Rabu, 24 September 2008

Cerpen Magisme Realis











Reinkarnasi Angin

Cerpen Mashuri

Ketika ia memperkenalkan namanya dengan: Bajra, aku sudah curiga. Kulihat matanya yang berongga dan terkesan sangat dalam. Tulang tengkoraknya besar dan menonjol, alis mata tebal dan sekuntum kamboja terselip di kupingnya. Aku seperti menemukan sosok asing tetapi terasa dekat dan sangat kukenal. Aku lalu mulai menebaknya.

”Kau orang Bali?” tanyaku.

Ia menggeleng. Aku lalu mengambil sebatang lisong dari saku, kunyalakan dan kukepulkan asap ke langit-langit ruangan. Ia masih tampak membisu, sambil mempermainkan matanya. Ia seperti punya sihir di mata itu. Siapa pun yang dipandangnya, pasti berdebar, terseret dalam pusaran tak berujung dan akhirnya terkapar.

”Aku berasal dari sebuah wilayah yang kau tak ingin tahu,” ia mulai membuka percakapan.

Kali ini aku diam saja. Kupandang matanya yang tiba-tiba saja terpejam. Tak kutemukan apa-apa di sana, kecuali lubang hitam yang sangat dalam dan memendam sejuta rahasia. Dari relung gelap itu, peta-peta dan sekuntum mawar dengan duri-duri tajam yang keluar. Ia menantangku untuk menerjemahkan gelap berpalung-palung yang mengurung pandangannya. Sayang ia tahu, bahwa aku mengikutinya dan berusaha membaca peta-peta yang terkabar dari pupil, retina dan sesobek kornea.

”Kau menjajakiku. Aku sumur, wilayah yang tak terukur dan kau tak ingin tahu. Kenapa kau mengikutiku?” ia berbicara seperti pada dinding, dingin.

Aku tepekur. Tak ada suara dalam ruang itu, kecuali napasku. Napas sosok yang memperkenalkan diri sebagai Bajra itu sudah hilang entah kapan, tetapi aku menangkap kehidupan dari hawa kehadirannya, dalam sintuhnya yang diam. Di sana, aku menangkap sebuah jarak yang terbentang tapi akrab dan menantang.

Di ujung diam, ketika lisongku tinggal puntungnya, kudengar sebuah pengakuan yang menggelegar. Aku tidak hanya terkapar, tetapi seakan merasakan diriku melantai di altar, dan duri-duri kaktus menancap di telapakku hingga aku merasakan kesakitan yang sangat.

”Aku adalah plungsunganmu, masa lalumu. Kau reinkarnasiku,” katanya.
Aku diam dalam bahasa yang tak bisa dipahami siapa pun, termasuk juga kunang-kunang yang mendadak menyergap korneaku dan pandanganku terasa gelap dan gelap

***@***

”Dari mana saja kamu, berhari-hari kucari, tak tahunya muncul dengan tubuh kurus kering begini,” aku kenal suara itu, meskipun mataku tertutup. Itu suara Frida, teman wanitaku paling karib. Ia pacar temanku Ronald. Meski ia sudah punya pacar, ia sangat sayang padaku. Malah, kami kadang bobok bersama, ketika Ronald yang anak band itu sedang keluar kota.

Aku diam saja, karena aku memang tak ingin membuka mata. Kepalaku terasa digodam, terasa berat dan penat.

Kuingat perjumpaan kami yang pertama. Kala itu aku sedang di lobi Hyatt, ada sebuah pameran lukisan. Kulihat ia sedang menikmati sebuah lukisan karya seorang temanku, Amang Pekasih. Ia memandangnya sampai lama, ketika matanya sampai di ujung lukisan, ia mengernyitkan keningnya. Aku tertarik dengan perubahan rona muka yang demikian ekstrem itu.

”Itu memang lukisan yang berpikir,” tukasku, begitu aku berada di dekatnya.

Ia tidak memandangku, tetapi terus memandang lukisan itu. Di sana, ada dua orang perempuan dalam bingkai biru laut, rambutnya seperti tertiup angin dan membentuk awan. Di atasnya, rembulan bersinar sama warnanya dengan rambut dua perempuan itu. Kedua perempuan itu seperti melangkah pada sebuah lubang bercahaya yang tak tahu di mana letaknya karena berupa kuasan-kuasan yang terang. Lubang itu berada di ujung lukisan. Lubang yang cukup dalam.

”Salah satu dari mereka adalah aku,” ia berkata tanpa menengok padaku. ”Aku sering berkisah tentang diriku yang lain dan menuju ke lubang itu. Pelukisnya pasti seorang saman dan tahu arah perjalanan. Ini bukan lukisan berpikir, Bung, ini lukisan darah,” lanjutnya.

Aku berusaha mengikuti arah pembicaraannya, tetapi aku gagal. Mungkin karena lama melihatku membisu, ia lalu memalingkan pandangannya kepadaku. Ia tersenyum, dan aku semakin bingung. Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang ia senyumkan. Ia lalu mengulurkan tangan, dan berkata dengan kata-kata yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayat.

”Kamu Bayu kan? Kita pernah bertemu dan saling mengasihi. Rumahmu menghadap ke selatan, dan rumahku dua gang dari rumahmu, di gang Kertopaten. Kita dulu suami istri, ketika Panembahan Senopati menjadi penguasa Mataram,” tandasnya, sambil menggenggam tanganku.

Aku sama sekali tidak mengerti dan ia sama sekali tak peduli.

Sejak itu, aku mulai dekat dengannya. Meskipun, ia juga memperkenalkan pacarnya yang rambutnya dicat merah kepadaku, tetapi aku tidak bisa berhenti untuk selalu dekat dengannya. Sepertinya, aku pernah dekat dengannya dan aku tak tahu itu di mana dan kapan.

Aku tersenyum mengingat itu semua. Meski terkesan misterius, tetapi aku menikmatinya. Aku berkutat dalam dunia yang tak jelas. Mungkin dunia bayang-bayang.

”Lho begitu, disapa malah tidak membuka mata, malah tersenyum,” suara Frida kembali terdengar.

Setelah itu kurasakan ada benda basah menempel di keningku. Kutahu, itu bibir Frida. Ia sepertinya mengecupku. Kemudian, kurasakan ada benda basah pula menempel di bibirku. Kurasakan itu bibir Frida. Ia masih tetap seperti dulu, suka mengulum lama dan tak mau dilepaskan kalau tidak digigit. Tetapi, kali ini aku tidak bisa menggigitnya. Ia pun mengulum cukup lama, sampai aku hampir hilang napas. Begitu ia melepaskan kulumannya, kurasakan bibir bawahku basah, terasa asin. O ternyata, bibirku berdarah. Kali ini Frida yang menggigit bibirku.

”Cepet sembuh, kutunggu di apartemenku. Awas, kalau tidak lekas sembuh, aku gigit lagi!” tandasnya.

***@***

Ketika aku sadar, orang pertama yang ada di hadapanku adalah ibu. Seorang wanita yang sudah cukup tua, dengan penderitaan yang berderet di belakangnya. Kulihat ia sedang membersihkan kaca ruang serba putih yang sempit itu, seperti kamar rumah sakit.

”Ibu..!” bisikku lirih.

Mungkin di sinilah keajaibannya. Meski suaraku lirih, tetapi ibu itu bisa mendengarnya. Ia berpaling ke arahku, lalu menghambur dan memelukku. Tak lagi kurasakan kepalaku yang berat dan penat. Aku merasakan belaian hangat yang selama ini selalu setia menemaniku. Belaian dari orang tua tunggal yang bersusah payah mendidikku dan mengajariku tentang terumbu dan hidup.

Aku tak ingat kapan ayahku meninggal, karena ia meninggal ketika aku masih di kandungan. Kata ibu, usiaku kala itu masih 7 bulan di kandungan. Ayah meninggal, setelah ibu mitoni. Sejak itu, ibu bertekad tidak akan menikah lagi, meski ratusan perjaka dan duda melamarnya. Ia bersikeras untuk membesarkanku sendiri. Ia masih terlalu takut berspekulasi kawin, karena ia takut aku membencinya. Sebab, ia tidak bisa menjamin, laki-laki yang dikawaninya kelak, bisa sebagai bapak yang baik.

”Aku tak ingin kau menjadi Sangkuriang,” demikian ia menuturkan alasannya yang paling dasar tentang pilihannya itu. ”Aku takut kau menjadi Sangkuriang, karena moyangmu adalah Sangkuriang. Kau anak anjing, kau anak angin!”
Aku tak mengerti betul alasan ibu itu, tetapi kupikir itu alasan yang baik. Kuanggap baik, karena keluar dari bibir ibuku.

Meski aku sudah beranjak remaja dan dewasa, ia masih juga bertahan dengan prinsipnya itu. Ia selalu mengatakan tak tega mencarikanku bapak tiri. Biarlah kesetiaanku pada ayahmu kubawa sampai mati, katanya. Aku mencatat, segala apa yang dilakukannya, sampai aku kehabisan daya ingat. Tetapi, kali ini, aku harus bisa menahan diri, sebab kurasakan pelukan ibuku semakin lama semakin erat, dan bajuku terasa basah, bukan karena keringat.

Sepertinya, bukan ibuku saja yang menangis saat itu.

****@****

Di buku harian kucatat kejadian pada hari naasku itu.

Surabaya, 17 Agustus 2000
Pada pagi hari, ketika aku sedang belanja buku di pasar Blauran. Tiba-tiba ada seorang perempuan setengah baya berteriak: copet! copet!. Aku langsung meloncat, begitu kulihat seorang lelaki berlari kencang menuju jalan umum. Begitu dapat kujangkau, ia langsung kupukul punggungnya dan terjerembab.
Ketika ia berusaha bangkit dan akan lari, aku langsung meneriakinya: copet, copet copet!
Tetapi tak ada yang datang membantu. Malah, ada empat orang datang menghampiriku. Seorang menendang perutku, seorang lagi menendang kakiku. Aku kini yang terjerembab. Lamat-lamat, kulihat pencopet yang kupukul tadi, berjalan ke arahku. Anjing! Begitu ia menyerapahiku, lalu diambilnya batu di pinggir jalan, lalu dihantamkannya ke kepalaku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Setelah itu yang kuingat aku seperti berada di padang tak bertuan. Di sana aku sendiri berjalan menembus panas. Aku tak tahu itu tempat apa. Ketika aku merasa kehausan, aku bertemu dengan seorang anak kecil. Ia membawa kendi dan kumintai minum. Tetapi ia mengatakan, sedang menunggu ibunya.
Aku tak tahu harus ke mana.
Tiba-tiba aku didatangi seorang lelaki tinggi besar. Ia lalu melemparkanku ke sebuah lubang. Aku sadar berada di sebuah bangsal, tetapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Sepanjang hari, aku didatangi seorang teman baruku, ia mengaku bernama Bajra. Katanya, aku adalah reinkarnasinya. Aku sama sekali tidak mengerti dengan omongannya.
Mungkin aku harus mempelajari ajaran Budha, karena reinkarnasi itu adalah ajaran Budha. Katanya, berisi kelahiran kembali. Aku tidak tahu, apa maksudnya…
Aku ngantuk, aku tidur dulu, lain kali disambung. Dah, my diary, I always love you, you’re my best friend… mmuah!

****#****

Aku jalan-jalan dengan Frida di Tunjungan Plasa. Mumpung Ronald sedang manggung di luar kota. Ketika kami melewati sebuah toko buku, aku mengajaknya mampir.

”Mau cari buku apa?” ia bertanya kepadaku.

”Buku kebatinan”

”Sok suci kamu”

Aku diam saja. Ternyata aku tidak menemukan buku kebatinan yang sesuai harapanku. Aku lalu cabut dan mampir di sebuah gerai fast food.

Setelah memesan makanan, Frida duduk persis di depanku. Kuamati wajahnya yang sering kujamah tanpa ampun. Ketika ia sedang lengah, kutelusuri rongga matanya yang dalam sedalam sumur tanpa dasar. Kali ini, aku sangat terkejut, katika kulihat sisa tatapan Bajra di sana.

”Kau kenal Bajra?” tanyaku, spontan.
Ia tak menjawabku, masih sibuk mengunyah sayap ayam yang dicampur dengan saos tomat dan sambal, ia tersenyum.

”Ya, aku mengenalnya,” katanya.

”Hah! Di mana? Kapan?” sergahku.

”Ia kini ada di hadapanku” jawabnya.

Entah apa yang sedang menimpaku, mendadak kurasakan kunang-kunang hadir di mataku, dan berputar-putar. Aku merasa terjatuh ke dalam lubang sumur. Kurasakan gelap, dan gelap.

* Cerpen ini pernah dimuat di Sinar Harapan.


Tidak ada komentar: