Kamis, 27 November 2008

Sajak Yang Berkisah













Sajak Mashuri

Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi
aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi
juga secangkir kopi
di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari
di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus
hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan
---api dengan jalang mengamuk rumah bordil
para perempuan hibuk berlari sambil bugil
tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang
kini, jiwaku pun menggigil
aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi
aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli
aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku
aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing
yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;
ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium
bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…
aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu
masuk surga”
aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga
kucing dan anjing yang berkejaran di perutku
yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Seorang Perempuan Muda untuk Hari Tua


perempuan berkulit kencana itu menata batu di hatimu
meski jemarimu jompo untuk menyangga lengan mimpi,
kau masih bermimpi: kau seorang pangeran teruna
menunggang kuda putih, mengokang senapang
ke arah rusa berlari kencang
---dan begitu banyak penjudi yang bertaruh
rusa itu dirimu atau perempuan muda itu

tapi sesumbarmu membuat seluruh hutan beku:
‘akulah pemburu yang rakus daging mentah
lihatlah betapa batu-batu itu telah menjadi rumah
tempatku bertolak dan berpulang…
aku akan membidik binatang itu tepat di kelaminnya
agar kelelakianku bisa bersuara….’

tapi siapa percaya pada suara yang keluar
dari kerongkongan renta ---suara yang tak bisa menyapa
dirinya sendiri
bahkan kulitmu pun kertas tisu bergelambir
dengan kaki seperti mesin yang harus langsir

setelah telanjang
dan kau menyaksikan tubuh perempuan itu kejang
sendiri di ranjang
ia pun berbaju
zirah, mengiringi keberangkatanmu yang terbata
ke rimba buruan, tempat anganmu berpulang
pada kelamin lecet
sambil bernyanyi ‘gugur bunga’
yang terpeleset
‘telah gugur kejantananku….’

kau menatapnya dengan mata terpejam
dan berangan baju logam itu tenggelam ke lautan asam
dan kau bisa menyaksikan sebentuk tubuh melepuh
dan erangnya membuat seluruh sendimu rapuh

---para penjudi mengangkat cawan arak,
bersulang pada jejak
: tubuhmu berubah
ditumbuhi bulu, berjalan merangkak
dengan kemaluan bengkak oleh peluru…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Peristiwa Luka


di akhir 1400, kau mencatat peristiwa luka
--ingatan-ingatan dihancurkan, kata terpenggal,
juga rindu terjungkal ke kelam waktu…
apa yang tersisa, kecuali senyap yang kelewat batas
kecuali harap yang kelewat gelap
juga abjad-abjad membatu…

ada yang beku di ubunmu
seperti tetes es ---yang tak mungkin mencair
meski matahari kau undang sebagai tamu
dan duduk di tamanmu

tapi kau mencatat lewat bibir bertabir
lewat sakit yang berulir, juga nestapa yang memuncak
ke batas tiada ---duka yang tak pernah berbilang
angka
kisah-kisah itu tumpah ruah
tapi terusir ke pinggir tanah
terguling ke kawah
yang dengan hikmat kau sebut sejarah

kau lihat panji lain berkibar
sebentuk bibir berikrar: sebuah dunia baru
yang tumbuh dengan sayap-sayap kekar
telah memacu nadi untuk lari atau berposisi

di akhir 1400 itu, kau lihat angin menggunting
pohon asam
sebatang tumbang di tepi jalan
sebatang lain ditanam di gigir pegunungan
lewat desir nyiur, kau saksikan pesisir mengalir
dan matamu pun berair, karena anyir darah
tak kunjung bersudah
dari pelupukmu yang berwindu gelisah

agar kau lupa lara, kau khianati diri
sambil terus bersetia melabuh mimpi
meski lewat sepi
lewat cakap tak terkatakan, tak terwartakan
dengan gerak dan pandang
bahkan cukup hanya dengan diam

Surabaya, 2008

2 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

salam
saya bertandang
sajak mengigit

mashuri mengatakan...

tengs kawan! bagaimana perkembangan puisi Anda?