasti; tanpa rangkuman

pernikahan terjelma di ruang kita, tapi hanya
kelelawar; mempelai yang tawar, karena terus berdebat
apa arti senja dan kesunyian

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Namamu Seindah Luka

“siapa namamu?”

masih kuingat saat kutumpulkan jarak, meski kau hanya
tersenyum
lidah ditekuk dan berpantun
diam; aku pun diam-diam mendinginkan tangan
bibir kurapatkan di barisan

“tak ada sapa, walau tuk pertama!”

ah, sebegitu getirkah kalbu menjangkau sengau
dada; ditimang ragu
aku menancapkan tugu
di lambungku; agar peparu menghisap gelap harap
dan mencernanya dalam nafas berbilas harap

tak jadi kusebut panggilanku, ku sendiri mengigil
kelu; tak sehasrat kilat menyambar, kutarik kembali
jemariku
kefakiran ini semakin meronta; tabirkan nganga
jarak semakin tajam
merumpang

“tidakkah kau tahu arti sebuah nama”

kubunyikan sendiri kegalauan
di taman
tak berpintu; meluruhkan harapan
tentang kupu-kupu

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Mencintaimu Setulus Kabut

roda terus melingkar di kepalaku;
kueja rautmu
tapi sunyi jelma hantu keterpencilan
mataku tersumbat awan: gairahku terpanah gemetar
senyap kurasakan bagai dekap
ketulusan

kucintai kau setulus gelap
kabut-kabut
di jalan, di perangkap
perburuan
meski inderaku dibekap ketiadaan

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Mewarnai Kubu-kupu Beterbangan

sanggama!

halilintar pun menyambar;
kututupkan kain kulit ke jidatku yang murung
serupa payung
awan berpusar hitam; di ubun, segala hujan
merubung diam
diam yang terkurung sejuta arus

di taman
bangku panjang difosilkan hikayat
: adam-eva, juga samson delila
ah alangkah belang perumpamaan berdua
di warna yang diungsikan surga
dimampatkan di mata; indra dunia
sihir abadi
karma; rupa-rupa kembang, anyaman pandan
dan tubuh bergumpil saat gigil
melepaskan anak panah
dari busur berdarah

lalu bugil kuhikmatkan ke kedaiku
misal dari kegagalan setubuh
saat baju terusan membungkus tubuh
dan rindu
terakhir berujar pada batu
tentang jalan lengang, menghindar dari riuh geletar
juga kafan yang tersampir di lengan
: aih, alangkah bacin calon mempelai

hantu! hantu kembali menghajar sukmaku
tak juga kumampu mewarnai kupu-kupu
yang beterbangan
meski hujan telah hilang
dan tinggal sisa mendung menggumpal di dahan
kerna lengan terbeban
dan maut memberi peringatan paling keparat
tentang waktu
hingga bibir dan jemariku bergetar
dingin kelewat kurang ajar!

kutabur bunga di udara
sebagai kubur dari segala pencarian!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Bergegas Menuju Hampa

seuntai tasbih melanggam di kedalaman
getih
kurasakan desir; di keremangan
nadi
jantungku berderit; berpuluh pintu melabuh
bibirku lumat dalam keluasaan
hampa
terpilin tanpa angin

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Selembar Harap

pada selembar harap, mautku menggenang
kesunyian secadas ampas; saat ruh digemuruhkan tembang
di pentas
boneka-boneka kulit; melejitkan jerit keagungan
yang tertidur di kubur, ratusan abad
hingga jiwaku digali kembali
di sebalik rumput dan lazuli

rambutku tersangkut nisan yang berkejaran
di pematang
sawah, huma dan ladang; segaris dengan cakrawala
dalam satu pandang
sungai-sungai mengalir dari bulu mata
alis menggaris hidup; antara otak dan rasa
serupa rumpun bambu berpagar rumah
: mimpi tabula rasa

dalam ketakpastian ini, lenguhku dihajar tubuh
kerinduanku hancur
harapanku dikuburkan seribu debur
kueja dancuk, dancuk ke menara
hingga jemariku meming di pucuk cemara

di kotak, tak ada yang lebih nisbi dari gerak
yang tak bergerak
kelir menunggu sentir, batang pisang menanti kaki
jejak-jejak mengambang
serupa gending menerawang udara
menggamit kemabukanku yang papa
hingga rindu dan kemarau
bersekutu dalam sengau suara
galau gema!

kurasai mautku di tepi ini
saat kaki memahat sisa-sisa telapak
di lahan
hingga ada yang meledak
di iga
seumpama nista; kutuk yang membentuk
remuk dada
di keremangan kala

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Mi’raj Burung-burung

aku terlelap dalam gelap burung-burung, saat sayap
mengepak ke rimbun uap; mi’rajku tertahan di kabut;
bertualang malakut, hingga aku tercerabut dari
kedewasaan, serupa kanak; hanya bercawat dan
mendalihkan tangan tuk menggenggam permainan, meski
malam menendang-nendang hasrat: cepat berangkat!
keberangkatanku gagal di terjal lembah; atap
meruntuhkan jelaga, mimpiku tak berdermaga, dan diriku
hilang dari pukat dan sangkar, serupa jangkar yang
amblas ke dasar; tanpa ikatan kapal; lalulah laju
terdampar, dipuingkan angin yang mempesiang pesona;
pada sementara; sampai aku di pantai, kekosongan
terwarta lebihi nyata!
pada sahwat yang menikam belikat, mengirim utusan ke
rusukku yang khianat; kucoba menggiling kembali
pepali; waktu abadi; kutaruhkan hidup di rembang maut;
agar nyali teruji di diri; dihempaskandaskan,
dikremasi, hingga segala jiwa membuka; rahasia
tercerap prana, dan dunia tersaji senyata; tak
terpilin indra ---penampakan-penampakan harus pecah!
kubalik hidup jungkirbalik di bilik jantung, degup
kudengungkan, serupa kumbang; kutalkin sejuta
gemintangi; agar gelap lebih bisa dilesakkan ke derap
harap; mendaki lembah kecerlangan, menuruni bukit
kesenyapan; dalam pesta, upacara yang diheningkan
budak; dinista segala bidadari.
mi’rahku bukan burung, keberangkatanku tak bersayap,
serupa ingatan-ingatan yang terkurung dan dibebaskan
dari keterpencilan: telanjang! gelap!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Tempe Surabaya


“tempik surabaya: tempe!”

kurasa punah asaku; ketika maut tak berbilang waktu
menari
di dasar diri; bergerak, serentak
hingga diamku meledak
: tempe!

hari-hari di ruang gas, mati pun tak lekas
sungguh hidup retas

nafas pun berburu udara di kelam rimba
tanpa kehijauan, tanpa warna

kubertempik di selangkang kematian
biar segala surga mendengar dan hapal
atau neraka meliar ke pal-pal
: nisanku
hingga kubisa mencumbu bisa
tawarkan nestapa
serupa siang dicabut senja

tapi tak ada malam di kota ini
udara telah membusukkan jasad
aku tercemar beribu serdadu; khianatku
batu
yang dirajamkan
ke lalu
dalam kedewasaan setengan-setengah
di rembang usia

sumur-sumur tergali, siapa bunuh diri
mimpi-mimpi ditali, siapa mati

aku menjerit dengan sabit
kuredam kesakitan lewat bait langit
kukhayalkan malam
lukaku membusuk dan lebam
rasaku ambruk di botol-botol
: dobol!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Lelaki Bersayap Kabut

halimun turun ke dekapku, putih
tapi gelap teraih
mataku diracun beribu kelemun; serupa unggas
beterbangan di luas
samun; sayap-sayapnya melelapkan
jiwaku; terbuai
tapi dilanda sangsai: adakah dupa menguar di ruang
saat sekat tak lagi gamblang, ketika peta
dicetak berulang dalam nada sama
rumpang
warna tunggal terpampang; terjal menggejala
serupa ajal

kubaringkan retinaku di gelambir salak
onak, juga duri-duri yang tercuri
dari peluh tubuhku sendiri
tapi impian masih mempesiang, kerna tangan tak lagi
terentang
namun kabut membentang lebihi pandang
aku terbang! aku terbang di gunduk yang diperdukan
tanpa sayap yang membelenggu jawab
aku melenggang di simpang terang; cahya
nir cahya; langkahku loncatan!

sebentuk jabang terlontar dari remuk geletar
---bebukit gamping yang terbaring
di gigir dingin; ruapkan cadas sahwat batu-batu
di gumuk berundak seribu
kueja: perempuan, tubuh, abu

kenapa selalu perempuan;
iga yang lah lepas dari rantauan
bukankah kabut telah memalingkan
dan memagut muka dari goda
bukankah doa lah dihentakkan ke bebunyian goa
bukankah batu-batu bisa ditabuh
dalam orekstrasi gaduh, ruh
diam yang meliarkan jeram ke gemuruh suara-suara
bukankah...

“tapi gunung butuh lembah!”

ah, alangkah rapuh dunia tubuh; alangkah sia-sia
segala siksa
timang, timang saja seberapa berat karat
daging dan cawat; timbang, timbang saja seberapa
laksa dunia merajam dan melipat
tempat, jiwa!

getih kembali tertatih merayapi bebuih
langgam kembali terulang menyapa dentang
cahya kembali bersuar meski tanpa getar

demi masa
sayap-sayapku tak berbulu; ratap jiwa
segelap garba
saat perempuan dihunus hidupnya
dibaringkan di pembaringan
dibungkus kain panjang
: kafan!

halimun turun ke dekapku, putih
tapi sayapku gelap bergetih, lirih

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Menggiring Rembulan

semenanjung telah takluk di ujung
biduk; tapi di mana hari, saat tempat hilang bentuk
di mana ruang, ketika waktu remuk
di mana...

ketaksadaranku

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Pesta Awal Tahun

kesendirianku berkiblat lahat
meski ritual digelar, upacara dibabar
pesta dirajamkan ke indera dan dzakar
kerna hawa mayat mengingatkan geletar
duka; merayap di gelap sungkawa
dari setitik dzarrah
yang tumpah, lebihi amarah

sungguh ingatanku hanya bangkai, luluh lantak pantai
dan bermilyar belatung ambyar
di setiap pandang ---di awal masehi
saat tuhan tak lagi berikrar tentang materai
atau surat-surat ---doa, tak sampai
surut
ke palung, relung sanubari; akut

kesucianku tak lagi semarak oleh kalbu
kerna jerit lebihi batu
terlontar ke altar
dan ars; kursiku hanya sandar
tak jelas—kapan perahu berlabuh
atau terus lurus ke cakrawala
meniti buih yang bergetih, dalam bencana
sengkarut dunia
gerak patah-patah ---menghancurkan
arah

maut begitu lekat di lidah
hingga ludahku merah
darah menyembur dari dadaku ---dalam kekosongan
pahit kurasakan
lebih menerjang; dari sejuta kina

adakah segala angin ini berputing kembali
adakah perigi ini dipenuhi janji, adakah hidup
tak henti di degup
pertama; hikmah terjelma dari tetes nanah
dari kehancuran
kepapaan yang terkirim tanpa warta
adakah segala lara ini bakal bangkit dan meninggalkan
dunia

pada bumi yang menangis, kulesungkan
kesendirianku
serupa garis-garis putih, putus-putus, tersambung
dari palung
kerna gerak tak lagi bisa dipahami dan tanda
tak bisa ditafsirkan semena-mena
bak kumbang berdengung di antara bebunga
tak bisa dikunya: adakah ia birahi, atau mengingini
seribu madu tuk dimampatkan
dari lagu—kasidah-kasidah bergemuruh
dan memiuh
kuncupkan sunyi di benih
yang disemaikan waktu

cacat sudah pengembaraanku ---serupa panah
yang lesat; ditimang getah
tak kutahu, adakah lembar-lembar ini tetap terbuka
dan lontar mencatat gurat liarnya
atau sebuah ngengat kan mengecat belikat; hitam,
berlobang
di atas pandang
dengan sebuah kebisuan yang memuncak
sekarat gerak

dan aku terus berhujan di payung
tak bertuan
serupa kelamin yang dihantarkan
ke pelaminan
dan disambut seribu ledakan
peluru
: tuhan, tuhan, tuhan
inikah rahmat yang meloncat dari kaidah
madah
puja-puji tentang mimpi
inikah nasib yang terselip dari serangkaian
alif dan salib
inikah nubuatanmu yang terjelma
dari tasbih; rosasio, dari rantai panjang
yang melantai dengan jubah dan selendang
inikah...

sendiri, kupulang
ke sanubari
bak biri-biri ---tongkat mengkilat
di kali
dan tak kudengar suara-suara panggilan
kerna guruh lebih bergentanyangan
maut
serupa lumut tebal
yang menunggu dipintal
dan rajang telah disiapkan di bawah payung
langit
: serupa kekasih menjemput hati
dan membawanya pergi

tapi di mata, segalanya serupa luka
ibu hilang, anak hilang, ayah hilang
ingatan, rumah
sejarah
dan segalanya ---rumpang!
serupa nuh, adakah yang tersisa; kecuali bahtera
dan sepasang berpinang
yang telah terwahyukan
tapi kini, wahyu hanya sakramen berujung latu
debu yang mudah mengepul
di ujung sepatu
atau anak-anak yang diusir dari arena
tuk sepatah kata
: dunia

dan ingatan kesendirianku menghajarku
dengan kesaksian tabu
demi jam yang terus berputar
melingkar
mataku diterjang daging-daging wanita, daging
manusia; daging segala yang bernyawa
tak terpanggang oleh api
tapi dibasahkana oleh matahari, bumi
dan segala yang melompat
dari otak dan nubuat
pembusukan melumat nafasku
hingga sesak kurasakan di lahat
lisanku melaknat
kalbuku memahat
: allah, allah, allah......

segala benturan terlontar ke haribaan
serupa cadas yang menebas
iman
dan kutalikan tarian-tarian saman
serupa gelap
di kapal-kapal
kerna kepergianku
serupa waktu ---terusir, mengusir
atau dihilangkan dari buku
dilipat takdir
raib

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Gadis Pantura

aku menghening
bukan atas namamu, kerna angin
tak beranjak dari kalbu; biar dinding
tetap merapat, gelap; seumpama malam, biar
ia larut ke laut

kerna dari pantai, aku tahu ---ada kapal-kapal, juga
perahu
dengan umbul-umbul, berarak
bersama awan, camar dan kecipak ombak
dan gelombang memuncak
di irama, serupa duka; requieme tak berjela, bening
di telinga
meski di mata, hanya kabut dan luka
serupa sirene pemberangkatan armada

sedingin salju, kusebut namamu
di palung dan terumbu
tapi tak kutemu tuju, kerna buku-buku telah tertutup
retina mengatup
dan sinar suar telah meredup

sungguh bukan atas namamu,
takdirku
dari debu kembalilah ke debu
dari angan kembalilah ke angan

demi angin yang berdiam di malam
malamku; di jalan ini
ku tak ingin, heningku dilumuri mimpi
Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Scream

--saudara-saudara di Aceh dan Sumut
jeritmu adalah jeritku
kerna laut tak terulur waktu; tangan
tangan nasib
telah dihisap ke terjal batu
dan rumah kita dikacaukan kelelawar

Surabaya, 2004

Sajak Mashuri

Dinding Air

berjalan ke gelung palungmu, kegilaanku bergaung
serupa jerit burung-burung
ke tujuh lembah ---samun
serupa kabut yang tertanam di ubun
ketika bangkai pikiran menyesak
dan dada terdesak oleh seribu tusuk
nafsu

dan laut
bercadar maut
serupa dinding air yang berlari
dengan kepala-kepala yang ditinggalkan
di pantai

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Para Perompak Doa

sakitmu bangkitkan wali ---hari ini
serupa laut yang tertidur di bawah ulur tali
aku tak mungkin dingin, di pembaringanku; tanah
meski basah
dan seribu liang tampak merembes darah
dan tiang gantung
serupa angin yang terus berkumpar
menyambar-nyambar, tampar
segala diam

dan jubah ini, kubah ini
tak bisa berkibar
hanya kenang yang terlinang
di mata; maya
berkejaran di bebayang
kerna segalanya meruah ke relung tak bersudah
bernama yama

tasbihmu
seperti pendulum, terus gerus
memori
hingga belulang memutih
ke dasar
nisbi
sebuah asal yang tak dikenal
dan segera terpenggal

jika lalat memberi bukti
sejumput darah di jemari ---mungkin hanya keterasingan
daging yang tercampak ke lazuardi
dan jalan-jalan dipenuhi doa tak sampai
serupa dada yang tergurat di pantai
dan tak pernah ingat
ada sangsai disengat ngengat
dan pelan-pelan turun ke gulung
maut
dicakar seribu langut
dihempaskan dari takut
direnggutkan

la tahzan!

tapi wali ----hari ini
masih berkutat pada dua darat; ritus hangus
dari wahyu
saat ilham masih digenggam
dupa ratus tak tersulut
dan wangi belum sampai pada kabut

kesakitanmu
melebihi tikaman, dan berdarah
di dadaku, sebentang jazirah
yang tercabik
oleh doa yang dihardik
para perompak

Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

Di Balik Tubuh Ini

di balik tubuh ini, tak ada makna
kecuali sunyi yang dilantakkan ke ladang tua
ketiaka sungai-sungai mengering, lumpur kepulkan debu
di jalanan, batu-batu
dan rumput tak bergoyang untuk satu waktu
: kubur

kejelitaan terlalu rumpang tuk diabadikan di kanvas
langit
bak buih; sesaat setelah awan gemawan sesat
di cakrawala
dalam gerimis terbata; bibir bergetar tuk satu kata
: maut

tapi kenapa maut
siapa terluka dan berkumur darah
siapa mengapung di permukaan air mata
dan tak pernah bersua dengan suara-suara
kerna gema telah hilang dan yang tertinggal
cuma teras dangkal
siapa menjamu dunia di perjamuan; saat mabuk suntuk
dalam kecamuk, amuk
Ajal

ah, tak ada bulu yang bisa dijadikan hulu
ledak
dari tubuh; serupa kesementaraan yang berlabuh
di selangkang
disepuh tarian; bergoyang, bergoyang, bergoyang

dan makna memberat ke muara
kerna persetubuhan bisa dicemarkan dari mata
tangan, kaki dan mungkin saja telinga

pejamkan, tulikan, dan rasakan
: ada yang bangkit dari tubuh, saat tubuh
rubuh
Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Berburu

mari kita hitung berapa hasil buruan kita
: kutang, beha, celana dalam, atau mungkin potongan
penis
atau payudara
kau bisa membuangnya di kali, yang lebih hitam
dari pantat kuali; bila tak sudi
atau menjaringnya di wajan: siapa tahu anak-anakmu
doyan
tapi aku akan memangkasnya di rambutku
kerna kutahu, segala yang yang hitam; tak juga rambut
atau bulu kemaluan, ketiak
atau upil di hidung bisa membuat kita kram otak

tapi kita tak bisa berhenti di simpang ini
tidakkah kau lihat, bagaimana lalat-lalat itu ikut
antri
dan membayar mahal
agar kita terpenggal di tengah portal; sambil
menyanyikan
lagu: serong ke kanan, serong ke kiri

dan hutan kita; bukan hanya belukar, semak atau
kijang dengan mata terbuka
segalanya ada; juga perempuan, laki-laki
masih bersuami atau berbini, atau masih sendiri
siap kita jadikan umpan
atau sasaran, sehingga kita bisa menembak
atau memanah
tanpa merasa bersalah

jlep!

kau mungkin mendengar ada yang kena
dan kita bisa saja tertawa
atau berduka
bila kita tiba-tiba mendapatkan
celana dalam anak-anak kita
yang disampirkan di pagar motel tepi kota
dan kita akan memaki-maki
: bedebah, pelacur, gigolo, begenggek, balon,
sontoloyo...
dan pasti kalimat terakhir yang kita
umpatkan berbunyi: jangan seperti orang tuamu ini!

mari kita hitung berapa hasil buruan kita
: orok dibuang ke selokan, kancut belepotan
darah-sperma
mayat membusuk seminggu, janda digarap ramai-ramai
dan sprei yang beraroma luka...
lebar, panjang dan luas
seperti luka anak-anak
yang ditinggalkan ibu bapak


Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Siul Burung-burung

kau mahir bersiul, serupa burung
tapi bukan hudhud, bukan simurg
adakah kau burung pejantan yang bersarang
di selangkang

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Pelarian

kami memang telah diasingkan, ibu
rumah kami hanya batu-batu; kemilau bandit
dan celurit
bila kami berkisah; narasi kami hanya darah
persis desis ular, maut
dan pohon yang bersulur kutuk

kami datang, kami hengkang, kami
terus berlarian
di tanah-tanah yang bukan
hak kami; kerna kami bukan tuan
bagi bumi ini
kami hanya peziarah dari arah
tak ada

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Perjalanan Mencari Surga

tahukah dikau, aku tak pernah mencecap hangat
surga yang dikau hapal dan lampirkan di buku-buku
tahukah dikau, aku dilahirkan dari tuba; racun sanca;
ruh penghancur dari kubur
tahukan dikau, aku telah dipesiang waktu, dilulur
beribu luka
dan beribu terumbu sepanjang kala
tahukah, dikau aku telah mengabdikan diri pada nista
dan dikerabatkan neraka
tahukan, dikau...

dikau yang berangin dan beranting kencana
mungkin tak pernah mengerti arti nestapa
: akar-akar yang dibiakkan kelelawar, disuarakan gagak
dan dirapalkan ombak dalam ritus lantak
--kehancuran
dikau yang bersuara buluh perindu, mungkin tak pernah
menisbatkan kalbu; pada warna mata
saat dahaga seperti bumi rengkah
dan pasir serupa kerikil dari neraka
berlontaran dari angkasa

bila aku berjalan tanpa alas di setapak ini
dan daun-daun gugur tak berbekas di hati
jangan pernah dikau tanya tentang arti surga
aku sudah lewati batas
dan tak mungkin mengingat apa-apa
kerna nujumku batu, seribu sembilu langka
yang mendera kalbu
sejuta siksa yang datang tiap waktu
: dalam ingatan-ingatan, memori
dan harga diri yang dibenamkan ke api
mimpi yang hilang ke rahasia abadi

dan, bila dikau masih melafal alif ba’ ta’
biarkan aku terus derapkan jejak
jalanku adalah menjauh
nabi; yang tak pernah diutus tuk sepotong tubuh
bukan surgamu yang ingin kurengkuh
tapi taman lain; jalan lain; mimpi-mimpi lain
meski aku didera angin
dan lolos dari derap keretamu
yang melaju di jalan-jalan, yang dipenuhi teriakan
dan lisan yang berkibar altar dan janji
pencerahan

perjalananku
tak lebih sepotong duri yang terus
mengungkit kediaman arus
saat dikau terjerembab
dalam lembab kata-kata
dan melupakan api terdalam dari nista
kerna di sanalah surga berdiwana
surga yang terus mengalir
surgaku!

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Rumah Jagal

saat pedang ini melesat
ke urat lehermu; adakah nyanyi yang sampai
di sini
kecuali mata, yang tiba-tiba diam, gelap
dan mulut yang berdesis
di antara pasir-pasir, rumput
atau lumpur; bekas segala kaki bertempur

sunyi mungkin
terlalu mahal tuk dirabai; serupa sungai keemasan
yang mengalir
di bawah nadi; muncrat di takdir
di gelimang maut

tinggal namamu terukir
di meja
tempat gelas, piring, sebentuk sendok atau garpu
atau pisau
yang diam-diam saling sapa
dalam kebisuan

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Lonceng Terakhir

ketika gapura terbuka, masih sempat kudengar
suara
lonceng; tapi tiba-tiba segalanya
sayup
sesayup bening kata-kata

adakah kali merambat tanpa gerak dan saat
adakah kaki melangkah tanpa jangka dan tetirah
adakah mimpi berpaling oleh angin dan denah

o keremajaan
kau yang selalu bangkit diam-diam, dari usia
saat malam wartakan dunia; di luar kata-kata
masihkah terbuka segala pintu, saat bel terakhir
menunggu
dan rumah dibiarkan hancur percuma
di ingatan

lalu segalanya menutup, warna laut meredup
dan gelombang berpusar di dasar palung
menghitung degup
jantung

kudengar lonceng berbunyi tuk satu kali
lagi
lalu
senyap
Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

O

di langkahmu, sungai memipih dalam ketaksaan
adakah dalih, galih atau jalan-jalan lapang
keesaan
hingga aku bisa berkaca dalam keperakan langit
dan membaca alirnya
meski tersengal

tapi muaramu sedangkal ajal
semut yang merayap di dinding, terus melaju
meski hening terpintal di ujung pal
: bahwa maut tak dirituskan lumut
dalam rapal-rapal laut, juga nama yang tersulut
di dermaga
semacam perahu dan kapal

sungguh tak ada ghazal paling kekal dari senyap
ini, rumpun-rumpun tak lagi biru, hijau merayap
ke terumbu; bunga-bunga karang
diwahyukan hujan
tuk tenggelam, atau mampat di delta
saat pertemuan terpeta, dalam langkah terbata-bata
oleh getar aura
: khidir

lalu kau menari dalam kehampaan mimpi
laut kau biarkan berarus, tak terurus dan mendaki
seribu ritus pesta; huru hara semesta
kecipak yang bergerak tuk musnah
sampai segala nama digelapkan rahasia
dilipat abadi, disesatkan hati

langkahmu seperti penari, seperih pemimpi
yang tak pernah berombak
di bebatuan, mengaji kali, mengaji api
mengaji sunyi
dalam liturgi yang diilhamkan kehancuran
suci yang dikebiri ke rumah jagal
dan dikumparkan ke altar tak kekal
: alam

lalu raiblah yang raib, maujudlah
yang wujud
seperti kegaiban yang dibongkar
dan dipaparkan ke lontar
lewat kata-kata, jarak, angka
serta kemustahilan semesta

bersujudlah di bawah kaki langit
kerna ufuk terpuruk; kerna jalan
adalah turuk dengan liku-liku
alir nabi yang mencair, kesucian yang tak terpaku
di buku

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Lingkaran Kabut

kutembus lingkaran ini, kabut
yang menggariskan khianatnya
ke mata; tak kutahu, siapa jelaga, atau ranum
susu dara, kerna maut terpeta dalam kelemun
bebayang
subuh yang diwartakan fajar
tapi tak juga dikenal

: o muhammad!

kembali kusapa dalam dering pagi, mungkin dini
hari, bisa melesapkan inspirasi
tapi benarkah amsalku masih setia
atau aku memungkiri jasad
kerna lahat ini demikian menyiksa
dan memilinku
pada pilihan kembara, tentang kesaksian,
kesangsian
pada tubuh, ruh

lalu kusebut kenisbian ini, bak luka tembak
peluru masih berdiam
di hati; tak ku mengerti, akankah dia meledak
dalam diri
atau menghentak ke barisan kaki
kerna langit tak terwarta dari luka, hanya desah
yang memungkiri
kelamin
dan pergi dari ingin; bersimaharajakan luka
jejak yang tak bisa
dijadikan tonggak

dan warna hanya sapuan sementara
di kanvas udara
hijan yang membias, semakin menghangatkan
duka
semesta; curah yang merangsumkan kehendak
pada rintik
tak pasti, api yang disucikan
bak sinta, dengan tubuh sintal
dan melebur diri dalam kekal

serupa cakra, aku berpusar
dari kehendak ke kehendak, serupa atsar
bahasa-bahasa liar
yang terberi di akal, dilabuhkan ke misal
lalu turun
ke embun; tanpa hujan, tanpa guruh
cukup tubuh
disalib
dan dikekalkan dalam siksa
dan ancaman

kabut
kembali memayung mata, di jalan-jalan
risalah
darah kembali diingkari, sekaligus diingini, serupa
senggama
yang ditubuhkan
ke angkasa
dalam puja-puja dunia

aku terlipat di kelipatan angka-angka
memuing sendiri
tanpa nama-nama, kerna segala penyaksian
tak lebih hina
dari pelacur; saat tubuh hancur, dan kubur
memberi kesatuan
indra; tuk merasakan, mencecap
gelap
kematian

o muhammad!
di kelam hari, sesat ini demikian mewahyui
bak nabi
yang disilamkan api
menulis bunyi dalam sunyi
dan mencebur diri ke perigi
mencicipi mati
sebelum tubuh dikremasi bumi

pada katak, aku berguru
membatukan kabut dalam nyanyian
orekstrasi
tak berkesudahan; mengundang hujan
dan mengaji lubang
tanpa pakaian, tanpa keremangan
setapak
dalam ombak yang bisa menjadi
ilham
dari malam
malam terakhir
dalam sebuah perjamuan
takdir
tentang diri, alir dan rumah yang terberi
meski petir
memberi makna tentang dzat kata-kata
api, jarak dan ledakan
yang bertubi-tubi

demikianlah
kutembus lingkaran ini, dan aku mati
sebelum mati

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Bersua di Batas Neraka

kita penyamun, terhuyung
di arak kata-kata, namamu bersepuh
kelindan; kutabalkan tuhan
pada hujan; lalu kita berperahu laksana
perompak
di laut lepas; tanpa pengawas

gurat gaib abjad
melepuh, sekarat
di kutub tak bertanda; kita tak hanya
merangkai
kita menyusunnya, dalam bangkai
bangkai keparat
melepas maut dari gaun waktu, melorot cawat
tanpa sahwat
kita pemerkosa yang alpa pada dosa
asal
saat benih tumbuh, di dangkal
bumi
: sebuah makna yang terberi

tapi kita tak berhenti di batas ini
serupa iblis
kita tak ingin dibaptis; kerna dunia
hanya ritus bertanda
usia

di batas neraka, kita
bersua
laksana pemabuk; mabuk
kata-kata
menatap timah yang meleleh
dari perut
waktu
dalam gelambir tak tentu
: takdir
sambil mencatatnya
di ingatan
dan merumahkan pada kumandang
sajak
sajak rahasia
yang diseburkan hujan, tuhan, dan luka
penciptaan

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Percakapan di Meja Makan

aku tak mungkin berak di sini
betapa ku rapatkan kursi, sambil
melipat kenang pada mimpi, menggigil
ruhku
tanpa tungku, yang dijanjikan
sebagai tuang pelepasan; di meja
tempat sendok dan garpu tertata

aku dijamu, mungkin dalam sekali batu
kerna sebentar akan melenggang; serupa tartar
saat pesta berkibar; lalu perempuan bergaun
kelambu; dan semua berhibuk dalam pikun
pikiran
kerna rumah terlalu bordil
dan rahasia harus tetap digelapkan; meski senapan
ditodongkan ke perasaan

jadi tak mungkin aku menjadikan perjamuan
serupa kakus
: penuh tisu, darah, kencing, mungkin juga sperma
saat seseorang onani dan lupa
kerna di atas taplak, aku tak bisa menyuguhkan
kembang dari keburukan
meski aku tak sepandai tupai

saat semua selesai
saat kulipat kursi, mungkin ada yang membelot
merosot dari sisi gelap ini
tapi bukan tahi
kerna ia terlalu makrifat tuk disuguhkan
dalam cakap di ruang makan
bersama sambal dan terasi

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kembang Kuning

tembok ini terlalu tua; hanya kuburan
gembok
dan selaksa karat yang memahat pintu-pintu
semua lipat pagar, begitu pesing
karena laki-laki

jika kau buka matahari, mungkin hanya sisa gelap
yang membekas di atap
bayang-bayang dari bebayang tuhan
telah lenyap
kerna wujud hanya kartu
ditata di atas nisan batu; lalu tangan-tangan memberi
atau menerima
tanpa ada percakapan bertanda
meski di prasasti ada peringatan
: di sini, dimakamkan manusia, lahir sekian
mati sekian

kau tahu apa artinya; atau mungkin
tak bermakna apa-apa

kerna segalanya akan kikis ke ritmis
dunia; lahir, tumbuh, mati
dan roda kembali berputar; dengan botol
judi atau
pacuan kuda, ayam, jangkerik atau
melenggang ke pasar sambil meneriakkan
kata-kata paling ditunggu
: penglarisan!

tembok ini terlalu tua
kunci-kuncinya hilang sudah; jendelanya rapuh
bila gelap; banyak tubuh yang jumbuh
dalam dekap
sambil melenguh; serupa anjing
saat lengking suaranya membangunkan dingin
di ranjang

bila kau buka, hanya buku tanpa kata, tanpa aksara
hanya lembar-lembar pekat


Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

Menoreh Api di Dadamu

menoreh api di dadamu; seribu pulau beterbangan
bak layang-layang
lalu kutarikan benang-benang, yang berjela
dari sujudmu, kerna kutahu
ada batu yang diam-diam kau peram
di sela malam; saat segala mata terpejam

mungkin kukatub beribu letup harap ini
agar pintu tak berangin, dipermainkan
dan dingin
telusupkan denyar hawa, selaksa uap magma
kerna jantung ini bukan pusar nyawa
segalanya
terkunci di jendela
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri

Sepi ini Kematianku

sepi ini kematianku
gelak hati yang terpencil, mimpi-mimpi
mengapung
dan dunia dipenjara
dari riuh nafas
Surabaya, 2005


Sajak Mashuri

Cintaku Sehitam Kopi

bertahan dari mungil payudaramu
bahasa serupa hantu
burung-burung mengapung dalam hujan
kerinduan pucat; dan dahaga
tak berkiblat
kecuali arah yang melingkar di antara
lengan, dada
dan sebentuk peta yang tambal sulam
bermuram durja

ternyata aku tak bisa menghindar dari gelisah
laki-laki
dan cintaku sehitam kopi
saat pahit digelambirkan ke bukit; muasalmu
agar ada yang terjaga dari diri
di antara goda, rayuan dan kesucian
yang menderu di sepanjang gigir kalbu

padamu, kuramu segala batu
rumah ini kugenapkan dari segala keganjilan
hingga pigora tak lagi sendiri; tanpa isi
di ruang tamu
jambangan tak lagi kerontang; tanpa kembang
atau taplak menutup urat-urat kayu

bertahan dari nafasmu
seribu malu melecut paru-paru, hingga aku
tersedak
oleh kerumun asap; saat udara tak siap
untuk digelapkan
dengan sebuah pinangan
di awal bulan
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri

Melangkah dalam Sunyi

berkumur dari hening, aku digunting
segala kesementaraan
masihkah waktu berputar di lingkar
maujud; masihkah maut
bakal terjaga dan menjemput; masihkan duri
berdiam di antara perdu mawar dan ori

pada jasad yang teramat sangat ditikam
saat; aku mendidihkan taat
guruku udara; dengan pesing mesiu; mualkan dada
telah kulumat bait-bait –juga ribaiat
kerna arak tak berjanji tuk bergerak; saat piala
diam tak berderak
ke ritus alpa ---tempat rumah tua dibongkar
altarnya dan dilantakkan segala lantai

pada remangku yang tiada; kerna silap kata-kata
aku berkendara di kereta
iblis; demikian cepat, kupacu dalam gelegak darah
hingga dermagaku
dikaramkan kehendak dan mimpiku dilantakkan
batu-batu
lumut yang bersaksi pada sungai
limpahan-limpahan memori; serikat
kecemasan yang sangsai
pada ingatan
kerna racun alam telah merubung ubun
berangkat atau mangkat!

dan pelayaran
tak juga bersanding dengan perahu
kerna laut dikeringkan kalbu
dan lembah dibukitkan darah
dan pendakian
hanya sabda yang bakal hilang
di jalan
saat seseorang terlempar
dari keberadaan
dan tumpas di simpang tak bertuan

di ruang antara
saat segala gergaji bergigi, memberi api
pada sunyi
kulumatkan keramatku yang bertaji
aku dedahkan manusiaku, seperti
malaikat
yang sendiri di ujung kremasi
dan tak berkehendak, kecuali diri
dicambuk
ketaksaan; direntang antara dua ruang
hingga labirin memuji angin
tuk berputing
berpuing
dalam rambut-rambut abadi
: maut

ah masih adakah angka-angka, masih adakah
kata-kata
saat ruang tak lagi bisa terpeta dan jam
dirajam buta
masih adakah suara-suara
saat segala pita dan bibir dijahit dan dikatupkan
di ujung tak bertanda

kuludahkan kembali hening
meski segala kekelawar merubung kepala
berputar, berputar
lalu laut mencabut kesementaraan
seperti bunyi
ledakan; melantakkan sunyi
suara-suara
kabur ke pembaringan, ke kubur
dan segala asal
ditimbang tanpa kekal

saat fajar, aku berjanji pada matahari
bahwa langkahku
tak berhenti
pada nyanyi sunyi

Surabaya, 2005
Sajak Mashuri

Kulihat Darah di Wajahmu

aku ingin berkisah padamu, saat di wajah itu
kulihat darah
mungkin bangkai mendera dalam denah, tapi
aku tak ingin kau terluka, lalu kau sembunyikan
diri di api
paling busuk dari neraka, sambil menangisi
kelaminku yang bernanah

penyaksianku mungkin terlalu nakal
tapi aku tak bisa menghindar dari hal ihwal
bila kelak, kau datang kembali, dengan duka lagi
aku akan memberikan jemari
agar air memancur dari sela kuku, dan membersihkan
luka wajah itu, hingga kau
bisa bergurau
dengan keesaaan

biarlah kisah itu
menjadi rahasiaku, kerna aku bermain
di sana, sebagai pesakitan yang terpenjara
oleh angin, dingin, dan rumah tak bertetangga
dan aku tak bisa
bercakap pada siapa-siapa
kecuali pada gelap, pada sebentuk ratap tak berjejak
kata-kata
pada ruh yang tak bersemai pada tubuh

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Alam

bunga bunga bakung tak akan layu, sebelum tangan
mengulum batu; sulur-sulur senja
mengibaskan pandang; pada remah kembang

katak katak tak akan bergerak
sebelum lubang mengundang
bahwa ular telah menggeliat di pagar

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Baginda Kilir

dari liang ini, aku tak mengerti
kenapa bunga bermekaran, berguguran
atau dibuahi
kenapa tunas tumbuh, meranggas
dan dipenggal batas di ujung hari
kenapa jalan-jalan, takdir
serupa karang
yang dicampakkan ke ruang
kenapa bumi rengkah, laut dilantakkan ke darat,
membuncah....

mungkinkah kerna gaung mata mengurung segala indera
cercapan-cercapan kelalawar
dibiarkan mampat, gelap
gelombang dipangkas di atap-atap,
di nafas, bahasa serupa serapah
dan doa tak dikenali kembali
dan tanya dikumparkan ke ranjang hari ini

mungkinkah segalanya bermula atau
tak bermula
serupa angka-angka yang dimundurkan
dan dijumlahkan ke
kosongan
atau pencabulan nubuat yang dirampatkan
ke hulu
mencium batu; tuk satu
kepastian ---meski riak ombak tak pasti menurun
dan buih tak pasti tertatih
di tangga-tangga putih; ketaksaan

haruskah kepadamu; kilatan-kilatan
pertanyaan
dihumbalangkan, serupa rindu pada jawab
saat lorong tergagap
oleh lahat
dan kebinasaan menjadi kata
tak berpihak, kecuali pada rahasia

kerna di lubang ini
tubuhku masih melepuhkan api
dan tak kumengerti, benarkah dunia ini
dijungkirbalikan tuk satu isyarat atau beribu-ribu
laknat
adakah dunia ditertibkan tuk satu kalimat
: kebangkitan
kerna kiamat
serupa burung-burung yang masih
beterbangan, serupa iqamat
saat jumlah masih dipintal; anak, akal
mengekal
di kelenjar ombak

mungkin harus kurasuki malam
rahasiamu
seperti kisah-kisah batu; saat onta tak berhenti
nyanyi tak sunyi
ilham berkeliaran di tepi
dan darat mencatat sekilat rabu; hujan raksa
dan ditepiaskan asam dan basa
dan nujum dibalikkan tuk
merangkum kehendak, tanpa
kehendak

serupa musa
aku menghardik diri tuk tiada; lalu api muntab
dan tak kutahu, di sanakah tersimpan beribu buku
seruling yang terus berdenging
di telinga
pohon yang selalu memohon
angin, tuk rituskan hembus di sebarang
dingin
kerongkong
suara-suara yang tercekat oleh kelebat
kata-kata

aku menggelepar, nanar
tanpa jubah, aku berjalan dalam kesepianku
mencarimu
di balik terumbu ---serupa nasib, takdir
yang dipelintir
ke kikir
kelamin
bersyahadat dalam ingin, hingga sajadah
tergelar dari madah-madah panjang
wahyu
yang digelambirkan kembali
ke ingatanku

di tempuran yang dikeramatkan ibu
kuhisap segala ruh kalbu, nabi-nabi yang disucikan
dari air abadi; hidup
yang dirumahkan ke atas
angin, di istana tak berangin, tak bernafas
dengan udara
saat roda tak lagi dilindas roda
kerna kereta tak lagi bisa diajak berkendara
cakra lah berhenti di muara
segalanya membahasakan ingatan
dalam sayap-sayap
kencana

kubaca kembali surahmu
kisah-kisah abu-abu
yang mengundang sejuta tanya tentang
amsal; rahasia; kekal; nan esa
---kanak yang kau penggal di ujung pal, perahu
yang kau karamkan di lepas haluan
dan dinding yang terhampar, kaubangkitkan
dengan geletar---
kubaca kembali isyaratmu, tapi tak kutemu
titik temu
adakah
dosa-dosa serupa angsa
yang berenang di telaga dan berwujud cinta
dan manusia masih sempurna
tuk beri harap pada nista yang terwarta

seperti orang suci, aku tak mungkin mengingkari
segala tanya dan rahsia ini
tapi haruskah kudiamkan segala rumah, kupatahkan
segala jalan
dan kubangun dam paling sempurna
di dunia, pada sungai
sungai, pantai
pada ritus yang tak pernah sangsai
pada alam
pada mimpi-mimpi
kenang yang memabukkan, pada perempuan
pada persetubuhan di tikar pandan
pada muasalku
yang kekal!

kuundang kau
ke haribaanku
yang luka
serupa partitur yang telah luntur
notasinya
hingga aku bisa mengerti, isyarat yang terpeta
di jazirah
saat bah mencampakkan tubuh dan darah
dan dunia dipenuhi air mata

adakah isyarat, rahasia, itu
kau simpan di buku-buku
nasib
sebentuk cerlang cahya, suar yang terperam
dari geletar
siksa
adakah hikmat itu kaupahat di cakrawala
hingga jejak-jejak yang terwarta
bisa dibaca
tanpa aksara

dan aku
terlalu dungu untuk melesakkan saddhu
jiwaku
serupa arca aku masih terpaku
membaca
membaca, meski segala tanda menancap
di mata
dengan kubah, menara
dan kalam penyucian di sepanjang’
tanah
yang selalu basah
oleh air mata

di delta
aku setia menunggumu, meski kutahu
aku bakal berjumpa pilu
kelelawar
saat pintu menggebrak diam
lewat mantram

mungkin jawab segelap
malam
saat hujan
dan matahari pagi
memberi arti
dari penantian

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Waktu di Karang Menjangan

ada warna lumut di matamu
kutatap dari dangau di tepian pematang
hingga takdirmu
serupa pulau-pulau kecil
yang mengapung

di sawah

ada lubang, ada katak,
ada ular, ada jarak
masing-masing diam oleh kehendak

tak kutahu, kenapa bibirmu retak oleh kicauan
serupa sulaiman
ketika bahasa kabur ke dekap
jejak, kubur
saat rayap membangun rumah, seperti semut
dan sebuah sapa
menjadikan isyarat, demikian keparat
dan papa
burung-burung melolosi sayap
dari ikatan; paruhnya geletarkan nisbat gelombang

lalukah padi harus disemai
di pagi
saat pemangsa menghitung untung
rugi
saat segala maut menunggu
di pintu
meski dengan dalih

kulihat guratmu dari gigir lahan
seperti kunang tiarap
dari rajam hujan
dan gelap

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Gerimisku Tumbuh di Rambut

kucium ranum keremajaanmu; gerimisku tumbuh
di rambut, kubaca maut
lalu usia memanjat tiang; diikat temali
tak ada yang berkibar, kecuali layar-layar
kehampaan
serupa perahu, ada yang menunggu
dan pemberangkatan memilin kesucian batu-batu
koral; dipasang di dada
sebentuk ingatan tentang luka; yang masih
merembeskan getih

wujudmu tak sendiris
di tepi kolam ini, ada teratai, ganggang, juga rumbai
buluh
merumpun, memayung tubuh
dan bayang-bayang menjauh dari gemuruh
saat senja
dan waktu naik tangga; ke urat, trap-trap
buana; digelembungkan gelap
dalam bumbung
asap
arak!

di antara bebukitmu yang melimpah, kuselipkan
resah
kemabukanku
menghujan di sepanjang garis jam, hingga lingkaran
berkabut
tuk dikenali; serupa rumput
yang tumbuh di pinggir kali
mengundang gembala, domba, mungkin juga kanak-kanak
tuk bermain mimpi
atau tali
atau bunuh diri

di ujung gelungku
kujunjung wajahmu; serupa rupadatu
kuuntai mawar di bibirmu, kugenapkan dengan kupu-kupu
agar ingatanmu tak terkikis
gerimisku; terus tumbuh, terus meriuh
sampai pantai
yang di jejaknya; pasir telah menjelma tugu

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kugelisahkan Puisi

kugelisahkan puisi-puisi
di pagi, yang tak lagi kukenali
kerna mimpi semalam
tak bisa ditafsirkan dengan diam
kecuali dengan alif dan lam
serta langkah-langkah
yang bertakik dari dahan
ke dahan; dari getah ke getah
hingga tanah bisa diterbangkan di udara
dan langit dilekatkan ke mata

Surabata, 2005

Sajak Mashuri

Berkawan dengan Hujan

sebening awan
pikiran kita kembara dari pucuk-pucuk
cemara; bukit kirimkan misal; serupa alam
lalu kita melaut

kerna ingatan hanya puing
mimpi-mimpi busuk, menusuk
riam; kita digelapkan dalam alir-alir
kepastian
nasib
terhunus di ritus-ritus jalan
baptis
kita bisa berpaling
bila ingin
tapi mungkinkah; saat cuaca dibanting
di kelamin

kerna suara-suara selalu mendera
kembali dalam kereta;
kuda-kudanya berderap
di sepanjang lanskap;
-- keheningan
dan kita dirajam dengan sejuta kenang
pahit; menghancurkan

dan tak ada jalan; kecuali
kembali
mengerling
bening lazuardi
bercermin di padang-padang
bangkai
menghapus sangsai
ingatan; merasuk, menghapus
sayatan
lalu berarak bersama awan
bersilebam dengan hujan; berkawan
seribu titik air
yang masih menggumpal
di batas takdir

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Bahasa Ombak

ibarat kuburan
lautan ini telah memakamkan seribu usia
kerna ombak
memahat bahasanya sendiri, dan kita
hanya pasir

Surabaya, 2004

Sajak Mashuri
Airlangga, Suatu Pagi

sejak pagi, hujan menuntun kita
untuk tetap di tempat; bersedekap sambil
menatap curah di bawah atap
cuaca sudah menjadi banci; sejak kita
tak lagi sering duduk semeja, sekursi
dan pertemuan kita hanya sekilas-sekilas saja
sekedar singgah
minum, makan, dan tak pernah bercakap
tentang gelap, kamar atau peta
yang terbiar di dinding, serta pigora
yang hanya bingkainya saja
dan pagi ini, kita pun diam, menekuri
pikiran-pikiran sendiri
dan kita tak bisa berkata pasti, bahwa suara kita
bakal bersua di koran esok pagi

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Tuhan Masih Ada di Hari Jumat

sejak sarung pelekat kita terikat
di tiang
serupa bendera; kita tak pernah ingat
sudahkah lubang-lubang kecilnya
kerna bara, kerna benangnya sudah renta
atau warnanya yang memudar
sudah ditambal
atau terbiar; dan kita asyik bermain adu jangkerik
di bawah tenda
yang sewaktu-waktu bisa saja berpindah
karena angin

kopyah kita, juga terompah
masih lusinan di laci meja; tapi kita
bukan orang udik, kita sudah terbiasa dengan topi
agar matahari bisa dipahami
lebih awas dan cermat dari sini
dan warna hitam, putih, hijau, merah
tutup kepala
mungkin hanya mahkota sementara
dan kita sudah menganggap seronok bicara
soal sufi

lalu bagaimana dengan baju koko
kita; yang masih bau toko
sakunya yang terlalu besar dan banyak
serupa ikan
piranha, yang siap melahap apa
saja; meski masih tersisa pula tasbih
tapi itu hanya butiran kayu atau plastik
yang tak benar-benar mampir
ke bibir; hati
tapi pelesir ke sudut-sudut tak terpahami

ah, mungkin tuhan masih ada
di hari jumat
saat kita melekatkan semua
ke tubuh
meski tak sepenuhnya
menutup gemuruh
tapi kita masih saja tak paham
arti malam, gelegar riam
dada dan sejumput nganga dari deraan
lafad yang pernah membaiat kita
: syahadat!

dan aurat kita
masih muncrat ke mana-mana
di sisa hari
menggapai-gapai hati
yang terus berlari

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kejantanan Kata-kata

dalam kejantanan kata-kata, aku
tak bertaruh tuk satu ibarat
: bunga
kerna seng masih berkarat, kelamin
bisa sekarat, dan emas tak mesti 24 karat

siapa bertualang ke rimba lambang
sungai mengalirkan ambang
ribuan capung mengapung di udara
angin meriapkan sapa

pada remah tanda, kusangkurkan dada
pendulum tak bisa menerka, serupa jantung
kerna hujan memberat ke laut
makna; tercerabut
dari ladang; gulma bersitahan dengan rumput
tentang nama, sebutan
atau sapaan yang bisa saja tiada

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri
Perempuan, Malam

bahkan bulan pun tinggal separo, perempuan
dan percakapan kita serupa benua yang tiba-tiba
hilang; saat kaki berdiri; memandang wajah
sendiri, di kejauhan
serupa gelombang dengan cakar-cakar kelelawar
raksasa; datang menggenang

kita tak punya cinta di ingatan; rusuk kita
rumpang oleh kemarau
pikiran ---sehingga dahagamu merabu
di hening batu, gelap, mencekam
diam
dan suara kita hanya mata ---menumpuk bata
di sudut-sudut kerinduan
membangun rumah
berlindung dari cercapan malam

dan kasihku sepahit dulu, perempuan
empedu yang diwahyukan ke kalbu
menjedai waktu dengan tunggu
hingga luka termangu dalam tanya
: adakah dedaun limbur; kubur dibangkitkan
dan malam
menyempurnakan tetabuhan
langit; dengan taburan gemintang

bahkan bulan pun tinggal separo
rasi menghela diri ke kutub-kutub
tak pasti; menutup dari tafsir dan arti
serupa perlambang kita
yang hanya bisa bermain dalam mimpi

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kutukan Rumah Laba-laba

akhirat telah terjerembab di sini
---haruskah aku melangkah
ke ujung batas; membaca kejernihan jalan
serupa peziarah, dengan dada terguncang
oleh neraka

dan maut
hanya bahasa sederhana; serumpun lumut
saat seseorang bermain batu, di alir
kali, terpeleset atau berhenti
di simpang
delta; merumuskan peta-peta
di sebalik indera

bukan sebab akhir demikian menyihir
aku tuntas di gigir
ini; kilir masih mengalir, takdir
masih sering mangkir

mungkin surga adalah batas tiada
saat seseorang mengayuh langkah
dalam perhitungan
meski angka-angka, serupa usia
yang terus menyusut dari tanah

lalu waktu menjuarai arena
aku batu
yang dirajamkan ke dunia
dengan segala keremangan
jalan, serupa tangga
yang tak dikenali tingginya
karena kutukan rumah laba-laba

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Serupa Aida

kau ilhamku, di saat sekaratku melebihi
panggilan-panggilan dan gigil jiwa ini serupa beras
ditampih dan cemas
dan tanganmu yang mungil, serupa kail, yang
memancing-mancing harapan; agar perahu ini terus
melaju, menuju kabut, meraih gelap kata-kata;
mengenali palung-palung dada, retak jiwa, juga
pikiran-pikiran kembara
meski sesak bakal melesak; menghinakan diri di rembang
otak
kerna segalanya harus berakhir di ujung gerak, serupa
pendulum atau jarum
entah berapa kata yang telah kurangkai dari denyar
kerlingmu, geletar sukmamu, pertemuan mimpi, dan api
yang kautitipkan di jalan-jalan pelayaranku, dalam
risalah; meski pucuk-pucuknya menyimpan rahasia,
tentang luka dan darah dan arah buta

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Kepulangan
---requieme
mursyidain

kepulanganmu mencederai gunung
yang tertidur di jiwaku
kubaca resah batu-batu, tanah dan sejengkal
ajal yang mendadak purnama
di malam-malam kebangkitan, aku terpana
masihkah wujudmu mengembara
ke sisi batinku; bersua dalam asa, digelimangkan
doa; perih kurasakan
lebihi segala sayatan

kutahu, kau tak berhenti di arus yang memusar
api, dan linang ini bukan hanya gila sasar
mimpiku cacat sejak dini, dan tak kupahami
silap tanda-tanda, kerna gelap lebih murni
dari makna
dan masih kupuja dunia lebihi jalan-jalan
keterasingan

jubah berkibar, tongkat melesat
ruh berkobar, jiwa sesat

dan tambal sulam kesunyianku sekedar mantram
tak sampai ke ufukmu, lebam!
darahku ambruk, maujudku laut terpuruk
segala rahasia hanya kilat
yang menghajar kepongahan dan aku
terbiar ranggas di tepian
bak kaktus yang digurunkan nafas
dan tandus

sungguh, kepulanganmu
serupa serdadu yang menusuk-nusuk rusukku
aku menjerit bukan karena sakit
jeritku menggelontorkan langit
menyuapkan rindu ke buluh-buluh yang tumbuh
di kali
menjadi tongkat abadi, bagi pencari
jiwaku yang ternodai

Surabaya, Januari 2005

Sajak Mashuri

Menakar Hujan

bunyi yang kita rindukan dari balik semak
bukanlah gagak
tak serupa penujum, kita tak bisa merangkum
suara sayap, getar ratap, juga liang-liang gelap
kesunyian
kerna hujan melebihi takaran; terus mencurahkan
rangsum
merumrum segala diam

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Berhala Lalu

bertanya pada berhala; berharap getah
senyap kurasakan
kerna laut tak terulur, gunung tak terukur
dan mimpi
melompat ke api

dari mata berlubang; hanya maya
melepaskan
sudut pandang mengerucut pada rumpang
sengkarut silam; tanda tak bisa direka
seumpama dalih, di kornea
hanya padang hitam, menggenang

sungguh tak ada yang lebih pasti
dari perkiraan
kucobai sederet tanggal, seusai linggar
merapuh
tapi tubuh rubuh
dan waktu melepuh

dan menyembah
serupa laba-laba di pojong ruang

Surabaya, 2005



Sajak Mashuri

78 M

gugus bintang di selatan, mengarahkanku ke ranah ini,
tuan
tidakkah kau tatap jalan masa laluku nan gemilang;
dengan bebukit
ingatan, juga kandang-kadang yang tak sepi
oleh kuda, gajah dan segala yang melata
biarlah kisahku menjadi sunyi dari laut tak bertepi
tuan boleh menyimak, tuan boleh tak hendak
kerna segala yang berdetak berpunya hak:

kulepas mahkotaku, caping tahta yang memayung
langkah; kerna usiaku tak berhenti di kursi
siapapun bisa terhuyung, mabuk, ditanting
dunia, saat pikiran menjelma rubah
aku serupa kapilawastu yang dingin
saat melepas ingin di pepohon dan memuja angin
dalam sunyi

jika di tanah ini, takdirku berhenti; aku tak
mengingkari
suratan, nasib dan kelesik suara yang mendengung
di hati; kerna jalanku tak berliku tuk satu arah dan
arahku
satu dalam simpang batu-batu

dan kuwariskan hikmatku yang pualam di ranah bertuah
dengan tuan-tuan yang minta dijatah
perawan, juga daging, yang masih berbau darah
lalu kutancapkan tugu kehendakku
dengan prasasti abadi dari kalbu; sebentuk
keabadian yang bisa remuk
di ujung lazuardi, serupa amuk
kalam

nyanyian panjang,
abjad-abjad dengan duka melenggang
sebentuk kesetiaan pada karib
yang tersalib
dalam keremangan kata
lintas terdalam dari rahasia
tentang makna, tentang ritus tanda yang dihunus
pikiran

pada tanah ini, kudedahkan riwayatku yang bermula
di puncak
ombak, di kesepian hindustan, sembari memasang
gelombang pasang
dan menyisir segala pantai selatan
tuk menatap buih yang memilin gamang
sambil berdentang
di sana, seseorang telah terkubur, juga anggur
dan sebentuk kekaburan
dari otak yang dangkal pada arti
kiasan!

tuan, masihkah kaukenal apa yang tertinggal
dari ucapanku, dulu
meski dengan lingkar terpenggal
dari waktu
juga kesesatan yang sama, di awal masehi
saat segala dunia masih terlalu pagi
tuk abadi
kala aku masih serupa peziarah
dari esok yang tak terkira

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Menantang Prahara

terwarta dari kafilah-kafilah nan gaib
di risalah-risalah
ada yang datang, dengan trah berbilur kencana
disandangnya tutup kepala, juga jubah
lalu ia bertitah
: membebaskan negeri ini dari kesesatan
tukang jagal, lebih kekal dari sejuta rapal
juga doa!

sungguh berbudi anak negeri
tempat bertemu seribu matahari
sungguh pemberani nan bijak bestari
rupawan dengan bibir bersesaji

dan pertarungan dimulai
dari meja makan

Surabaya, 2005

Sajak Mashuri

Lumbung Duka

aku terluka
saat warta berdarah melesakkan
dada
kerna di sini, karib lebih bermakna
dari gemilang arena

kututup resahku dengan puja
agar Sang Hyang
memberi harap
pada gelap duka, serupa cerlang
bagaskara
di antara embun yang melulur
daunan
meriapkan hijau
kepagian


Surabaya, 2005