Minggu, 22 Juni 2008

Cerpen Gokil






Kiai Klobot

Cerpen Mashuri

Aku biasa memanggilnya Kiai Klobot sebab orang-orang kampung juga memanggilnya demikian. Bisa jadi ia dipanggil kiai karena kapasitasnya memang dianggap lebih dari sekedar guru ngaji, meski aku tak pernah melihatnya mengajar ngaji. Terlebih ia juga mumpuni dalam hal supranatural dan dikenal sebagai ahli suwuk. Menurut orang kampung, jika ada orang sakit maka Kiai Klobot cukup menyembur ubun-ubun orang itu dengan ludah, maka sakitnya akan terbirit-birit lari. Sedangkan sebutan Klobot berasal dari kesukaannya yang merokok dengan cara melinting tembakau dengan bungkus kulit jagung alias klobot.

Aku pernah penasaran dengan nama aslinya, lalu menelusurinya. Salah satunya pada Mbah Dulmajid, seorang sesepuh kampung yang dikenal orang paling tua sekampung. Ia pun bercerita, nama asli Kiai Klobot sudah lama hilang, terhitung sejak ia berusia belia. Hal itu berawal ketika ia dipanggil dengan nama aslinya, ia tak menoleh atau menyahut. Itu terjadi berkali-kali, lalu orang kampung pun melupakan nama aslinya. Peristiwa itu terjadi sudah lama. Tak ada yang ingat lagi. Orang kampung mengetahuinya lewat cerita dari mulut ke mulut.

“Jadi usia Kiai Klobot sudah tua. Apa sudah 60 tahun?” tanyaku.

“Lebih. Bahkan lebih tua dari aku. Soalnya, ketika aku kecil dulu, perasaanku beliau sudah seperti sekarang ini. Seperti lelaki 50-an tahun,” tutur Mbah Dulmajid, yang mengaku usianya sudah 80-an tahun.

“Bagaimana bisa, ia kelihatan lebih muda dari Mbah Dulmajid?” tanyaku.

“Begitulah…,” jawab Mbah Dulmajid.

Selanjutnya, Mbah Dulmajid tak bersedia berkata lebih jauh. Aku sendiri tak bernafsu untuk mendesak lelaki yang sudah mulai gemetaran itu.

Aku tak bisa membayangkan Kiai Klobot itu berusia lebih dari 80 tahun. Meski badannya agak kurus, postur tubuhnya masih tegap. Cara berjalannya tegak dan sigap seperti cara berjalan lelaki berusia matang dan tak pernah sakit-sakitan. Tenaganya masih kuat. Setiap hari, ia masih pergi ke sawah untuk mencangkul atau menanam padi atau jagung di lahan garapannya. Ia juga kerap terlihat mencari kayu bakar sendiri. Sosoknya lebih tepat berusia 50-an tahun.

Konon, sejak remaja Kiai Klobot suka jalan-jalan. Setiap dinihari, ia berkeliling ke desa-desa tetangga untuk membangunkan anak-anak muda yang tidur di langgar, surau atau masjid kampung. Setelah Subuh, ia pun menyempatkan untuk berjalan-jalan lagi sampai matahari beranjak setombak. Apa karena suka berjalan-jalan itu, ia awet muda? Ah entahlah.

Menurut orang kampung, setiap keliling kampung-kampung tetangga, anak-anak kecil pasti membuntutinya. Jika ia merasa diikuti, ia lalu berjalan dengan berirama, sambil mendendangkan lagu. Konon, lagunya sering berubah. Pada tahun 1945, ia menembangkan ‘Ilir-ilir’. Pada zaman PKI 1965, ia selalu mendendangkan lagu ‘Gundul-gundul Pacul”. Jelang Reformasi 1998 ia nyanyikan lagu ‘Kodok Ngorek’. Pada tahun 2000, ia menyanyikan lagu ‘Diobok-obok’ yang dipopulerkan oleh Joshua. Sedangkan baru-baru ini, ia menyanyikan lagu perjuangan ‘Maju Tak Gentar’ tapi sudah diplesetkan, menjadi ‘maju tak gentar, membela yang bayar’. Anak-anak pun selalu mengikuti nyanyiannya dengan riang gembira. Sepertinya semua lagu memang dinyanyikan untuk kegembiraan belaka!

Bagi warga kampung, Kiai Klobot adalah rumah sakit berjalan. Jika ada warga sakit, maka akan datang menemuinya. Apapun yang diberikan atau disarankan Kiai Klobot bakal diterima warga dengan kegembiraan. Biasanya pemberian dan saran itu dianggap sebagai resep sekaligus obat. Anehnya kebanyakan penyakit itu sembuh. Padahal yang diberikan Kiai Klobot kadang tak masuk akal dan nyeleneh. Suatu ketika, tetanggaku Matgufron, pernah sakit demam tinggi sampai mengigau-igau. Keluarganya pun datang ke Kiai Klobot. Kiai Klobot langsung masuk ke rumah dan keluar membawa air di dalam gelas. Ia minta agar Matgufron diberi minum dengan air itu. Begitu diberi minum, ternyata Matgufron sembuh. Padahal ada orang yang sempat melihat, air itu adalah air comberan yang diambil Kiai Klobot di belakang rumahnya.

Tidak hanya soal sakit saja, warga kampung datang ke Kiai Klobot. Ketika tim sepak bola kampung akan bertanding dengan tim kampung tetangga, maka kapten tim dan Pak Lurah mendatangi rumah Kiai Klobot. Kiai Klobot memang tak menampik setiap tamu yang datang ke rumahnya, apapun tujuannya. Maka ia pun menunjukkan resep jitu agar menang tanding bola. Ia menyarankan, sebelum bertanding semua pemain kencing di lapangan. Anjuran itu dilaksanakan. Hasilnya ajaib. Tim kampungku menang, padahal main di kandang lawan dan kualitas pemain tim kampung tetangga lebih bagus dari tim kampungku yang pas-pasan. Meski skornya tipis, hanya 1:0, tapi yang jelas kampungku menang. Aku tak bisa bayangkan, jika anjuran Kiai Klobot itu dilaksanakan pada pertandingan sepak bola yang digelar di tingkat nasional atau internasional.

Bagi para penjudi nomor lotere atau buntutan, Kiai Klobot pun dijadikan patokan. Para penjudi memang tak berani bertanya langsung kepadanya. Tetapi apa yang diperhatikan, dipegang dan dilakukan oleh Kiai Klobot, pasti menjadi rujukan nomor keberuntungan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu Kiai Klobot jalan-jalan, ia menemukan anak kucing sendirian di tengah jalan. Kiai Klobot pun membawanya pulang. Banyak orang di warung pun bisik-bisik soal anak kucing itu. Bukan untuk membantu memeliharanya, tapi untuk hal lain. Mereka langsung menaruh taruhan pada nomor anak kucing. Hal itu diikuti oleh warga lainnya. Bahkan, sebagian penduduk kampung lainnya ikut serta, begitu diberi tahu bahwa nomor itu bersumber dari Kiai Klobot. Ternyata begitu undian digelar, nomor anak kucing yang keluar. Tentu saja, sore itu menjelma sore riang gembira. Banyak penduduk yang dapat rejeki nomplok. Aku sendiri pasang lima ribu rupiah untuk dua angka. Tetapi hasilnya cukup lumayan bagi seorang perjaka yang bekerja serabutan seperti aku.

Entah dapat kabar darimana bahwa apa yang dilakoninya itu mendapat tafsir dari warga kampung yang doyan judi angka, esok harinya, Kiai Klobot tampak marah-marah. Ia mendatangi warung tempat orang jualan kupon nomor buntutan dengan menggenggam sebilah tongkat. Semua yang hadir semburat keluar karena takut. Siapapun meyakini apa yang diucapkan Kiai Klobot bisa langsung terkabul. Kalau mereka tidak lari menyelamatkan diri maka bisa berbahaya. Meski warung kosong dan hanya ada pemiliknya, Kiai Klobot masih tetap melampiaskan kekesalannya. Sambil menunjuk meja warung yang dipenuhi dengan rekapan nomor buntutan dengan tongkat, ia berujar: “Dasar babi!”

Setelah ia pergi, para pecinta nomor buntutan datang lagi. Dari pemilik warung mereka tahu, Kiai Klobot barusan bilang babi. Mereka pun ramai-ramai bertaruh pada nomor itu. Warga lainnya pun ikut-ikutan. Ternyata ketika diundi, yang keluar benar-benar nomor babi. Warga kampungku yang terdiri dari buruh tani, petani musiman, buruh pabrik gula dan tukang ojek pun bersorak. Sayangnya, untuk yang satu ini, aku tak bisa ikut karena aku tak hadir di warung itu. Meski begitu, dalam dua sore berturut-turut itu, bisa dipastikan bandar judi buntutan kecolongan besar.

Meski perilaku Kiai Klobot aneh dan tak masuk akal tapi tak ada yang berani menegurnya. Siapapun tahu menegurnya berarti bunuh diri. Sejarahlah yang berkata demikian. Menurut orang kampung, banyak orang yang berani menentangnya tapi akhirnya mereka tak berkutik. Contohnya Wak Salamah, pedagang kain di pasar kampung. Karena pernah memaki-maki Kiai Klobot dengan mengatainya sebagai orang gembel dan pengemis, dagangan Wak Salamah berangsur bangkrut. Malah Wak Salamah jatuh miskin.

Begitu pula Sumo Ngali, seorang blantik sapi. Ia pernah menfitnah Kiai Klobot sebagai tukang tenung atau santet. Tetapi bukan rumah Kiai Klobot yang digeruduk massa tapi rumah Sumo Ngali yang didatangi orang banyak karena sapinya mati semua. Selain itu, masih banyak lagi. Orang kampung pun menyebut Kiai Klobot sebagai jimat, bertuah dan bisa bikin orang kualat. Tak heran meski ia jarang terlihat shalat Jumat di masjid kampung, tak ada yang berani menegurnya. Soalnya sudah ada tiga orang di kampungku yang ketika berhaji di tanah suci Makkah melaporkan, mereka melihat Kiai Klobot sedang keluyuran di sekitar Ka’bah. Padahal secara bersamaan warga kampung juga melihat Kiai Klobot sedang mencangkul di sawah. Karena itulah ia sering dipanggil juga dengan gelar Kiai Haji Klobot, meskipun secara resmi, ia tak pernah naik haji.

Pak Lurah sendiri tak pernah membantah titah Kiai Klobot sebab Pak Lurah berhutang budi padanya. Pak Lurah juga takut kualat. Pada saat pemilihan lurah 20 tahun lalu, ia datang ke Kiai Klobot untuk minta restu. Tetapi belum sampai ia mengutarakan isi hatinya dan baru sampai di beranda, Kiai Klobot sudah menyambutnya dengan mengatakan, ia sudah mencium bau lurah di rumahnya dan calon lurah itu lalu disuruhnya pulang. Dalam pemilihan lurah, ternyata ia menang mutlak. Hal itu pun berlangsung setiap Pak Lurah mencalonkan diri menjadi lurah lagi, ia selalu menang mutlak.

Aku juga sering mendengar dari orang kampung, bahwa sebenarnya keantikan dan kesaktian Kiai Klobot sudah kondang ke seantero kabupaten, malah ada yang bilang sampai ibu kota provinsi dan ibu kota negara. Hal itu dibuktikan dengan banyak pejabat dan pengusaha kaya datang ke rumahnya. Bahkan, Pak Bupati begitu sering sambang ke kediamannya. Terhitung sebulan sekali. Para tamu terhormat itu diterima dengan tangan terbuka. Meski begitu, tak ada yang berubah dengan Kiai Klobot. Tongkrongannya masih tetap bersahaja, tubuhnya masih kurus, giginya masih hitam-hitam karena sering nyedot rokok klobot, bajunya pun masih tetap lusuh. Kebiasannya pun tak berubah. Bila di rumah, ia masih sering bertelanjang dada, hanya pakai sarung usang saja. Rokoknya masih melinting sendiri. Rumahnya masih berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Bahkan, ia sering diomeli istrinya karena sering kehabisan beras.

Biasanya jika sudah terdengar omelan istri Kiai Klobot, orang kampung pun bertanya-tanya dan kasak-kusuk. Intinya, mereka mempertanyakan, masak pejabat dan pengusaha yang datang ke rumahnya tak kasih apa-apa. Selanjutnya warga akan datang ke rumah Kiai Klobot dengan membawa beras dan sayuran agar istrinya tidak uring-uringan. Sahdan, begitu warga datang, Kiai Klobot akan tersenyum riang seperti anak kecil yang diberi sesuatu yang menyenangkan, sambil berkata bahwa itulah rejekinya yang sebenarnya.

Aku sendiri juga bertanya-tanya, soal gaya hidupnya yang aneh bin ajaib itu. Padahal tamu-tamu yang datang ke rumahnya pasti membawa mobil, bahkan sebagaian besar mobil mewah. Tentu mereka akan memberi salam tempel pada Kiai Klobot, dengan amplop tebal yang berisi uang banyak. Apalagi selama ini Kiai Klobot tak pernah menolak pemberian. Diberi apapun, ia akan menerimanya. Juga pemberian sebutan kiai khos yang disandangkan ke pundaknya. Hanya saja Kiai Klobot selalu berkata, ia tak pantas disebut kiai khos, tapi sangat pantas disebut kebalikan dari sebutan khos, yaitu sok kiai.

“Itu tanda beliau rendah hati,” tukas Abu, takmir masjid kampung, kepadaku.

“Soalnya sejak dulu, ia selalu tak ingin dikenal. Ia termasuk anak kiai besar di Jombang. Sejak muda ia doyan keluyuran dan aneh. Sebenarnya ia pewaris pesantren, tapi ia menyerahkan pada adiknya. Ia juga tak mau mengenakan nama aslinya tapi lebih suka dipanggil nama ejekannya. Ia datang ke sini ketika masih muda dan kawin dengan orang sini berkali-kali. Istrinya yang sekarang itu istri ketiganya. Istri pertama wafat, lalu beristri lagi. Begitu wafat, beliau pun menikah lagi. Keduanya wafat pada usia tua. Mungkin yang ketiga ini pun akan meninggal juga karena usianya sudah tua,” lanjut Abu.

“Jadi, usia Kiai Klobot berapa?” tanyaku

“Tak tahu.”

“Kamu juga tidak tahu nama aslinya?” tanyaku.

“Ya, tidak tahu juga.”

“Aneh! Bagaimana bisa seluruh warga kampung tidak tahu nama aslinya?”

“Ya, memang tidak tahu. Soalnya orang yang paling tua di kampung kita, masih kalah tua dari beliau. Perlu kamu tahu, beliau itu termasuk golongan qori’ul adah.”

“Apa itu?” tanyaku.

“Orang yang nyeleneh. Misalnya, umurnya yang kelewat panjang untuk ukuran kita, asal-usulnya selalu dirahasiakan dan lain-lainnya. Biasanya orang begini itu tak ingin kelihatan aslinya dan takut kebaikannya dilihat orang...,” kata takmir masjid itu.

“Hari gini, masak ada orang kayak itu?”

“Ada. Buktinya ya Kiai Klobot itu,” tutur Abu.

Sebenarnya aku juga pernah bertanya pada Ibu tentang Kiai Klobot, tapi perempuan yang melahirkanku itu malah balik bertanya padaku, “Apa mendiang ayahmu tak pernah berkisah dan mengajakmu ke rumah beliau?”

Aku menggeleng.

Ibu hanya tersenyum tanpa mengeluarkan jawaban apa-apa.

Sedangkan semua pengetahuanku perihal Kiai Klobot, aku peroleh dari kisah orang-orang kampung yang sering mengobral cerita di warung, tempat keseharianku mangkal, sambil ngopi dan bertaruh nasib pada nomor buntutan.

Menjelang pemilihan presiden tahun 2004, rumah Kiai Klobot diserbu beberapa tim sukses untuk minta restu dan dukungan. Ia memang dikenal tak pernah menolak tamu, sehingga ia pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Kebetulan aku ikut sebagai anggota tim sukses daerah dari seorang kandidat presiden dan wakil presiden. Aku pun datang ke rumah Kiai Klobot untuk melobi agar ia mendukung calon presiden dan wakil presiden yang sedang aku perjuangkan. Agar tidak mencolok, aku datang sendirian. Baru kali itulah aku bertemu muka langsung dengannya.

Di rumah itu, hanya ada Kiai Klobot sendiri. Aku tak melihat istrinya. Ia menyambutku di ruang tamu, kalau bisa dibilang ruang itu sebagai ruang tamu. Hal itu karena rumahnya tak ada sekatnya. Ruangannya dibiarkan terbuka, sehingga tampak dinding bambu bagian belakang rumahnya yang hampir roboh, juga gentingnya yang bolong-bolong. Aku bisa melihatnya langsung karena rumahnya tak ada langit-langitnya. Terlihat di sebelah kanan ada dipan bambu dengan kelambu. Tak ada kasurnya. Hanya beralaskan tikar pandan. Sepertinya di situlah tempat tidur Kiai Klobot dengan istrinya. Sedangkan di dekatnya ada dipan bambu yang cukup untuk satu orang. Bisa jadi, di situlah kiai Klobot dan istrinya sembahyang secara bergantian. Dipan itu tak beralas apapun, baik itu sajadah maupun tikar. Hanya bambu yang dihaluskan dan dijajar menyerupai galar. Tampak pula tali tambang yang direntangkan antar tiang sebagai tempat menyampirkan pakaian. Di sebelah kiri, tampak beberapa perkakas, seperti cangkul, sabit dan keranjang kosong.

Di bagian belakang, tampak dapur. Peralatan dapurnya cukup sedikit. Hanya panci, kuali, dapur tanah, dan onggokan kayu bakar. Sedangkan di ‘ruang tamu’ ada kursi panjang, meja segi empat cukup besar, dan sebuah kursi terbuat dari bambu. Ia duduk di kursi bambu itu, sedangkan kursi panjang yang terbuat dari kayu jati diperuntukkan untuk tamu, termasuk aku. Ada sesuatu yang menggoda batinku. Di dekat dinding bambu yang akan roboh, dekat dapur, terdapat karung goni berjajar di bawah kayu blandar, yang disangga kayu kecil dari bawah. Jika karung itu berisi padi, jelas penyangganya tidak kuat, karena padi cukup berat. Sepertinya berisi barang yang ringan.

“Namamu siapa?” tanya Kiai Klobot, yang mengagetkan aku.

“Saya Jagat, Kiai!”

“Nama yang bagus. Nama panjangmu ada?”

“Ada, Kiai. Jagat Tali Tampar!”

Kiai Klobot tersenyum.

“Kamu mau membantuku?” tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk saja meski aku belum mengutarakan maksud kedatanganku. Kiai Klobot langsung memerintahkan aku untuk menurunkan karung goni yang digantung di dinding belakang rumahnya, yang sempat menyita perhatianku tadi. Dengan tangga dari bambu, aku berusaha menurunkan karung-karung itu. Aku agak canggung karena aku merasa ia bisa menebak dengan tepat rasa penasaranku. Akhirnya sembilan karung goni itu berhasil aku turunkan. Saat menurunkan itulah, rasa penasaranku kambuh. Begitu melihat mulut karung yang dijahit dengan tali rafia jarang-jarang, aku pun berusaha membuka celah jahitannya yang tak begitu rapi itu. Ternyata di dalam karung itu penuh amplop. Tampak juga beberapa kantung plastik hitam. Begitu aku menguak sebuah amplop, ternyata di dalamnya adalah tumpukan uang keras seratus ribuan. Jadi sembilan karung goni itu berisi uang kertas! Aku langsung berkeringat.

“Jagat!”

Aku tersentak.

“Ya, Kiai!”

“Tolong, kamu buang sembilan karung itu ke sungai Brantas yang mengalir di pinggir kampung kita, yang arusnya terkenal deras.”

Aku lagi-lagi terkejut. Sebuah perintah yang tak masuk akal.

“Kenapa harus dibuang, Kiai?”

Kiai tersenyum.

“Sembilan karung ini adalah godaanku. Ini juga bukan hakku. Tidak tahukah kau, langit dan mega di angkasa semakin mendung. Aku ingin bintang-bintang bersinar kembali, menyibak langit dan bisa menjadi penujuk arah bagi semuanya,” tutur kiai itu.

Aku diam karena sama sekali tidak paham.

****^****

Pagi itu, aku bersandar di beranda rumah. Aku mengamati laju air selokan yang masih deras karena hujan semalam benar-benar lebat. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku merasa belum pernah menikmati pagi senyaman ini. Aku memang merasa lega karena pemilihan presiden sudah selesai meski jagoku kalah. Aku tak menyesali kekalahan calon presiden yang aku dukung. Aku ihlas menerimanya. Sungguh.

Entah kenapa sejak perjumpaanku secara langsung dengan Kiai Klobot, aku seperti mendapat suntikan energi baru. Aku pun tak pernah bisa melupakannya. Sosoknya begitu mengambang di mata. Diam-diam aku membenarkan apa yang diungkap Abu tempo hari. Ia memang orang nyeleneh, tak sesuai dengan kebiasaan manusia normal, tapi sungguh-sungguh memiliki budi yang tiada tara. Prinsipnya demikian kuat tak tergoyahkan.

Aku pun teringat pada almarhum ayah yang sangat hormat kepada Kiai Klobot dan sering sowan ke rumahnya, sambil membawakan beras, sayur, ikan, bahkan juga membelikan sarung, baju dan kopyah. Ayah juga mewanti-wanti agar aku mengikuti jejaknya bila dewasa nanti. Sayangnya aku tak bisa mengikutinya. Seingatku, sebelum aku menjadi tim sukses seorang capres di pilpres, aku tak pernah menginjakkan kaki di rumahnya, bahkan bertemu muka secara langsung pun tak pernah. Selama ini aku selalu melihatnya dari jauh. Mungkin sekarang in waktunya aku mengikuti nasehat ayah itu.

“Beliau yang memberimu nama,” kata Ayah, yang masih aku ingat, meski lamat-lamat.

“Namaku aneh. Anak-anak sering mengejekku,” kata aku.

“Nama itu adalah nama buyutmu sendiri. Tiga generasi di atasmu,” tandas ayah. Ah, kenapa aku begitu tiba-tiba teringat dengan ayah, yang telah berpindah ke alam baka ketika usiaku menginjak 9 tahun.

Kenanganku tentang ayah tiba-tiba terusik. Di jalan depan rumah, aku melihat Abu berjalan tergopoh-gopoh menuju masjid.

“Jagat, apa kamu tidak melayat?” teriaknya.

“Siapa yang wafat?” tanyaku.

“Kiai Klobot. Barusan saja. Aku dari rumah beliau dan akan ke masjid untuk menginfomasikan wafat beliau pada warga lewat pengeras suara. Mungkin tak lagi berguna, soalnya warga sudah berdatangan ke sana,” katanya.

Aku merasa batinku teriris.

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menuju rumah Kiai Klobot. Ternyata begitu banyak orang yang datang melayat. Berdesak-desakan. Tak peduli laki-perempuan, tua-muda, bahkan tampak anak-anak kecil di sana. Aku melihat banyak pelayat dari kampung lain. Karena orang yang datang berjubel, aku harus puas hanya terpaku di jalan menuju rumahnya. Suasana duka demikian terasa. Banyak orang yang tak kuasa menahan air mata. Ternyata hujan lebat semalam menyimpan sebuah tanda.

Begitu jasad Kiai Klobot dibawa ke masjid untuk dishalati, aku pun mengikutinya, tapi hanya dapat tempat di barisan paling belakang. Begitu jenazah di bawah ke pemakaman desa, aku pun turut serta, tetapi lagi-lagi aku tak kebagian tempat untuk menyentuh kerandanya. Padahal aku ingin sekali turut mengangkat jenazah Kiai Klobot. Sialnya, saat penguburan pun aku hanya bisa menyaksikannya dari jauh karena makam desa penuh dengan lautan manusia.

Ketika pelayat sudah susut dan banyak yang pulang, aku baru bisa beringsut mendekati makam Kiai Klobot. Aku begitu ingin berdoa di pusaranya karena bagaimana pun dia telah menyelesaikan satu masalah yang sangat sensitif dalam diriku. Perasaanku kini demikian lapang dan terbuka dalam memandang hidup. Aku merasa hidupku semakin asyik, setelah aku merampungkan permintaannya dengan sempurna, yaitu membuang sembilan karung goni penuh uang ke sungai dan tak boleh ketahuan orang. Selama ini, aku cukup sensitif untuk bicara masalah duniawi apalagi uang, karena sejak kecil aku ditinggal mati ayahku dan aku harus menghidupi diriku sendiri dan ibuku.

Namun begitu mendekati gunduk tanah yang masih baru itu, aku langsung terpaku di tempatku berdiri. Di nisan tertulis dengan jelas:

KIAI HAJI JAGAT TALI TAMPAR

LAHIR :-------.

WAFAT: 24 DESEMBER 2004.


*


Siwalanpanji, 2008

Kamis, 05 Juni 2008

Tiga Puisi 'Kebul-kebul'

Puisi Mashuri

Padma Retak
: Rolak Jagir

kau tersenyum bak bunga padma
retak
karena tembok-tembok tua yang berjejak di kutangmu
selalu saja ruapkan uap sengak;
kali-kali cokelat yang mengalir di kakimu ‘lah jadi saksi
betapa asin-asam tubuhmu
oleh hidup yang tak habis-habisnya, oleh lelah
yang tak kunjung dapat penawarnya…
matamu pun menyimpan
gedung-gedung yang rubuh, stasiun hancur,
kakilima dibongkar, juga pasar-pasar terbakar
---kau pun sering menapak di lapak
lapak usang, tempat kau mendengkur dan selangkangmu
menjadi kubur bagi pejantan; yang tiap malam
merambat di gelambir kulitmu
bagai keong, kepiting, juga ikan-ikan
dilempar dari air comberan….
tapi tak ada laki-laki di hatimu, kecuali harapan
yang kelewat indah tentang sebuah mahligai
yang dulu pernah kau bangun
dan kini tinggal unggun…
berasap, gelap, menyesakkan dada dan kelaminmu
yang berangsur kering

Surabaya, 2008

Puisi Mashuri

Adam Kesembilan

akulah adam kesembilan yang tersaruk ke lubang jahannam
ketika malam bunting dan angin berputing di selangkangku
dunia aku gapai dari senja yang mengabur di retina

aku pun beringsut, bak pejalan larut yang kesepian,
ketika malam melarut kehampaan
dalam keingkaran akut, aku pun bermadah
: o luka yang tak henti teteskan nanah, yang tak bersurut oleh gempa
inilah surgaku, surga yang terjaga dari ibu, surga yang tersusun
dari batu dan terumbu, surga yang di matanya air mengalir sampai
jauh… o luka waktu, o evaku yang tak juga ku temu

akulah adam yang terbenam ke jalan malam dan tersekat di ruang
tak dikenal, karena akal telah ditumbuhi ilalang
dan dada lebat oleh hutan
dan hujan
yang menetes di alur takdirku yang arusnya
menggapai rindu
kembali memeluk firdaus yang aus…
bersua dengan evaku yang kudus

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Sadis Gadis

kecantikanmu hanyalah luka ---tengoklah di jendela
berapa dada yang terbakar dan terkoyak oleh kerlingmu
berapa kepala terhempas di dinding cadas karena tak ber-asa
menuaimu, berapa…
jika matamu bulat telor, dan bibirmu adalah pelor
mungkin tak ada yang sudi mampir ke rumahmu
sambil bertanya: ‘seberapa aku harus melepas kolor?’
kecantikanmu hanyalah luka---lihatlah di ranjang
berapa kelamin tercacah percuma…

Surabaya, 2008

Komentar Pentas 'Daerah Perbatasan'

Propaganda Hitam
(Pentas Teater Gapus “Daerah Perbatasan”)
Oleh Mashuri

‘Daerah Perbatasan’ bukan terra incognita yang menyepikan kesadaran; bukan ‘perang posisi’ antara the center dan the margin dalam kerangka pemikiran Gramsci; bukan pula ‘wilayah hitam nan kosong’ tanpa entitas atau ranah-ranah tak terjangkau di bawah alam sadar manusia; ‘Daerah Perbatasan’ berada dalam pergulatan arus kesadaran antara cita-cita dan mati. Sebuah tempat yang bisa menjadi akhir sekaligus awal dari perjalanan manusia dan masa depannya.
‘Daerah Perbatasan’ segelap orang tua yang mencari anaknya di medan laga, di antara bangkai-bangkai yang mulai membusuk, ditingkah suara gagak memekakkan telinga. Saat si anak ditemukan terluka dan masih bernafas, orang tua harus memutuskan nasib si anak. Apakah si anak harus mati demi cita-cita; sebagai hero, atau dibiarkan hidup merana tanpa status dan sia-sia: sebuah kemanusiaan yang hadir dalam titik nadlirnya. Dan, ‘mati demi cita-cita’ pada akhirnya bisa menjadi pilihan yang harus segera diputuskan.
‘Daerah Perbatasan’ ingin mengalirkan bahwa sebuah cita-cita, meski gelap dan muram memang harus diperjuangkan; karena harga diri ada dalam pertaruhan dan pergulatan dengan kemenangan dan hasil yang tak terberi; ia harus diraih, meski dengan bunuh diri. Toh nasib hanya anak kecil yang bisa disalib; sekaligus dinistakan; karena dunia berada di tangan manusia.
Tidak kebetulan, bila ‘Daerah Perbatasan’ diilhami sajak ‘Daerah Perbatasan’ (1970) karya Subagio Sastrowardoyo. Sajak-sajak yang tidak hanya memberi api untuk bergulat dengan kematian, tetapi sekaligus memberi ruang pergulatan sendiri tentang posisi manusia di dunia; tentang nasib tragis jabang yang terlontar ke lantai bumi, tentang manusia yang telah mencapai tepi dan tak mungkin kembali, dan tentang drama penyaliban: saat manusia berguman ‘Berilah aku senjata. Beri aku gigi dan kuku dan pedang untuk memerangi kebengisan ini’, tentang orang hitam yang bangkit dari bukit karang, dan lain-lainnya dan lain-lainnya, hingga kematian makin akrab: ‘sebab aku (manusia) bisa terbang dengan sayap sendiri ke langit’. Sebuah pergulatan panjang, sekaligus pengasingan, dan perjalanan yang menembus tapal batas yang tak mudah diraba dari takdir manusia.
Sedangkan di sini, dalam pergulatan ini, pementasan ‘Daerah Perbatasan’ bukan pemihakan pada nilai-nilai; bukan berbicara siapa yang layak menjadi panglima. Karena ‘hidup terlalu menuntut’. Pengendali bisa saja kebenaran atau kebiadaban. Masing-masing adalah perspektif jungkir balik; siapapun bisa mengklaim paling benar dari sebuah pergulatan. Justifikasi bisa saja dijatuhkan sebagai dalil sebagai pembenar tindakan. Dan, hasil akhir bukanlah jaminan siapa yang paling berkuasa, dan siapa yang paling benar di sebuah ruang ketika kesadaran berhumbalang dari dua arah yang berseberangan
Pada titik itulah, pertaruhannya bukan lagi gerak yang agresif atau diam yang pasif; atau bukan pada diam yang aktif atau gerak yang pasif, tapi pada pilihan yang menentukan; apakah kematian harus diputuskan atau ditunda. Ataukah kehidupan harus dikorbankan untuk sebuah perubahan. Inilah black propaganda abadi; sebuah propaganda hitam bagi titik balik kesadaran kemanusiaan. Karena segalanya bermuara dan bertitik tekan pada kontradiksi manusia dan masa depan manusia yang berada di tangan manusia. Tuhan sudah selesai dan mimpi panjang tentang takdir adalah roda-roda yang meminta tangan manusia untuk menggelindingkannya. Di dunia, manusia tidak hanya terasing, tetapi ia harus memutuskan jalannya sendiri: sebuah keadilan bukan dinanti tapi ditegakkan!
Pertarungan dalam ‘Daerah Perbatasan’ bukan pada absurditas (sebentuk rutinitas manusia menggelindingkan batu besar ke puncak bukit Olimpus; dan dewa kembali menjatuhkannya ke dasar) bukan pula idealisme Hegelian (konsep ideal sejarah, tentang waktu dan kesempurnaan tatanan manusia dan dunia dalam sebuah dialektika); atau sebentuk cara untuk memahami dan mendekati kompleksitas hidup; tetapi pertarungan di sini, adalah pertarungan hidup. Menyelam di dalamnya dan menjatuhkan sebuah pilihan; antara terus hidup dalam cita-cita atau sekaligus mampus. Tapi yang pertama dibayangkan dalam pementasan ini bukan langkah-langkah panjang; tetapi diri yang terpojok di sebuah ruang, dihimpit dinding keras hingga sulit nafas, dan harus memilih dua pilihan yang tak ditampik atau dihindari.
‘Daerah Perbatasan’ hanya memberi dua pilihan: revolusi atau mati!

Surabaya, 2004

Esei Pentas 'Alibi'

Agama, Bunuh Diri Hakekat dan Habermas
(Pentas Teater Keluarga ‘Alibi’)
Oleh Mashuri

Seorang lelaki di panggung, dengan setting: satu kursi, satu ranjang, sejumlah pakaian di gantungan, sekat ruang putih, juga tabir hitam. Ia berbicara sendiri, tentang siapa dan apa saja yang menyangkut soal korupsi. Ia beralibi tentang sikapnya, tentang pilihan hidupnya, tentang hubungan-hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, juga keluarga. Ia berbicara tentang harapan-harapan, frustasi, mimpi, juga ideologi.
Kesan itu mungkin yang terasa pertama-tama dari pementasan Alibi oleh Teater Keluarga di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, 6 November 2004, Minggu Pon. Sepertinya tak ada yang menarik dari pementasan ini, kecuali nama-nama pekerja teater di belakangnya: aktor tunggal berbakat F Azis Manna, sutradara idealis S Jai, serta pemusik eksperimental Widi Asy’ari. Tetapi Benarkah demikian?
Kegilaan! Mungkin itu kata-kata yang pertama harus diungkapkan terhadap penggarapan teater ini. Bukan hanya karena si tokoh berbicara sendiri dan identik dengan ‘orang gila’, bukan pula karena durasinya yang na’udzubillah sampai tiga jam lebih, tetapi kegilaan yang terjadi bermuara pada cakupan gagasan yang ingin disampaikan, eksplorasi, kualitas pementasan serta proses yang dilalui dalam penggarapan dengan konsep ‘teater terbuka’ dan berdarah-darah.
Kegilaan ini menjadi penting, manakala segala ihwal kesadaran tak bisa ditundukkan dalam sistem relasi biasa, tetapi melingkar sendiri, dalam ruang-ruang sendiri, pribadi, pada ego. Kegilaan ini menjadi penting, ketika realitas di luar diri demikian menakutkan atau memabukkan, lalu ditarik ke muasalnya: alam persepsi, kemudian dilontarkan kembali seperti peluru yang keluar dari satu moncong senjata. Lompatan pikiran, retak kesadaran diri dan lingkungan, dan gugatan yang muncul dari ego sebagai sentral meski tak utuh dalam satu peran dan satu bahasa, seakan menjadi universalitas bahasa yang absah untuk memberi jawab, menolak, mungkin berdialektik, dengan realitas di luar diri yang berhumbalang, mencekam, centang perenang dan berpretensi untuk merenggut kedirian dalam lingkup kebiasaan dan sistem yang ada.
Kebiasaan memang riskan pada kesadaran. Realitas kadang tak bisa dinalar dengan idealitas. Dalam kebiasaan, ada alur yang linear dari nalar untuk tak menolak dari rangkaian impulse diri, sehingga tak ada perlawanan yang berarti, meski pada hakekatnya kebiasaan itu ditempias dari hasrat hakiki manusia, kemurnian. Di titik ini, konsepsi korupsi yang menjadi landasan dari pentas Alibi mendapatkan penekanannya. Ternyata, ada dosa sosial yang telah mengakar dalam bangun kesadaran kolektif, yang terlegitimasi dan mendapatkan pengabsahan dari khalayak. Ada anggapan, karena sebuah tindakan keliru adalah kebiasaan, dosa terampuni dengan sendirinya.
Dan agama, seperti jauh tertinggal di belakang, jika ia hanya berkutat pada masalah dogma, serta verbalisasi hukum tentang halal haram dan teks-teks yang ada hanya alat justifikasi pada tindakan formal. Ia tak mampu menjangkau nalar samar yang terpatri di balik sebuah kebiasaan, karena hukum lebih dipahami dalam kerigidannya pada penafsiran teks-teks agama dalam sebuah tafsir kering. Tak ada refleksi, introspeksi dan mengembalikan nalar pada muasal dari kehadiran agama, yang menyejarah; terkait dengan bumi, bermain dalam lingkar fenomena, tetapi mampu menjadi dasar kesadaran diri.
Pada titik inilah, kehadiran agama seharusnya bukan hanya dipahami dalam konteks profetiknya, tetapi pada konteks mistiknya. Agama yang mempribadi dan bisa menjadi tumpuan dari segala tindakan, dan tanggung jawab diri. Agama yang tidak hanya berpretensi mengubah dunia, dan kadang terjebak di dalamnya, tetapi agama yang dimulai dari diri, kesadaran alter ego dan wujud hakiki dari manusia.

***
Alibi bukan tarik ulur antara profetik dan mistik dalam pemikiran Muhammad Iqbal; bukan lubang hitam tanpa tawaran; bulan sumur tanpa dasar yang memusar dalam suara-suara asing, gaung asing dan lorong tak berkesudahan; bukan pula mimpi-mimpi asing yang tak berdasar; ular-ular yang menghuni ketaksadaran; Alibi berkutat di arus kesadaran dan ketaksadaran: saat wujud rumpang dan ruh raib Alibi adalah wilayah kemungkinan dan sipapaun diajak ke dalamnya untuk mencecapi hikmat dari eksistensi, sekaligus meniadakannya, ketika diri diancam dan harus menenggelamkan, menggelapkan dan mewujuidkan angan di wilayah yang paling ekstrim. Sebuah titik yang bisa menjelma awal manusia sekaligus mengakhirinya.
Di sinilah jalan alternatif merebut kebenaran! Tapi bukan jalan kelima dalam perspektif Al Ghazali, bukan jalan nabi-nabi, bukan Al Hallaj. Keberanan memang bukan di sana dan di sini, tapi segala lingkaran berawal dari satu titik. Inilah pilar penegak keadilan; kerna keadilan bukan terberi dan harus disergap dan diwujudkan; ia tidak turun dari langit, tapi harus ditumbuhkan dari bumi, dari diri. Inilah kekuatan kelima dari kontrol sosial, setelah trias politika Montesque dan pers; kekuatan yang tidak hanya tegak menjulang---tapi rapuh dalam kontradiksi; seperti wujud realitas yang berhumbalang!
Inilah inti antroposentrisme; tapi bukan manusia dalam wujud insan kamil, bukan jiwa terbelah schizofresnia; kerak retak dan utuh tak lebih dari persepsi dan Alibi menabrakan keduanya dalam dimensi yang tak dibayangkan siapapun; seperti seorang paranoid yang kehilangan kepercayaan, seperti ‘tuhan’ yang ingin menegakkan keadilan.
Dan Alibi tidak berhenti seperti induk ayam yang ingin mengendalikan anak-anaknya dari ancaman elang; Alibi bukan pertapaan sepi. Alibi seperti tubuh yang melindungi ruh dari tangan maut; inilah perjuangan sejati manusia untuk mengukuhkan jati dirinya sebagai manusia, meski dengan diri tercambuk, dengan diri lantak: karena inilah bunuh diri sejati. Sebuah bunuh diri tuk satu keyakinan.
Bunuh diri ‘Alibi’ melampaui bunuh diri kreatif karena ‘hukuman dewa-dewa’ seperti Camus; ini bunuh diri hakekat! Kerna takdir, nasib; bukan sekedar pemberian; ia hujan yang bisa ditolak atau dibiarkan; atau kedua-duanya; kerna pilihan ada pada manusia. Dan perubahan, bukan terberi; ia harus dinistakan dari tangan, direnggutkan dan diwujudkan. Perubahan bukan pemberian langit tapi diperjuangkan!
Tapi pertaruhan Alibi bukan nilai-nilai, bukan slogan, bukan baik benar; Alibi ingin bertaruh tentang ruang-ruang sendiri, ruang-ruang sosial yang diasingkan; ruang yang bermain dalam wilayah ambang; pertaruhannya bukan pada lingkar di luar atau di dalam; bukan agama, bukan dogma; bukan ‘pikiran-pikiran’ yang membatasi; bukan segalanya yang menafikan kebebasan; Alibi ingin membuka tali, mengajak samadi dari gemuruh tak tentu; menguliti kulit kepalsuan; Alibi lebih dari ‘alat pengaman’ dari cengkeraman tangan-tangan liar, tangan yang tidak hanya ‘membunuh’ tapi memabukkan dengan sejuta godaan!
***
Gugatan yang dilakukan dalam pementasan ini memberi semacam tawaran, tentang sebuah percakapan tak selesai ---menggantung di aras kesadaran--- apalagi arah dari pementasan ini pada ‘estetika terlibat’ tapi bukan dalam pengertian estetika terlibat Marxis secara sosial, tetapi ‘terlibat’ dalam pengertian pementasan, dengan melibatkan penonton dalam ruang dialog, ikut bermain, dan sama-sama ikut merasakan meski sebenarnya juga diasingkan dari ruang sehari-hari, memasuki ruang pribadi Tokoh Lelaki.
Dari sinilah, ada pembalikan dari konsepsi estetika Berthold Brecht. Brecht menggunakan alienation effect (efek pengasingan) untuk berdialog dengan penonton. Dengan teknik itu, Brecht 'mengasingkan' penonton dari pertunjukan teater, sehingga mencegah munculnya identifikasi emosional dari penonton terhadap pertunjukan. Menurutnya, jika dibiarkan adanya identifikasi emosional dari penonton, bisa mematikan daya kritis mereka. Hal itu karena pertunjukan teater bukan sebuah kesatuan organik yang menghipnotis penonton selama berlangsungnya pertunjukan. Teater adalah produk panggung dan menyisakan teror, serta pikiran-pikiran yang menghantu. Ini jelas bermula dari konsep teater epik.
Karena Alibi bukan teater epik, bahkan terkesan anti-epik dari narasi yang dibangun, penonton tidak dituntun dalam identifikasi, melainkan diajak terlibat dalam satu ruang dan satu waktu; yakni WIBP (Waktu Indonesia Bagian Panggung). Jika Tokoh Lelaki berbicara, ia tak sekedar berbicara sendiri, pada dirinya sendiri, tetapi ia berbicara pada penonton, pada audiens. Bahkan, audiens diajak untuk ikut bermain, ruang melebar, menembus batas antara aktor dan penonton. Mungkin konsep teater etnik menjadi acuan dalam hal ini, dengan berusaha mendialogkan konsep teater realis (dengan monolog) dengan etnis yang kuat di pelisanan dan memunculkan konsep teater baru.
Pada sisi inilah, ada indikasi bahwa teater ini yang bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘bahasa’, sebagai tindak komunikasi. Asumsi ini bermula dari konsepsi Juergen Habermas, bahwa teater sebagai ‘tindakan rasional yang bertujuan’; dan dipahami sebagai tindakan praksis, sebagai strategi kritik yang bersifat emansipatorik. Ada pola simbolik interaksi yang bermula dari realitas tapi tak berhenti. Adalah cukup penting jika tidak menyamakan ‘sistem yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya menyingkirkan kesadaran anggota yang bersatu dengannya’ dengan dunia kehidupan: dunia kesadaran dan aksi komunikatif. Ada upaya peninjauan struktur (khususnya bahasa dan aksi komunikatif, serta kesadaran moral) dunia kehidupan.
Alibi yang membuka ruang dialog dengan audiens, meski sebenarnya digagas dalam bentuk monolog, memang sebagai upaya dari komunikasi itu, lewat bahasa yang tak hanya merangkum identitas kultural, tetapi disertai dengan berbagai persoalan. Habermas sendiri menemukan sifat dasar bahasa sebagai sarana komunikasi terdapat dalam pengertian bahwa bahwa pembicara maupun pendengar suatu percakapan secara apriori berminat untuk saling memahami. Saling memahami berarti ada kesepakatan di antara kedua pihak; kesepakatan mensyaratkan adanya pengenalan antar-subjektif terhadap keabsahan terhadap topik dan gagasan. Dalam proses ini, masing-masing pihak bercermin tentang posisi mereka dalam komunikasi. Pada titik ini, struktur ‘bahasa’ menempati sifatnya yang paling cerdas: hermeneutik. Ia memanggil pihak lain untuk terlibat dalam interpretasi pada setiap tataran, dan dari sini meningkatkan pemahaman diri setiap peserta akibat interaksi. Pada titik inilah tujuan bahasa sebenarnya, sehingga agar aspek komunikatif berhasil harus ada konsensus. Jika komunikasi tak berhasil, dalam arti tak ada kesalingpemahaman antar-subjek, bahasa diidentifikasi sedang mengalami pembusukan. Bahasa didiagnosa: sedang sakit.
Dan simbol wayang, juga tema korupsi, bisa menjadi konsensus dalam ‘tindak komunikasi’ itu dalam bingkai kultur dan sosial dari pentas Alibi, meski ada pula bahasa lainnya yang juga bisa dianggap sebagai konsensus, bahkan untuk judul Alibi sendiri. Tetapi jika ‘percakapan’ yang ditawarkan Alibi tak dipahami, ini bisa diandaikan ada sesuatu yang kronis dalam proses dialektika. Namun, jika melihat pementasannya yang komunikatif dan nyaris realis, maka yang diandaikan tak mampu mengenali dan memahami konsensus ‘bahasa’ itu, sangat mungkin datang dari audiens; ada indikasi bahwa audiens sudah terbiasa dengan ‘dosa sosial’ dan ‘penyakit kultur’, sehingga mengganggapnya sebagai sebuah kebiasaan, sebuah budaya.
Pada titik ini, mungkin yang paling tepat adalah mengkomunikasikan antara realitas di luar diri dan di dalam diri; dalam sebuah alur kejernihan. Aspek spiritualitas dari agama menjadi tak terelakan, karena di batas ini, ada sebuah tawaran terkait dengan ‘sangkan paran’ dan mengenalkan manusia pada muasalnya, yang berbicara tentang kesejatian. Pada titik inilah ekspresi estetik dan religiusitas bertemu, untuk membongkar kesadaran yang dipalsukan. (*)

* Ada bagian yang pernah dimuat di Kompas Jatim.

Refleksi Superrealis

Jamban
Oleh Mashuri

Kini, di saat hiperrealitas demikian sengkarut, saya hanya merindukan sebuah jamban. Jamban bagi saya adalah ruang pribadi yang unik, yang bisa mengatasi ruang dan waktu. Saya bisa merasakan kehadiran saya seakan-akan penuh, baik dalam alam kesadaran dan ketaksadaran.
Panggilan-panggilan kerinduan itu datang, ketika segala hal yang berada di luar diri, dipenuhi dengan rekayasa-rekayasa. Apalagi, aroma kapitalisme semakin mengglobal dan menelan segala hal yang bersifat pribadi. Tak jarang, sisi kemanusiaan saya terseret dalam sebuah titik nadir. Saya sampai terengah-engah untuk menemukan sesuatu yang ‘pure’ diri saya sendiri.
Mungkin Adam Smith, Karl Marx, Max Weber atau Daniell Bell juga mengendus adanya kemungkinan itu, kemungkinan rekayasa yang mencengkeram kehidupan manusia. Tetapi saya lebih memaknai dan menyikapinya dengan merengkuh kembali apa yang pernah saya alami, dalam sebuah kurun waktu, untuk mengukur kedirian yang semakin nisbi, bermain dalam simulakra-simulakra yang tiada berkesudahan.
Di jamban, saya bisa mengenali sesuatu yang harus disingkirkan dari tubuh secara detail. Bila jamban itu jamban yang dibangun dari anyaman bambu, yang memiliki celah untuk mengintip, maka dengan agak malu-malu, saya akan menengok jauh ke dalam sana, melihat belatung-belatung merubung tahi dengan semangat berapi-api. Jika jamban itu dari ubin, saya akan melihat kotoran saya lewat selangkangan.
Anehnya, ruap bau busuk yang menusuk tidak mengendorkan semangat untuk mengembarakan imajinasi, yang paling liar sekalipun. Di sinilah, letak kelebihan jamban: meski bau busuk, tetapi orang yang sudah duduk di atasnya akan kerasan untuk berlama-lama. Kiranya, hal itu seperti watak dasar kekuasaan (politis).
Di sinilah, dalam kekuasaaan diri saya, saya merasa terlepas dari rekayasa. Saya selalu menganggap dunia kini dipenuhi rekayasa. Bagaimana tidak, dalam segala hal, dalam masalah yang paling intim sekalipun, tak lepas dari upaya rekayasa, seperti pada masalah gambaran alat kelamin ideal dan cara yang ‘baik’ dan ‘benar’ dalam bersenggama. Kumparan tehnologi virtual dan multimedia telah menjejalkan citraan-citraan itu bertubi-tubi ke setiap kepala. Bahkan batas yang real dan tiruan atau turunan nyaris tanpa penghalang.
Mungkin, ketakutan saya pada kehilangan sisi manusia dari diri demikian besar dan menghantui. Saya hanya tahu, bahwa arus global dan hiperreal mengalir demikian deras dan bagaimanapun harus dihadapi. Saya hanya berusaha mengembalikan segala apa yang saya miliki, termasuk ingatan-ingatan, mimpi, imajinasi dan kehendak tentang pembebasan menjadi hakiki: milik saya pribadi. Mungkin saya, akan menenggelamkan diri dalam arus dan pusaran besar mesin waktu yang datang bergulung-gulung dan siap menelan segala hal, tidak juga alam bawah sadar saya.
Dan sambil menyedot rokok, di atas jamban, saya akan mengenali bau terbusuk dari tubuh saya dengan gairah seorang pemberontak: melayangkan seribu kunang-kunang di kepala, pada palung kegelapan dari lamunan, dalam kembara-kembara yang jauh. Untuk mengundang gairah yang terpendam, yang lebih purba, yang mengatasi sekaligus membongkar realitas-realitas yang berlimpahan. Juga untuk menembus batas ruang dan waktu, yang kadang sudah tidak terasa lagi jaraksnya. Meskipun, pada hakekatnya ‘realitas-realitas’ itu hanya maya dan pura-pura.
Sambil jongkok dan ngeden, saya akan mencipta mesin waktu sendiri dalam kurun parsial-parsial yang sangat subyektif, mengenali ide-ide yang terentang, ide-ide yang masih murni. Jika mampu menyelami ke gelap jiwa, saya bisa mengintip kembali hati nurani, yang kini nyaris tergilas, karena segala hal lebih menghamba pada materi dalam jagat kapitalisme nan duniawi.
Mungkin, di jamban, saya bisa menemukan tuhan dalam diri saya sendiri dan membunuh atau menyingkirkan (untuk sementara) tuhan-tuhan lain. Maka, ketika Nieatzcshe mengatakan, tuhan telah mati. Saya pun mengamininya. Tuhan-tuhan yang berada di luar lingkar diri dan melakukan penetrasi pada segala kehendak memang harus disingkirkan.
Masih mengikuti filsuf yang berfilsafat dengan palu itu, setelah meneriakan kematian tuhan, Nieatzcshe pun berkata: “Zarathustra, lihatlah aku”. Lihatlah manusia, yang terbebas dari tuhan. Lihatlah saya yang terbebas dari tuhan-tuhan baru yang bisa membelenggu manusia. Tuhan-tuhan yang diciptakan manusia sendiri. Meskipun, harus ditebus dengan kegilaan! Tetapi bukankah kegilaan itu kreatif?
Di jamban, saya melakukan dekonstruksi dari segala tuhan yang dijejalkan dalam pikiran, perasaan dan kesadaran saya. Saya bisa berlama-lama, sambil menghela nafas panjang untuk sebuah arus yang telah memenangkan pertempuran ‘diam-diam’ dan besar dengan sosialisme. Di jamban saya melakukan teror pada kesadaran saya yang hampir terenggut oleh pertunjukan maha besar dan spektakuler akhir dari sejarah.
Di wilayah pinggiran, dengan buang air besar, saya berusaha merebut diri saya. Hiperreal silahkan berjalan, kapitalisme global silahkan berjalan, terorisme global silahkan melangkah. Tapi di jamban, saya telah menemukan ruang dan waktu untuk lepas dari segala hal yang menyetir kehendak dan meracuni pikiran waras saya.

Surabaya, 2004

Dua Puisi Panjang 2002

Sajak Mashuri

Darah

Seperti kereta,
Aku berkendara di antara rumput-rumput merah
Keterasinganku yang hitam melumat
Nafasku. Iblis
Taufan begitu bergemuruh. Mengabarkan luka
dan sejarah yang terpahat di menara
Tapi di mana bisa kutemui segala pelayaran
Tanpa menunggu terminal
Dalam buaian waktu

Lalu tubuh putih yang pucat
Mengirimkan doa, seperti tuhan yang kesepian
Dan langit yang mengguyurkan sedih
Pada mata pisauku
Darah,
Kusebut darah
Dalam impian kesekian. Ketika gemuruh cahaya
Menampar lumpur sawabku
Kabut-kabut berdentum
Lalu kurubah arah perahu
Kurebut farji dari perut bumi
: aku laki-laki

Tapi siapa yang bisa memastikan
di setiap teminal, pemenang pertempuran
Seperti abad yang berlari
Dan gerimis mendaki
Memamerkan segala kesedihan dengan air mata
Padahal amarah menjelma kunci utama
Pembuka surga.

Mungkin daun-daun gugur
Tapi ia gugur bukan untukku
Ketika alam telah mendendangkan kematian,
Maka segala kepala menjelma belukar
Segala harapan menjelma ular
Dan kurebut cahaya dari segala puting jaman

Mungkin dalam puting beliung, semacam periuk
Raksasa
Kutasbihkan kesombonganku
Kuremas segala sisi manusia
dari darah, daging dan impian
Lalu kulaknati kelemahanku seperti serigala

Ketika kuberkendara, taring-taringku
Berjuntaian seperti akar beringin
Melilit ibu, tubuh telanjangnya
Dan memperkosanya di sebuah altar
Tempat yang segala nista tersebar
Di sana, ada raja,
di sana jaman telah menyerahkan dirinya

Lalu duniaku, dunia anak-anak yang bisu
Bermain kereta dari pasir
Mengendarainya dari bukit-bukit, mengulum waktu
Dalam waktu
Menyampaikan kabar terakhir dari batu
Bahwa dunia ada, karena darah tumpah

O sang jagat, berilah tubuhku kehendakmu
Berikan belati yang menancap di kutub-kutubmu
Aku akan berkendara dengan kereta
Bintang-bintang
Memerkosa setiap perempuan
Dan merobek setiap garba dengan gigi teringku

Aku akan mengembalikan segala yang nista
Seperti tubuhku, tubuh dunia
Tubuh segala yang bernafas dengan udara
Udara yang penuh api

Lalu setiap rumput yang mengering
Seperti kemarau
Ia gemeretak di setiap ubunku, di setiap sahwatku
Ia merindukan segala hujan
Dari mulut langit
Dan segala yang gugur dalam kekeringan
Menjalin darah
Dalam puisi
Lalua mencampakan risalah
Di kali
Sebab setiap yang bernama kesucian
Hanya tempat untuk menistakan dunia

Mungkin keretaku yang rapuh
Akan tersepuh dahan-dahan matahari
Kurebut segala ilham dari sengkarut waktu, tubuhku
Dan segala pengorbanan di alamku

Kucobai kemanusiaanku dengan gaib
Seperti tubuhku yang raib
Ketika segala impianku membentur dinding kosong.
Seperti wahyu, aku berlari, tanpa tali temali,
Tanpa sayap-sayap.
Kuundang jibril dengan ketelanjanganku
Lalu waktu
Seperti lingakaran-lingkaran penuh,
Matahari yang purnama
Gerhana seperti penantian
Dan gelap dalam bayang

Tapi adakah segala yang bermuara pada cahaya akan
Datang
Suatu hari
Ketika segala pasti
Dan yang berubah hanya sementara

Kupuja kekekalanku
Kekekalan jiwaku
Kekekalan kekalahanku
Jika kelak, kubertemu dengan seribu galaksi
Kusebut ia neraka,
Lalu kulabuh segala yang tersisa dalam api
Sebab segala yang berwarna merah
Hanya mencerminkan sebuah gairah
Gairah busuk!

Mungbkin harus kundang kembali adam
Dalam awal mula
Ketika ia masih buta pada arti sejarah
Lalu segala menjadi asing, aritmatika demikian sederhana
Sebab yang ada bukan hanya cakrawala

“Eva, lihatlah segala muara, delta
dan segala pelabuhan yang disandarkan di bahumu
Engkau tak butuh nabi. Nabimu adalah bumi,”

Seperti waktu, jejak-jejak itu semakin berat
Keretaku semakin sarat
Pasir hitam mengahablur dadaku
Cawan gelap mengubur lukaku
Lalu kugambarkan segalanya
Dalam segenggam ingatan
Dan kutuliskan dalam separoh khayalan
Bahwa aku ada,
Karena aku pernah berdosa.

Saksikanlah,
Tubuhku penuh luka
Tapi luka itu bukan milikku semata
Dunia demikian bebal
Dan kubebankan segala kebebalan pada sang kala
--nujum dewa-dewa—
Tapi siapa bisa memilih

Seperti kereta,
Aku berkendara
Rumput-rumput kering
Kemarau
Dan dingin mengulang segala penciptaan
Kelahiranku, kematianku dan mimpiku kuabadikan
Dalam duka
Duka yang memanjang, memanjang
Dan mengubur segala ketelanjangan
Telah kucari sebuah terminal,
Dan aku tak ingin mnemukannya
Aku hanya ingin menyaksikan darah
Menetes
Dari luka yang tak akan pernah sembuh
Sepanjang sejarah
Sebut aku kafilah!

Surabaya, 18 Juli 2002
*Terdapat dalam kumpulan puisi berempat: Manifesto Surrealisme (FS3LP dan Galah Yogyakarta, 2002)

Sajak Mashuri

Nyanyian Hujan
--requiem anak bajang
dalam bayang-bayang
sang kala--

Aku memaknai setiap lembar hujan
dengan ingatan
dengan tafsir batu-batu yang tumbuh di keningku
Sebab kabar yang berkejaran pada papirus tua
adalah langkah yang tak pernah sampai

Jika dari jendela, dingin menjelma asap
Uap gigil. Bayang ketakutan
Aku berpendar dalam cahaya anak-anakku
Karena ia tahu, kapan kereta berangkat
dan menyisakan goresan di beranda
Lalu rumah-rumah lungkrah.
Ketiadaan menjadi taring babi hutan
Dan riwayatku, serpihan kardus pandora,
hantu, dan seribu malaikat dari neraka

"Kenapa kau mengandaikan keabadian
di puncak stupa, dalam arca telanjang"

Akulah kafilah, pengasah pedang dari jagat maya
Tapi selaksa pesona tubuhku
adalah sisa reruntuhan, ornamen orgasme,
dan kutuk lingga yoni, di jalan bercecabang ini.

Jika suaraku terdengar di dasar malam
Ia tidak lolong srigala
Ia rajutan ombak, suara kelelawar,
dan kegilaan pada kata
Mungkin aku berkejaran, tapi pelarianku
begitu nisbi, ketika maut merenggut
dan labirin ingatanku demikian gelap
Haruskah aku membangkitkan belulang
Menjadi serdadu dengan senapan kayu,
tombak, dan seragam lurik.

Pada nisan, seonggok tanda tersisa
Seperti puing,
ia tak rela kehancuran memuncak
Namun hujan telah mengantar raib, pada gaib
Menyelusup awan. Menjaring gemintang
Dan ingatanku pada ranah yang pernah ada
dengan tahta pelangi,
telah luntur dalam birahi.
Karena sepasang arca di pinggir gapura
Mengabadikan senggama
Ia berkata tentang maut
Maut yang bermuara pada renggut
Saling menyepi, memberi, dan berlelehan.

Di taman, mawar mekar susu
Dan seluruh penghadapan bisu
Seperti kebisuan pada tubuh-tubuh telanjang
Dengan gerak yang miskin
Dengan kediaman yang lazim
Roh berjajar roh. Jasad blingsatan
Sebab senyap, bukan untuk dicipta

Setelah gerimis, maut meracuni bibirku
Kukecup ketiadaan.
Seperti rumah-rumah, raja, dan sebaris tentara
dengan perisai kertas.
Tapi suaraku sirna dalam hujan
Mengalir di kali-kali, ngendon di muara
dan menjadi ikan-ikan di lautan

Ketika seorang perempuan membasahi tubuhnya
Aku berbisik tentang cinta dan kerinduan
O, rumahku telah bangkit
dalam raga ranum, bibir merekah, dada membuncah
Tapi di mana kau simpan gairah binal
Sebab tak ada puting, tak ada ceruk
Sebab ia boneka
--silam yang terpuruk-

Di pasar, boneka menjelma dermaga,
tempat bersandar dunia. Dunia baru
yang melupakan ritmis gerimis, tetes embun
dan nyala damar.
Di sawahku, rerumput tumbuh
Liar, berpinak, mencipta gugusan koloni
Hujan turun satu-satu. Merakit huruf abu-abu
Aku membacanya dalam pedati,
dalam bajak yang rapuh, dan pematang ringkih
dalam sebuah cakrawala senja

Tapi maut, maut merenggutku pada masa lalu
Tak ada tawar tentang kehadiran
Sebab jejak hanya timur yang nestapa
Karena kehilangan
Dan waktu yang tak berpihak

Ketika batu-batu tetap batu
Dengan pahatan aksara asing
Aku membuka lontar;
Membaca dunia. Dunia yang tak kukenal
Dalam kapal-kapal yang berlayaran, dalam kanal

Pantai-pantaiku adalah penghabisan
Lalu kusebut sayonara
Sebab kematian benar-benar datang
Kukirim boneka rumput ke angkasa
Kukaji titik-titik air dengan rayuan
Aku beterbangan dari dahan ke dahan, dari benua,
Dengan nafsu membara, birahi membakar
Dan dosa penafsiran yang kekal

Ketika hujan turun ke bumi kembali
Aku menangkap maut di kerlingnya
Batu-batu pecah
melengkapi reruntuhan rumah
Aku mencipta aksara
dari kebengisan, hantu-hantu, tinta hitam
Mautmu adalah rohku.
Aku telah merebut waktu

Di kaki langit,
Bangau terbang rendah. Padi-padi menguning
Dan rumpun bambu di belakang rumah
Memberiku kabar dan makna, tentang jaman nista
Kota-kota menjadi raksasa
Seperti jam yang terus berputar

Dan ingatanku begitu dingin, seperti lelehan es
Yang berjuntaian di ufuk. Menjelma cakar-cakar
Menakutkan
Tapi aku punya rayuan untuk sebuah perselingkuhan
Untuk sebuah birahi

Untuk dewaku birahi
Seperti jawab yang bertebaran di kaki langit
Seperti cahaya yang membias di gelas-gelas kaca
Mencipta horison, keping harap
Pada pertalian sukma
Sebab senja tak akan mengajar malam
Menjadi sia-sia dengan nalar bertuba

Tapi sekali maut tetap maut
Rumahku kosong. Aku menyingkir ke benua lain
Menjelma orang-orang lupa
Di mana tanah kelahiran, di mana biduk
sajak dan kapan hujan.

Dan aku akan memaknai setiap lembar hujan
Dengan ingatan yang tersisa
Seperti kekosongan, saling silang, perang,
serang, dan pemerkosaan

Tik!

Seperti suara waktu
Berlepasan, rubuh, patah dan jatuh
Seperti aku,
Berzinah di antara puing reruntuh

Dan dalam persenggamaan liar
Dengusku membakar dunia. Dunia lain, duniaku
Duniamu; wilayah lahat, di kolong jagat,
Dan rupa nyawa yang beterbangan

"Antarkan aku dengan suaramu,
dengan nyanyianmu. Aku tak butuh doa"

Tetapi kenapa kematian pun butuh nada
Apakah dalam kematian menyimpan suara,
Gending-gending dari negeri antah berantah
Yang membahana di gigir tebing, di tubuhmu
Di langit-langit, dan lukisan yang tak pernah selesai

Seperti juga aku, telah memberi arti
Pada nafasmu
Aku akan berdiam dalam lanskap sederhana, pagupon
Seperti seekor burung dara
Yang menjemputmu dalam udara
Karena nyanyian ini hanya menumbuhkan iri,
Keberangkatan yang memusat,
dan perjalanan di kota-kota tua yang tak pernah tamat

Seperti perjalananku pada notasi lekuk tengkukmu
Dengan bulu-bulu halus, kerling yang terencana,
Dan sebuah sapaan yang liar
Kenapa semua bersatu dalam tubuh
Laksana sepotong bukit yang menyimpan cemara,
Gugusan lumut, dan ular berbisa
Kapan aku selesai menyapu dengusmu,
Atau pada penghabisan di pucuk-pucuk buluh
Dengan derit angin dan daun-daun gugur

Jika jubahku basah, isa telah mati di mataku
Lalu katakan padaku tentang tembang itu
Karena aku ingin mencumbu senyap
Di sebuah keranda
Yang tak tertulis apa-apa

Tapi kesangsianku pada bayonet yang menghunjam
Dadamu, seperti pintu
Ia terbuka ketika usia tertutup
Salju
Seperti gunung-gunungku, dengan deru angin
Yang dingin
Dan keagungan yang menyakitkan

Sebab dongeng yang terngiang dari bibir ibu
Menjelma rentetan peluru. Merebus ingatanku
Dan rumahku yang menancap di tubuhmu
dengan tiang payudara, dengan ranjang liang senggama
adalah butiran-butiran gandum,
dan seekor gagak bertengger di wuwungan
untuk bersuara kematian

Mungkin sejarah yang tergurat di dinding goa
mengasingkanku pada seonggok bangkai,
pada kapal yang karam, dan sebuah tanda tanya
tentang rerumputan liar

Tapi seruling gembala, dalam desahku
adalah halilintar
Izroil akan pamit padaku
Untuk menyanyikan dendang sabda
Sebab waktuku, dengan riwayat yang menggumpal
Di kakimu; menyisakan jejak-jejak kabur,
partitur usang, dan sebuah lagu sumbang.

Jika jejak itu terhapus
Aku berubah naga. Nafasku membakar
Mendedah sawah, mengemas jazirah
Menjadi bongkah pasir
Menjadi pantai-pantai
Dengan sebuah legenda berapi-api

Dan kusebut namamu, waktu, gadis sepiku
Sebagai kota-kota tua, seutas rahasia,
dan sebuah peta lungkrah.
Tapi aku mengingat tubuh putihmu,
Hawa sahwat dan sebuah rayuan kematian
Seperti sihir

Mungkin nyanyian itu sebagai tanda
Tak ada yang menyatu, tak ada yang berpisah
Sebab maut bukan soal waktu
Ia adalah karpet tua, gelas berukir,
dan seorang petani desa

Kelak, ketika ranjang pengantin kita sempurna
Aku akan bermimpi tentang sebuah pernikahan
--kau pengantinku, aku pengantinmu-
Tapi impian bukan tamsil kematian
Ia akan menjadi ruhku,
Seperti opera dengan cerita yang sirna
Atau pengkhianatan kata-kata, peleburan mantra.

Jika kau dengar requiem ini,
Aku telah berlari dari keterasinganku
Pulau-pulau muksa, seperti asap pembakaran dupa
Gerimis dan pongahmu akan jatuh ke bumi

Rayap-rayap membuat rumah
Lalu saling berkisah tentang kafan yang kusut
dan sepasang biji mata yang tak terpejam

Aku menjadi bayang-bayang, dalam kelir yang mengalir
dalam dosa warisan, dan pertaruhan kura-kura
di telaga
Aku berkata tentang penghabisan

Lalu kau kusebut bunga, gadis sepiku
Dengan ingatan tabu, dengan serpihan silsilah
Yang berpatahan di kitab-kitab lama
Kutulis namamu di pelepah korma, sebagai nisan.
Mengenang hujan.
Dan pelayaranku akan abadi di kapal-kapal tua
Seperti ziarah burung-burung
Tubuhku bersayap
Dan setiap jengkal tanah adalah ibarat
Seperti lambang dada, dalam kepastian yang tiada

Setelah pembakaran itu, gerimis menipis.
Kesucian, kesunyian menjelma rongsokan,
arang dan abu jenazah yang menghitam
Seperti larung yang mustahil.
Dan gaib, hanya igauan anak-anak bebal
Sebab pohon-pohon kelapa berjajar,
Buih saling kejar
Dan peta membenam dalam pasir
"Tak ada kekekalan. Sebab yang kekal
hanya pantai dan pantat yang landai"

Dan kematian adalah sia-sia,
kerja yang tanggung, dan serapah
yang lunas dalam cuaca
Tapi kenapa kematianmu begitu berarti,
Hingga butuh nada tinggi
Adakah kau yang menyimpan palu pembongkar
Dalam irama hujan

Lalu kenapa kau kirim tanah seharum ini kepadaku
Ingatanku telah lapuk. Berpagar nisan
Seperti pulau-pulau tak bertuan,
Nisan tanpa nama, tanpa alamat dan tanggal.
Sepi. Gadis sepiku

Dan hujan memercik diamku dengan nyanyian
Nyanyian anak-anak desa dengan luka-luka
Di dada
Aku telah tersayat kilau pisau
Kulitku tergores ilalang di padang
Dan suara atap yang meratap
Menyingkir ke lembah segala lembah. Rahimmu
Rintik yang mengundak mistik
Melepas gerak
Pada riak-riak, pada notas gaib sang waktu

Dan tanah ini biarlah kusematkan pada mata
Bonangku, seperti liukan selendang ibu
Di rumpun bambu, batas waktu

Tik!

Seperti suara waktu
Berlepasan, rubuh, patah, dan jatuh
Seperti aku,
Berzinah di antara puing reruntuh

Anak-anak yang terlahir dari rahimmu:
Anak-anak jadah,
penguasa neraka. Pengutuk segala amsal
Setelah nyanyian hujan,
Aku berlarian di luar waktu
Mengumbar liarku pada senggama
Senggama di bawah pohon sakura
Dalam musim semi, dengan bunga-bunga

Dan kulihat matahari seperti telor mata sapi,
Seperti liang peranakan
Dengan rumbai-rumbai putih, dalam karnaval
bocah-bocah yang tak mengerti arti cuaca
Lalu waktu adalah kekosongan
Kekosongan yang begitu dingin
Menggigil
Bugil

Aku telah memaknai setiap lembar hujan
Dengan ingatan
Dengan tafsir asmaragama yang tumbuh di keningku
Sebab dalam gurat kitab-kitab lama
Aksara seperti pahatan lingga, pahatan vagina
Dan mengekalkan persetubuhan kala
Di tubuh dunia, tubuhku

Dan setiap rintik hujan, mengekalkan kematian
Kematian waktu


Surabaya, Januari 2002

Problem Sastra Jawa

Sastra Jawa dan Persoalan Estetika
Oleh Mashuri

Peristiwa yang menyerupai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974 kembali terjadi. Kali ini, terjadi di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2002, yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan Jawa. Tetapi, terdapat perbedaaan mendasar di antara kedua pengadilan itu.
Kiranya mengomentari masalah pengadilan terhadap sejumlah sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage memang sudah agak basi. Tetapi, ada beban moral bagi saya, jika saya tidak turun tangan dalam masalah ini, untuk sedikit memperingatkan pada generasi-generasi yang lebih dulu berkarya daripada saya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab saya pada sejarah.
Sementara itu, perbedaan kedua pengadilan dalam jagat sastra itu kiranya bukan mengarah pada masalah ‘subyek’ dan ‘obyek’ yang diadili, tetapi lebih pada latar belakang terjadinya pengadilan itu. Jika pengadilan puisi di Bandung, jaksa penuntut umum Slamet Sukirnanto mendakwa tentang kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!. Perbandingannya, jaksa penuntut dalam pengadilan yang dilakukan sejumlah satrawan Jawa lebih mempersoalkan pada masalah penerimaan hadiah Rancage untuk beberapa sastrawan Jawa. Isi tuntutannya pun menuntut untuk mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
Terlepas dari adanya gurauan dalam proses pengadilan pada penerima hadiah Rancage, tetapi kejadian itu semakin membuka mata dan ‘luka’ sastra Jawa, bahwa untuk saat ini para penulis sastra Jawa memang dalam kondisi ‘pengangguran’. Artinya, memang tidak ada usaha kreatif dari para penulis Jawa untuk lebih berkonsentrasi dalam berkarya. Sehingga mereka lebih memilih berpolemik daripada kerja kreatif. Dengan kata lain, ada semacam sinyalemen bahwa mereka memang kurang pekerjaan. Ironisnya, polemik yang mereka gulirkan sama sekali tidak mengarah untuk kehidupan sastra jawa yang lebih kondusif.
Hal yang sama juga pernah dinyatakan Gunawan Moehamad dalam menanggapi pengadilan puisi di Bandung. Gunawan mengatakan, bahwa pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Orang-orang yang generasi tua, tetapi tidak lagi berkarya, sedangkan ada rekan segenerasinya yang masih berkarya. Dengan kata lain, para penggagas pengadilan itu ‘iri’. Maka dengan sangat ironis Gunawan mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita…”.
Bila belajar dari kasus Pengadilan Puisi semoga saja, pengadilan terhadap penerima hadiah Rancage memang bukan berasal dari kata dasar iri. Sebab, jika dilihat dari susunan terdakwa yang merupakan sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, yaitu FC Pamudji (1994), Satim Kadaryono (1996), Djamin K (1997), Esmiet (1998) Suharmono Kasiyun (1999), Widodo Basuki (2000) dan Suparta Brata (2001), adalah tujuh orang yang pernah menerirma hadiah sastra dari Tanah Sunda dalam kurun 1994-2001. Adapun, yang menjadi jaksa penuntut adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah mendapatkan hadiah itu, diantaranya Sabrot D Malioboro, Suwardi Endraswara, Budi Palopo dan Muh. Noersahid Pramono.
Kendatipun, hakim Bonari Nabonenar mengatakan bahwa kedelapan terdakwa tidak bersalah dan hanya sebagai korban sistem sehingga dibebaskan dari terdakawa, tetapi nuansa yang dibawa sungguh tidak mencerminkan adanya ‘jiwa seniman’ yang mengedepankan nurani.
Sebab, bagaimana pun kerja kesenimanan adalah kerja yang tidak hanya mengejar penghargaan. Jika kemudian, semua mengejar penghargaan, maka pengejaran pada pencapaian harkat kemanusiaan pun hanya sekedar omong kosong. Apalagi, dalam sebuah penghargaan, segalanya pun tergantung pada kewenangan juri. Jika adanya subyektifitas, hal itu kiranya lumrah. Hal yang sama juga berlaku dalam penghargaan nobel sastra sekalipun.

Asu Rebutan Balung’
Jika isu yang diangkat masih seputar masalah penerimaan hadiah Rancage, bisa dikatakan bahwa penuntut umum dalam pengadilan itu memang hanya berkutat pada perebutan sesuatu yang tiada gunanya. Dengan istilah Jawa seperti ‘asu rebutan balung’.
Padahal bila melihat perkembangan sastra Jawa saat ini, ada pekerjaan besar yang harus digarap dan tidak hanya mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu urgen. Hal itu karena bila dibandingkan dengan sastra daerah lain di Indonesia, Sastra Jawa mengalami ketertinggalan yang jauh. Apalagi, jika melihat dari latar belakang sejarah dan tradisinya. Maka yang tampak adalah adanya dekadensi dan kemerosotan estetika yang luar biasa.
Asumsi yang diungkapkan di sini bukanlah sebuah prasangka tanpa sebuah argumentasi. Pasalnya, berdasarkan konsepsi sastra, dalam Sastra Jawa tidak ada ketegangan antara konvensi yang ada dengan inovasi, yang merupakan hakekat dari sastra. Sehingga dalam tataran yang lebih luas, tidak ada yang bisa dilihat dari perkembangan sastra Jawa.
Sebagai bukti nyata, dapat dilihat pada beberapa hasil karya sastrawan Jawa kontemporer. Mereka tidak memberikan apapun pada perkembangan Sastra Jawa, karena tidak ada tawaran estetika yang telah mereka sumbangkan. Kerangka yang dibangun dalam hal ini adalah batasan sastra modern. Pasalnya, acuan yang dimaksud adalah sastra Jawa modern. Tak ada tawaran estetika yang lebih mengedepankan pada perkembangan sastra Jawa.
Kenyataan tersebut sangat ironis, jika melihat latar belakang tradisi dan sejarah Sastra Jawa yang luar biasa panjang dan gilang-gemilang. Dalam tataran khasanah Sastra Jawa Pertengahan, bisa dilihat pada sosok pujangga yang mewakili pusat, seperti Yosodipuro I, Ronggowarsito, Paku Buwono IV dan lain-lain. Begitupula dengan variasi sastra yang berkembang di daerah pesisiran. Kiranya, ada sesuatu yang tidak bisa diterangkan hanya berdasarkan pencapaian estetika saja, ketika membicarakan sastra Jawa mutakhir dalam kaitannya dengan sejarah sastranya.
Berkaitan dengan kemerosotan kualitas estetika sastra yang tak terkira, itu tidak hanya sekedar sebuah tragedi besar. Kendatipun dalam hal ini terdapat segudang apologi untuk mengungkapkan kenyataan di luar sastra Jawa itu sendiri, tetapi sebagai sebuah ‘wilayah’ kreatif, tidak ada alasan yang bisa diterima, jika hanya mempersoalkan tentang aspek di luar sastra. Misalnya politik dan perubahan sosial. Logikanya, sastra akan bisa berkembang lebih pesat bila menghadapi sebuah kondisi yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, para sastrawan Jawa lebih mempersoalkan pada penghargaan, bukan menjawab tantangan itu dengan berkarya dengan tawaran-tawaran estetika yang baru.

‘Rame Ing Gawe Sepi Ing pamrih’
Dalam kaitannya dengan adanya pengadilan pada penerima hadiah Rancage oleh sebagian Satrawan Jawa, perlu dikemukakan sebuah pepatah Jawa yang sudah sudah demikian melegenda, ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Artinya, lebih banyak dalam berkerja daripada pamrihnya. Kiranya, hal yang sama juga berlaku dalam berkarya. Lebih baik memang selalu berkarya tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan apapun.
Etos ini mungkin yang perlu dikembangkan, bahwa kita lebih lebih mempertanyakan apa yang telah kita berikan, daripada mempertanyakan apa yang telah kita dapat dalam dunia sastra Jawa. Toh hingga kini, peluangh-peluang estetika dan eksperimental dalam sastra Jawa memang masih terbuka lebar. Dialektika yang mengakar pada tradisi, dengan kahasanah-khasanah yang berserak masih bisa diterapkan.
Dengan demikian, dalam berkarya tidak lagi mempersoalkan sesuatu yang berada di luar lingkup karya. Misalnya, mempermasalahkan masalah politik sastra atau adanya upaya penghabisan sastra daerah dalam kerangka sebuah identitas nasional. Sebab, dalam perkembangan yang ada, aspek lokalitas memang sudah berkembang lama. Hal ini sudah ditangkap oleh para sastrawan yang berlatar belakang Jawa tetapi menulis dalam bahasa Indoensia. Hanya saja, sastrawan Jawa yang menulis dalam bahasa Jawa memang belum mendapatkan koordinatnya yang tepat. Sinyalemen yang berkembang pun akhirnya mempersoalkan sesuatu yang berkembang di luar sistem sastra.
Sebenarnya banyak hal yang bisa dibongkar dari konstruksi Jawa yang ada dari perspektif sastra Jawa sendiri. Salah satunya adalah masalah bahasa. Selama ini, penggunaan bahasa dalam sastra hanya pada tataran komunikatif, tetapi tidak pernah menggali bahasa dengan segala kemungkinannya, menghunjam sampai tulang sumsum kehidupan dan sampai warna darah peradabannya. Apalagi bahasa Jawa dikenal dengan tingkatan-tingkatan hierarkhinya (kromo inggil- kromo madya-ngoko). Toh, dalam hal ini kesadaran berbahasa Jawa pun tidak pernah disadari kehadirannya. Pasalnya, hingga kini belum ada yang berani bermain dalam kemungkinan perkembangan bahasa Jawa yang demikian pesat, dengan mengandaikan titik yang tidak bisa diungkapkan, berkaitan dengan perubahan peta global dunia dan realitas di sekelilingnya. Padahal pergeseran wilayah sastra memang harus melampaui wilayah ekspresi secara an sich, tetapi lebih melihat pada adanya gagasan dan pemikiran tentang realitas dan masa depan sosio-kultural yang melatarbelakanginya.
Bisa jadi, hal itulah yang menyebabkan kenapa dalam sastra Jawa modern, tidak ada sebuah karya yang bisa dianggap semacam tolak ukur batasan estetika, baik itu dalam prosa maupun gurit (puisi). Tiadanya tolak ukur itu bukan hanya sebuah kasus yang serius, tetapi sebagai sebuah tragedi yang patut untuk direnungkan. Nyatanya, toh, hingga kini tidak ada seorang pun pengamat sastra Jawa yang mampu menempatkan sebuah karya sebagai tolak ukur. Tetapi tolak ukur dalam batasan estetika sebagai semacam barometer estetika memang perlu dimunculkan. Kiranya, di situlah tugas satrawan-sastrawan muda Jawa, agar mereka lebih banyak berkarya, daripada berpolemik untuk polemik itu sendiri, tanpa menyentuh akar permasalahan yang semestinya. Mungkin, sastrawan muda Jawa harus berani berkata pada generasi yang lebih tua yang suka berpolemik itu: “Wahai Pak Tua, tak ada salahnya sastra Jawa berkembang tanpa Anda…”.
* Dimuat di Media Indonesia, tahun 2002

Resensi Buku 'Lama' Tapi Kontekstual

Merajut Pluralitas dengan Kesadaran Ketuhanan
Oleh Mashuri

Resensi buku: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
Penulis : Budhy Munawar-Rachman
Penerbit : Paramadina Jakarta
Cetakan I, Maret 2001
457 + xxiii halaman


Pluralitas merupakan suatu realitas yang benar-benar ada dan tidak mungkin dihindarkan. Dalam dunia pemikiran dan filsafat, pluralitas telah disikapi dengan munculnya berbagai macam wacana dengan semangat dekonstruksi, yang terangkai dalam gerakan pemikiran postmodernisme. Sebuah gerakan pemikiran yang membongkar hegemoni realitas tunggal, untuk menunjukkan keberagaman realitas, yang selama ini di bawah tafsir tunggal modernisme.
Sebaliknya, tidak demikian dalam wacana agama. Dalam wacana agama ada kecenderungan mengenyampingkan pluralitas. Hal itu berawal dari pemahaman pada doktrin agama yang memandang kepercayaan agama lain berada di luar dirinya. Sehingga kebenaran hanya berada dalam ruang lingkup agamanya sendiri dan menafikan adanya kebenaran lain, yang berserak dan beragam di sekelilingnya.
Fenomena tersebut adalah gejala purbawi dan wajar-wajar saja dalam konteks doktrin sebuah kepercayaan religi. Akan tetapi, ketika masing-masing pemeluk agama meradikalkan konsep itu dalam tataran persepsi yang lebih luas, yang dimanifestasikan dalam tindakan sosial. Maka, agama yang hadir untuk memberikan pencerahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam kaitannya dengan sebuah tatanan sosial tidak akan pernah terwujud.
Sementara itu, harapan akan munculnya agama yang membebaskan, meminjam istilahnya Erich Fromm dalam Religion and Psychoanalysis yang juga dikutip dalam buku ini, hanya sebatas utopia yang kelewat jauh. Pasalnya, agama tidak lagi berpusat pada manusia dan segala potensi yang ada dalam dirinya, yaitu kekuatan akal dan perasaaan. Agama hanya dipahami sebagai tonggak kaku, yang terberi dari ‘Tuhan’, yang berisi aturan-aturan yang membelenggu. Yang lebih ekstrim, agama yang seharusnya menjadi ‘jalan’ untuk meraih kebenaran dan keselamatan, berubah menjadi ‘tujuan’. Dalam perspektif Islam ad-din (agama) yang seharusnya sebagai wasilah (jalan atau cara) menjelma goyah (tujuan). Goyah yang seharusnya adalah kebenaran, keselamatan dan Tuhan, melebur menjadi lembaga dan doktrin.
Kiranya yang perlu didekonstruksi adalah doktrin konservatif ajaran-ajaran agama (apapun) dalam kancah persaudaraan semesta, sehingga tidak hanya berhenti pada dogma atau pada ajaran yang disandarkan mentah-mentah pada kitab suci. Tidak juga pada penafsiran yang mengebiri penganut kepercayaan lain. Reinterpretasi pada konsep teologi secara historis perlu ditekankan, dengan mengacu pada konteks dan realitas kekinian, yang mengedepankan pola pikir humanis dan kesadaran ketuhanan. Sehingga di antara kaum beriman mempunyai kesetaraan dalam wacana spiritualitas.
Dalam pemikiran Islam kontemporer telah digagas tiga bentuk persaudaran, meliputi ukhuwah diniyah (persaudaraan agama), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan tanah air) dan ukuwah basariyah (persaudaraan manusia). Konsepsi ini sangat urgen untuk menyikapi pluralitas, karena memandang sekaligus menyikapi keberagaman dari manusia dengan segala aspeknya. Dengan mengandaikan sebuah hubungan yang indah antar umat manusia dalam tiga wilayah yang berbeda.
Dibutuhkan pengertian yang luas mengenai teologi dan doktrin agama, untuk menunjukkan seberapa jauh posisi sebuah agama di antara agama-agama lain yang ada dan berkembang bersama. Disebutkan, sudah sewajarnya jika sebuah agama membenarkan agamanya sendiri. Artinya, tiap pemeluk agama menerapkan standart yang berbeda antara agamanya dengan agama lain. Sehingga melaui standart ganda inilah, muncul prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Padahal prasangka-prasangka itu diwarisi dari tradisi yang diturunkan dari para pendahulu.
Mengenai klaim kebenaran sendiri, biasanya ditekankan secara fanatik oleh pemeluk agama dari kalangan fundamentalis, baik dari agama monoteis maupun politeis. Seperti dijelaskan oleh Rachman berikut ini: “Kaum fundamentalis mencanangkan dalam dogma keagamaan mereka, teror dan pembersihan agama dari pandangan-pandangan modernisme, liberalisme dan humanisme modern, melalui klaim kebenarannya sendiri yang berlebihan”. (hal. x )
Budhy Munawar-Rachman berupaya merumuskan sebuah titik singgung, dengan mempertemukan antar agama-agama dari aspeks spiritualitasnya. Dengan sebuah uraian bahwa spiritualitas sebagai pertemuan esoteris agama-agama. Spiritualis dideskripsikan dalam konsep dan penjelasan yang seluas-luasnya. Dengan menelusuri beberapa paham keagamaan dari agama-agama dan keyakinan besar dunia, baik itu dari jalan sufi, meditasi dan yoga, dan menarik tarik simpulnya pada upaya pembebasan tertinggi. Dengan kata lain bahwa dari setiap agama dan kepercayaan, masing-masing menuju pada jalan pembebasan yang sama secara spiritual dan dapat dipertemukan di sana.
****
Sebagai sebuah tulisan yang asalnya dalam bentuk esei lepas, dengan bermacam pembahasan dan ditulis dalam rentang waktu yang panjang. Pembahasan, gagasan dan pemikiran yang tersaji dalam buku ini terkesan berlompatan. Kendati demikian, buku ini menawarkan keasyikan tersendiri. Di samping itu, benang merahnya pun masih dapat dilacak, yaitu mengenai pluralitas dengan persepsi seluas-luasnya. Apalagi dalam setiap pembahasan menunjukkan keluasan wawasan dan orisinalitas penulisnya.
Pada Bab II tentang Islam dan wacana filsafat kontemporer. Pembahasannya tidak hanya pada wacana keislaman saja, tetapi juga perkembangan filsafat kontemporer. Dengan tema tentang filsafat mencari kearifan hidup (hal. 209), yang memaparkan tentang novel filsafat Dunia Sophie, karya John Gaardner. Di sisi lain juga menyoroti akar abadi filasat klasik Islam yang bersumber dari filsafat Yunani kuno. Sementara itu, dalam pembahasan Islam Transformatif dalam wacana Neo Modernisme, merujuk pada beberapa pemikir keislaman Indonesia kontemporer. Dengan mengetengahkan adanya pergeseran pemikiran tentang Islam sebagai sebuah ideologi keagamaan ke arah Islam sebagai pemikiran, untuk menjawab kebuntuan penafsiran agama yang sesuai dengan konteks zaman. Intinya, konsep Islam Transformatif lebih mengarah pada pemberdayaan umat (sosial) daripada untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum negara.
Memang dibutuhkan semacam kesadaran bahwa Islam harus diinterpretasikan kembali, agar Islam mampu mengaktualisasikan diri sebagai warga agama-agama di dunia. Pasalnya, stereotipe Islam yang sering digambarkan oleh beberapa Orientalis Barat telah menjadikan Islam sebagai agama pinggiran. Yang ingin dibangun oleh kalangan Neo Modernis adalah pembaharuan wacana teologis dan hukum, dengan jalan melakukan pembacaan ulang pada dasar-dasar Islam dalam Al Quran dan Hadits.
Hal yang sama juga dilakukan untuk menyikapi wacana-wacana kontemporer, seperti gender dan feminisme. Pasalnya, masalah ini termasuk masalah yang rawan dan peka dalam doktrin Islam konservatif, karena terdapat ayat-ayat Al Quran yang terkesan mengebiri peran perempuan dalam interaksi sosial. Dengan semangat liberal, Rachman menawarkan penafsiran Islam Liberal untuk memberikan penafsiran ulang pada masalah tersebut, dengan pendekatan humanisme universal dan mengacu pada konteks kekinian. Upaya yang ingin diwujudkan adalah kesetaraan gender dalam kerangka humanitas yang lebih luas. Memang, yang digagas Rachman adalah wacana kesetaraan kaum beriman dalam kerangka humanis dan bisa diterima semua pihak.
Kiranya Islam Pluralis bisa menjadi angin segar di kancah dialog inter dan antar agama di tanah air, sebab realitas sosial kita menuntut adanya pemikiran-pemikiran seperti itu. Seperti yang dikatakan oleh Djohan Effendi dalam kata pengantarnya: “Masih banyak, bahkan sebagian besar, umat kita kurang bersentuhan dengan ide-ide pluralisme. Karena itu perbedaan agama bagi mereka merupakan penghalang untuk menjalin kerja sama. Mereka lupa bahwa Tuhan menciptakan bumi ini bukan untuk satu golongan atau agama saja”. (hal. xxi )

Surabaya, April 2001

Cerpen A-sufisme

Kematian Matali
Oleh Mashuri

Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia.
Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.
Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.
Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.
“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”
Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan pria idaman lain (PIL), bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.
“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur.
Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?
“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.
Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.
“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.
Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh. Alur pikirannya seperti namanya: goblok dan setengah berlendir.
“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang masih kinyis-kinyis dan tokcer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.
Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semakin tak bertenaga.
“Perempuan itu sedang garang-garangnya...,” tutur Ngahngoh.
“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”
Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.
“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.
Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru: agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.
“Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.
Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.
“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.
“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.
“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.
Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang nomor bunuh diri. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.
“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi.
Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.
“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur
“Kami sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.
“Hasilnya?”
“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.
“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul Korak.
Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka masing-masing.

****^****
Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata.
“Pa, kepergianmu sungguh indah...” bisiknya, lirih.
Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”

Surabaya, 2006
* Dimuat di antologi cerpen Gapus 'Secangkir Kopi dan Sebatang Lisong'.