Senin, 06 Oktober 2008

Puisi Azali










Sajak Mashuri

Bawuk

jika kau menjelma perahu
dan rambutmu dengan ronce melati adalah buih
bahasa apa yang harus kulisankan
dengan lidah pejantanku

hanya tulisan di batu
serupa tugu, dengan segala kenangan, ingatan
dan rahsia mengekal
memberiku pilihan

lalu ombak-ombak itu, dengan gelombang pasang
laksana sejuta serdadu
menghambur kaki langit
dan sebuah senja memesan kopi pahitnya
hingga malam merengkuhnya di pembaringan
dengan rasa sakit

cahya
hanya cahya yang berkilat dari pundakmu
yang menuntunku
pada tiga tiang layar
dan kemudi di buritan
mungkin waktu dengan mata pedangnya
juga harus undur
mempersilahkan kengangaan lewat
lalu lumpur-lumpur, dengan pasir beracunnya
memberi kutukan
seperti kutuk pada kebebasan
amsal pengkhianatan tapi benarkah kuingin terpatri
di bibir bawahmu, di antara belukar
dan rimba
dengan kijang-kijang liar dan trengginas
atau hanya kesepian
yang melecutmu tuk menarikku pada permainan
tapi gemas pinggulmu telah berkirim khabar padaku
bahwa segala yang bulat
tiada lain adalah tuhan, mawar dan remah roti di musim
paceklik
lalu aku berkendara angin
menyambarmu
dan melumatmu
dalam wujud tak berwujud
dalam muksa tak muksa
dan segala indera
hanya berbagi dengan rintih, nyeri
kengerian, selalu memanggil datang
untuk mengulang
dan mengulang
ritual, upacara
atau metamorfosa kupu-kupu dan bunga

mungkin di atas ngilu itu, dewa-dewa
menitiskan gamisnya
lalu tubuhmu yang polos
mulai berpakaian
mengenakan sarung tangan
dan bibirmu
dan anusmu
dan segala lubang yang menganga
di tubuhmu
mencipta pagar
agar segala rahsia, tetap mekar
dan tumbuh menjelma ular

sungguh aku hanya mengintipnya dari renggang jemariku
tapi nafasmu dengan ruap embun
laksana pantun
sebuah derap yang dapat diraba
tapi setelah jejak-jejak itu kabur
kau adalah lesit
yang menghisap darah
untuk darah
lintah dengan mulut-mulut api
yang membikin bara dengan jerami, rerumput
hitam, semacam sahwat
dan mengundang burung-burung
untuk hinggap dan mematuknya dengan lahap,
liar dan mencengkeram

sayang yang kuingat dari dirimu
hanya sebongkah kata
sebaris ucap, seperti sapa
dan layar yang tergerai di pahamu
mulai menyingkap
lalu perahu itu melaju
dengan haluan berbuih-buih
dan suar pun memejamkan mata
untuk menyaksikan adegan-adegan kejam
pentas yang tak pernah tuntas
untuk selalu mencipta merih
merih tak terandai
berkejaran di lorong malam

hingga sungai dengan ikan-ikannya
menyesak pantai
hingga jeram dengan arus tajamnya
menjelma landai

dan siapapun adam yang bermain sampan
akan terkutuk sebagai pengkhianat
lalu mengubah arah jarum jam
membelah kepala, mengunyah jantung
dan melarikan segala yang bernama
pada sang tiada

hanya maut
maut yang berpagut dengan gelinjang
dalam tarian
ketika sahwat menjelma khalwat
dan bibir mendengus: baiat! baiat!
maka tubuh hitam akan semakin hitam
membaca ketaksadaran dengan luka
luka tubuh
yang dirajam batu
dan seribu duri tumbuh dari tubuh
selama berwindu-windu

mungkin hanya di pantaimu
aku melihat waktu merintih
mati
dan kebebasan itu telah mengutukku
untuk menyemaikan lisong
ke mulutmu
dengan asap yang membubung
lenyap, suwung

Surabaya, 2002

Tidak ada komentar: