Jumat, 12 September 2008

Cerpen Ngawur 2005




















Cerpen Mashuri

Penjaga Warung dan Biduanita Panggung

Hampir ke-100 kali, Barda menambatkan matanya di jam dinding yang berdetak, serak. “Tinggal lima menit lagi,” batinnya. Tetapi pengunjung warungnya seperti aliran air di pelimbahan saat hujan deras mencurah dari mendung hitam di langit. Satu orang pulang, lima orang datang; begitu seterusnya dan terpaksa terus menguras waktu dan perhatian Barda.

“Empat menit lagi, warungku tutup!” begitu ia memperingatkan pelanggannya, yang tak lain masih tetangga dan penduduk sekota. Tetapi kuping orang-orang sudah demikian budek, dan tak menghiraukan peringatan. Bahkan, pesanan teh, kopi dan susu mengalir tak terbendung. Sepertinya, mereka di rumah memang tak pernah diurus oleh istri-istri mereka, sehingga harus numpang di warung. Bisa jadi istri mereka sedang berlomba, bersepeda atau memacu kuda di pacuan, untuk menambah penghasilan keluarga.

“Dasar lelaki pemalas, lelaki takut istri!” umpat batin Barda, malam itu.

Barda sudah bertekad, apapun yang terjadi, bila jam tujuh kurang satu menit, warungnya harus tutup. Segala hal di dunia, termasuk pelanggannya, tak bisa menghalanginya untuk berlari secepat kilat. Meski dunia di balik pun, ia tetap bersikeras akan melakukan rencananya. Tetapi, begitu waktunya hampir sampai dan kurang lima detik, walikota dan rombongan datang ke warungnya, karena selama ini pembesar itu juga termasuk pelanggan setia Barda.

Secepatnya Barda mengambil langkah agar ada alasan untuk menutup warungnya dan membuat orang yang berada di warungnya itu pergi, sehingga dia pun bisa pergi. Tak peduli itu walikota. Begitu walikota duduk di bangku, ia langsung membesarkan kompornya, lalu pamit pergi beli gula dan kopi. Begitu ia berjarak 7 meter dari warung, ia sudah mendengar orang-orang berteriak: “api, api, api!”

Barda berlari, tetapi bukan untuk memadamkan api yang semakin besar melahap warungnya dan membuat satuan polisi pamong praja sibuk mengamankan walikota. Ia lari menuju gedung pertunjukan teater di seberang kali. Ia tak ingin ketinggalan melihat sang biduanita pujaan hatinya, Dian, manggung dan memerankan peran dari sebuah lakon “Lysistrata”. Memang, malam itu, grup opera Dian sedang menggelar pentas opera garapan terbaru.

Ia langsung ke loket dan beli karcis. Karena datang telat, ia pun mendapat nomer buntut.

“Dasar warung sial!” ia menggerutu.

Ia mendapatkan tempat duduk paling buncit. Dengan tekad baja, ia langsung merengsek ke depan, petugas pengatur tak digubrisnya. Ketika ia beberapa kali menginjak kaki, atau menyenggol tubuh penonton lain, ia akan bilang: “Maaf, saya ingin melihat kekasih saya main, dia adalah Dian,” dan ia tak lagi menghiraukan apakah yang ia senggol atau tabrak tadi itu lutut, tangan atau bahkan payudara perempuan. Ia tak lagi merasakan beda antara tumpul, kenyal atau semrawut. Pikiran dan perasaanya tertuju hanya satu: Dian.

Ia pun mendapat tempat, tapi duduk di bawah kaki penonton paling depan.“Maaf, kaki saya masih saya pakai, mohon jangan diduduki!” demikian bisik si penonton itu.

“Maaf juga. Kalau kakinya masih dipakai, ya mohon diselamatkan sendiri, soalnya di pantat saya ada guntingnya,” balas Barda.

Percakapan yang bermutu ancaman dan beralur baku hantam itu pun surut, begitu pentas dimulai. Dian muncul dengan gaun putih panjang. Kecantikannya langsung mengguncang. Ia langsung unjuk diri: suaranya yang memang merdu dan berdaya hipnotis langsung menyihir hadirin. Mendengar suara Dian, Barda hampir pingsan, untung saja penonton yang kakinya dia duduki beberapa kali menjejak kepalanya dengan keras, sehingga ia tetap bisa bangun dan tersadar.

Begitu pentas opera selesai, ia langsung menghambur ke balakang panggung, sambil membawa kertas tisu, serta sekuntum mawar yang disabotnya dari seorang pengunjung.

“Dian sedang istirahat, tak bisa diganggu,” tegas petugas keamanan pentas.

“Maaf, saya kekasihnya, saya harus masuk, kalau tidak maka seluruh hidup saya akan sia-sia. Jika anda tetap bertahan, maka anda telah menghukum seseorang dengan kesia-siaan, dan itu adalah tindakan terkeji. Meski anda adalah seorang awak pentas dari sebuah grup yang menjunjung tinggi nilai cinta, keindahan dan kemanusiaan, ternyata tabiat Anda tak lebih hanya seorang yang suka membuat sesama menderita!” tandas Barda.

“Silahkan, ternyata anda lebih dari kekasihnya!” tegas si petugas keamanan, karena ia merasa kalah berdebat soal makna keindahan.

Begitu Barda masuk ruang ganti. Suasana di luar gedung ramai. Suara gaduh, suara tangis, jerit bercampur menjadi satu. Di seberang sungai, api menjalar menghabiskan kota. Rumah-rumah penduduk ludes. Ternyata sumber kebakaran itu warung Barda. Petugas kebakaran sudah dikerahkan semua, tetapi api sepertinya tak juga surut, bahkan berbiak, berpinak dan menjadikan semuanya lantak. Walikota sampai kehabisan akal untuk menangani terjangan api dari warung Barda.

“Bagaimana ini Pak Walikota?” tanya seorang warga.

“Bagaimana dengan harta saya, rumah saya dan segala yang saya punya?” keluh warga lainnya.

“Bagaimana dengan anak dan menantu saya yang sedang malam pertama?” tanya seorang warga lainnya.

Tiba-tiba kepala walikota terasa memberat. Untunglah, ada sebuah pertanyaan dari warganya yang mengingatkan dia pada sumber petaka.

“Api ini sumbernya dari mana?” tanya warga itu.

Walikota langsung memanggil stafnya semua. Akhirnya disepakati, api berasal dari warung Barda. Bisa jadi disengaja, karena Barda kemudian lari, ketika api membesar dan membakari. Semakin Barda lari dari warungnya, semakin besar dan meluaplah api itu. Bahkan, kini api itu sudah mencapai jantung kota dan sebentar lagi juga bakal menggasak balai kota.

“Cari Barda!” instruksi walikota. Semua warga langsung berpencar untuk mencari lelaki sumber api itu.

Tak seberapa lama, kepala polisi pamong praja bisa mendapatkan Barda, setelah mengusut laporan petugas keamanan pentas, bahwa Barda sedang berada di ruang ganti biduanita Dian. Dia menyeret Barda, meski ketika itu Barda sedang berada di lantai bersujud pada Dian, sambil mengacungkan mawar curian, dan berusaha mengusap sang kaki pujaan itu dengan tisu bekas yang diperolehnya dari toilet.

“Ini orangnya!” serunya.

“Hai anjing buduk, karena kau sumber api itu, suruh api itu padam, agar kotaku terselamatkan!” tandas walikota.

“Meski saya Anjing Buduk, Paduka, tetapi malam ini, hamba bisa menghanguskan seluruh kota ini,” tegas Barda.

Tentu saja walikota terkesiap. Ia baru sadar, bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang yang harus dia perhitungkan, apalagi dia masih ingin mencalonkan diri untuk pemilihan walikota mendatang. Ia harus sedikit menjilat, toh itu soal yang biasa. Kekalutan tak harus menghilangkan perhitungan politisnya.

“Maaf, wargaku yang paling mulia. Aku ingin kau selamatkan kota kita dan kau akan menjadi pahlawan sepanjang masa. Patungmu akan dibuatkan di taman kota untuk mengenangmu,” tutur walikota.

“Hamba tak ingin menjadi pahlawan. Hamba hanya ingin Dian,” tegas Barda.

Walikota mendelik, karena ia tak bisa memastikan Dian bersedia atau tidak bersama Barda. Ia pun memanggil Dian. Walikota langsung berkisah dan meminta kesanggupan Dian. “Demi kepentingan umum, alangkah mulianya bila Anda berkorban!” tutur walikota.

Meski tak perlu diungkapkan, Dian sudah mengerti. Ia pun merelakan diri bersedia dengan Barda, meski dengan hati pedih perih. Ia merasa kiamat sudah demikian dekat, apalagi ia sudah tahu nafas Barda seperti bau air comberan, serta rambut Barda dekil dengan kutu berlompatan. Untunglah hati Barda cukup mulia dan tak ingin memiliki Dian seutuhnya. Ia hanya menginginkan satu pesona dari Dian.

“Aku tak ingin tubuhmu, Dian. Cinta yang menubuh itu bukan cinta, tapi nafsu. Aku ingin suaramu, karena suaramulah yang menjadikanku jatuh cinta sampai mati kepadamu. Tanpa itu, aku tak bisa memadamkan api di kota ini, yang juga gelora api di hatiku,” tandas Barda.

Dian memberikan suaranya pada Barda. Ajaib, api di seluruh kota pun langsung padam seketika, begitu Barda menyuruh api itu padam.

***^***

Dian merana. Tanpa suara, ia tak lagi menjadi biduanita panggung. Ia pun tertimpa kemalangan, karena awak panggungnya memerkosanya beramai-ramai saat ia tertidur di tobong. Ia tak bisa protes atau melapor, karena ia bisu, dan saat diperkosa, matanya dikasih sambal.

Pada akhirnya, ia hidup menggelandang di emperan toko-toko sebagai pilihan hidup. Sebagai pilihan hidup pula, ia pun menjadi pelacur. Pelanggannya membludak. Apalagi sedang ada tren di kota itu, banyak lelaki hidup belang mencari pelacur bisu. Dengan teriakan yang keluar dari kebisuan, katanya, suara sengau dan samar yang terdengar bisa semakin menambah gairah. Ada undangan untuk terus bertahan dan memompa darah dalam birahi. Tetapi, langganan Dian khusus kelas teri: ia melayani pada buruh, tukang becak dan kuli angkut.

Barda yang sudah terlanjur dianggap pahlawan kota hidupnya semakin makmur. Apalagi walikota yang telah menjanjikan sederet harapan padanya, terpilih kembali. Untunglah walikota ini suka mengingat orang yang pernah berjasa pada kariernya. Barda pun tak lagi menjadi penjaga warung. Warungnya sudah menjadi cafe dan bersambung dengan plaza. Bahkan disambung pula dengan hotel berbintang tujuh. Patungnya dipahat besar-besar di hampir semua taman kota. Di taman pusat kota, patungnya terbuat dari emas 24 karat, sehingga bentuknya sering berubah, tergantung cuaca: bisa memuai dan mengerut.

Suatu ketika, Barda sedang menyusuri sebuah gang sempit. Kebetulan, di sana Dian tergeletak sendirian, dalam kondisi hancur lebur. Tetapi Barda masih bisa mengenalinya.

“Aduh, kekasihku, kucari kau ke mana-mana selama ini,” tutur Barda.

Dian menggeleng pelan. Ia terbaring dengan rasa perih di selangkang dan terasa di sekujur tubuhnya. Untuk mengaduh sakit pun, ia tak mampu. Kebisuan telah menyulapnya menjadi daging yang hanya bisa berdegup saja. Penyakit kelamin juga telah menghajar daya tahannya. Ia bagai seonggok daun yang sedang dimangsa ulat. Bolong-bolong, tak lagi hijau, bahkan baunya pun tak sedap.

Barda yang selama hidupnya tak pernah menangis itu pun menangis. Ia sudah berlimpah segalanya, tetapi yang ia puja raib. Selama ini ia sudah blusukan ke seluruh kota, bahkan sampai pasang iklan segala, tetapi yang namanya Dian seperti hilang ditelan bumi. Ia mengira Dian telah padam untuk selamanya. Kini ia menemukan kembali dan rasa cintanya kambuh lagi, meski pujaannya telah sebangsa mayat. Dada yang lama berarang itu tiba-tiba membara.

Dengan bahasa isyarat, Barda tahu, Dian ingin suaranya kembali. Barda pun mengembalikannya: atas nama cinta. Barda pun mendengarkan kekasihnya bersuara lagi. Tapi yang terdengar hanya rintihan, bukan nyanyian seperti di panggung dulu. Memang Dian tak banyak bicara, hanya merintih: “Aduh, aduh, aduh!” Tanpa pikir panjang, Barda pun langsung melarikannya ke rumah sakit terdekat. Selama menunggu di kursi panjang putih, kepala Barda berpusing tujuh keliling. Ia duduk di sana 1 jam, tetapi dirasakannya sepanjang hidup. Pada akhirnya, ada seorang lelaki berbaju putih datang.

“Anda suaminya?” tanya lelaki itu yang ternyata dokter.

Barda mengangguk, meski statusnya pada Dian bukanlah istri, tetapi Dian adalah kekasihnya.

“Istri Anda ingin bertemu!” seru dokter.

Barda langsung menghambur. Begitu sampai di kamar Dian, dia hanya terpaku, menatap tubuh Dian yang tak berdaya di pembaringan.

“Begini. Istri Anda ini perlu dioperasi. Penyakit yang dia terima karena memegang prinsip sudah demikian parah. Sedangkah kami tak punya darah yang sesuai dengan darah istri Anda. Darah istri Anda ini darah putih,” tutur dokter.

Barda terkesima. Ia langsung mengajukan diri sebagai pendonor, karena selama ini darahnya memang putih.

“Darah saya putih, dokter. Ambillah sebanyak-banyaknya, asal dia hidup!” serunya.

Tetapi sial. Ternyata darah Barda kini telah berubah dan tak lagi putih. Kesedihan Barda pun menumpuk bak gedung bertingkat dan sundul langit. Ia menangis seperti anak kecil di samping tubuh Dian. Sepertinya tak ada yang bisa menyelamatkannya, karena memang tak ada darah putih di dunia tempat mereka berpijak.

“Sayang, Yudistira sudah mati,” seru Barda, sesenggukan. “Andai dia masih ada dan masih tergeletak di kotak pewayangan atau sedang manggung, aku akan mencabutnya.”

Dian hampir sekarat.

“Apa yang bisa menghidupkanmu kembali, kekasihku?” ratap Barda.

Dian menggeleng. Pelan.

“Kalau kau mencintaiku, setubuhi aku!” baru pertama kali itu mulut Dian yang hampir hancur itu terbuka, itu pun hampir berbisik.

Barda beringsut, ia tak tega melakukannya. Tubuh Dian tak lagi tubuh dan liang peranakannya sudah hancur dan dipenuhi belatung dan ulat. Ia diam. Berpikir. Tetapi akhirnya ia melakukannya juga: atas nama cinta. Sebuah tindakan spekulasi tingkat tinggi yang datang dan didorong dari dunia antah berantah; yang membuat Barda menyisihkan rasa jijik dan ingin muntah.

Begitu sel-sel sperma merayapi rahim, tubuh Dian seakan memancarkan cahaya. Sebuah kehidupan baru telah terpeta. Dian lalu menyunggingkan senyum. Pertanda: hawa hidup meruap dari jiwanya. Barda pun tersenyum ketika melihat kekasihnya berbinar. Teristimewa, ia merasa masih punya darah putih, meski darah itu kini tak lagi berpusat di jantungnya.

Tetapi maaf Pembaca, setelah itu Barda langsung bunuh diri, begitu tahu kemaluan dan pelirnya membusuk begitu cepat karena dimakan belatung dan ulat.


Surabaya, 2005

2 komentar:

Multama Nazri mengatakan...

salam kenal mas...memang kalau cinta dah berkata, rasio, logika seakan menjadi tempe busuk dihadapan naluri dan hati....
Mas izinkan aku sisipkan blog ini pada blogku...

mashuri mengatakan...

yup! terima kasih, mas. silahkan saja