Rabu, 03 September 2008

Berkah Ramadan [Sesajak 2002]















Sajak-sajak Mashuri

Iqra

Laut dengan debur asinnya, dan garam
bukan tempat logam untuk berbekam
seribu pemusnahan akan pecah
seperti kulit dikoyak tombak
lalu luka memeta, memerihkan sengketa
dalam diri, seperti nuh tentang anaknya
lalu perahu berlabuh
dengan rasa sesal

tapi aku berpegang pada kepastian
seperti kematian yang mengutukku
untuk selalu menanti
dan penyesalan, hanya bayang-bayang
layar, dengan warna kusam
sebab nubuat telah kubaca dari gurat
telapak tangan, pasir hitam
dan temali di pantai

dan laut dengan wajah pendulumnya
akan terus berombak
mengaji takdir, dari rangakaian buih
ronce-ronce kengangaan
dan jarak
untuk saling menepi

lalu kusundalkan kehendakku
menyebut nama-nama
seperti seorang lelaki di sebuah gua
memasang jaring laba-laba
sebagai amsal
bahwa dalam kosong, dan tampak kosong
masih juga berjiwa

mungkin logam, harus memilih
sebuah ritus yang tahu diri,
apakah hanya loyang, besi atau emas
lalu melebur dalam ketaksaan;
ketaksadaran
yang dihamparkan lazuardi

dan nuh, juga diriku
tidak pernah menyesalkan sebuah nujum
sebab segalanya telah terjadi
dan kelak yang abadi

Surabaya, 2002


Simponi Pastoral

--Gus Yus

di bawah pinus, musim dingin telah merekahkan luka
lalu kita menuangkan anggur
dari pundi-pundi, yang pernah kita simpan
di bawah altar
dengan tikar, sajadah dan lantai marmar

kemudian kebisuan itu pun membuncah
suara-suara nyanyian, paduan suara
memaku tembok-tembok tua
berdentang di antara genta
dan jubah-jubah bergesek dengan paku
mencipta musik
dan karpet pun terkapar dan boyak

mungkin di atas kubah, ketika kita sudah menenggak
ratusan cawan
kita melihat kepala melayang
laksana partitur yang beterbangan
mengeja sajak, nada-nada langit
dan irama-irama udara yang bertebaran di angkasa

seorang sufi, dengan tongkat bambu
dan terompah terumbu mengibarkan bendera putih
ia tidak menyerah, tapi mengisyaratkan perlambang, bahwa dunia
dunia yang tercipta dari nyanyian, suara-suara alam
dari jiwa berjiwa
adalah baka

lalu kita menuntunnya ke ladang
mempertemukan dengan sebuah nasib
ketika sebuah tubuh terpaku, kuyu
dan sajak bermatram muram
dan berdarah dan luka

tapi anggur yang mulai menggerogoti kerongkongan kita
mencipta lorong yang lain
semacam labirin, dengan sekerat daging, hawa panas
dan gemerenggeng unggas
siapa yang harus kita pastikan sebagai pusat
dalam pusaran sekeras ini
sebab ombak-ombak nada demikian mengguncang
dan sampan, dari batang gelugu
terpaku dan tenggelam

bilakah musim berganti, mengekalkan perubahan
di rambut
dan memuja maut
sebagai puncak pelayaran

kita hanya melihat sayap-sayap burung
seperti kosong
kosong

Surabaya, 2002

Tajaliyah ruh

sebuah sungai, dengan anak-anaknya, telah mengirimkan riak
ke tubuhku
lalu bulatan-bulatan yang memusat di pusar, serupa bola mata ikan,
sisik-sisik, dan gambar-gambar permukaan
yang ditimpa batu, satu, satu
bak rintik hujan di kolam
hadir di keningku

mungkin langit, dengan kabut, dan rahim hujannya
telah mengirimkan matahari
seperti isyarat, seperti laknat, atau sebuah kepastian
untuk memilih
bahwa segala yang berjiwa, seperti tubuhku
akan tengkurap
mendaftar seribu lumut, di tepian, lalu menguarkan alir
dari hijau yang keramat, dalam buaian sang kala

seperti musim gugur, daun-daun berbantun
dalam kerontang, dan sebuah cuaca mengirimkan kutuknya
dengan rasa angkuh
lalu kuda-kuda dengan temali, cambuk dan kereta
berkendara di kaki bukit
dengan roda-roda
dengan perputaran dari satu titik ke titik

tapi sungai tetap menjadi sungai
meski dalam dingin yang gigil dan beku
meski dalam kering dan layu
sebab mata air
dengan linang ruh, yang tertahan di puncak-puncak tuak
dengan selaksa cahya
akan abadi
menjadi gemintang dan abadi
dalam ingatan, lalu

ketika rumpun-rumpun bambu tumbuh di keningku
dan dahan-dahannya merimbun
mungkin sebuah jembatan tiada lagi khayalan
dan tangga yang tersaji, dari benih, semacam angan
dan tunas
akan lunas dalam segala iklim

segalanya menjadi sungai, dengan kilau cahaya
dan menerangi jiwa
dan ruhku berkendara dengan kuda putih
yang tercipta dari pemberkatan dan pemberkatan
dari tarian dan tarian
dan nyanyianku adalah nyanyian bumi
dengan seribu doa
dan mengoyak langit

Surabaya, 2002


Sang Alif

--RMP Sosrokartono


berdiri di gigir ombak
dengan tongkat alif, membaca gelombang
dengan gelombang dan sajak
sebab dalam diri, sepi
menjelma patung-patung es, dingin
sukma telah membaca sukma
dan menyaksikan labirin
tanpa membuka mata

tapi dengan mata terbuka
menghapus
jejak sementara
seperti sais yang telah mengenal kuda
kereta, roda-roda
dan suara cambuknya

Surabaya, 2002

Pohon Doa

di musim semi
pepohon sakura mengirimkan bidadari
tarian-tariannya bergerai bersama bunga, bersama mentari yang sepi
tapi masih juga terasa dingin, ketika seorang perawan
memungutnya, dan menyelipkannya
di antara untaian jemari
di antara rambut-rambutnya

tapi segalanya seperti tak bernama
ketika uap kematian menjadi bermahkota
dan mengundang dencing pedang
untuk bersekutu dengan leher-leher peziarah
di kuil-kuil tua, semacam ingatan
menyemai restorasi
lalu pohon-pohon seperti sajak singkat: doa
seperti haiku
di bawah matahari yang terbit dini
dan lanskap semi, hanya lukisan tentang peniadaan diri

dan setiap reranting
bertuliskan rajah-rajah pemberkatan
bahwa kematian atas nama sang surya
adalah nirvana
sebuah sintal untuk mengantarkan nampan
penuh bunga
di gigir laut
dengan ombak-ombak, lenguh maut
dan keniscayaan pada sebuah cahaya: pembaharuan

lalu para perawan menyerahkan kesuciannya
sebagai tumbal
bebunga terbiar menggenangi kolam
hingga ia menjadi amis, dengan darah, dengan tangis
dan dinding-dinding mengelupas
seperti sebuah isyarat kenangan
yang harus ditumpas
dan mengurung kerinduan pada muasal
perang dengan sapu tangan dan kuas.

alam seperti memberikan satu jawaban
tentang arti pengorbanan
dan pohon-pohon akan terus tumbuh
dengan tunas-tunas baru
sebuah kelahiran kembali
reinkarnasi
dan merubah arah angin
merubah dingin, kebekuan
dan menciptakan lazuardi
dari birahi
membiarkan teratai
mengusung dzakar dan farji
dalam perjamuan kudus dan diberkati

lalu pohon-pohon doa akan tumbuh
seperti puisi
Surabaya, 2002

Tidak ada komentar: