tag:blogger.com,1999:blog-6581748194985651462024-03-13T08:12:33.975-07:00NgisingMimpi-mimpi Sastra dan Senimashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.comBlogger77125tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-47537552450230180602010-02-10T19:58:00.000-08:002010-02-10T20:29:41.800-08:00Tiga Puisi Penuh Kuman<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/S3OG9W6OMWI/AAAAAAAAAS0/FuXWvqruF5g/s1600-h/semar.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 210px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/S3OG9W6OMWI/AAAAAAAAAS0/FuXWvqruF5g/s320/semar.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5436837563846242658" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri<br /> <br />Kidung Tanjung</span><br /><br />Berjalan di utara, bukan hanya laut yang bergelora<br />Duri juga tumbuh bersama kaktus, mimpi pun<br />terbungkus nyeri ritus, nafas laut mendengus,<br />juga sekujurku yang diringkas panas, diringkus arus…<br />Cakrawala pun hangus, <br />ketika gelombang menerjang, angin berhumbalang<br />Bahkan rapal-mantram menjadi rangsum<br />ketika nelayan turun ---menjemput laut<br />dengan senyum dan kalut; <br />menawar maut dengan nyanyian peri dan liliput<br /><br />Di sebuah tanjung, ketika ritus digenapkan dalam gaung<br />gelap dan agung,<br />laut kembali mewarta; kembali menguak duka lama:<br />kisah-kisah batu yang membujur ke debur ombak,<br />jejak yang bergerak dari retak<br />ingatan; tertuang dari zaman ke zaman<br /> : Tanjung Kodok, selambang harapan keropok<br /><br />Jiwaku pun dituntun alun gelombang ke purba hitam,<br />ketika katak-katak melata sepanjang peta pesisir, <br />ketika alir takdir masih nadlir, ketika cakap<br />cukup kerling mata, ketika kuda-kuda masih berderap<br />di jalan Deandles kelak dan terbata-bata<br /><br />Sahdan saat janji ditimang dan dituang ludah api<br />Sang wali<br /> : dendang Sunan Sendang nan resi<br /> Segalanya mekar, atau terbakar di taman<br />terjanji: ketika angka-angka ditemali sepi azali<br />Kiblat pun ditarik kembali, dihadirkan di tepi pantai:<br />agar laut tak hilang gelombang, agar laut tak sujud<br />pada peri dan liliput<br />: “Aku akan merenda kubah, lewat sunyi dan madah<br />Kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali, <br />teot teblung, teot teblung, teot teblung, hang-hung!”<br /><br />Katak-katak bergerak ke pusar hutan<br />Jati di Mantingan<br /> Mengetuk pintu perempuan datu: penjaga rindu<br />Kayu pun dilarung dari hulu<br />Dengan sekali sabda: katak-katak meraksasa, <br />berlompatan, meninggalkan lobang tapa, <br />memburu kayu yang menghilir…<br /><br />Tapi berahi kelewat sunyi dilupa dalam riuh madah<br />: ‘kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali<br />teot teblung, teot teblung, teot teot teblung…’ <br />Ritus alam pun tertabuh lewat liuk tubuh<br />Indera tergiring ke sahwat purba<br />Mata bersua mata, daging mengingin daging<br /><br />Berahi jelma pisau ---koyak dada dari patuh<br />Dua katak mabuk lenguh<br />Sejoli berenang di laut yang bergelora<br />segelora darah<br /> keduanya berpinang dengan bahasa gelombang<br />kecup merayu, degup melagu<br />mengenal kembali lubang yang ditinggalkan<br />menutupnya kembali ---berkumpar pada pusar<br /> farji-dzakar<br />Sabda pun menggelegar:<br />‘karena kalian telah terbakar ingkar, <br />kalian tak lebih dari tembikar’ <br /> <br />Seperti lunglai tangkai padi yang ditegakkan kembali,<br />aku tatap hari lewat kecup matahari<br />Jiwaku pun kembali; mengingat sekat yang tercatat di<br />pantulan luka: di batu, yang membujur ke laut<br />aku pun bertanya, sungguhkah ia sibak ombak dengan sujud,<br />sungguhkah karang kapur yang tegak dalam umur<br />sebermula dari sabda; sabda yang dihantarkan bibir<br />bibir penafsir takdir<br /><br />Aku daki batu itu, katak yang sendiri dan membeku itu <br />Ia tatap cakralawa laut Jawa dengan sungkawa, tapi <br />tak terdengar harap atau ratap, mungkin<br />sisa-sisa mimpi telah abadi dalam dongeng, <br />dalam kutuk cengeng: ia menunggu sang pekasih, <br />yang telah disapih; ia bergasing dalam penantian, <br />bercakap dengan kecipak ombak lewat lisan berkerak<br /> <br />di pupilku, fosil itu tak henti menggigil <br />karena sebagian dirinya gumpil,<br />terasing di seberang, nun jauh<br />sejauh aku menafsir bahasa terumbu<br /> <br />Berjalan di utara, bukan hanya laut yang bergelora<br /><br />Surabaya, 2009 <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri<br /><br />Sihir Pesisir</span><br /> : Herry Lamongan<br /><br />mampirlah ke rumahku di pesisir, tempat pasir sering mangkir dari takdir; pasir yang saban hari tak lelah merekam jejak-sementara dan menjadi muara segala tubuh berpeluh; tubuh melaut yang tak pernah mengeluh tapi menyepuh keluh dengan kasidah panjang: debur gelombang<br />kau akan mendengar karang ditanak ombak, tubuh ditabuh riak, kau akan melihat jejak-jejak geraham gemeretak; jejak yang membuatku tetap tegak meski arak menggelegak dan menyentak labirin kerongkonganku hingga serak, kau akan menyaksikan segalanya... meski ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam, yang berpusar dalam samar...<br />mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti arti dari tepi: sepi tapi berapi, sepi yang membahasakan buih ke perih tak terpahami; bahasa ombak yang menuntun mata ke palung tak berujung... ; sepi yang katupkan ufuk dengan cakrawala, rapatkan hiruk dengan rahasia; tepi biduk asa yang tak berbingkai<br />kau akan digamit zenit yang menyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; kau juga akan mendengar hingar doa yang meruap arus pasir, memberi ruh pada pesisir, agar tubuh tak lagi berlabuh untuk peluh, tapi jelma lengan-lengan panjang yang menderapkan sejuta harap<br />ah, tapi kerap doa-doa pun berkesumba, memasu sumur gelap<br />mampirlah... biar kau tahu, kini arus ‘lah berubah; banyak kanak belajar menghajar nyawa; mereka menghamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas dari puja; mereka membuat patung pasir gaib sebagai kiblat malaikat pencabut nyawa berdiwana...<br />kau akan mendengar begitu dupa dibakar, doa-sesat dihentakkan: pasir-pasir akan beterbangan ke ruang samar, memintal korban, memburu setiap lubang tubuh dengan lenguh: ‘bangkitlah kesakitan!’ pasir pun merasuk dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan jelaga, sampai terdengar ratap, ratap panjang.... semuanya menyingkir, memberi jalan bagi kematian mengukir akhir siksa<br />pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi<br />biar kau tahu ketika pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir di aorta, lalu bebulir itu lurus ke jantung berdegup: asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu terus berasus ke ruas nafas, hingga segalanya pun redup; jantung pun langsung memberi jalan pada Sang Maut bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”<br />mampirlah ke pesisir, kini banyak kanak memainkan takdir, bermain sihir pasir, rapalkan mantra pengusir alir-Khidr; mereka berlarian di pantai-pantai seperti setapak tanpa akhir; membangun bukit dan patung pasir seamsal jasad yang ‘lah lumat; mulut mereka merajut puja-doa, meski sering pinta berkesumba, tapi kerap pula doa-doa merah<br />--doa kaum teraniaya...<br /><br /> Lamongan, 2009 <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri<br /><br />Ironi Kota Singgah</span><br /><br /> : Hotel Itu Bernama Surabaya, Kawan<br /><br />selat itu menyekat pipih geografi, kau menyebutnya: Surabaya<br />kota yang terbaca dari titik kecil: noktah hitam di peta, <br />di pinggir delta, di tepi laut Jawa<br />kau berhayat di antara kiblat-kiblatnya<br />ketika kita bertemu tanpa sekat, lalu kau<br />melihat sebarisan malaikat ---di Ampel, di Bungkul, berjamaat<br />atau tak terangkul di seberang semak-keramat<br />tapi aku terasing, buta, serupa pejalan yang tak sempat<br />melihat ujung tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh<br />aku pun tak mampir berlabuh, tak parkir ke riuh <br />: bongkar-muat, ganti cawat, atau angkat sauh<br /><br />kau tetap saja berkisah dengan angka, tahun-tahun<br />tapi aku seperti tersekat di seperempat abad pertama<br />pasca 1900: saat segala genap menjadi ganjil<br />dan segala luapan demikian gigil<br />saat gelora masih membenih di asa: meletup ke degup<br />indra, seperti pelari dengan api<br />yang tak redup, meski hati terseret ke jalan-jalan mati<br />jalan penuh mimpi!<br /><br />lalu kau sebut 45: aku pun tersudut ke ruang nganga, <br />aku tak ingat sungguhkah gaung itu meraung<br />demikian agung; adakah tonggak: lingga yang menancap<br />tanah demikian tegap; lalu kau acungkan sahwat<br />: o, pahlawan, pahlawanku bertugu<br /><br />tapi aku pun seasing budak belian kembali,<br />ketika segala temali mengikatku lagi<br />kutapaki jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatu<br />kulihat mercu suar membubung tinggi, berkabut<br />aku terpana ke pesona <br /> : di lorong-lorong renjana <br />aku dipersilah dengan pantun penuh gairah: <br /><br />“Tanjung Perak, kapale kobong!<br />Mangga pinarak, kamare kosong!”*<br /><br />kau pun beringsut, seperti seorang yang mengigau<br />tapi aku bersorak, tanpa risau:<br />“inilah Surabaya, hotel tempat singgah<br />tapi bukan tempat berlibur, atau mengubur darah<br />segalanya lembur<br />seperti juga kapal-kapal yang berhenti lalu<br />berangkat, berganti-ganti<br />di sini, segala ranjang tak cukup dipandang<br />tapi dierami<br />silahkan merangkak, sebab segala sprei tak sengak<br />tak ada jerami, tak ada jejak<br />kecuali apak selangkang sendiri, yang kumal<br />ketika segala kemudi kembali ke asal<br />ke tujuan awal<br />di sini, kamar telah menjadi bujur sangkar<br />dan tak kenal lingkaran”<br /><br />kau pun turun, menghitung kesunyian demi kesunyian<br />tapi biografi telah terbelah, garis-garis itu saling patah <br />kau dapati dirimu batu<br />tak berayah-beribu ---kau sangsikan jejak<br />-jejak panjang, segepok riwayat nan keropok<br />ihwal pertempuran di delta<br /> antara ikan-buaya<br />lalu segalanya menjadi nama<br />kota, jalan, kampung, sungai, juga lorong-lorong keparat<br />tempat buaya darat bermunajat… <br />kau pun sangsikan segala sebab; kerna tak ada warta <br />yang lebih nyata kecuali kata-kata dusta<br />yang diulang ke berjuta<br /><br />aku pun tersampir seperti gombal lusuh<br />di pinggir lenguh ---aku tak hirau pada riuh<br />sejarah ingatanmu<br />kudapati tubuhku, kurayakan tubuhku<br />seperti persinggahan di tengah perjalanan<br />yang tak mengenal kenang<br />kenanganku pun hilang bersama sunyi<br /> : perempuan<br />yang selalu berharap diairi, di semak, di makam<br />di rumah-rumah yang berjajar dengan geletar<br /> <br />ketika kau mabuk<br />dan ambruk kedalaman luka tak berufuk<br /> : silam! <br />kuangkat bir hitam, kuingat pada anak terkutuk<br /> : diriku!<br />aku bangkit, kuangkat sauh, kulenguh langit<br />: “beri aku harapan untuk berlayar ke cakrawala<br /> tanpa rasa luka oleh perih kenang dan ingat”<br /><br />di seberang, kubangun kota-kota di hatiku<br />dengan batu-batu yang kucuri dari persinggahanku<br />agar aku tidak melupakanmu, <br />melupakan angka-angka<br />yang sempat kau hitung dengan deret aritmatika<br />yang tak kunjung kau ketahui jumlahnya<br />---kecuali waktu yang terus berputar<br />kau tetap tak tak ingin sesat di silam<br />dan terbenam bersama jangkar malam<br /> : kini telah 180 derajat berputar<br />tak ada alasan untuk membangun sangkar<br /><br />moga di milenium ini, kau tak lagi terpaku<br />pada paku silammu<br />tapi mengandangkannya di kalbu<br />lalu kau tulis deret rumus baru<br />: bahwa zaman telah berganti<br /> hotel itu harus diperbarui, dicat dan pugar kembali<br /> atau disucikan api…<br /><br /> Surabaya, 2006/9<br />* Di Tanjung Perak, kapal dilalap api<br />silahkan singgah sejenak, kamarnya tak berpenghunimashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-74497623272993011802009-10-05T10:38:00.001-07:002009-10-05T10:41:09.851-07:00Puisi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Ssovkmiv2NI/AAAAAAAAASs/i6Qke4XVCD4/s1600-h/life.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 244px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Ssovkmiv2NI/AAAAAAAAASs/i6Qke4XVCD4/s320/life.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5389172209970305234" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Pada Mulanya Adalah Kaca </span><br /><br />pada mulanya adalah kaca<br />yang terbiar sendiri di ujung depa, sebagai perca<br />tapi jemarimu memungutnya<br />memasangnya di dada, lalu kau menyebutnya<br />mata, kata<br /><br />“lihatlah ada jalan binasa di pucuknya,”<br />katamu. “lewat dolorosa, aku mengenal <br />bahasa yang mengental di nafasmu <br />seperti aku bangun katedral tua<br />di batinku…”<br /><br />tapi aku hanya bisa menangkap rangka jendela<br />di ujung dinding, juga bingkai yang telah membangkai<br />sebagai tanda: tak ada urat keramat di panilnya, <br />kecuali gigil kata di ujung lidah;<br />tak ada rintik di balik tilas mosaik<br />kecuali hardik burung nasar<br />yang mendesau di udara;<br />tak ada salib di reliknya, kecuali jalan<br />nasib yang tertawan harapan….<br /><br />“ada roti,” serumu “juga anggur<br />yang tawar oleh kebisuan. haruskah aku<br />suguhkan dengan nampan tanpa mawar…<br />atau aku kumparkan durinya yang melingkar”<br /><br />selepas kata, kaca tumbuh di dadaku<br />mataku nanar ketika wujudmu berpendar, <br />dalam bayang-bayang<br />tajam yang meringkus sudut retinaku<br />dengan perih;<br />mimpiku pun terbang seperti kelelawar<br />yang terusir siang<br /><br />sungguh pada mulanya adalah kaca<br />tapi kau telah merubahnya menjadi luka<br />yang terus membayang<br />lewat pantulan-pantulan tak terkira<br />dalam firman yang berkafan darah<br />sabda yang harus aku basuh dengan madah<br />tanpa menyebut<br />katedral tua, dan jendela bergambar sorga<br /> <br />Surabaya, 2009mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-75873128833486663642009-05-14T00:03:00.000-07:002009-05-14T00:13:37.297-07:00Esei tentang Dunia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SgvD6oDKjnI/AAAAAAAAASk/ucpZnT566nU/s1600-h/hhh.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 278px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SgvD6oDKjnI/AAAAAAAAASk/ucpZnT566nU/s320/hhh.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5335573595501006450" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Puisi dan Iman</span><br /><br />Oleh Mashuri*<br /><br />“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”<br /><br />Afrizal Malna, dalam puisi <span style="font-style:italic;">Taman Bahasa</span><br /><br />Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.<br /><br />Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Puisi Subversif Terhadap Iman?</span><br /><br />Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.<br /><br />Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.<br /><br />Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.<br /><br />Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.<br /><br />Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pertemuan Puisi dan Iman</span><br /><br />Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.<br /><br />Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.<br /><br />Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).<br /><br />Syairnya yang terkenal adalah:<br />‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;<br />Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya<br />Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,<br />Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’<br />Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.<br /><br />Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Bertumpu pada Spirit</span><br /><br />Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.<br /><br />Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.<br /> <span style="font-style:italic;">Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq! <br /></span><br />* Tulisan ini pernah dimuat di <span style="font-style:italic;">Surabaya Post</span>.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-33768738131277740532009-03-01T21:54:00.001-08:002009-03-01T22:01:17.949-08:00My Baby I<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Sat1KhPGN0I/AAAAAAAAASY/ipUNGsRVGiU/s1600-h/my+baby+1.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 312px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Sat1KhPGN0I/AAAAAAAAASY/ipUNGsRVGiU/s320/my+baby+1.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5308465409367095106" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Ia Mayang Khalila Ihya Hurria Posmoderna dan aku sapa Lila. Cahaya mataku.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-76428776229455551382009-03-01T21:48:00.000-08:002009-03-01T21:51:15.266-08:00My Baby II<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SatzhtIldgI/AAAAAAAAASQ/f0noOzN5_D8/s1600-h/my+baby+2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 198px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SatzhtIldgI/AAAAAAAAASQ/f0noOzN5_D8/s320/my+baby+2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5308463608674743810" /></a><br /><br /><br />Sahabat kecilku.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-74255590275796417842009-03-01T21:39:00.000-08:002009-03-01T21:48:21.184-08:00My Baby III<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Satyh7sXvAI/AAAAAAAAASI/mXSVmm1BuEA/s1600-h/my+baby.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/Satyh7sXvAI/AAAAAAAAASI/mXSVmm1BuEA/s320/my+baby.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5308462513071307778" /></a><br /><br /><br />Aku suka cara dia memandang dunia.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-41884459242894795952009-03-01T20:37:00.000-08:002009-03-01T20:49:40.807-08:00Esei Semelekete<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SatkzmR005I/AAAAAAAAARw/hpzR2fBxy34/s1600-h/quran1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 288px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SatkzmR005I/AAAAAAAAARw/hpzR2fBxy34/s320/quran1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5308447423397680018" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Redesain Peta Kultur Santri Jawa Timur</span><br />Oleh Mashuri<br /><br />Sejarawan Perancis Dennys Lombard melihat Jawa Timur merupakan sub kultur dengan berbagai jenis entitas lokal yang beragam dan variatif. Peta kulturnya menyiratkan ada beberapa sub kultur, yang masing-masing memiliki historisitas yang panjang. Hanya saja, beberapa ada asumsi, kekinian kultur Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh kultur santri. Namun, seiring perubahan sosial, budaya dan dinamika dunia, dimungkinkan adanya pergeseran pada anggapan-anggapan yang selama ini sudah terdefiniskan dan mapan. <br />Memang kajian Lombard memang memiliki corak sejarah yang khas. Pemotretannya pada kultur Jawa Timur secara historis, memang bisa dijadikan acuan untuk mereflkeksikan kekinian dalam wujudnya yang paling mungkin, dengan penelusuran anasir-anasir lokalitas, sebagai sebuah proyek politik identitas. Hal itu karena apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz puluhan tahun tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java memang harus dibaca ulang dan dikaji lebih jauh secara komprehensif, terutama pada trikotomi: santri, priyayi dan abangan.<br />Geertz bukannya tak memberi sumbangan pada penelitian antropologi Jawa, khususnya Jawa Timur, karena sampel dan lokasi penelitiannya adalah Mojokuto (Pare) Kediri. Jika beberapa pihak berusaha membongkar trikotomi Geertz, hal itu sebuah kemutlakan, karena kedinamisan masyarakat memang memberi ruang untuk selalu berubah. Di sisi lain, ada ketidaktepatan kategori dari ‘agama Jawa’, tetapi trikotomi itu masih sering digunakan, untuk memilah masyarakat Jawa, baik dari segi kultur dengan segala aspek yang terkait dengannya. Tercatat Koentjaraningrat, Harysa W Bachtiar, Kuntowujoyo, Emha Ainun Najib dan berbagai antropog sudah memberi catatan kritis pada hasil penelitian itu, sehingga tak perlu dikomentari lagi.<br />Tetapi Lombard dengan menggunakan pendekatan sejarah memang memiliki nuansa yang memungkinkan bisa dirunut kekiniannya, karena memiliki dimensi waktu dan runtutan perkembangan yang bersifat spasial. Ia melihat beberapa kultur itu dalam kapasitas geografisnya, serta fase sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sini, muncul proyeksi yang mengarah pada kultur keislaman yang meliputi wilayah Jawa Timur, dengan menunjuk pada renik-renik hasil persilangan budaya. Kultur itu biasa diacu sebagai kultur santri, dalam kajian-kajian kawasan dan lokalitas. <br />Apalagi, jika asumsi umum yang sudah dikenal menganggap, Jawa Timur sering diasumsikan sebagai masyarakat yang memiliki basis santri yang cukup signifikan. Hal ini pun menjadi acuan dalam aspek pragmatis, seperti pemilu dan lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, memang tidak menyentuh masalah organisasi kemasyarakatan, baik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis maupun lainnya. Tetapi berpulang pada pengertian pada masyarakat santri itu sendiri yang memang memiliki kecenderungan kultur yang berwarna Islami, dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat dengan corak kultur yang khas.<br />Hanya saja, dinamika yang ada pun memberikan semacam sinyalemen ada perubahan persepsi dalam masyarakat santri ini, karena ternyata, ada pola pikir yang telah berubah yang diasumsikan tidak hanya karena pengaruh pendidikan, tetapi pada mobilitas masyarakat santri sendiri yang cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan, pola pikir dan perilaku, serta gerakan masyarakat santri, serta adanya ketidaktunggalan suara dalam memberikan aspirasi yang bersifat politik, seperti yang tercermin dalam pilpres, pilkada dan hajat politik, meskipun untuk ini diperlukan penelitian yang kondusif lagi. <br /><br />Kultur Santri Baru <br />Selama ini, penamaan masyarakat santri memamg lekat pada NU. Jika berbicara tentang NU, maka yang ada dalam benak adalah masyarakat sarungan dan terkesan kampungan. Tetapi streotipe itu ditengarai sudah lama berubah, dan hal ini pun sering dibahas oleh beberapa pemerhati masalah NU. Di antaranya menengaskan adanya perubahan itu dimungkinkan karena peran Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan gerakan sadar diri dari massa muda NU yang ingin berubah dari stereotipe lama.<br />Hanya saja, ada sebuah gerakan kultur menarik di kalangan masyarakat santri, terutama dalam masyarakat urban. Sayangnya, kondisi ini kurang mendapat respon yang memadai terkait dengan adanya sebuah fenomena mutakhir terkait dengan mobilisasi santri urban di Jawa Timur. Sebenarnya fenomena ini hampir serentak terjadi di beberapa kawasan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yakni kemunculan gerakan intelektual dari generasi muda yang berlatar belakang kultur santri.<br />Di Surabaya, komunitas santri urban sangat mungkin sekali, karena santri-santri yang berasal dari daerah lain, katakanlah desa, melakukan hijrah ke Surabaya dan berpola pikir berbeda pada saat berada di daerah asalnya. Apalagi, Surabaya sebagai sentra pedagangan, pendidikan, perekonomian dan pemerintahgan terbesar di Indonsia Timur, dan pusat pemerintahan Jawa Timur. Hal yang sama juga sebenarnya bisa terjadi di beberapa kota lainnya, seperti Malang dan Jember. Tetapi, posisi mereka lebih bertaruh pada gerakan intelektual dengan basis kampus, serta pada lembaga swadaya masyarakat. <br />Dalam kategori ini, stereotype yang berlaku bukan lagi pada terminologi santri pedalaman dan pesisir yang bercorak antrologois dan etnografis, tetapi lebih condong pada wilayah sosiologis, meskipun pada dataran tertentu juga melibatkan anasir yang terkait dengan kesadaran potensi diri dan tradisi.<br />Adapun, potensi yang ada pada santri urban memang berbeda dan bercorak liberal. Ada pergeseran yang cukup siginifikan untuk melihat dan berlaku dalam keseharian dan saat berhadapan masyrakat. Identitas yang melekat pada santri ini memang terletak pada tingkat pendidikan, serta pemahaman baru pada cara beragama. Dalam hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pergeseran pemikiran yang cukup signifikan, dengan mengawinkan hasil pendidikan Islam, Barat dan konteks kekinian, sehingga ada ahli keislaman yang menyebut mereka sebagai Islam progresif. Istilah ini sepenuhnya tidak menunjuk pada aksi yang mengarah pada politik Islam atau Islam politik, tetapi pada wilayah kesadaran untuk menafsirkan Islam secara kekinian.<br />Di sisi yang berbeda, sebuah terminologi Kuntowijoyo terasa cukup tepat memberikan pemilahan pada pola santri urban, dengan memberikan titik tekan pada kemunculan konsep ‘religius sekuler’. Artinya golongan ini memiliki kadar keagamaan kuat, tetapi memiliki pemikiran sekuler. Meski terminologi Kuntowijoyo itu bersifat politis, karena untuk melihat komposisi calon presiden pada pilpres 2004 lalu, tetapi untuk menggambarkan eksistensi dan gerak santri urban bisa dijadikan acuan.<br />Kekhasan lainnya dari perubahan pola kultur masyarakat mutakhir adalah tumbuhnya budaya keberagaman di kota besar, metropolis, yang lekat dengan perkembangan iptek dan teknologi. Dapat dilihat pada aktivitas jamaah dzikir dan pengajian yang bermunculan, serta adanya upata untuk memberikan nilai lebih pada agama, dengan penghayatannya, yang dalam kultur kota memang terabaikan karena rutinitas kerja dan menyempitnya ruang. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi Surabaya juga. Dengan kata lain, masyarakat menengah kota teah menjadi sebuah komunitas yang ‘tersantrikan’ dengan kegiatan-kegiatan religius.<br />Kecenderuingan ini bisa dibaca tidak saja di kota-kota besar di Indonesia saja. Dalam skala global, gejala ini pun menemukan bentuk konkritnya, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi perbincangan yang marak, terutama sering dengan perkembangan iptek dan teknologi dan kecenderungan era ‘demokratis’, serta posmo. Gerakan-gerakan yang mengarah pada ‘penghayatan’ dan pendalaman agama semakin marak, meski di sisi lain fundamentalisme ekstrim juga bermunculan.<br />Berawal dari pola pikir demikianlah, maka munculnya komunitas santri baru yang selama ini lekat dan berdekatan dengan tranformasi kultur baru dan visi baru, terutama yang mukim di perkotaan. Masyarakat ini pun punya pilihan politik yang berbeda dari arus besar masyarakat santri secara umum. Dalam kasus Jawa Timur, munculnya masyarakat santri baru, juga memiliki potensi yang tidak kalah menariknya bila dibandingkan dengan santri pedalaman, pesisir dan urban sekalipun. Bagaimanapun pergeseran itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita meresponnya dan mengantisipasinya dengan tepat. Sebab percepatan perkembangan dunia dipicu perkembangan ilmu dan teknologi dan dunia tak lagi disekat- batas-batas geografis. Di sisi lain, juga muncul gerakan politik dan kultur yang berbasis agama kuat yang memiliki potensi kuat untuk berkembang. Nah!mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-47260667945410861862009-02-19T08:55:00.000-08:002009-02-19T09:09:14.571-08:00Sajak Penuh Kemaluan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SZ2QNVBg-4I/AAAAAAAAARg/NyrriuKTxhA/s1600-h/japan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SZ2QNVBg-4I/AAAAAAAAARg/NyrriuKTxhA/s320/japan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5304554494768511874" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Musa 1</span><br /><br />di penghujung desember, kita tak hanya mencatat jejak luka<br />kelahiran di sebuah jazirah: ---di mana gembala memungut tanda<br />dari rasi ajaib di angkasa, bukan fatamorgana di gelap cakrawala,<br />dan doma-domba berlomba memasu oase cahya; ---ketika jabang <br />terlontar dari rahim, yatim, tapi membangkitkan sejuta harapan<br />perihal penyucian dan penebusan dosa darah… <br />dengan doa: elli, elli lama sabakhtani…<br />kita juga mencatat luka abadi, luka kekal yang <br />disemai oleh mimpi purba, luka yang kembali nganga <br />dan terus lurus menembus pusar januari, perihal tanah terjanji<br />yang tergurat di papirus tua, sepetak tanah suci<br />yang terus berapi dan diairi dengan darah<br />ia seperti bara yang telah mengeringkan doa sepanjang masa<br />dan membuat kita bertanya: “berapa juta lagi nyawa yang harus<br />jadi tumbal dan berdarah, agar dendam itu tanggal dari sejarah<br />sejak pijar Sinar membakar punggung tursina”<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Musa 2</span><br /><br />ketika bebayi laki dibinasa, di tepi nil, terdengar suara resah dan gigil; tak ada yang bisa mengukur seberapa dalam cemas itu menikam <br />batas batin, kecuali ibu yang tak ingin darah-dagingnya tenggelam<br />dalam arus liar yang memusar: arus yang berkumpar dari mimpi<br />raja ingkar, juga arus sungai yang melingkar-lingkar seperti ular <br />tapi sedetik itu, terdengar bisik dari gelap kalbu: ‘andai pelarunganku selamat, <br />andai ia hanyut dan tamat, andai ia sekarat sungguhkah riwayat <br />hanya saat…’<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Musa 3</span><br /><br />hikayat yang terkabar padaku begitu cacat; tak ada piramida, tak ada huruf paku, juga tak ada perempuan dengan kemolekan abadi; ia datang kepadaku bagai deru dengan debu beterbangan dari padang tandus hatiku; tapi di sebuah bukit, aku telah mencatat sebuah jejak langit; ada nama di situ yang tergurat di antara reruntuh batu, ada keraguan yang terselip di antara kaktus dan rumput, juga ada tilas wahyu yang terpancang di pokok kayu; sungguh, waktu sepertinya telah menghapus ingatan lewat pelapukan, tapi masih menyisakan catatan-catatan yang terekam dalam kegaiban alam… <br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Musa 4</span><br /><br />di delta, ketika semua suara sayup, kau pun kuyup<br />oleh ritus menunggu<br />ususmu tak kau urus, matamu pupus oleh arus<br />renjana<br />lalu ia datang dengan sampan, sajikan nampan<br />: ‘apa yang kau inginkan, telur atau ikan?’<br /><br />setelah melewati tiga portal<br />pertanyaan<br />dan kau gagal<br />kau jatuhkan pilihan pada ikan<br /><br />ia pun hanyutkan diri<br />mengalir ke pinggir segala hilir<br />: ‘kau harus tetap di tepi<br />memberi tanda pada kelasi<br />yang datang dan pergi, biarlah aku<br />yang mengukir sumir di batu-batu’<br /><br />meski masih gemas, kau pun berkemas ke pantai<br />‘jika aku pilih telur?’ serumu<br /><br />kau hanya mendengar debur ombak <br />yang mengubur jejak-jejak penantian<br />menutup rahasia yang entah kapan<br />bisa kembali dibuka, lewat suara sayup<br />lewat tubuh kuyup oleh ritus hidup tanpa degup<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Musa 5</span><br /><br />tongkat ini bukan buluh; tidakkah kau lihat tangkainya; tidakkah kau lihat ada gurat wahyu pada memadat di serat kayu, keras bagai batu; tak ada ruas untuk menghitung jejak nafas; tak ada lubang untuk menyimpan sejumlah rahasia; karena itu tak ada nafas di tubuhku, nafasku langit; tak ada rahasia yang terlipat di tubuhku kecuali satu: sebuah ledakan yang pernah mejungkalkanku ke remah tanah, asal diriku tercipta!<br />jika kau pernah mendengar kabar: tongkat ini bisa membelah laut, memasu air di batu-batu dan menjelma ular liar nan mekar, itu pun bukan rahasia terakbar; semuanya hanya sebuah gelar sementara dari getar ikrar yang melebihi seluruh geletar; tidak tahukah kau aku pun pernah terlempar dan ia menjadi saksinya; sungguh ia bukan buluh, bukan pula tubuh, meski ia menyatu tubuhku, ia seringkali keluar dari diriku, membelah jiwaku yang kadang terpaku pada ragu, sebagaimana anak-adam dan tenggelam pada malam dan menantikan rekah fajar sebagai amsal kepastian lingkar<br /> perlu kau tahu, bahkan di tongkat ini tak membekas jejak jemariku, hanya abu, abu, abu…<br />Surabaya, 2009<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Musa 6</span><br /><br />sungguhkah tanah itu telah dikutuk bersanding api, sehingga besi selalu menjelma pedang, air menjelma bandang dan udara menjelma menjadi uap racun mematikan; tak ada yang tahu pasti, seperti juga tak ada yang mengerti di mana magma pusar bumi, meski dulu, ketika purba masih berdiwana, sebuah sabda pernah terlontar: ‘tanah itu tanah terjanji, tilas sorga yang dipindah ke bumi’<br />tapi siapa yang tahu pasti, bahwa sorga tak menyimpan api<br /><br />Surabaya, 2009 <br /><br />Sajak Mashuri <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Musa 7</span><br /><br />penujum telah menghitung: di akhir abad, tergelar perang agung<br />tapi tak ada angka yang tertera, seperti halnya peta kota<br />yang tamat, yang sempat terekam di sebuah nubuat: <br />‘kota dengan dua menara, benda langit yang murka, <br /><br />juga bumi rekah yang muntabkan inti magma neraka’ <br />tak ada rambu yang bisa dihela ke mata pembaca<br />ketika nujum menjadi arca; ketika pintu dan jendela<br />terbuka melebihi batas-batas kata, melebihi jumlah angka<br /><br />menukik ke bilik yang paling pelik dari rangka kota<br />yang disucikan waktu, dan dihancurkan hantu-hantu<br /><br />Surabaya, 2009mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-37255933354993059622009-02-19T08:15:00.000-08:002009-02-19T08:54:49.716-08:00Sajak Silit<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SZ2GYZLjPBI/AAAAAAAAARY/JPKuLsBdNs4/s1600-h/84-life+mandi+kucing+2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 261px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SZ2GYZLjPBI/AAAAAAAAARY/JPKuLsBdNs4/s320/84-life+mandi+kucing+2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5304543689746627602" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Menanam Darah</span><br /> <br />di penghujung millenia<br /> aku baca seraut wajah penuh nestapa<br />menenun waktu; tampak burung gagak, anak-anak retak<br />dan segala senapang<br /> menghunus jantung dan harapan<br />siap mencipta merih nan panjang<br /><br />aku lihat ibu turun ke huma<br />mencabut rumput, menyisakan beberapa tangkai jagung<br />katanya: ‘pakailah sandal, juga kerudung<br /> karena segala jagung selalu bersarung’<br /><br />tapi rumput selalu tumbuh di tanah <br /> sesering babi hutan tumbuh di darah<br />kadang ia menyelinap pelan, berderap, menjelma siluman<br />mengoyak anak-anak yang terlelap di kalbu<br />sedangkan seluruh jagung telah kehilangan<br />sarung dan tongkolnya<br />lalu terdengar suara: ‘cangkul, cangkul, cangkul <br />yang dalam….”*<br /><br />aku pun bisa menebak, telapak bakal meninggalkan jejak<br /> ke segala arah<br /> dengan darah<br />yang tak henti membercak<br /><br />Surabaya, 2009<br />*) nyanyian kanak<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Koordinat Kosong</span><br /><br />terdengar suara bergetar di suatu siang:<br />bahwa dewa-dewa, apapun namanya, telah mencabut titah<br />---gelas telah pecah<br /><br />ada yang bersorak di pinggir kutub<br /> ada yang lara di sebuah pertemuan, meletup<br />antara garis lintang utara-selatan <br />dan bujur barat-timur<br /> tercatat: koordinat kosong<br />menjelma titik-titik putih, hitam pun putih, hitam yang putih<br /><br />tapi tafsir menjadi khianat pada kata<br />sabda pun terbiar di dermaga<br /> di gigir ombak, dalam buih, dalam perih<br />ratusan abad: dua millenia yang sekarat<br /><br /><br />Surabaya, 2009 <br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sesobek Peta Dunia </span><br /><br />di sudut peta, di sebuah dunia ketiga<br />seorang nelayan menepuk laut<br />ia tahu pepohon bakau telah mengiringi usianya<br /> ke lampau<br />matanya yang mulai rabun menangkap<br />alam masih bersetia mendekap, meski di ruang gelap<br />ia mengirimkan jala, melepas anak-anak ikan<br />di jalan kebebasan<br />ia masih percaya, bahwa segala sabda<br />masih bermuara di laut lepas<br /> ia mengerti musim dan mengirim<br />mantra-mantra, mengetuk pintu<br />langit ketujuh<br /> dengan aroma pantai, buih, dan riuh<br />camar yang mencubit ombak<br /><br />di sudut lain, ada yang ingat dongeng:<br />kisah-kisah besar dari alam lain, seperti dingin<br />dengan salju<br /> mengelus rambut<br /> mencair di dahi<br />dan mengirimkan sejuta imaji, tentang prisma<br />yang membias cahaya<br /> atau piramida<br />dengan sudut gaibnya<br /> yang menjinakan ular<br />dan bisa liar: dengan doa<br />dari sana<br /> sebuah dunia telah merebut tempat<br />dari barat, ketika matahari tak lagi pusat <br /><br />di sebuah sudut, di panggung<br />ketika pertunjukan sampai di ujung<br /> layar tak sepenuhnya menggelar <br />montase, luka<br />mungkin hanya bayang-bayang<br /> tapi bayang-bayang telah kelewat telanjang<br />ia menjelma hantu yang lebih menakutkan<br />dari sebilah pedang<br />dengan darah menghitam di matanya<br />untuk merobek peta<br /> yang telah ditulis dengan tinta, yang disuling dari darah <br /> <br />Surabaya, 2009mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-16097423956073823362009-01-05T22:40:00.000-08:002009-01-05T22:45:34.893-08:00Sajak Kegaiban<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SWL9pXUDEaI/AAAAAAAAAQI/QLw2qJSybYo/s1600-h/karbala9.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 192px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SWL9pXUDEaI/AAAAAAAAAQI/QLw2qJSybYo/s320/karbala9.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5288067799560950178" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tongkat Mimpi</span><br /><br />Ku belah kembali laut yang susut di telukku<br />ketika pagi membawa nampan sesaji: sekantung embun<br />sejari sepi, juga fajar yang berbinar<br />mendahului matahari<br />---tapi malam masih menjalari nafasku <br />bagai insang terpasang di paru: aku pun bermadah<br />bagai nelayan<br />buta, yang berharap gemintang di angkasa<br />tidak sirna, tidak tenggelam ke samudera cahaya<br />aku berharap meski siang telah menjadi hamparan permadani<br />yang suguhkan beribu warna, tapi juga<br />mengubur berjuta doa yang dilesakkan<br />ke cakrawala<br /><br />bak fakir yang mendamba kembali malam,<br />aku tiriskan kerinduan di pantai, memeram <br />kembali sangsai<br />lalu berhibuk di antara lubuk laut dan teluk <br />sebentuk jarak yang saling bersirapat dengan ceruk <br />mimpiku<br />perihal lautan yang bergelombang, perihal pantai<br />pasir yang beriuhan, juga<br />nyiur yang melulur alur,<br />juga puja yang merakit mantra-mantra: <br /><br />‘ya penguasa semesta, <br />kembalikan tongkatku<br />karena aku ingin melihat dasar lautku<br />meski ia susut, karena waktu telah menyuguhkan <br />mautnya, pisaunya<br />juga kekaribannya yang ganjil’<br /><br />Ku belah kembali laut yang susut di telukku<br />meski mantra itu telah menjadi bayi<br />yang tergolek di pangkuan bumi<br />dan tongkatku telah tumbuh menjadi mimpi<br /><br />2008mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-74753547746018976102008-12-23T17:25:00.000-08:002008-12-23T17:57:02.183-08:00Sajak-sajak Hongwilaheng<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SVGWpSLmfDI/AAAAAAAAAOg/_JkCHHAgj5U/s1600-h/jean-marie_vives_02.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 241px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SVGWpSLmfDI/AAAAAAAAAOg/_JkCHHAgj5U/s320/jean-marie_vives_02.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5283169473881603122" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Khidr 1</span><br /> : perburuan<br /><br />Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…<br /><br />Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh. <br />Kita bertemu…<br /><br />Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”<br /><br />Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Khidr 2</span><br /> : amputasi kepala<br /><br />Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu<br /><br />Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi<br /><br />Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Khidr 3</span><br /> : surat pembuka<br /><br />Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca fatihah berjuta-juta; aku kirimkan kepadamu dengan jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti tersengat bisa dari ular yang paling berbisa; tapi aku selalu saja ingin mengulang kata demi kata dari surat pembuka, agar tuah terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia entah”<br /><br />Lewat fatihah pula, aku berharap ada yang bisa aku buka dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.<br /><br />Tapi begitu surat itu aku baca, maka kunang-kunang langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “fatihahilah lukamu, luka kerinduan yang selalu membuatmu ingat dan berharap…”<br /><br />Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan… aih!<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Khidr 4</span><br /> : alif<br /><br />“Bacalah atas nama tuhanmu yang telah mengajarkan aksara-aksara penuh biru ke kanvasmu, bacalah…”<br /><br />Aku pun membaca, tapi selalu berkumpar pada alif-alif saja, sungguhkah aku harus berdiam di tonggak, menyemai jejak di awal, sambil terus mendaras seribu arus yang berkumpar di antara beribu-ribu lompatan… kau pun lalu menudingkan tongkat, ke heningku yang khianat, aku pun mulai membaca dan membaca<br /><br />Tetali ejaku kembali terpaku di awal: alif, alif, alif… ah, sungguhkah aku telah tersalib di sini, telah berpusar ke tepi segala tepi, tanpa bisa memusat ke relung hikmat, ah…<br /><br />Kau tersenyum bagai seorang lelaki yang menemukan pisaunya yang tercuri, kau belah dadaku, lalu kau isi dengan taklimat-taklimat, dengan abjad, dengan…. :“Bacalah!”<br />Aku pun tergagap, dalam satu ruang yang menyulap segala kenang dan ingat, aku pun berteriak: “ALIF!”<br /><br />Ah, kenapa aku selalu saja kembali ke mula<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Khidr 5</span><br /> : delta plasa, sebuah waktu<br /><br />Kita bersua di sebuah kala, ketika air mataku tak pernah berhenti tumpah, di delta, di sebuah simpang, ketika manekin-manekin berbaris di balik etalase dan sungai-sungai berbuih; kita bersua ketika kanak-kanakku tumbuh, ketika aku disapih tubuh, ketika segala sayatan luka lampau bagai cambuk berduri yang menghajar kulitku; kita bersua ketika ikan dan buaya sedang saling tikam dan bunuh… <br /><br />Kita bersua, ketika air mataku mengalir bagai buliran-buliran hujan, hujan yang tak henti membuat dadaku sesak… <br /><br />“teruslah menangis,” katamu. “padamkan neraka dengan air matamu. Neraka jiwamu yang bisa membuatmu bagai tugu…”<br /><br />Duh, sang kelana, kenapa kau kirimkan hujan ke ranjangku, kenapa kau kirimkan rindu ke hatiku yang kemarau. Bak kerikil yang jatuh di danau, bebulir air mata itu mencipta riak-riak yang jauh; riak yang mungkin membuatku terjatuh dalam kesedihan yang dalam; tapi kau pun memungutnya, lalu meletakkan di antara silang kata: aku membacamu membuat peta, sebuah kiblat malam bagi para pencari kata<br /><br />“Kau tak boleh berhenti di sini, kau harus terus mengaji; mengaji hidup yang tak pernah selesai”<br /><br />Di delta itu, aku pun mencari kitab yang pernah sentuh, ketika tubuhku masih tubuh. Di sana, kutemukan namamu, juga namaku; di sana, aku menemukan tabir yang mengalir dari segala kelir; aku saksikan ikan-ikan berlompatan, buaya berlompatan, aku saksikan arus air lurus, aku saksikan, segala berbalik menantang gravitasi, aku saksikan diriku membelah, aku saksikan api membakar jiwaku yang ringkih….<br /><br />Boneka-boneka di balik kaca pun bangkit, sungai-sungai meluap. Kata-kata pun melata ke langit, segala suara berderap. Kau masih saja tegap bagai tonggak tak tergoyahkan… aku pun memeluk lututmu, lutut yang bersirip; aku memeluk tubuhmu, tubuh yang tak pernah berkedip; aku pun merasuk ke riuhmu riuh yang tak pernah membuat siapa saja tersalib… <br /><br />Kita memang bersua di sebuah kala, ketika wajahku banjir air mata. Kini aku pun dilanda bah yang melimpah, kerna dunia yang kau titipkan terselip di antara ribuan igau, ribuan mimpi yang terlontar dari lontar yang pernah kau kabarkan kepadaku, dulu…<br /><br />“kelak, ketika kau sampai, kau akan bisa berlari di atas segala yang bernama arus dan segala batas hanya kaca yang lekas tumpas….”<br /><br />Tapi kemanusiaanku kerap tumbuh melebihi bukit tubuhku dan aku pun kerap terjerembab ke lembah batu… Aduh!<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Khidr 6</span><br /> : Ujung-Kamal<br /><br />Dengan bersalam kepadamu, aku akan menyebarangi laut ini: “salamualaikum baginda kilir!” Aku berharap alir yang berulir ke relung yang memalung hatiku yang kikir tak memarkir langkahku pada satu takdir. Kerna di seberang, tanah terjanji telah memberi api terhadap beribu-ribu hati; aku ingin melihatnya, mencatatnya sebagai pelancongan yang berjalan di jalan-jalan kabut, tetapi pada sinyal laut yang tak henti memberiku mimpi yang paling berarti: perihal bergoyangnya rerumput…<br /><br />Surabaya, 2007<br /><br />Sajak Mashuri<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Khidr 7</span><br /> : rumah<br /><br />Aku merindu, o pengembara dengan lesatan-lesaran udara; aku merindumu, juga merindu rumah tempat kita bersua; tidakkah kau juga rindu padaku, juga rumah yang telah kita pahat di batu kalbu, rumah yang selalu membuat kita termangu tapi membuat kita selalu ingat meski jalan dipenuhi persimpangan dan seakan membuat semua yang merambahnya tersesat…<br /><br />O pejalan yang bernafas sunyi; kuingin kau ingat pada rumah itu, rumah yang sama kita sembah, rumah yang pernah kau cuci dengan air hati; rumah yang selalu menyimpan rindu untuk selalu bertemu, rumah yang pernah membuat kita juga bertemu di sebuah pintu, ketika kau ucapkan salam pertama, salam dari seorang asing kepada orang asing juga, lalu saling mengerling, saling bergasing di lubuk hening dan terjaga…<br /><br />“Silahkan masuk, silahkan duduk, kursi ini bukan kursi yang membuatmu disulut api, lalu kau mengutuk sepi yang berufuk di kalbumu…”<br /><br />Di rumah itu, kau bersujud bagai lumut menghikmati batu, aku pun bersujud bagai rumput yang tumbuh di taman perdu…. Kita kembali menyembah rumah yang sama, rumah yang sering kita tinggal menziarahi jazirah-jazirah lain, tetapi tetap tersimpan di dada, tempat kita selalu pulang dan tak pernah merasa kehilangan<br /><br />O pengembara perajah sejarah, kau lalu menggurat dinding ruang tamu, memasang gambar di ruang tunggu, bahwa masih banyak orang menunggu di luar, tapi tak bisa merasuk dalam geletar yang kau renjanakan dalam kembara dan kembara, dalam samadi abadi <br /><br />Di pilarnya, aku baca namamu, bersanding dengan nama-nama yang berkumpar dari doa-doa panjang, doaku yang tak lekang dimangsa waktu, untuk selalu memburumu bertemu denganmu, di rumah yang pernah kita jadikan tempat berhikmat, berkiblat, mencatat luka dunia yang tak pernah terpeta<br /><br />Dan, dalam kembara itulah kau seakan mengaku, butuh rumah untuk pulang, sebagaimana camar yang mengepak di atas laut, sebagaimana kelelawar yang kembali ke liang ketika subuh mengatupkan waktu, sebagaimana titik air yang kembali ke langit setelah mengecup bumi… dan di rumah itulah kau bisa pulang setelah berpindah dari ruang ke ruang, kau pulang dengan sekerat pesan yang tak bisa dibahasakan dengan lisan-lisan kasat mata<br /><br />Di lisanmu yang berbahasa sandi, segala bahasa seakan rahasia, bahasa yang terjalin ke lubuk teki; dan rahasia yang terwarta, hanya bisa aku tangkap lewat arus udara, getar yang berderap dari arus nada-nada rendah, di bawah suara, di atas suara, bahasa yang mengunci segenap api ke lubuk tak teraih, memberi mimpi pada ruang yang kau beri nama sebagai ilham abadi…<br /><br />Di rumah itu, aku merindukan kau menghitung petak-petak kamar, ubin, menghitung lalu menempatkanku pada sebuah kamar sendiri, agar aku kembali mengaji jalan-jalan yang pernah tertempuh dan merelung kembali ke gelung waktu, menggulung waktu, melipat sekat…<br /><br />Surabaya, 2007mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-60107646396215799422008-12-22T23:42:00.000-08:002008-12-22T23:58:25.306-08:00Sajak Sendiri<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SVCZXkL5YSI/AAAAAAAAAOQ/fi9WVjqJ1Do/s1600-h/ubud8.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 237px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SVCZXkL5YSI/AAAAAAAAAOQ/fi9WVjqJ1Do/s320/ubud8.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5282890993035206946" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kabut</span><br /> : Ubud, Sebuah Senja<br /><br />ia yang disebut rangda <br /> ---bunyi dada<br /> bertambur: dari ubur-ubur ke laut<br /> dari kubur ke maut<br />telah menetaskan titisannya<br />ke dosa asal, ketika geguna dirapal<br />ke ujung mantra ---mantram merajam<br /> akal<br /> digemiricikkan sunyi<br /> bunyi<br />gamelan ditabuh, bangkitkan riuh darah<br />merah, merah, merahkanlah…<br /> ---dunia: pura, kembang, arca, mata…<br /><br />mata meleleh, taring menjema tebing<br />raseksi<br /> menggunung ---ke lekuk suwung<br />yang tak terpahami kata<br /> kata: peta yang rapuh oleh kluwung<br /><br />rangda, bunyi dada, yang bertalu<br />ke lubuk hulu<br /> sambil menyibak jejak belatung<br />yang bersirayap di tengkorak<br /> jejak rambut<br />: bukti keabadian <br /> yang retak dan tercerabut<br />seperti rerumput di sela padi, yang gigil kepada mati<br />mimpi para pencabut… <br /> <br />2008mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-896842788747560852008-12-11T23:20:00.000-08:002008-12-11T23:48:32.176-08:00Tinjauan Film La Mome (La Vie en Rose)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SUIR-Ss6h3I/AAAAAAAAAOI/_ttvrQSYr7Y/s1600-h/la+mome.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SUIR-Ss6h3I/AAAAAAAAAOI/_ttvrQSYr7Y/s320/la+mome.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5278801475101427570" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jatuh Bangun Biduanita Panggung</span><br /><br />Judul Film: La Mome (La Vie en Rose)<br />Pemain:Marion Cotillard, Gérard Depardieu, Sylvie Testud <br />Sutradara: Olivier Dahan<br />Produser: Alain Goldman<br />Naskah: Isabelle Sobelman dan Olivier Dahan<br />Musik: Christopher Gunning dan Édith Piaf<br />Sinematografi: Tetsuo Nagata<br />Editor film: Richard Marizy<br />Jenis: Drama<br /><br />Baru-baru ini, film garapan Oliver Dahan dengan cita rasa Perancis yang kental diputar di bioskop Tanah Air.Hasilnya, penontonnya sangat minim. Tentu saja banyak yang berharap, semoga kondisi ini bukan sebagai penanda bahwa film berkualitas tidak laku di pasaran Tanah Air. Pasalnya, film yang diputar kali ini sangat memikat, yakni La Mome yang juga berjudul La Vie en Rose dalam bahasa aslinya Perancis, bercerita tentang jalan hidup seorang biduanita dari Paris, Edith Piaf.<br /><br />Dari spektrum sinematografi, La Mome cukup apik. Tawarannya juga menarik karena tidak berplot atau alur linear sebagaimana film-film Hollywood. Alurnya perpaduan antara flashback dan maju-mundur. Film dibuka dengan penampilan Edith Piaf (diperankan Marion Cotillard) di panggung. Kondisi tubuhnya sudah sangat rapuh yang terbalut kostum kesukaannya: gaun hitam panjang. Ia terlihat rapuh karena didera penyakit ketergantungan pada obat bius jenis morfin. Meski begitu, ia tetap bersikeras untuk menyanyi. “Jangan pernah minta Edith berhenti bernyanyi!” hardiknya dalam film ini pada para pengurus dirinya. Akibatnya, Edith terjatuh di panggung. Sebuah simbol kejatuhan dia untuk seterusnya, meski usianya belum sampai 50 tahun, tepatnya sekitar 47 tahun.<br /><br />Setelah adegan itu, cerita pun bergulir ke masa-masa kecil Edith yang sangat berwarna: trenyuh, sarkas, dan bagi orang yang perasa, bisa menguras air mata haru. Dimulai pada tahun 1918, ketika Eropa sedang dilanda Perang Dunia I dan Perancis terlibat di dalamnya. Kehidupan Edith kecil sangat susah. Ia terlahir dari pasangan pemain akrobat dan seorang artis penyanyi amatir. Ayah Edith yang bernama Louis (diperankan Pascal Greggory) harus menjadi serdadu karena wajib militer, sehingga ia diasuh ibunya yang lebih mementingkan kariernya daripada mengurus Edith. Si Ibu pun minggat ke Konstantinopel, Yunani, agar bisa tetap bernyanyi dan menitipkan Edith pada ibunya (nenek Edith) yang sedang dilanda kesusahan dan kemiskinan. Juga seorang pemabuk. <br /><br />Penggarapan latarnya yang luar biasa bisa membuat penonton terseret ke masa-masa ketika Eropa sedang dilanda susah perang. Tak ada adegan pertempuran, tapi penonton bisa merasakan ada perang di sana. Pun latar kemiskinan penduduk Paris, juga kota Parisnya yang merana, sungguh sangat riil. Paris yang masih belum berbenah di tahun 1918-an, dengan Menara Eifel yang masih sederhana. Juga Paris yang terkesan kumuh dan kampungan.<br /><br />Adapun adegan yang cukup dramatis adalah ketika ayah Edith pulang dari perang. Ia mendapati Edith tergeletak di ranjang di rumah mertuanya, dan tubuhnya diselimuti kain mirip goni. Ia sangat terlantar. Louis langsung membawa Edith ke ibu Louis, di Normandy, yang ternyata sebagai pengelola rumah pelacuran. Ibu Louis atau nenek Edith Edith pun menerimanya, meski dengan setengah hati. Begitu tinggal di rumah bordil, ayahnya kembali ke medan pertempuran.<br /><br />Meski di rumah pelacuran ini, Edith sakit-sakitan dan hampir buta, tapi di sinilah Edith merasa mendapatkan kasih sayang yang sebenarnya. Tentu ini sebuah hal yang kontradiktif, karena ibunya sendiri masih hidup dan mengejar obsesinya sendiri dan melupakan curahan kasihnya. Edith yang berusia 6 tahun, mendapatkan kasih-sayang sebagaimana seorang anak mendapatkannya dari seorang ibu dari seorang pelacur, Titine (diperankan Emmanuelle Seigner). Titine inilah yang memperkenalkan spiritualitas dan reilijiusitas pada Edith. Ia mengajak Edith mengunjungi makam orang suci St Theresa agar matanya sembuh. Pada perjalanan hidupnya, benih spiritualitas itulah yang selalu dibawa Edith, hingga dia menutup mata untuk selamanya.<br /><br />Ada beberapa adegan dramatis dan menarik dalam film ini. Di antaranya, ketika Louis pulang dari medan perang membawa Edith pergi, Titine meraung-raung seperti kehilangan anaknya. Selain itu, nasib Edith yang kurang beruntung karena jadi pesuruh di rombongan akrobat ayahnya. Juga adegan Edith kecil yang menatap boneka di salah satu toko. Adegan lainnya adalah ketika Edith harus mengeluarkan keistimewaanya, berupa ‘suara emas’, karena dipaksa ayahnya untuk menunjukkan kelebihannya di depan orang-orang di jalan, dalam sebuah adegan akrobat Louis yang gagal. Dari sinilah diketahui, Edith memiliki bakat mirip ibunya, ‘sihir suara’.<br /><br />Ada juga adegan istimewa lain dalam film ini. Ketika pertama kali Edith Piaf menyanyi di teater. Ia gemetar, nervous, dan mengurung diri di kamar gelap. Ia dibujuk oleh mentornya Raymond Asso (diperankan Marc Barbé). Sementara itu, penonton sudah mulai gelisah. Adegan ini merupakan awal karir gemilangnya di Perancis. Penggambaran adegan kemunculan Edith ke panggung memang sangat berkelas. Adegan ini berlangsung tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir, permainan mimik, gesture tubuh, gerakan tangan yang ekspresif, dan wajah-wajah penonton yang tersihir. Selebihnya sunyi.<br /><br />Inilah film tentang hidup. Meski tak beralur linear dan menuntut kecermatan dalam mengikutinya, tapi inilah kisah utuh tentang kehidupan seorang artis bertalenta: Edith Piaf. Sebenarnya, hidupnya persis seperti siklus hidup manusia lainnya. Kecil tumbuh, berjuang, gemilang, lalu surut seiring berlalunya waktu. Hanya saja intensitasnya memang memiliki kekhasan dan lika-liku sendiri, karena pada masa kecilnya menyedihkan, masa remaja yang penuh perlawanan, masa gemilangnya, lalu tahun-tahun karirnya menurun karena ‘cinta’ yang karam, lalu dia pun mencari pelarian dengan mengkonsumsi obat bius. Bangkit, lalu usia yang mulai digerogoti penyakit. Akhirnya berujung pada kondisi penuh kesakitan dan menyedihkan. Meski begitu ada sebuah pesan menarik dari Edith. Di masa surutnya di Amerika, ketika ia suka pergi ke pantai untuk merajut (pekerjaan yang paling disukai Edith kalau tidak menyanyi), ia didatangi seorang wartawati dari Paris. Dari situlah sebenarnya kedewasaan dan kematangan hidup Edith tergambar. Ditanya soal apakah ia ingin hidup layak, ia mengaku sudah merasa hidup layak dan lebih dari cukup. Selanjutnya, ia ditanya soal nasehat pada anak-anak, perempuan, remaja dan semua orang. Ia pun menjawabnya: “cinta”.<br /><br />Film berdurasi 140 menit ini cukup lengkap dan detail. Melibatkan banyak karakter sepanjang hidup Edith. Masa-masa suram remajanya, di antaranya kematian Papa Leplee (diperankan oleh Gérard Depardieu), yang dikenal sebagai mentor pertama yang mengentaskannya dari jalanan, yang justru dibunuh oleh teman-teman jalanan Edith. Leplee inilah yang menambahkan nama Piaf di belakang Edith yang artinya burung. Adegan lain yang juga menarik adalah kisah perjalanan kariernya ketika pindah ke Amerika, terutama tentang sambutan publik Amerika yang berbeda dengan Paris. Lainnya, tentang kisah asmaranya dengan seorang petinju berdarah Perancis yang sudah beranak-istri, Marcel. Dialah cinta sejati Edith. Kematian Marcel karena kecelakaan pesawat, membuat Edith terjerembab dalam lembah kesakitan dan seakan tak berujung. Ia berusaha bangkit, berhasil, tapi akhirnya terpuruk karena penyakit ketergantungan obat yang menderanya. Selain itu, yang menarik adalah lagu-lagu dahsyat Edith Piaf yang mengiang hampir sepanjang film.<br /><br />Yang tak bisa dilewatkan adalah peran Marion Cotillard, sebagai Edith. Marion bisa menghidupkan peran penyanyi legenda itu. Ternyata, perempuan yang lahir di Paris 1975, ini mengawali karirnya sebagai pemain teater dan membintangi film Taxi (film pertamanya, tahun 1999). Ia mendapat penghargaan di César (Académie Des Art et Techniques du Cinéma César) sebagai pemain berbakat. Berlanjut tahun 2001 dalam film ‘le jolies choses’. Belakangan, setelah membintangi La Mome, namanya dibicarakan media di mana-mana sebagai satu peraih penghargaan artis terbaik wanita di festival film internasional. Perannya yang mengagumkan sebagai Edith Piaf cukup mengagetkan dunia perfilman perancis, bahkan di amerika sendiri dia menjadi tiba-tiba sangat terkenal dan dapat disejajarkan dengan nama-nama artis internasional lainnya. Marion juga meraih penghargai artis wanita terbaik di Académie des Art et Techniques du Cinéma César atas perannya dalam La Mome. Apalagi La Môme juga menjadi film terbaik tahun 2008 di Cesar.<br /><br />La Mome sendiri beredar pertengahan Februari 2007 dan dibuat tahun 2006. Film ini diperkenalkan pertama kali di Fesival Film Cannes 2006 dan mendapat sambutan cukup hangat. Selanjutnya film ini diperkenalkan ke negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Inggris, lalu baru ke Amerika dan akhirnya sampai ke Indonesia tahun 2008. Selain Marion, yang berperan penting dalam penggaran film ini adalah Olivier Dahan. Dialah yang pertama kali menemukan Marion sebagai pemeran Edith Piaf, disamping itu tentu saja juga tak lepas dari peran penata rias artis yang sudah mampu mengganti wajah Marion menjadi wajah Edith. Selain itu, tentu kru lainnya juga berperan karena kerja film adalah kerja kolektif. Lalu bagaimana La Mome di ajang Oscar? Kabarnya film ini juga dapat penghargaan. <br /><br />Di akhir film, tepat malam terakhir kehidupan Edith di tahun 1960, terdapat beberapa kejutan apik terkait dengan kehidupan Edith. Sebuah kejutan yang melengkapi jalan hidup Edith yang sudah terpapar dalam sekujur film meski dengan teknik alur yang tidak sebagaimana mestinya. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton, sekaligus perlu diacungi jempol dari segi seni sinematografi, keaktoran, artistik dan lainnya. Meski demikian, tiada gading yang tak retak, bukan? Nah, agar bisa lebih tepat penilaiannya, nonton saja. (mashuri)mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-45956666555583259842008-12-04T18:52:00.000-08:002008-12-11T23:39:51.294-08:00Tinjauan Film 3 Cinta 3 Doa<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/STiYMDyMUaI/AAAAAAAAAOA/ftpYCpyboNA/s1600-h/film1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 180px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/STiYMDyMUaI/AAAAAAAAAOA/ftpYCpyboNA/s320/film1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5276134296406217122" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Santri Juga Manusia</span><br /><br />Judul film: 3 Cinta 3 Doa<br />Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Jajang C Noer, Butet Kertarajasa.<br />Sutradara: Nurman Halim<br />Penulis Naskah: Nurman Halin<br />Produksi: Triximages dan IFI, 2008<br />Genre: Drama. <br /><br />Dian Sastrowardoyo main bareng lagi dengan Nicholas Saputra. Tentu, tampilan mereka dalam film terbarunya ini 3 Cinta 3 Doa berbeda dengan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) karena seting dan fokus yang diangkat berbeda. Jika AADC berbicara tentang lika-liku cinta remaja kota, film terbaru ini berbicara tentang cinta tiga santri. Meski berlatar pesantren, jangan dibayangkan film ini seperti film religi Ayat-ayat Cinta. 3 Cinta 3 Doa ingin terbuka berbicara soal santri sambil mengangkat kredo keras-keras: santri juga manusia.<br /><br />Film yang disutradarai Nurham Halim ini berkisah tentang cita-cita dan angan tiga orang santri. Huda (diperankan Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama) dan Syahid (Yoga Bagus). Latarnya adalah sebuah pesantren di sebuah desa di Jawa Tengah. Meski berlatar pesantren, film ini tidak bisa disebut film religi, karena film ini bertutur tentang kehidupan santri dari berbagai sisi. Para santri dalam film ini adalah manusia biasa yang punya hasrat, nafsu, bahkan tak bebas dari salah dan keliru. Tentu itu berbeda dengan AAC yang menampilkan sosok Fakri yang sempurna, ideal, dan mengemban ide-ide keagamaan yang kental.<br /><br />Misalnya saja, ada gambaran santri ereksi saat bangun pagi. Mengantuk pada saat shalat subuh. Santri dengan diam-diam suka dengan lawan jenis. Ada kiai yang tukang kawin, ada ustad yang gandrung menyerukan ‘hancurkan Nasrani dan Yahudi’, serta banyak pernik santri lainnya yang lebih bernilai manusiawi. Sepertinya sang sutradara Nurman Halid (yang pernah nyantri di sebuah Pesantren di Demak Jawa Tengah) ingin berkisah lebih terbuka dan menyentuh sisi manusiawi pemirsa, karena ia sangat tahu seluk beluk dunia pesantren yang sebenarnya juga hampir sama dengan kehidupan di luarnya, karena pesantren pada dasarnya adalah ‘miniatur’ dunia yang tentu saja tidak bisa kalis dari godaan dan hasrat manusiawi.<br /><br />”Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal,” tegas Nurman.<br /><br />Film yang awalnya berjudul Pesantren ini dibuka dengan adegan kebiasaan tiga santri (Huda, Rian dan Syahid) yang kerap mengeluh atau curhat pada reruntuh tembok di dekat pesantren. Huda gemar menuliskan tahun-tahun wafat orang yang penting atau berjasa dalam hidupnya di tembok itu. Sambil menghisap rokok, ia berkisah tentang terdamparnya ia ke pesantren tersebut. Sejak usia 11 tahun, ia diditipkan sang ibu ke pesantren tersebut, dan hingga dewasa tak tahu, di rimba mana sang ibu itu kini berada. Lamat-lamat ia hanya mengingat, sang ibu berada di Ibukota Jakarta. Oleh karena itu, ia bercita-cita mencari ibunya. Cita-cita itu pun menjadi doa, agar ia bisa menemukan sang bunda yang begitu amat dirindukannya.<br /><br />Berbeda dengan Huda yang melankolis, Rian memiliki pengharapan berbeda. Santri ini punya pikiran praktis. Ia bercinta-cita mendirikan sebuah video kawinan, setelah usai menimba ilmu di pesantren. Sementara itu, Syahid, sebagaimana namanya syahid, memiliki cita-cita super ideal bagi seorang santri dan pemeluk agama yang teguh: mati syahid. <br /><br />Sesuai judulnya ‘3 Cinta 3 Doa’, plot atau alur utama film ini berkisar pada cita-cita dan doa tiga santri tersebut. Huda yang rindu ibu, dituntun dengan kerinduannya. Rian yang ingin menjadi pebisnis dituntun dengan naluri dagangnya. Sedangkan Syahid dengan geloranya sendiri dituntun dengan keyakinannya. Kayaknya ide besar dari film ini adalah mengurai spektrum atau perspektif yang seimbang tentang dunia santri dan profil santri sendiri, yang kadangkala berprototipe unik: udik dan tradisional. Sedangkan pada sepuluh tahun ini, mengalami degradasi dengan label: teroris dan suka marah dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Karena idenya itu, tak heran, dalam film ini, seringkali nampak hal-hal manusiawi yang terjadi terutama ketika terkait dengan pemahaman diri terhadap agama. Misalnya, Huda menolak ikut ustad yang menghujat agama lain. Di sisi lain, ada santri yang tertekan secara ekonomi dan mudah terpesona oleh kharisma dan wibawa seseorang, lantas saja mendaftar menjadi ‘relawan’ untuk ‘jihad’, sebagaimana yang dilakukan oleh Syahid. Penggambarannya tampak berimbang dan alamiah yang menunjukkan jalan penghayatan keberagamaan antar orang itu berbeda, meski digodok pada satu lembaga.<br /><br />Lalu di mana si cantik Dian berperan dalam film ini? Jangan khawatir, si jelita cucu dari sastrawan Soebagyo Sastrowardoyo ini masih cukup memikat aktingnya. Dalam film ini ia didapuk menjadi penyanyi dangdut Dona Satelit. Karakter Dona: seksi, menor, mata duitan, dan punya ambisi segunung ingin menjadi bintang sinetron. Soal peran Dian ini, tentu mengingatkan pada peran serupa yang diemban oleh bintang AADC, Titi Kamal dalam filmnya: Mendadak Dangdut, yang melejitkan lagu-lagu seperti Si Jablai. Tetapi sungguh, dalam film ini Dian tampil optimal dan ciamik sebagai seorang penyanyi dangdut. Konon, ia nyanyi sendiri di film ini. Cengkoknya dangdut dan sangat alami. <br /><br />Pertemuan Huda dan Dona terjadi di makam dekat pesantren. Dona, yang sedang menunggu panggilan casting, sering manggung di malam hari. Sedangkan siangnya ia rajin berziarah ke makan ibunya di dekat pesantren Huda. Nah, di situlah mereka bertemu. Setelah berbincang, si santri lugu Huda minta bantuan Dona mencari ibunya di Jakarta. Apakah Huda dan Dona menjalin cinta? Nah, kalau soal ini, tonton saja filmnya biar tahu sendiri. Juga sekalian biar tahu, apakah Rian sukses menjadi pebisnis video kawinan dan si Syahid benar-benar bisa mati syahid sesuai cita-citanya.<br /><br />Dian patut dipuji dalam film ini. Karakternya cukup matang. Nicholas pun tak juga luput dapat pujian. Meskipun ia terkesan ‘terlambat’ panas dalam film ini. Meski begitu, Nicholas bisa mengembangkan karakter yang lumayan bagus. Awalnya sangat ganjil melihat santri lugu yang indo, tetapi pada perkembangannya, ia bisa menjadi santri yang mantap. Perkembangan karakternya dalam film ini terbilang unik: ia yang santun dan pendiam, akhirnya terguncang hatinya melihat garangnya Jakarta. Kata seorang pengamat film: ‘ia paling cemerlang dalam film ini’. Soal sutradaranya, Nurman terbilang sutradara potensial. Posisinya akan sangat diperhitungkan dalam jagat perfilman Tanah Air pada masa mendatang. Ia mampu memadu dengan apik film ini menjadi kisah yang alami, alurnya mengalir lancar, dialog yang bernas dan cerdas, dan terlebih penuh humor, meski di beberapa bagian cukup sarkas.<br /><br />”Pesan utama dari 3 Doa 3Cinta adalah kedamaian dan cinta mengalahkan segala bentuk kekerasan dan kebencian.” demikian tutur Nurman Hakim<br /><br />Ibarat tiada gading yang tak retak, bukan berarti film ini tanpa celah. Ada beberapa adegan yang kelihatan amatiran, yang dalam bahasa filnya: terkesan klise. Namun demikian, tentu saja, tidak mengurangi performa dan pencapaian film ini secara keseluruhan. (uri/berbagai sumber)mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-89405512633594288052008-11-27T23:24:00.000-08:002008-11-27T23:28:55.373-08:00Sajak Yang Berkisah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SS-dm0daznI/AAAAAAAAANw/Nce5FR8jeKs/s1600-h/11873410413915m.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 229px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SS-dm0daznI/AAAAAAAAANw/Nce5FR8jeKs/s320/11873410413915m.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273606978916765298" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam</span><br /><br />sebuah pagi menghardikku dengan sepi<br />aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi<br />juga secangkir kopi<br />di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari<br />di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus<br />hangus dilalap api’<br /><br />aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan<br /> ---api dengan jalang mengamuk rumah bordil<br />para perempuan hibuk berlari sambil bugil<br />tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang <br /> kini, jiwaku pun menggigil <br />aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi<br />aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih<br /><br />karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli<br />aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku <br />aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing<br />yang tak lelah menggerakkan gerahamnya<br /><br />dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;<br />ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium<br />bau tubuh pelacur hangus di usus buntu… <br />aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu<br />masuk surga” <br />aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga<br />kucing dan anjing yang berkejaran di perutku <br />yang sakitnya semakin tak terkira…<br /><br />Surabaya, 2008 <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri<br /><br />Seorang Perempuan Muda untuk Hari Tua</span><br /> <br />perempuan berkulit kencana itu menata batu di hatimu<br />meski jemarimu jompo untuk menyangga lengan mimpi, <br />kau masih bermimpi: kau seorang pangeran teruna<br />menunggang kuda putih, mengokang senapang<br />ke arah rusa berlari kencang<br /> ---dan begitu banyak penjudi yang bertaruh<br />rusa itu dirimu atau perempuan muda itu<br /><br />tapi sesumbarmu membuat seluruh hutan beku:<br />‘akulah pemburu yang rakus daging mentah<br />lihatlah betapa batu-batu itu telah menjadi rumah<br />tempatku bertolak dan berpulang…<br />aku akan membidik binatang itu tepat di kelaminnya<br />agar kelelakianku bisa bersuara….’<br /><br />tapi siapa percaya pada suara yang keluar<br />dari kerongkongan renta ---suara yang tak bisa menyapa<br /> dirinya sendiri <br />bahkan kulitmu pun kertas tisu bergelambir<br />dengan kaki seperti mesin yang harus langsir <br /> <br /> setelah telanjang<br />dan kau menyaksikan tubuh perempuan itu kejang<br />sendiri di ranjang <br /> ia pun berbaju<br />zirah, mengiringi keberangkatanmu yang terbata<br />ke rimba buruan, tempat anganmu berpulang <br />pada kelamin lecet<br /> sambil bernyanyi ‘gugur bunga’<br />yang terpeleset<br />‘telah gugur kejantananku….’<br /> <br />kau menatapnya dengan mata terpejam<br />dan berangan baju logam itu tenggelam ke lautan asam<br />dan kau bisa menyaksikan sebentuk tubuh melepuh<br />dan erangnya membuat seluruh sendimu rapuh<br /><br /> ---para penjudi mengangkat cawan arak, <br />bersulang pada jejak<br /> : tubuhmu berubah<br />ditumbuhi bulu, berjalan merangkak <br />dengan kemaluan bengkak oleh peluru…<br /><br />Surabaya, 2008<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri<br /><br />Peristiwa Luka</span><br /><br />di akhir 1400, kau mencatat peristiwa luka<br />--ingatan-ingatan dihancurkan, kata terpenggal,<br />juga rindu terjungkal ke kelam waktu…<br />apa yang tersisa, kecuali senyap yang kelewat batas<br />kecuali harap yang kelewat gelap<br />juga abjad-abjad membatu…<br /><br />ada yang beku di ubunmu<br />seperti tetes es ---yang tak mungkin mencair<br />meski matahari kau undang sebagai tamu<br />dan duduk di tamanmu<br /><br />tapi kau mencatat lewat bibir bertabir<br />lewat sakit yang berulir, juga nestapa yang memuncak<br />ke batas tiada ---duka yang tak pernah berbilang<br />angka<br /> kisah-kisah itu tumpah ruah<br />tapi terusir ke pinggir tanah<br /> terguling ke kawah<br />yang dengan hikmat kau sebut sejarah<br /><br />kau lihat panji lain berkibar<br /> sebentuk bibir berikrar: sebuah dunia baru<br /> yang tumbuh dengan sayap-sayap kekar<br />telah memacu nadi untuk lari atau berposisi<br /><br />di akhir 1400 itu, kau lihat angin menggunting<br />pohon asam<br /> sebatang tumbang di tepi jalan<br />sebatang lain ditanam di gigir pegunungan<br />lewat desir nyiur, kau saksikan pesisir mengalir<br />dan matamu pun berair, karena anyir darah<br /> tak kunjung bersudah<br />dari pelupukmu yang berwindu gelisah<br /><br />agar kau lupa lara, kau khianati diri<br />sambil terus bersetia melabuh mimpi<br /> meski lewat sepi<br />lewat cakap tak terkatakan, tak terwartakan<br /> dengan gerak dan pandang<br />bahkan cukup hanya dengan diam<br /><br />Surabaya, 2008mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-7542639579002707352008-11-17T22:37:00.000-08:002008-11-17T22:43:31.620-08:00Tiga Puisi Berapi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SSJjT2a8c6I/AAAAAAAAANg/lbWbaAGj50I/s1600-h/gajah-15.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 288px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SSJjT2a8c6I/AAAAAAAAANg/lbWbaAGj50I/s320/gajah-15.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269883706654094242" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak yang Menolak Ditundukkan</span><br /><br />di ujung musim, kepalaku bengkak oleh pikiran<br />aku lalu memarkir bibir di bir<br />aku tulis sajak dalam kemabukan ---seperti angin<br />yang berputar dan menjelajah perbuktian<br />seperti burung yang bercicit dari dahan ke dahan<br />juga selaknat mayat yang terguling ke lahat<br />dan dihajar gelap…<br /><br />aku berharap<br />sajakku muram ---serupa malam yang berderap<br />ke retina, seperih nyanyi sunyi mengungsi ke bilik<br />hati; aku yang bercakap sendiri<br />aku berharap sajak yang menawar dahaga, <br />menggunting resah kepala…<br /> tapi terngkorakku masih bergasing juga<br />berkelok di jalan-jalan berlubang<br />kadang terperangkap, kadang bisa melenggang<br />sampai bunyi cericit roda pikiran<br />membentur dinding ---menggelinding<br />ke ruang tak dikenal, tak terpahami, ruang-ruang<br />liar dari diri<br /><br />ah, sajak sengak sundal tak mau diajak menjadi begundal<br />pikiran, sajak yang menolak<br />ditemali, sajakku melompat ke luar jejak<br />yang tercetak di jalan-jalan yang terlampaui…<br />aku pun tak memahami diriku sendiri<br />o sajak, kenapa kau penjarakan aku di sini!<br /><br />aku pun menyepi ke ruang berterali <br />---o sajak, hilanglah segala ruang<br />kenapa aku cari kebebasan yang berlari di balik kabut<br />kenapa aku harus bunuh diri demi pikiran-pikiran basi<br />kenapa aku tak mengungsi…<br /><br />di tepi musim, aku masih bertugur di tepi<br />tapi hatiku pun terisi oleh hasrat mati<br />: tembaklah kepalamu, penggallah kepalamu… <br /><br />aku tenggak lagi kemabukan, aku tulis sajak-sajak<br />aku berharap sajakku hitam agar aku terbebas<br />di dalamnya dalam malam-malam panjang tak terbatas<br />: melepas pikiran-pikiran, membebaskan hati dari kematian<br />meski aku tahu, sepanjang musim, sajakku selalu <br />menolak ditundukkan…<br /><br />Surabaya, 2008 <br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Ruang Tamu Peristiwa</span><br /><br />lelaki itu mencukur rambut kemaluannya di televisi<br />di ruang tamuku, handuk dan sikat gigi di meja<br />aku hendak berangkat kerja<br />aku teringat pada jeda, kisah bunda mengantarku<br />meneguk mimpi ketiga, tentang peri yang terperangkap<br />lalu ditelanjangi beramai-ramai<br />oleh bibir perempuan yang menidurkan anak-anaknya<br />tapi tak ada bidadari dalam memoriku, juga memori<br />anak-anakku, pun tak ada keajaiban karena keajaiban<br />hanya milik peri yang menghuni kisah-kisah pengantar tidur<br />ketika aku angkat telepon, nenekku segera dikubur<br />terwarta: ada pentol bakso nyangkut di tenggorokannya<br />yang menyudahi tugas jantungnya selama 100 tahun<br />aku teringat pada labirin dongeng 1001 malam itu, <br />jalannya berliku dengan pusat-darah dicatat berbuku-buku<br />cerita berbingkai itu membingkai hidupku ---sampai aku bisa <br />onani sendiri dengan pasta gigi<br />lalu bisa melupakan peri dan cerita parsi itu<br />tapi lelaki itu tak juga berhenti mencukur di ruang tamuku<br />setelah rambut kemaluan, ia mencukur rambut ketiak, cambang, <br />kumis dan rambutnya sendiri; setelah ia sempurna dari evolusi<br /> ---ia kemudian mencukur rambut anak-anakku, <br />istriku, juga rambutku ---aku pun membebaskan tubuhku dari bulu<br />aku lalu bertanya pada istriku yang gundul: ‘masihkah peri itu<br />tinggal di ranjang kita, agar anak-anak kita segera tidur<br />sebelum kita sadar bahwa di antara kita tak menghuni ruang <br />yang sama, kita telah sama-sama mengungsi dari rumah, terusir<br />dari ruang tamu kita yang berjejalan peristiwa’<br /><br />Surabaya, 2008 <br /><br />Sajak Mashuri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Api Mimpi Rajasa</span><br /><br />Sebuah nama, sebuah tanda<br />Dalam nama tergantung segalanya, meski hampa<br />tak dikenal hulu-muara, tak dikenal makna-kata <br />tapi sebuah nama tetap bermakna, tak sia-sia<br />seperti ruh yang tak kenal angka, mula, atau<br />sebait panggilan-panggilan sengau, tapi riuh <br />panjang pasti menggema<br />di ingatan, di kenangan, juga di malam-malam<br />sebagaimana adam…<br /><br />juga Arok!<br /><br />sebuah nama tak dikenal arti, kecuali api <br />mungkin carok! atau mengulang sapaan ibu, Endok<br />tapi ketika benih tersemai di rahim Bunda<br />dihisapnya hidup sang ayah, Gajah<br />belalai pun terkulai, hanya gading yang tertinggal<br />dingin yang retak, amsalkan jejak, asal pal<br />sebentang nama yang tanggal, tapi kekal<br />‘ada yang datang, ada yang berpulang’<br />tapi ada yang bersulang: mungkin Arok julung sungsang<br /> <br />ia lahir di Pangkur, tapi dibuang ke kubur<br />Lembong menggendongnya, membaptisnya<br />sebaga putera: sosok pencuri kecil telah tercipta<br />terbit melewati cahaya, bias cahaya yang menuju arah<br />entah…<br /><br />‘dalam Para Datu, ia titisan Wisnu<br />tapi siapa yang sungguh tahu’<br /><br />hikayat memahatnya di pohon-pohon hayat<br />penuh liku; akar-akarnya meliar<br />membayang di batang-batang hitam<br />daun-daunnya bersepuh tembaga <br />seperti sebuah tekad: “tulang iga<br />yang lepas dan harus dirampas”<br />ia terlahir dari darah hitam yang memanas<br />di sumbu-sumbu waktu<br />kadang memberi amar pada bambu<br />: buatlah pagar dan pembatas, tapi tak ada janji<br />segala yang telah ditepati tak bisa retas<br />oleh api, oleh nyala abadi<br /><br />ia tak punya pilihan, kecuali harus meraih<br />ia tak punya angan, kecuali harus menggapai<br />dilampauinya lalu, ditujunya mimpi ---seindah<br />negeri dewa-dewa, sebuah masa depan yang bernyawa<br />tak lagi ingat ibu, ayah, juga darah<br />yang membasah, melayah di sekujur pembuluhnya, <br />tak lagi ia harapkan lagi tangan-tangan trah<br />untuk menuntunnya menaiki tangga, bahkan pada pelangi<br />ia telah berjanji akan menaiki, dengan kaki sendiri<br /><br />sejarah mencatat lewat taklimat...<br /><br />sahdan, di sebuah negeri, ketika segala rakyat<br />masih demikian taat; tak ada khianat<br />kecuali hasrat ---pada wanita, tahta<br />juga wewangian kembang ketika musim kawin tiba—<br />ada pusat, ada pusar, ada titik tunggal<br />tapi tak selamanya pinggir tersingkir, <br />tak selama titik-titik terpenggal dari akal-takdir <br />segala lingkaran sempurnakan pusaran<br />dan Arok menjulang dengan lidah jalang, keramat<br />kemarahan memintal hari depan<br />dengan perintah, dengan gairah, dengan letup<br />berdegup di sepanjang jazirah: kuasa Jawa<br /><br />tapi ia masih kanak; riak-riak yang bermimpi<br />menjejakkan jejak di batu-batu waktu<br />mengukir segala tabir dengan satu sentuh: tubuh<br />onak pun memberinya bukti, bahwa hidup<br />tak seteguh mati; mati tetap berderap<br />meski segala lampu redup, meski segala dunia gelap<br />meski segala waktu dirampatkan ke titik tak teraih<br />dalam kelahiran: awal segala raihan<br />tapi keabadian maut pun terpahat<br />menitipkan alamat-alamat di kakang kawah, adi ari-ari<br />puser juga darah yang menyembur<br />dari liang garba, muasal segala ada, muasal nyawa… <br /><br />ia mencuri wahyu, dari sebuah waktu<br />melampirkan waktu lain, menanamkan benih lain<br />di lipatan angka-angka yang menghening<br />lalu riwayat mencatat: ia seorang perompak, pencuri<br />riak yang tuju ombak, seorang yang diberkati <br />---sakti, dengan berpundi-pundi ruh suci<br />tapi berkat, juga keramat, hanya bukti, <br />bahwa mimpi tak bisa lari dari hati<br />sebab garis edar tak mesti keluar lingkar<br />sebab segala nubuat tak mesti tersesat ke ingkar<br />segalanya mungkin, seperti batu tulis menulis sabak hitam<br />segalanya mungkin, seperti siang yang digantikan malam<br /><br />lalu nama-nama sampiran, seperti Bango Samparan<br />memberi arti tentang nasib dan perjudian<br />juga sekilas nama yang memberi bukti arti<br />sebuah pencurian hati,<br />juga pertaruhan yang berarti, nanti<br />ia pun bangkit dari langit, melangitkan diri, <br />segera didapatkan nama yang ber-isi<br />nama yang terakit dari segala bait-bait putih, <br />langgam sutra penuh hati, kuasa ilahi<br />di jati Lohgawe: seperti nirwana yang kembali<br />ke belantara, Arok bisa memetik mimpi, lewat kaki<br />membuka mata dan hati pada penafsiran suci<br />bahwa nasib sungguh tak tersalib, jalan yang harus disalib <br /><br />dunia memang tak terterka, mungkin tak kenal angka<br />dunia bisa bermula dari kebetulan<br />ketika Arok meniti pelangi lewat gapura pengabdian<br />kepada sang akuwu, ia menjalani laku<br />kepada sang kalbu, ia deraskan rindu<br />kebetulan pun menderas seperti air terjun<br />yang akan terus turun dari tebing, teriring ke lembah<br />saat kuda-kuda berhenti, kereta pun berhenti<br />sepertinya segala nafsu berhenti<br />nafas merambati batas; diam, segalanya hamparan<br />bersepuh kembang; jika malam, gelap pun penuh bintang, <br />seindah taman swargaloka, sang Indah bermadah<br />puja-puji, doa panjang, juga alunan musik<br />yang mengusik raga, menukik jiwa..<br />Sang Bayu pun terpanah… <br />angin pun berlayar dari satu jeda ke jeda lainnya<br />irama gegap, seperti kuda yang tersentak<br />tangan-tangan gaib, tangan angin tergeragap<br />menyingkap jarit tuk pertama<br />buat mata yang tak pernah lelap pada warna<br />: mata perjaka, indera Arok<br /><br />‘dari kandang ke kandang<br />hanya tetes air yang terdengar <br />dari pandang ke pandang<br />sinar Dedes yang mengukir getar’<br /> <br />‘dawai telah dipetik, sunyi terbetik<br />sesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyi<br />tubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke api<br />ruh seperti bangkai, busuk tapi suci’<br /><br />Sebuah rahasia telah terwarta, sebuah angan telah<br />menuliskan rumusnya: gending-gending perang bertahta<br />di gendang telinga<br />Segala indera terpusat ke pusar tak teraba<br />merabuk segala geletar, menggunduk liar<br />Sebuah pilihan telah menemukan pintu dan jendela<br />Rumah khayalan pun dibangun, api pun berunggun <br />bejana ditengadahkan, piring dan meja disiapkan<br />: pejamuan siap digelar bersama iringan-iringan<br />Segala rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan<br />-masakan mimpi yang masih mentah, dan perlu diberi bara<br />Wajah Arok membara seperti langit senja<br />tapi bukan senja yang tergambar: kecuali geletar fajar<br />merah menyambut matahari, merah Venus...<br /><br />Dari pinggir ia menyisir, dari alir ia mengukir takdir<br />lalu waktu menuliskan arah ke pastian, <br />ketika langkah terus dilesakkan ke pembuktian<br />ada siasat, ada muslihat, bahkan ada niat-niat<br />yang tak tercatat: sebab hati begitu dalam untuk diselami<br />berbekal Venus, ia hunus arus: Gandring pun digiring<br />ke dingin dinding: keris telah menggaris batas<br />antara warangka dan rangka, antara upas dan nafas<br />lautan kutuk mengganas, ketika batas datang demikian lekas<br />si empu pun mengukir sabda dalam waktu, <br />di waktu lain, Arok terus meluruskan impian <br />dalam waktu, ia talkin tubuh-tubuh dingin ke balik dinding<br />di luar waktu, ia telah menanting ingin, menantang angin<br /><br />Daun melinjo bernama So, Kebo Ijo dipaksa ngaso<br /><br />Lontar pun menulis: “cuaca begitu gerimis<br />Tumapel demikian amis ---bunga-bunga sekar disebar<br />beriring tangis; tapi geletar tak henti di altar<br />Tunggul Ametung terkapar!<br />Arok mencuci keris, diraihnya dampar<br />kencana: diraihnya tahta, wanita juga getar-<br />getar kalbu yang tak berhenti pada langit biru<br />sebab zenith masih jauh di cakrawala, langit masih membiru<br />dalam gelombang-gelombang penantian, larungkan sesal<br />doa-doa seperti salah dirapal, tetapi ada yang telah kekal<br />dan tak bisa disangkal: dunia bukan surga!”<br /><br />di balik kelambu, di peraduan ratu, Arok membisikkan rindu<br />seperti seorang yang terharu menapaki batu-batu<br />tapi batu-batu tumbuh demikian cepat dari langkah<br />kadang langkah memang tak berjangka<br />bahkan kiblat pun lungkrah, arah seakan tiada<br />seperti seorang pejalan merasa kehilangan peta, <br />meski peta sudah tertera di kepala, di hati<br />juga di hamparan-hamparan seprei…<br /><br />di rahim Dedes, telah tersemai benih, laksana es<br />dan Arok adalah api, adalah mimpi <br />yang tak kunjung selesai, sebelum Daha-Kediri<br />menjadi abdi, lalu ia melangkah ke dalam waktu<br />menghitung kembali serdadu: ia pun menyerbu<br />ia meraih getih prabu di Ganter: mereguk getih biru <br /><br />cakra telah berputar, nasib telah melingkar<br />gelar disandang, Sri Rajasa terpandang<br /><br />namun di luar jam, es telah mencair dan tak diam<br />tetes terukir ke takdir Anusapati <br />---putera yang menukik ke bilik duri; <br />duri yang berdiam di daging, bergasing dari tepi ke tepi<br />pucuk yang tak berhenti mengoyak kerak-kerak lampau<br />seperti angin, tak terbendung dinding<br />seperti air, mengalir dari tebing<br />seperti api, magma tersimpang di perut bumi, bunting <br /><br />lewat keris yang belum rampung dibuat<br />lewat hati yang tak pernah dirawat, <br />lewat bayi bajang maut yang tak berhenti dalam saat-<br />saat istirahat; Anusapati melunaskan kesumat<br />gunung meletus, air berarus, angin berubah lesus<br />keris pun dihunus!<br />Arok tumbang, perjamuan berhumbalang; ia sekarat<br />tapi sorot mata itu masih berkilat<br />ia meninggalkan alamat-alamat<br />seperti peta, seperti sebuah negeri dengan kawat<br />berduri…<br /><br />“sengkala telah ditiupkan sangkakala<br />tanah basah darah: lingkaran telah patah<br />segala renjana menunggu titah<br />segala pusaka bertuah air mata<br />: ruwatlah segala nubuat dengan ruwatan murwakala!”<br /><br />seperti sebuah masa depan, antah-berantah<br />ketika bahasa darah berdiwana, ketika segala luka<br />menganga ke dalaman tak terkira: <br />berabad-abad di jalan kegelapan, <br />berabad-abad disepuh riuh kesenyapan, <br />berabad-abad luka tak kunjung bisa disembuhkan<br /><br />tapi ada yang mencatat, menggurat firasat<br />ditabalkannya aksara di lelembar wasiat<br />bahwa dunia bukan di masa lewat, bahwa segala nujum<br />harus dirangkum dalam langkah dan aum<br />bahwa sebuah impian adalah kampung yang harus dibangun<br />dengan keringat, dengan melihat gurat daun-daun…<br /><br />tapi nama itu, Arok itu, bukan sekedar geletar tak tentu <br />ia bermimpi, ia melihat kilat suci dari farji sang puteri<br />ia pun menjadi suami, juga sang amurwabumi<br /><br />ketika ia diperabukan, terdengar teriakan<br />:”Inilah api! inilah inti mimpi!”<br /><br /> Surabaya, 2007mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-85186756617143837772008-11-17T22:23:00.000-08:002008-11-17T22:59:39.852-08:00Cerpen Superrealis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SSJnJw_1ziI/AAAAAAAAANo/vxrE4X9nmpk/s1600-h/surealis2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SSJnJw_1ziI/AAAAAAAAANo/vxrE4X9nmpk/s320/surealis2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269887931446054434" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kematian Matali</span><br />Cerpen Mashuri<br /><br />Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia. <br /><br />Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.<br /><br />Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.<br /><br />Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung, banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.<br /><br />“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”<br />Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan PIL, bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.<br /><br />“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur. <br /><br />Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?<br />“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.<br /><br />Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.<br /><br />“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.<br /><br />Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh. <br />“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang tok cer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.<br /><br />Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semalin tak bertenaga.<br /><br />“Perempuan itu sedang garang-garangnya...,” tutur Ngahngoh.<br /><br />“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”<br /><br />Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.<br /><br />“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.<br /><br />Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.<br /><br /> “Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.<br /><br />Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.<br /><br />“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.<br /><br />“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.<br /><br />“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.<br /><br />Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang itu. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.<br /><br />“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi. <br /><br />Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.<br /><br />“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur<br /><br />“Itu sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.<br /><br />“Hasilnya?”<br /><br />“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.<br /><br />“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul korak.<br /><br />Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka.<br /><br /> ****^****<br />Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata. <br />“Pa, kepergianmu sungguh indah...” bisiknya, lirih. <br /><br />Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-73483862553001042322008-11-11T18:12:00.000-08:002008-11-12T20:05:05.000-08:00Puisi Ngilu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SRumq30fYDI/AAAAAAAAANQ/ipfe8K2bty0/s1600-h/966692994.img.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 270px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SRumq30fYDI/AAAAAAAAANQ/ipfe8K2bty0/s320/966692994.img.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5267987444608753714" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Mashuri</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kopi Mimpi</span><br /><br />aku mencium aroma mimpi di kopimu, Sepia, seperti aku cium leher pelacurku yang tak setia. Aku lalu reguk penghabisan itu, seperti doa, yang terkubur bersama lolongan ---kubah pun tercipta dari madah buta, perihal langit yang jauh, sejauh aku telah melayari tubuhmu. Tapi di kopi itu, aku melihat jelaga yang sama, hitam yang pernah kau pesan di sebuah pagi, lalu kau jadikan selimut pada malamnya; aku menyebutnya dengan bintang rapuh, tapi kau selalu tersulut dengan kegelapan akut nan berpiuh<br /><br />ah, Sepia, jika di secangkir itu aku bisa mengukir lekukmu yang kikuk, aku akan menanamkan waktu di cerukmu: sebagaimana angin yang menulis dingin di antara kita, lalu kita selalu terjungkal ke meja yang sama, lalu bertemu untuk berpisah. Jika setia adalah kata, Sepia, aku ingin menghancurkannya di pusara pusaranku, lalu kita berenang ke tepian, sambil bercakap tentang ingatan-ingatan sorga, di sebuah purwa, meski aku tahu ingatan itu selalu memesan siksa ke lubukku, lalu membuatku berpaling dari palungmu<br /><br />Sepia, di kopi ini, dulu, aku pernah memeram mimpi, seperti aku memeram dengusmu di dadaku yang berapi<br /><br />Surabaya, 2008mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-2540991429497386282008-10-23T01:30:00.001-07:002008-10-23T01:36:08.168-07:00Ubud dalam Kenangan 1<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQA3BDxZJ2I/AAAAAAAAAMw/5dpCfeLGDZQ/s1600-h/ubud-2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQA3BDxZJ2I/AAAAAAAAAMw/5dpCfeLGDZQ/s320/ubud-2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260264856100611938" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Ajang Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) 2008 memberiku kesempatan mejeng di Museum Antonio Blanco.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-67419964290020229062008-10-23T01:17:00.001-07:002008-10-23T01:29:51.455-07:00Ubud dalam Kenangan 2<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQA1LaPd2iI/AAAAAAAAAMo/eJn59iPgNbM/s1600-h/ubud-1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQA1LaPd2iI/AAAAAAAAAMo/eJn59iPgNbM/s320/ubud-1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260262834907765282" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Di antara Faizi, Dino Umahuk dan Iyut Fitramashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-73618958499995466972008-10-23T01:07:00.000-07:002008-10-23T01:17:10.581-07:00Ubud dalam Kenangan 3<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAyyHYTyqI/AAAAAAAAAMg/0-BBn8vikzo/s1600-h/ubud-4.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAyyHYTyqI/AAAAAAAAAMg/0-BBn8vikzo/s320/ubud-4.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260260201324595874" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Ada Guntur, Bang Iyut, Dino Umahuk dan PW. Di belakang media centre yang ciamikmashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-77744757617476012922008-10-23T00:52:00.001-07:002008-10-23T01:07:31.975-07:00Ubud dalam Kenangan 4<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAwBpRjRfI/AAAAAAAAAMY/4-w0giVe_Ig/s1600-h/ubud-9.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAwBpRjRfI/AAAAAAAAAMY/4-w0giVe_Ig/s320/ubud-9.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260257169586210290" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Bersama Bang Iyut Fitra dan Mas Triyanto Tiwikromo. Sebuah siang, di Alila yang merangsangmashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-83817880277804911942008-10-23T00:43:00.000-07:002008-10-23T00:52:10.733-07:00Ubud dalam Kenangan 5<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAsD0HiKDI/AAAAAAAAAMQ/JF7oKPcxW0s/s1600-h/ubud-11.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SQAsD0HiKDI/AAAAAAAAAMQ/JF7oKPcxW0s/s320/ubud-11.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260252808810211378" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Ubud Writer and Reader Festival 2008 memang udah usai. Ada kenangan yang tergurat di hati. Di latar belakang itu, ada Kadek, Ina, Pak Tohari dan seorang penulis Malaysia.mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-59252232648442847282008-10-06T21:30:00.004-07:002008-10-07T00:33:23.303-07:00Sesobek Komentar Puisi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SOrn_b7-avI/AAAAAAAAAMA/bN8SlfID_Rk/s1600-h/neosurrealism.artdigitaldesign.com5.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SOrn_b7-avI/AAAAAAAAAMA/bN8SlfID_Rk/s320/neosurrealism.artdigitaldesign.com5.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5254266992298191602" border="0" /></a><br /><b><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:130%;">Inti Puisi Adalah Dekonstruksi<br /></span><o:p></o:p></b><div style="text-align: left;"> </div><b><br />(Epilog Untuk Buku Puisi Javed Paul Syatha )<o:p></o:p></b> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; text-align: left;"><o:p> </o:p><br /><span style=""></span>Oleh Mashuri</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p><br />Kawanku Paul yang baik</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Aku telah membaca sajak-sajakmu. Ketika kau bagi sajakmu menjadi tujuh bagian, aku teringat pada martabat sab’ah karya Al Burhanpuri, juga teringat pada maqomat tujuh dalam dunia sufi: sebagaimana Athar melukiskannya dengan sangat baik dan imajinatif dalam: mantiq at thair. Aku berkata begitu, karena sajak-sajakmu mengajakku berenang ke dunia ‘dalam’ itu, sekaligus menyelaminya. Meski terus terang, aku ingin menolaknya. Entah kenapa aku selalu merasa belum waktunya untuk menyelam ke dunia yang selalu bersintuh dengan riuh langit itu. Aku masih terlalu gandrung pada ‘karang langit’: terjal tapi menggigit.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Namun, ketika aku berusaha untuk bertaklimat pada maqomat tujuh dalam kumpulan sajakmu, aku pun tahu, bahwa tujuh di situ bisa jadi hanya pembagian teknis semata, tanpa tendensi ke arah <st1:city st="on">sana</st1:city> (tapi tak menutup kemungkinan juga ke arah <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city>). Memang, membaca puisi dan merasa sok pintar dengan konsep-konsep yang sudah ada, marak dan berjejalan di luar puisi adalah sebuah kebodohan dan kepongahan. Puisi memiliki logikanya sendiri, yang tentu saja menolak untuk dijajah atau ditundukkan dengan konsep-konsep lain di luar dirinya. Puisi akan lebih bernilai jika didekati dengan logika puisi.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Meski begitu izinkan aku untuk masuk ke sajak-sajakmu dengan pendekatan sufi itu, karena ada beberapa hal yang terasa ‘berharga’ dan pas bila aku memasukinya lewat itu. Pun pintu dan jendela yang disediakan oleh sajak-sajakmu mengarahkanku pada dunia itu. Tentu aku tidak ‘lepas landas, karena perangkat puisi masih tetap di kedua genggaman tanganku.<span style=""> </span>Seringkali aku berkata pada orang-orang bahwa ketika seorang penyair sudah sampai pada inti, maka ia berjajar dengan sufi. Tapi ruang keduanya berbeda. Sufi adakah sufi, sedangkan penyair-sufi adalah seseorang yang telah mengetahui sumsum dan darah bahasa. Orang yang kelewat keras kepala untuk menukik ke lubuk dasar kemanusiaan lewat bahasa. Ia sudah mengenal hakekat penciptaan bahasa, yang Tuhan sendiri juga menggunakannya untuk menciptakan alam raya dan seisinya dengan sabda: ‘Kun!’</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Tapi Paul yang baik, seringkali kita memang terjebak pada kesufian penyair dari sudut pandang yang lain. Kesufian penyair yang karena ia menulis puisi-puisi sufi. Tentu dalam hal ini kita patut untuk takut dan ngeri karena bagaimana pun jiwa seorang penyair tak bisa sebersih jiwa sufi. Kedalaman seorang penyair dalam menyelami dunia ketuhanan tidaklah sedalam seorang sufi. Penyair hanyalah seorang yang begitu naïf untuk mereguk kesempurnaan lewat bahasa, sedangkan dirinya masih terkokang oleh nafsu badaniah semata. Dan, aku selalu menempatkan diri sebagai penyair itu.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Aku sendiri juga sangat takut terjebak dalam pusaran samudera ilahiah ini, karena aku begitu takut disebut sebagai seseorang yang sudah sampai pada pencapaian inti pencarian, sedangkan aku masih berkumpar pada masalah bahasa. Bukankah bahasa hanyalah ‘alat’, sedangkan inti atau maksud sebenarnya adalah yang tentu sangat berbeda dengan alat itu. Jika diibaratkan sebagai sebuah jalan dengan rambu, maka bahasa hanyalah rambu penunjuk arah, sedangkan arahnya sendiri masih jauh di depan. Tentu kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang diamalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi, yang terus berputar dalam tariannya dengan mulut yang tak henti alirkan syair, lalu murid-muridnya mencatatnya. Itu kondisi fana’ yang sesungguhnya, sedangkah aku sama sekali tak seperti itu. Aku menulis syair karena rasa pukauku pada perempuan, pada keindahan dunia, pada sesuatu yang sementara. Aku menulis syair sebagai sembah baktiku sebagai seseorang yang bergulat dalam bahasa dengan segala kontradiksinya.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Mungkin itu hanya gelisahku sendiri, Paul. Yang jelas, begitu membaca sajak-sajakmu, aku bisa tersenyum. Meski aroma sufi begitu kental dan meragi, tapi sajak-sajakmu masih sangat manusiawi, masih melambangkan pergumulan seorang anak Adam untuk menuju kesempurnaan. Di dalamnya, terdapat berbagai pertanyaan, masalah, godaan, juga hal ihwal yang bernama dunia, daging dan ingin. Aku suka sajak-sajakmu. <span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Meski di beberapa bagian juga aku sering masuk ke dalam ‘sumur’ yang kau ciptakan yang membuatku basah dan sunyi. Kata-kata yang kau gunakan sepanjang sajakmu membuatku turut larut dalam pencarianmu. Aku bertemu: ‘assalamualaikau, hijrah, mi’raj, dan hijab (Muqadimah), munajad, ayat, dzikir (munajad), sidrah, jibril, Muhammad, shalawat, salam, sahadat, rohani (jadzab), maqom, amien (Doa Gembala), syahadat, tahiyat, rekaat, bismillah (Lanskap Telunjuk), tawassul (langit bermata senja). Untunglah di puisi berikutnya kau bisa terlepas dari kata-kata itu, sehingga kau seperti seorang pecinta yang bebas tak terbelenggu majas-surgawi. Soalnya, begitu aku bertemu dengan diksi-diksi penuh pukau langit itu, aku seperti terbentur batu. Metafora itu terlalu keras dan utuh bagiku. Sedangkan aku mencintai metafora yang mencair yang bisa luruh dan berenang di pembuluh darahku.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Di sajakmu <i>Muqadimah</i> aku menangkap bahwa sajak-sajakmu memang kau cipta dalam kesadaran seorang salik: </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; font-style: italic;"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >aku datang sebagai anjing </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;font-size:130%;" > </span><span style="font-style: italic;font-size:130%;" >berpijak di kegelapan purna!</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=";font-size:100%;" >Metaforamu cukup menarik dan memiliki basis kultur yang terukur. Sungguh, kita memang anjing, Paul. Jika kau mendaku begitu, aku bisa memahaminya.Tentu kita tak bisa membayangkan seperti anjing Ashabul Kahfi (Qitmir), yang masuk surga meski telah tertidur beratus tahun di goa. Kita mungkin seekor anjing kumal yang kehausan di tengah <st1:city st="on"><st1:place st="on">padang</st1:place></st1:city> dan menunggu seorang pelacur mengambil air dari sebuah perigi dengan kaos kakinya, sebab kita berpijak pada kegelapan purna (tanpa tahu arah, bukan?) Dalam sajak Munajad, gelap pun membayang, bukan? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; font-style: italic;"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >kekasih </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >gelap ini </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >kugenggam </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >munajad </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >serapuh </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >ranting</span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-style: italic;font-family:Garamond;font-size:130%;" >hati</span></p><p class="MsoNormal"><br /><span style="font-style: italic;font-family:Garamond;font-size:130%;" > </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-size:130%;" ><span style=""> </span><span style=""> </span><span style="font-size:100%;">Pun kau masih berusaha ingkar.</span> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" lang="IN" ><br /></span></p><p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" lang="IN" >aku nelayan itu </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" lang="IN" >bukan nabi </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" lang="IN" >yang menggambar jejak </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-style: italic;font-family:Garamond;font-size:130%;" lang="IN" >pasir putih.</span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="">Aku juga menangkap beberapa jejak penyair kita (baca: <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>) di sajakmu. Perihal kata sambung yang digandeng, mengingatkanku pada Dorothea.Juga perihal kata-kata adiluhung mengingatkanku pada Kuswaedi Syafii, baik dalam Pohon Sidrah maupun Tarian Mabuk Allah. Aku juga menemukan jejak Rumi di situ. Meski begitu, aku suka mendekati puisi-puisimu seperti karya Atthar dalam Mantiq At Thoir. Di situ, juga digambarkan dengan perjalanan Simurg melayari tujuh lembah pencarian. Karya Atthar memang berbincang tentang kembara ruhani, seperti ziarahmu untuk selalu mencari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="">Aku suka sajak-sajakmu di bagian <i>Ziarah Cinta</i>. Sajak-sajak yang telah tumbuh dewasa. Sajak-sajak yang bisa menyimpan maksudnya dengan rapi dan membangun dunia tersendiri. Aku merasa sajak-sajakmu dalam bagian ini berbeda dengan di awal-awal. Dalam Ziarah Cinta, aku menangkap semangat sajak-sajakmu dalam bagian Lazarus. Sajak-sajak itu juga tumbuh dewasa. Aku senang karena sajak-sajakmu bisa diajak bercanda dan seringkali membuatku tak terjatuh ke lubang sumur yang kau gali dan terbentur batu di dasarnya, sebagaimana sajak-sajak awal. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> beberapa pencanggihan dan pemutakhiran teknik di dalamnya. Sajak yang bisa diajak untuk bermain tafsir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style="">Ada</span></st1:place></st1:city><span style=""> sebuah sajak sederhana dalam bagian <i>Ziarah Cinta</i> yang mengingatkanku pada semangat Zen. Mirip haiku Jepang. Meski sederhana, tapi menarik, meski tarikan jatuh ke arah klise juga demikian kuat. Alegorinya cukup asyik. Judulnya <i>Pelukis Sepi</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <h3 style="text-align: left; font-style: italic;" align="left"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >Pelukis Sepi<o:p></o:p></span></h3> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" ><o:p> </o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >lukis saja burung terbang</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >dalam kanvas burammu</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >agar anganmu pun melayang</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >atau,</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >setidaknya kau tak lagi</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >melukis sepi </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; font-style: italic;"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >sebagai pengembara <o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >dan hanya bisa bermimpi.</span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><i><span style=";font-family:Garamond;font-size:11;" ><span style="font-style: italic;font-size:130%;" >Lamongan, 2003</span><o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Paul yang baik, dari tujuh bagian sajakkmu, mungkin bagian <i>The Lamongan Soul</i> yang agak berbeda. Kau bertaruh pada sesuatu yang nyata. Aku pun memakluminya karena bagaimanapun seorang penyair tak bisa alpa dari kampung halamannya.Jika ia pergi jauh, maka kampung halaman itu adalah oase tempat ia istirah untuk mereguk sejuk air dari sebuah perjalanan panjang nan kerontang. Jika ia dekat dan selalu bergumul, maka kampung halaman (yang di dalamnya terdapat ingatan, kenangan, pengalaman dan lain-lainnya) adalah tempat mengasah kepekaan yang tak tertandingi. Ia adalah harta karun bagi penyair.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Tapi yang mengganjal di hatiku adalah kau menggunakan kata Inggris untuk menyebut ‘jiwa’. Meski di puisimu yang lain kau menggunakan judul Inggris, tapi dalam bagian ini jelas menyimpan sebuah ‘kesan’ yang lain. Itu memang hak prerogratifmu sebagai seorang pengarang, tapi jika itu aku maka aku akan menggunakan kata ‘atman’ atau ‘sukma’. Hal itu lebih senada dengan enam bagian sajakmu lainnya. Jika kau mengangankan puisimu ini sebagai sebuah komposisi simponi, maka kau telah menciptakan sebuah ‘disharmoni’. Jika itu memang kau sengaja, ah alangkah indahnya. Tentu indah di sini adalah alternatif dari sebuah simponi yang merusak harmoninya sendiri (komposisi simponi dengan citarasa postmodern). Dengan kata lain, di dalam harmoni juga menyimpan disharmoninya dan itu bukanlah cacat ciptaan tapi niscaya. Mungkin aku terlalu udik dalam hal ini. Maafkan, kelancanganku. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""> </span><span style=""> </span>Meski begitu, aku suka diksi yang kau gunakan dalam puisimu <i>Kali Lamong</i>. Terasa benar Lamongan-nya. Aku suka musik yang tercipta dari diksi-diksinya. Terkesan otentik dan menggelitik. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >sementara bocaboca telanjang mengarungi </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >jeram riciknya </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >dengan sorai nyanyian</span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Garamond;font-size:130%;" >dengan rumbaian dan tambang </span><span style=";font-size:130%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=";font-family:Garamond;font-size:11;" ><span style="font-style: italic;font-size:130%;" > </span><span style="font-size:130%;"><span style="font-style: italic;">ingin membangun jembatan</span></span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Sampai di sini dulu, Paul, kawanku. Maafkan aku yang dalam kesempatan ini kurang bisa berpanjang lebar menggelar sajak-sajakmu di ruang rasa dan pikiranku. Semua itu karena keterbatasanku. Jika kelak masih ada waktu, aku ingin bertemu dengan sajak-sajakmu dalam kesempatan yang lain sehingga aku bisa mengirimkan kembali <st1:city st="on"><st1:place st="on">surat</st1:place></st1:city> cinta, yang lebih panjang, mendalam dan karib. Sebuah <st1:city st="on"><st1:place st="on">surat</st1:place></st1:city> cinta yang tetap meyakini bahwa dekonstruksi adalah inti puisi.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Siwalanpanji, 2008</p>mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-658174819498565146.post-35569572857224815612008-10-06T21:15:00.000-07:002008-10-06T21:28:48.995-07:00Esei Kritik Sastra<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SOrkEsMlsxI/AAAAAAAAALw/ofjo9oSgjrQ/s1600-h/2006022804_The_Dangerous_Liaison_magritte18q.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bs25Q7pfwP8/SOrkEsMlsxI/AAAAAAAAALw/ofjo9oSgjrQ/s320/2006022804_The_Dangerous_Liaison_magritte18q.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5254262684515676946" border="0" /></a><br /><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br /></b></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b><br />Jalan Simpang Kritik Sastra di Jawa Timur (Juga Indonesia) <o:p></o:p></b><br />Oleh Mashuri</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">“Seorang kritikus sastra adalah seorang sastrawan yang gagal,” demikian pernyataan seorang pesastra <st1:city st="on">Surabaya</st1:city> yang menjadi moderator dalam sebuah bedah buku di TB Gramedia, <st1:place st="on"><st1:placename st="on">Delta</st1:placename> <st1:placetype st="on">Plaza</st1:placetype></st1:place>, beberapa waktu lalu. Pernyataan itu menerbitkan sebuah tanya sekaligus renungan yang dalam. Apalagi ‘ekologi’ sastra di Jawa Timur terbilang timpang, di mana porsi produk karya tak seimbang dengan kritik sastra.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Sebuah ekologi sastra dikatakan berimbang, jika rasio antara penulis, karya, pembaca dan kritikus sastra juga berimbang. Di Jawa Timur, kondisinya cukup memprihatinkan karena karya sastra terus tumbuh, baik itu bergenre prosa maupun puisi, tapi kritiknya langka. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> memang kritikus, tapi lebih banyak yang mengulas karya-karya yang sudah dianggap canon sastra. <span style=""> </span>Padahal posisi kritik sastra dalam sebuah lingkungan sastra sangat penting, sepenting posisi sastrawan sendiri.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Kegunaan kritik sastra meliputi tiga hal utama, yaitu kegunaan pada ilmu sastra, penerangan/jembatan pada masyarakat/pembaca dan bagi perkembangan kesusastraan. Jadi kritik dalam dunia sastra bukanlah mencemooh atau menimbang baik dan buruk saja, tapi juga mengungkap sisi tersembunyi dan sisi yang tak tertangkap oleh pembaca umum/awam yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Selain itu, kritik sastra juga berguna terhadap ilmu sastra karena dari kritik inilah dimungkinkan muncul teori sastra baru. Begitu pun dengan perkembangan sastra, karena dari kritik inilah sangat mungkin muncul sejarah sastra baru dan bisa menjadi tolak ukur perkembangan sastra. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b>Anggapan Keliru<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Selama ini, ada anggapan salah di publik kita, bahwa kritik selalu berorientasi negatif, padahal dalam sastra kritik adalah tafsir dan takwil pada karya. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> kalanya sebuah karya dalam dunia sastra itu terlalu berat bagi pembaca awam, karena mengandung pemikiran-pemikiran dan gagasan yang mempertanyakan kemapanan dan seringkali berlawanan dengan selera publik. Maka, tugas kritik sastra adalah mengungkapkan dan menerangkannya. Di sisi lain, ada pula karya sastra avant garde yang mendahului jamannya sehingga pembaca pada masanya tak bisa memahami karya itu, maka kritik sastra sebagai jembatan. Dalam posisi ini, seorang kritikus adalah sosok yang cerdas. Dalam sejarah sastra <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, hal itu sudah terbukti. ‘Chairil Anwar’ yang ditemukan oleh kritikus sastra HB Jassin adalah peristiwa yang bisa dijadikan pijakan seberapa pentingnya kritikus sastra dalam dunia sastra. Jassin melihat dalam puisi dan diri Chairil Anwar mengandung sesuatu yang bernilai bagi (kesusastraan) <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Dalam tataran ini, seorang kritikus bukanlah orang yang gagal dalam berkarya, sebagaimana <span style=""> </span>pernyataan pesastra <st1:city st="on"><st1:place st="on">Surabaya</st1:place></st1:city> yang dikutip di awal tulisan ini. Kritikus sastra adalah seorang yang mememiliki kecerdasan istimewa yang bisa menafsirkan karya secara proporsional dan menggali makna dari kapasitas karya. Bahkan bisa melihat hal-hal tersembunyi yang bisa jadi tak terpikirkan oleh sastrawannya. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> beberapa contoh kritikus sastra seperti itu. Misalnya, jika berkaca pada kritikus dan ahli sastra dunia Edward W Said, maka kita sungguh akan terperangah. Ahli sastra perbandingan dari Universitas Columbia itu mengungkap ideologi beberapa karya sastra Eropa yang ternyata menyimpan maksud tersembunyi, semacam kolonialisme. Dari kritiknya, ditemukan teori orientalisme yang demikian mendunia dan mempengaruhi beberapa ilmu lainnya, termasuk filsafat, sosial dan kebudayaan yang luas. Selain itu, Roland Barthes, pemikir dan ahli sastra dari Perancis, dalam sebuah tulisannya menyebutkan, seorang eseis dan kritikus seni juga seorang ‘sastrawan’. Ia telah membangun sebuah dunia dari teks-teks dan memperlakukan teks itu sebagai sebuah kesenangan dan karib. Dari beberapa contoh itu kiranya kritikus sastra bukanlah orang sembarangan.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Bisa jadi ungkapan ‘kritikus adalah sastrawan yang gagal’ adalah sebuah ‘black humor’ dalam kehidupan kreatif sastra dalam sebuah ekosistem sastra. Sungguh itu hanyalah sebagai sebuah humor semata. Bisa jadi, humor ini bermula dari kiprah HB Yassin yang dikenal sebagai kritikus sastra Indoesia berwibawa yang menekuni kritik karena karya-karyanya dianggap gagal. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><b>Sastrawan Sekaligus Kritikus<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Jika kita melihat daftar sastrawan kita lebih banyak yang merangkap juga sebagai seorang kritikus sastra dan dikenal sebagai kritikus yang handal. Dari Jawa Timur bisa dilihat pada sepak terjang Budi Darma. Penulis novel mashur <i>Olenka</i> ini tidak hanya seorang sastrawan, tapi juga ahli sastra dan seorang kritikus sastra berwibawa. Selain itu, dari kalangan sastrawan Jawa Timur bisa dilihat pada kiprah Akhudiat, Bonari Nabonenar, Moh. Shoim Anwar, Budi Palopo, Tjahyono Widiyanto, Tjahyono Widarmanto, S Yoga, Ribut Wijoto, Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, Achmad Faisal dan lainnya. Sedangkan dalam jagat sastra Indonesia, sekadar menyebutkan adalah Sapardi Djoko Damono, Soebagio Sastrowardoyo, Goenawan Muhammad, Afrizal Malna, Abdul Wahid BS, dan lain-lainnya. Umumnya kritik sastrawan bukanlah pada karya sendiri tapi pada karya orang lain dan perkembangan sastra.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Kiranya bukanlah sesuatu yang tabu bila seorang sastrawan juga merangkap sebagai kritikus sastra. Ini bisa dijadikan solusi bagi kelangkaan krikitus sastra di Jawa Timur. Selain untuk menyeimbangkan ekosistem sastra di Jawa Timur, bisa juga digunakan untuk menyampaikan gagasan, ide dan pemikiran sastranya. Seorang sastrawan yang cerdas memang harus bisa merumuskan gagasannya dalam berkarya, karena sastra adalah dunia pemikiran dan gagasan dan bukan sekedar pengrajin kata-kata.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Sebenarnya kelangkaan kritikus sastra di Jawa Timur adalah kasus laten dalam kesusastraan <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Meski demikian, bukan berarti kita harus mengamini mati suri kritik nasional itu sebagai biang langkanya kritik sastra di Jawa Timur. Hal itu karena wadah untuk menjadi seorang kritikus sastra di Jawa Timur terbuka dengan lebar. Tidak hanya jurnal-jurnal ilmiah yang banyak, mengingat cukup banyak fakultas sastra di Jawa Timur dan maraknya lembaga kebudayaan, tapi media <st1:city st="on"><st1:place st="on">massa</st1:place></st1:city> umum yang bisa menampung tulisan kritik juga tersedia. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Selama ini ada beberapa kritikus sastra yang sudah dikenal di Jawa Timur, tapi sangat jarang yang berusaha untuk membahas karya-karya sastra yang tumbuh, berkembang dan berlatar sosio-kultur Jawa Timur. Sebenarnya, dari sini, juga menerbitkan beberapa tanya: Pertama, benarkah karya-karya sastra di Jawa Timur yang regional itu belum layak untuk dibahas dan disejajarkan dengan karya sastra yang bertaraf ‘nasional’. Kedua, bukankah karya bagus mulai bermunculan di Jawa Timur dan beberapa sastrawan Jawa Timur sedang naik daun dan menjadi perhatian publik dan disorot media nasional. Ketiga, apakah masih pas untuk saat ini dalam memilah antara regional dan nasional. Kiranya, waktu yang akan menjawabnya. Yang penting, habitat sastra di Jawa Timur harus seimbang, sehingga rotasi pengetahuan bisa berjalan dengan harmonis, nyaman dan kehidupan pun semakin indah dan bergagasan. (*)</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=""> </span></p>mashurihttp://www.blogger.com/profile/05164790978859170837noreply@blogger.com1