Minggu, 21 September 2008

Sajak Buat Kawan












Sajak Mashuri

Pemahat Musim

:Hikmat Gumelar

kita bercakap di bawah gerimis

gerimis yang semalam membangunkan kita

berkali-kali, kita pun terjaga

karena suara kilat begitu terbata-bata

menyambar, di rumah tetangga

aku menangkap, ada tangga

yang bersandar di dinding

musim memang masih hujan

tapi kita hanya menangkap dingin, suara tiktok, juga suara

gelegar halilintar

tak ada senyap yang merapat di atap

tak ada air yang mengalir dari pintu

dan jendela

langit, tak ada cerlang bulir-bulir

air, tak ada luka cakrawala...

kita seakan menangkap gelap semata

kau berkata...

“masihkah Surabaya terpeta dalam perang

buaya dan ikan, masihkah berujung pada

luka pertempuran, ingin saling membinasa,

masihkah ketegangan itu membara

lalu menghunus rasa untuk mencipta....

masihkah bahasa surabaya itu bahasa darah

bahasa gairah...”

“musim selalu berganti tiap pagi,” kataku “hari

yang terus berlari, hari yang melolosi matahari...

ada bahasa, tapi begitu tergesa...

bahasa patah!”

kau bertanya:

“begitu banyakkah puisi?

aku terdiam, aku kembali mendengarkan suara gerimis

nun... kilat masih terdengar menyambar

kita terpaku, berusaha menebak di mana jarak

antara kilat dan kiblat

di mana letak pijar langit itu turun ke titik bumi

dan meledak....

“bung, Surabaya kadang mendung,” tuturku. “tapi tak semendung

Bandung;

Di Bandung, hujan selalu mengurung...”

kau tersenyum. “tapi masih ada kiblat di sini, sesekali

kilat...”

aku pun tersenyum. “di Surabaya, kau bisa melihat si mardi, si diat

tapi mereka telah lelah jadi kiblat...

bahkan aku selalu memburu anak cucu penangkap kilat

di sebuah selat…

agar aku mencipta kiblat sendiri”

kita termangu; aku berpikir,

kenapa yang mengalir

adalah soal kilat dan kiblat

bukankah aku berharap hujan turun di atap-atap,

suaranya memberi harap

meski cakrawala gelap, ruang gelap dan mimpi meratap

aku berharap, bulir-bulir airnya bisa mengerjap

memanjakan mata, memberi ruang rahasia untuk berkata-kata

merebut kata...

kau berkata:

“aku selalu berpikir tentang musim”

aku tahu, kau pemahat musim yang dingin

“musim memang terus berganti di sini, tapi

hanya dalam mimpi, sepi...” kataku.

aku selalu merindu musim penuh hujan

batu, musim yang tak berhenti pada kilat dan kiblat

musim yang tak hanya merangkum suara-suara guntur

musim tanam yang tak pernah membuat kita diam

dan tenggelam...

tapi musim di sini masih sering membuatku mengigau:

“kemarau, kemarau!”

kita bercakap di bawah gerimis...

Surabaya, 2007

Tidak ada komentar: