Senin, 01 September 2008

Ihwal Media 'Puisigelap'

Puisigelap

"Hanya Untuk yang Mau Berpikir"


Ihwal media

Puisigelap adalah media yang digawangi beberapa kepala yang selama ini menghuni ‘Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar’: Indra Tjahyadi (Pimpinan Redaksi), Yus Nu’man Anggara, Ribut Wijoto, F Aziz Manna, M. Aris dan Mashuri. Didukung sepenuhnya oleh S Jai. Puisigelap merupakan media sastra nirlaba, bentuk fotocopian, dan dicetak terbatas. Isinya menawarkan sebuah cara bersastra yang tidak gampangan (atau, meski remeh-temeh tapi berkonsep). Sebagaimana nama Puisigelap, media ini berpihak pada karya-karya gelap (prosa, puisi, naskah drama, esei, resensi) yang penyajian/isinya tidak mungkin dimuat di media-media biasa. Media ini dwi-bulanan dan diluncurkan pada 8 Agustus 2008.

Daftar Isi Edisi I (Revisi)

1. Kenapa Harus Ada Gelap (Editorial: Mashuri)

2. Antilirik (Ribut Wijoto/esei)

3. Pos Eseistik (Yus Nu’man Anggara/esei)

4. Puisi dan Kecabulan: Baudelaire dan Swinburne (Richard Sieburth-University of New York /terjemahan)

5. Beberapa Aspek ‘Kuasa Kegelapan’ Lu Hsun (T. A. Hsin-Associate Research Linguist di University of California /terjemahan)

6. Puisi-puisi (F Azis Manna)

7. Prosa (Petilan Novel Ben Okri, terjemahan Indra Tjahyadi)

Semacam Konsep

Pengarang yang menulis dengan mempertimbangkan pembaca, pada hakekatnya, telah melakukan bunuh diri kreatif sia-sia. Karyanya tak lebih sebagai laku merendahkan pembacanya, sekaligus membungkus diri pengarang dan kecerdasannya dengan kain kafan karyanya.

Sesungguhnya bukan pada pembaca pengarang harus bertaruh, tapi ia bertaruh pada sejarah. Tolak ukurnya: sejauh mana ia mampu menukik ke lubuk hayat: mencecap yang tersimpan di balik yang tampak, lalu mengunduh dan memikirkannya. Pengarang pun tak bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Ia hanya bertanggung jawab bagaimana karya itu terwujud, meski dalam kondisi compang-camping, setengah jadi, maupun gelap. Pengarang bukan hanya seorang penyelam atau akrobatik saja, karena intensitas, integritas dan kaul diri sebagai penghamba aksara-kata, adalah pemandu yang lincah untuk berselancar dalam wilayah nir, teler ilham dan bias antara kesadaran dan ketaksadaran; sebuah apolakipsa yang setengah mampus ingin dipertahankan, agar wilayah ambang tetap merujuk pada sirkulasi pengetahuan yang jujur, murni dan tak berpihak ---kecuali pada kebenaran asal…

Gelapkah? Pengarang tak peduli. Pada dasarnya, ia telah mengalami suatu ektase, pencerahan yang berulang-ulang, yang bisa membedakan dan memberi jarak antara yang profan-sakral, bentuk-isi, gelap-terang, ia telah berada di dasar sekaligus di puncak, ia berada di dalam sekaligus di luar bahasa…

Jika ada yang menyangka, karyanya sebagai karya gelap, sekaligus laku edan dalam bersastra, ia pun menganggap ITU hanya satu perspektif sia-sia. Tanda keawaman dan ‘maqam/derajat’ yang masih menapak pada pengetahuan awam dan massal.

Bagamanapun sebutan ‘gelap’, telah menjari marka yang berpalung ambigu. Satu sisi, ia dianggap wilayah samun, berbahaya, penuh ranjau, jebakan, jalan sesat bercecabang, dihuni para hantu. Di sisi lain, ia diberi satu vonis: tak terpahami, ngawur dan selalu diperlawankan dengan benderang. Tetapi sungguh vonis itu sama tergesanya seperti seorang perempuan muda yang ingin menuntaskan coitusnya dengan sang pacar, tapi sang bapak berteriak-teriak di telinganya.

Karya gelap ---yang menuntut pembacanya (tidak semua pembaca) yang sabar dan berpikir, mengungkai rajutan kalam yang berpusar pada sastra-buta (bagi pandangan awam), bawah sadar yang nanar, dan celah jiwa yang terbelah, memori terpenggal, menolak dibaca oleh pembaca yang malas dan manja, mengaburkan fakta-fiksi, dan lain-lainnya--- adalah harta karun terpendam.

Puisigelap akan memberi ruang pada karya-karya itu, ide-gagasan, buah pikiran tentang sastra yang berpatok pada satu hal: manusia dan karyanya tidak mudah dipahami, manusia dan karyanya lebih sulit dipahami daripada mendedah pertemuan ‘payung’ dan ‘mesin jahit’, atau ‘bunga’ dan ‘tai’, atau ‘kaktus’ dan ‘anus’.

Puisigelap akan mendedah karya yang dihasilkan dari intensitas dan integritas menyuntuki ‘dunia’ yang dihindari oleh pengarang-pengarang yang merasa diri ‘mapan’.

Puisigelap, memang media ‘hanya untuk yang mau berpikir’.

2 komentar:

manuskripdody.blogspot.com mengatakan...

Ustadz, pada akhirnya puisi-puisi gelap akan minta dijernihkan dihadapan pembaca. saya jadi ingat salah satu risalah Borges, "kuminta puisiku untuk tidak melawanku, dan kutahu betapa sulitnya". terus berkreasi Ustadz!

mashuri mengatakan...

puisi punya mekanisme sendiri. konon, ia akan memilih pembacanya. aku setuju dengan Borges. terima kasih, kawan!