Minggu, 05 Oktober 2008

Puisi Cinta Mashuri









Puisi Mashuri

Tanjung Kodok, Cintaku

di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu

cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah

terjarah, doa-doa percuma

dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi

aku pun asing pada tanah sendiri

aku lalu lingkarkan pena di mata arca

di gapura

berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal

aku menyelam di matanya, membuka luka lama

tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu

aku pun terlontak ke lalu dengan tubuh kaku

aku beri sesaji di pipinya yang letih

tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia

cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa

dan membangkitkan bau tanah

tanah asing kembali bergasing

cintaku pun berpusing dari relief ke relief

yang kini tinggal tebing ---sungguhkah di sana, abjad

terpahat, atau hanya sekelebat jemari

yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman

agar kini bisa melaut ke kabut

dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…

sungguh rinduku masih berderap

meski waktu memalung dan gelap

di sisi karang, di ujung tanjung,

aku pun menemukan secuil jawab

cintaku mengekal di batu apung

yang disangga laut dan lembah lembab

di situs itu, aku pun menawar luka rindu

dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir

nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut

tapi lagu siul agar angin tak bersiut

di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir

ia bagai penyihir yang berharap kejaiban

agar batu kapur itu hidup dari dengkur

lalu berkisah tentang harapan dan cinta

terlarang, sebagaimana kisah-kisahku

yang ditabukan waktu

dan kini diburu rindu

Lamongan, 2008


Puisi Mashuri

Hujan Bulan Februari

jangan berharap hujan dari nyanyian

karena hujan dipantangkan datang ketika malam menjelang

apalagi kita sendiri…

tengoklah di jendela, cuaca seperti babi bengkak pantatnya

kau akan tahu seberapa siksa bakal berlaksa

ketika di kaca tertera tanda basah

lalu orang-orang berlalu lalang dengan perahu

sambil berteriak: ‘jangan biarkan anjing berlalu’

kita bukan anjing itu, kita hanya pesakitan

yang tak bisa lepas dari nafas hujan

kita selalu berharap ada yang berderap di atap

lalu kita menyanyi, mengusir sunyi ke dalam diri

sambil terus memelototi partitur yang hablur di udara

dan kita hisap tanpa suara…

tapi kini jangan berharap hujan atau memanggilnya

dengan nyanyian

biarkan ia lewat tanpa permisi, agar kita tak tahu

dan tak merasa kehilangan

biarkan ia tetap sebagai awan

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Berdiri di Sebuah Kapal

berdiri di dek, menatap laut, cintaku hanyut

bersama bayangan

cakrawala pun serupa lengkung punggung kerbau

yang tak henti membajak tanah

di kampungku yang gelisah

ketika angin mempermainkan topi, aih

ada yang jatuh dari kepalaku

---sehelai rambut, mungkin kutu atau pikiran

pikiran rindu

tapi buih terus berdesakan di dinding kapal

mataku pun harus antri dan tak kunjung mengerti

sungguhkah ada yang runtuh dari diriku

bersama waktu mengendap, ke arah luar, ke kenang

yang jauh

perihal rumah, cinta yang usang dan rapuh, atau…

bibirku tersenyum seperti remaja yang menemukan

belenggu terlepas dari tangan

dan dada sesak oleh kebebasan

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi

aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi

juga secangkir kopi

di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari

di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus

hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan

---api dengan jalang mengamuk rumah bordil

para perempuan hibuk berlari sambil bugil

tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang

kini, jiwaku pun menggigil

aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi

aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli

aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku

aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing

yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;

ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium

bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…

aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu

masuk surga”

aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga

kucing dan anjing yang berkejaran di perutku

yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Perjalanan Luka

berjalan di atas rel, tak ada stasiun hari ini

kaki patah bukan sayap, hati patah pun gelap

kau tempel kata di jidat: ‘kami butuh tumpangan!’

tapi tak ada yang mendekat, orang langsung berangkat

kau gali lubang di ruang tunggu

kau minta karcis, lalu kau timbun dengan abu

perjalanan ini hanya luka dan mati

kau teringat kapal-kapal yang angkat sauh

kau tahu, semuanya tak kembali dan tak berlabuh

‘tak ada juga pelabuhan hari ini, bahkan di terminal

banyak roda tak bergigi…’

kau pun mulai mematahkan lengan, berharap

ada yang menemani kaki dan hatimu

tergolek di antara batang besi berkarat

‘agar aku bisa segera menyambar kereta cepat dan sampai

di stasiunku yang sekarat’

Surabaya, 2008

Tidak ada komentar: