Jumat, 11 April 2008

Sajak Cinta

Puisi Mashuri

Lorong Tak Berujung

rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
sambil mencecap remah roti, menuang anggur ke cawan
malam, dan membunyikan lonceng
tanda kebaktian
di buih yang memutih, dan selalu ada, aku menangkap
maut ---seperti kepastian ombak yang tak lelah gerak
mencari jejak, berburu tenang
yang terbuai di tepian…
tapi sungguh
bukan itu yang aku kenang; bayangmu seperti liliput
yang bertabir kabut
dan aku tercuri dari waktu
dan rahasiamu masih saja mengasingkanku
di haluan, di buritan, aku hanya menangkap permukaan
ah, sungguhkah aku harus memburu bayangmu
di balik gelombang ---yang bisa menawanku dalam ragu
karena geraknya tak tentu
kelak, aku pun tetap bisu, pulang dengan kehampaan
sambil bersandar di pelabuhan
dan semakin terasa asing di goa
pencarianku
tapi sungguh, aku bukan musa yang terbakar di tursina
aku hanya pelaut yang berburu bayangmu
dan berharap, rahasiamu tercetak di pasir-pasir pantaiku
bak perempuan bertubuh perak

Surabaya, 2008

Puisi Mashuri

Tanjung Kodok, Cintaku

di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu
cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah
terjarah, doa-doa percuma
dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi
aku pun asing pada tanah sendiri
aku lalu lingkarkan pena di mata arca
di gapura
berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal
aku menyelam di matanya, membuka luka lama
tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu
aku pun terlontak ke lalu dengan tubuh kaku

aku beri sesaji di pipinya yang letih
tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia
cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa
dan membangkitkan bau tanah

tanah asing kembali bergasing
cintaku pun berpusing dari relief ke relief
yang kini tinggal tebing ---sungguhkah di sana, abjad
terpahat, atau hanya sekelebat jemari
yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman
agar kini bisa melaut ke kabut
dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…

sungguh rinduku masih berderap
meski waktu memalung dan gelap
di sisi karang, di ujung tanjung,
aku pun menemukan secuil jawab
cintaku mengekal di batu apung
yang disangga laut dan lembah lembab

di situs itu, aku pun menawar luka rindu
dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir
nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut
tapi lagu siul agar angin tak bersiut

di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir
ia bagai penyihir yang berharap kejaiban
agar batu kapur itu hidup dari dengkur
lalu berkisah tentang harapan dan cinta
terlarang, sebagaimana kisah-kisahku
yang ditabukan waktu
dan kini diburu rindu

Lamongan, 2008

Puisi Mashuri

Hujan Bulan Februari

jangan berharap hujan dari nyanyian
karena hujan dipantangkan datang ketika malam menjelang
apalagi kita sendiri…
tengoklah di jendela, cuaca seperti babi bengkak pantatnya
kau akan tahu seberapa siksa bakal berlaksa
ketika di kaca tertera tanda basah
lalu orang-orang berlalu lalang dengan perahu
sambil berteriak: ‘jangan biarkan anjing berlalu’
kita bukan anjing itu, kita hanya pesakitan
yang tak bisa lepas dari nafas hujan
kita selalu berharap ada yang berderap di atap
lalu kita menyanyi, mengusir sunyi ke dalam diri
sambil terus memelototi partitur yang hablur di udara
dan kita hisap tanpa suara…
tapi kini jangan berharap hujan atau memanggilnya
dengan nyanyian
biarkan ia lewat tanpa permisi, agar kita tak tahu
dan tak merasa kehilangan
biarkan ia tetap sebagai awan

Surabaya, 2008

Tidak ada komentar: