Minggu, 22 Juni 2008

Cerpen Gokil






Kiai Klobot

Cerpen Mashuri

Aku biasa memanggilnya Kiai Klobot sebab orang-orang kampung juga memanggilnya demikian. Bisa jadi ia dipanggil kiai karena kapasitasnya memang dianggap lebih dari sekedar guru ngaji, meski aku tak pernah melihatnya mengajar ngaji. Terlebih ia juga mumpuni dalam hal supranatural dan dikenal sebagai ahli suwuk. Menurut orang kampung, jika ada orang sakit maka Kiai Klobot cukup menyembur ubun-ubun orang itu dengan ludah, maka sakitnya akan terbirit-birit lari. Sedangkan sebutan Klobot berasal dari kesukaannya yang merokok dengan cara melinting tembakau dengan bungkus kulit jagung alias klobot.

Aku pernah penasaran dengan nama aslinya, lalu menelusurinya. Salah satunya pada Mbah Dulmajid, seorang sesepuh kampung yang dikenal orang paling tua sekampung. Ia pun bercerita, nama asli Kiai Klobot sudah lama hilang, terhitung sejak ia berusia belia. Hal itu berawal ketika ia dipanggil dengan nama aslinya, ia tak menoleh atau menyahut. Itu terjadi berkali-kali, lalu orang kampung pun melupakan nama aslinya. Peristiwa itu terjadi sudah lama. Tak ada yang ingat lagi. Orang kampung mengetahuinya lewat cerita dari mulut ke mulut.

“Jadi usia Kiai Klobot sudah tua. Apa sudah 60 tahun?” tanyaku.

“Lebih. Bahkan lebih tua dari aku. Soalnya, ketika aku kecil dulu, perasaanku beliau sudah seperti sekarang ini. Seperti lelaki 50-an tahun,” tutur Mbah Dulmajid, yang mengaku usianya sudah 80-an tahun.

“Bagaimana bisa, ia kelihatan lebih muda dari Mbah Dulmajid?” tanyaku.

“Begitulah…,” jawab Mbah Dulmajid.

Selanjutnya, Mbah Dulmajid tak bersedia berkata lebih jauh. Aku sendiri tak bernafsu untuk mendesak lelaki yang sudah mulai gemetaran itu.

Aku tak bisa membayangkan Kiai Klobot itu berusia lebih dari 80 tahun. Meski badannya agak kurus, postur tubuhnya masih tegap. Cara berjalannya tegak dan sigap seperti cara berjalan lelaki berusia matang dan tak pernah sakit-sakitan. Tenaganya masih kuat. Setiap hari, ia masih pergi ke sawah untuk mencangkul atau menanam padi atau jagung di lahan garapannya. Ia juga kerap terlihat mencari kayu bakar sendiri. Sosoknya lebih tepat berusia 50-an tahun.

Konon, sejak remaja Kiai Klobot suka jalan-jalan. Setiap dinihari, ia berkeliling ke desa-desa tetangga untuk membangunkan anak-anak muda yang tidur di langgar, surau atau masjid kampung. Setelah Subuh, ia pun menyempatkan untuk berjalan-jalan lagi sampai matahari beranjak setombak. Apa karena suka berjalan-jalan itu, ia awet muda? Ah entahlah.

Menurut orang kampung, setiap keliling kampung-kampung tetangga, anak-anak kecil pasti membuntutinya. Jika ia merasa diikuti, ia lalu berjalan dengan berirama, sambil mendendangkan lagu. Konon, lagunya sering berubah. Pada tahun 1945, ia menembangkan ‘Ilir-ilir’. Pada zaman PKI 1965, ia selalu mendendangkan lagu ‘Gundul-gundul Pacul”. Jelang Reformasi 1998 ia nyanyikan lagu ‘Kodok Ngorek’. Pada tahun 2000, ia menyanyikan lagu ‘Diobok-obok’ yang dipopulerkan oleh Joshua. Sedangkan baru-baru ini, ia menyanyikan lagu perjuangan ‘Maju Tak Gentar’ tapi sudah diplesetkan, menjadi ‘maju tak gentar, membela yang bayar’. Anak-anak pun selalu mengikuti nyanyiannya dengan riang gembira. Sepertinya semua lagu memang dinyanyikan untuk kegembiraan belaka!

Bagi warga kampung, Kiai Klobot adalah rumah sakit berjalan. Jika ada warga sakit, maka akan datang menemuinya. Apapun yang diberikan atau disarankan Kiai Klobot bakal diterima warga dengan kegembiraan. Biasanya pemberian dan saran itu dianggap sebagai resep sekaligus obat. Anehnya kebanyakan penyakit itu sembuh. Padahal yang diberikan Kiai Klobot kadang tak masuk akal dan nyeleneh. Suatu ketika, tetanggaku Matgufron, pernah sakit demam tinggi sampai mengigau-igau. Keluarganya pun datang ke Kiai Klobot. Kiai Klobot langsung masuk ke rumah dan keluar membawa air di dalam gelas. Ia minta agar Matgufron diberi minum dengan air itu. Begitu diberi minum, ternyata Matgufron sembuh. Padahal ada orang yang sempat melihat, air itu adalah air comberan yang diambil Kiai Klobot di belakang rumahnya.

Tidak hanya soal sakit saja, warga kampung datang ke Kiai Klobot. Ketika tim sepak bola kampung akan bertanding dengan tim kampung tetangga, maka kapten tim dan Pak Lurah mendatangi rumah Kiai Klobot. Kiai Klobot memang tak menampik setiap tamu yang datang ke rumahnya, apapun tujuannya. Maka ia pun menunjukkan resep jitu agar menang tanding bola. Ia menyarankan, sebelum bertanding semua pemain kencing di lapangan. Anjuran itu dilaksanakan. Hasilnya ajaib. Tim kampungku menang, padahal main di kandang lawan dan kualitas pemain tim kampung tetangga lebih bagus dari tim kampungku yang pas-pasan. Meski skornya tipis, hanya 1:0, tapi yang jelas kampungku menang. Aku tak bisa bayangkan, jika anjuran Kiai Klobot itu dilaksanakan pada pertandingan sepak bola yang digelar di tingkat nasional atau internasional.

Bagi para penjudi nomor lotere atau buntutan, Kiai Klobot pun dijadikan patokan. Para penjudi memang tak berani bertanya langsung kepadanya. Tetapi apa yang diperhatikan, dipegang dan dilakukan oleh Kiai Klobot, pasti menjadi rujukan nomor keberuntungan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu Kiai Klobot jalan-jalan, ia menemukan anak kucing sendirian di tengah jalan. Kiai Klobot pun membawanya pulang. Banyak orang di warung pun bisik-bisik soal anak kucing itu. Bukan untuk membantu memeliharanya, tapi untuk hal lain. Mereka langsung menaruh taruhan pada nomor anak kucing. Hal itu diikuti oleh warga lainnya. Bahkan, sebagian penduduk kampung lainnya ikut serta, begitu diberi tahu bahwa nomor itu bersumber dari Kiai Klobot. Ternyata begitu undian digelar, nomor anak kucing yang keluar. Tentu saja, sore itu menjelma sore riang gembira. Banyak penduduk yang dapat rejeki nomplok. Aku sendiri pasang lima ribu rupiah untuk dua angka. Tetapi hasilnya cukup lumayan bagi seorang perjaka yang bekerja serabutan seperti aku.

Entah dapat kabar darimana bahwa apa yang dilakoninya itu mendapat tafsir dari warga kampung yang doyan judi angka, esok harinya, Kiai Klobot tampak marah-marah. Ia mendatangi warung tempat orang jualan kupon nomor buntutan dengan menggenggam sebilah tongkat. Semua yang hadir semburat keluar karena takut. Siapapun meyakini apa yang diucapkan Kiai Klobot bisa langsung terkabul. Kalau mereka tidak lari menyelamatkan diri maka bisa berbahaya. Meski warung kosong dan hanya ada pemiliknya, Kiai Klobot masih tetap melampiaskan kekesalannya. Sambil menunjuk meja warung yang dipenuhi dengan rekapan nomor buntutan dengan tongkat, ia berujar: “Dasar babi!”

Setelah ia pergi, para pecinta nomor buntutan datang lagi. Dari pemilik warung mereka tahu, Kiai Klobot barusan bilang babi. Mereka pun ramai-ramai bertaruh pada nomor itu. Warga lainnya pun ikut-ikutan. Ternyata ketika diundi, yang keluar benar-benar nomor babi. Warga kampungku yang terdiri dari buruh tani, petani musiman, buruh pabrik gula dan tukang ojek pun bersorak. Sayangnya, untuk yang satu ini, aku tak bisa ikut karena aku tak hadir di warung itu. Meski begitu, dalam dua sore berturut-turut itu, bisa dipastikan bandar judi buntutan kecolongan besar.

Meski perilaku Kiai Klobot aneh dan tak masuk akal tapi tak ada yang berani menegurnya. Siapapun tahu menegurnya berarti bunuh diri. Sejarahlah yang berkata demikian. Menurut orang kampung, banyak orang yang berani menentangnya tapi akhirnya mereka tak berkutik. Contohnya Wak Salamah, pedagang kain di pasar kampung. Karena pernah memaki-maki Kiai Klobot dengan mengatainya sebagai orang gembel dan pengemis, dagangan Wak Salamah berangsur bangkrut. Malah Wak Salamah jatuh miskin.

Begitu pula Sumo Ngali, seorang blantik sapi. Ia pernah menfitnah Kiai Klobot sebagai tukang tenung atau santet. Tetapi bukan rumah Kiai Klobot yang digeruduk massa tapi rumah Sumo Ngali yang didatangi orang banyak karena sapinya mati semua. Selain itu, masih banyak lagi. Orang kampung pun menyebut Kiai Klobot sebagai jimat, bertuah dan bisa bikin orang kualat. Tak heran meski ia jarang terlihat shalat Jumat di masjid kampung, tak ada yang berani menegurnya. Soalnya sudah ada tiga orang di kampungku yang ketika berhaji di tanah suci Makkah melaporkan, mereka melihat Kiai Klobot sedang keluyuran di sekitar Ka’bah. Padahal secara bersamaan warga kampung juga melihat Kiai Klobot sedang mencangkul di sawah. Karena itulah ia sering dipanggil juga dengan gelar Kiai Haji Klobot, meskipun secara resmi, ia tak pernah naik haji.

Pak Lurah sendiri tak pernah membantah titah Kiai Klobot sebab Pak Lurah berhutang budi padanya. Pak Lurah juga takut kualat. Pada saat pemilihan lurah 20 tahun lalu, ia datang ke Kiai Klobot untuk minta restu. Tetapi belum sampai ia mengutarakan isi hatinya dan baru sampai di beranda, Kiai Klobot sudah menyambutnya dengan mengatakan, ia sudah mencium bau lurah di rumahnya dan calon lurah itu lalu disuruhnya pulang. Dalam pemilihan lurah, ternyata ia menang mutlak. Hal itu pun berlangsung setiap Pak Lurah mencalonkan diri menjadi lurah lagi, ia selalu menang mutlak.

Aku juga sering mendengar dari orang kampung, bahwa sebenarnya keantikan dan kesaktian Kiai Klobot sudah kondang ke seantero kabupaten, malah ada yang bilang sampai ibu kota provinsi dan ibu kota negara. Hal itu dibuktikan dengan banyak pejabat dan pengusaha kaya datang ke rumahnya. Bahkan, Pak Bupati begitu sering sambang ke kediamannya. Terhitung sebulan sekali. Para tamu terhormat itu diterima dengan tangan terbuka. Meski begitu, tak ada yang berubah dengan Kiai Klobot. Tongkrongannya masih tetap bersahaja, tubuhnya masih kurus, giginya masih hitam-hitam karena sering nyedot rokok klobot, bajunya pun masih tetap lusuh. Kebiasannya pun tak berubah. Bila di rumah, ia masih sering bertelanjang dada, hanya pakai sarung usang saja. Rokoknya masih melinting sendiri. Rumahnya masih berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Bahkan, ia sering diomeli istrinya karena sering kehabisan beras.

Biasanya jika sudah terdengar omelan istri Kiai Klobot, orang kampung pun bertanya-tanya dan kasak-kusuk. Intinya, mereka mempertanyakan, masak pejabat dan pengusaha yang datang ke rumahnya tak kasih apa-apa. Selanjutnya warga akan datang ke rumah Kiai Klobot dengan membawa beras dan sayuran agar istrinya tidak uring-uringan. Sahdan, begitu warga datang, Kiai Klobot akan tersenyum riang seperti anak kecil yang diberi sesuatu yang menyenangkan, sambil berkata bahwa itulah rejekinya yang sebenarnya.

Aku sendiri juga bertanya-tanya, soal gaya hidupnya yang aneh bin ajaib itu. Padahal tamu-tamu yang datang ke rumahnya pasti membawa mobil, bahkan sebagaian besar mobil mewah. Tentu mereka akan memberi salam tempel pada Kiai Klobot, dengan amplop tebal yang berisi uang banyak. Apalagi selama ini Kiai Klobot tak pernah menolak pemberian. Diberi apapun, ia akan menerimanya. Juga pemberian sebutan kiai khos yang disandangkan ke pundaknya. Hanya saja Kiai Klobot selalu berkata, ia tak pantas disebut kiai khos, tapi sangat pantas disebut kebalikan dari sebutan khos, yaitu sok kiai.

“Itu tanda beliau rendah hati,” tukas Abu, takmir masjid kampung, kepadaku.

“Soalnya sejak dulu, ia selalu tak ingin dikenal. Ia termasuk anak kiai besar di Jombang. Sejak muda ia doyan keluyuran dan aneh. Sebenarnya ia pewaris pesantren, tapi ia menyerahkan pada adiknya. Ia juga tak mau mengenakan nama aslinya tapi lebih suka dipanggil nama ejekannya. Ia datang ke sini ketika masih muda dan kawin dengan orang sini berkali-kali. Istrinya yang sekarang itu istri ketiganya. Istri pertama wafat, lalu beristri lagi. Begitu wafat, beliau pun menikah lagi. Keduanya wafat pada usia tua. Mungkin yang ketiga ini pun akan meninggal juga karena usianya sudah tua,” lanjut Abu.

“Jadi, usia Kiai Klobot berapa?” tanyaku

“Tak tahu.”

“Kamu juga tidak tahu nama aslinya?” tanyaku.

“Ya, tidak tahu juga.”

“Aneh! Bagaimana bisa seluruh warga kampung tidak tahu nama aslinya?”

“Ya, memang tidak tahu. Soalnya orang yang paling tua di kampung kita, masih kalah tua dari beliau. Perlu kamu tahu, beliau itu termasuk golongan qori’ul adah.”

“Apa itu?” tanyaku.

“Orang yang nyeleneh. Misalnya, umurnya yang kelewat panjang untuk ukuran kita, asal-usulnya selalu dirahasiakan dan lain-lainnya. Biasanya orang begini itu tak ingin kelihatan aslinya dan takut kebaikannya dilihat orang...,” kata takmir masjid itu.

“Hari gini, masak ada orang kayak itu?”

“Ada. Buktinya ya Kiai Klobot itu,” tutur Abu.

Sebenarnya aku juga pernah bertanya pada Ibu tentang Kiai Klobot, tapi perempuan yang melahirkanku itu malah balik bertanya padaku, “Apa mendiang ayahmu tak pernah berkisah dan mengajakmu ke rumah beliau?”

Aku menggeleng.

Ibu hanya tersenyum tanpa mengeluarkan jawaban apa-apa.

Sedangkan semua pengetahuanku perihal Kiai Klobot, aku peroleh dari kisah orang-orang kampung yang sering mengobral cerita di warung, tempat keseharianku mangkal, sambil ngopi dan bertaruh nasib pada nomor buntutan.

Menjelang pemilihan presiden tahun 2004, rumah Kiai Klobot diserbu beberapa tim sukses untuk minta restu dan dukungan. Ia memang dikenal tak pernah menolak tamu, sehingga ia pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Kebetulan aku ikut sebagai anggota tim sukses daerah dari seorang kandidat presiden dan wakil presiden. Aku pun datang ke rumah Kiai Klobot untuk melobi agar ia mendukung calon presiden dan wakil presiden yang sedang aku perjuangkan. Agar tidak mencolok, aku datang sendirian. Baru kali itulah aku bertemu muka langsung dengannya.

Di rumah itu, hanya ada Kiai Klobot sendiri. Aku tak melihat istrinya. Ia menyambutku di ruang tamu, kalau bisa dibilang ruang itu sebagai ruang tamu. Hal itu karena rumahnya tak ada sekatnya. Ruangannya dibiarkan terbuka, sehingga tampak dinding bambu bagian belakang rumahnya yang hampir roboh, juga gentingnya yang bolong-bolong. Aku bisa melihatnya langsung karena rumahnya tak ada langit-langitnya. Terlihat di sebelah kanan ada dipan bambu dengan kelambu. Tak ada kasurnya. Hanya beralaskan tikar pandan. Sepertinya di situlah tempat tidur Kiai Klobot dengan istrinya. Sedangkan di dekatnya ada dipan bambu yang cukup untuk satu orang. Bisa jadi, di situlah kiai Klobot dan istrinya sembahyang secara bergantian. Dipan itu tak beralas apapun, baik itu sajadah maupun tikar. Hanya bambu yang dihaluskan dan dijajar menyerupai galar. Tampak pula tali tambang yang direntangkan antar tiang sebagai tempat menyampirkan pakaian. Di sebelah kiri, tampak beberapa perkakas, seperti cangkul, sabit dan keranjang kosong.

Di bagian belakang, tampak dapur. Peralatan dapurnya cukup sedikit. Hanya panci, kuali, dapur tanah, dan onggokan kayu bakar. Sedangkan di ‘ruang tamu’ ada kursi panjang, meja segi empat cukup besar, dan sebuah kursi terbuat dari bambu. Ia duduk di kursi bambu itu, sedangkan kursi panjang yang terbuat dari kayu jati diperuntukkan untuk tamu, termasuk aku. Ada sesuatu yang menggoda batinku. Di dekat dinding bambu yang akan roboh, dekat dapur, terdapat karung goni berjajar di bawah kayu blandar, yang disangga kayu kecil dari bawah. Jika karung itu berisi padi, jelas penyangganya tidak kuat, karena padi cukup berat. Sepertinya berisi barang yang ringan.

“Namamu siapa?” tanya Kiai Klobot, yang mengagetkan aku.

“Saya Jagat, Kiai!”

“Nama yang bagus. Nama panjangmu ada?”

“Ada, Kiai. Jagat Tali Tampar!”

Kiai Klobot tersenyum.

“Kamu mau membantuku?” tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk saja meski aku belum mengutarakan maksud kedatanganku. Kiai Klobot langsung memerintahkan aku untuk menurunkan karung goni yang digantung di dinding belakang rumahnya, yang sempat menyita perhatianku tadi. Dengan tangga dari bambu, aku berusaha menurunkan karung-karung itu. Aku agak canggung karena aku merasa ia bisa menebak dengan tepat rasa penasaranku. Akhirnya sembilan karung goni itu berhasil aku turunkan. Saat menurunkan itulah, rasa penasaranku kambuh. Begitu melihat mulut karung yang dijahit dengan tali rafia jarang-jarang, aku pun berusaha membuka celah jahitannya yang tak begitu rapi itu. Ternyata di dalam karung itu penuh amplop. Tampak juga beberapa kantung plastik hitam. Begitu aku menguak sebuah amplop, ternyata di dalamnya adalah tumpukan uang keras seratus ribuan. Jadi sembilan karung goni itu berisi uang kertas! Aku langsung berkeringat.

“Jagat!”

Aku tersentak.

“Ya, Kiai!”

“Tolong, kamu buang sembilan karung itu ke sungai Brantas yang mengalir di pinggir kampung kita, yang arusnya terkenal deras.”

Aku lagi-lagi terkejut. Sebuah perintah yang tak masuk akal.

“Kenapa harus dibuang, Kiai?”

Kiai tersenyum.

“Sembilan karung ini adalah godaanku. Ini juga bukan hakku. Tidak tahukah kau, langit dan mega di angkasa semakin mendung. Aku ingin bintang-bintang bersinar kembali, menyibak langit dan bisa menjadi penujuk arah bagi semuanya,” tutur kiai itu.

Aku diam karena sama sekali tidak paham.

****^****

Pagi itu, aku bersandar di beranda rumah. Aku mengamati laju air selokan yang masih deras karena hujan semalam benar-benar lebat. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku merasa belum pernah menikmati pagi senyaman ini. Aku memang merasa lega karena pemilihan presiden sudah selesai meski jagoku kalah. Aku tak menyesali kekalahan calon presiden yang aku dukung. Aku ihlas menerimanya. Sungguh.

Entah kenapa sejak perjumpaanku secara langsung dengan Kiai Klobot, aku seperti mendapat suntikan energi baru. Aku pun tak pernah bisa melupakannya. Sosoknya begitu mengambang di mata. Diam-diam aku membenarkan apa yang diungkap Abu tempo hari. Ia memang orang nyeleneh, tak sesuai dengan kebiasaan manusia normal, tapi sungguh-sungguh memiliki budi yang tiada tara. Prinsipnya demikian kuat tak tergoyahkan.

Aku pun teringat pada almarhum ayah yang sangat hormat kepada Kiai Klobot dan sering sowan ke rumahnya, sambil membawakan beras, sayur, ikan, bahkan juga membelikan sarung, baju dan kopyah. Ayah juga mewanti-wanti agar aku mengikuti jejaknya bila dewasa nanti. Sayangnya aku tak bisa mengikutinya. Seingatku, sebelum aku menjadi tim sukses seorang capres di pilpres, aku tak pernah menginjakkan kaki di rumahnya, bahkan bertemu muka secara langsung pun tak pernah. Selama ini aku selalu melihatnya dari jauh. Mungkin sekarang in waktunya aku mengikuti nasehat ayah itu.

“Beliau yang memberimu nama,” kata Ayah, yang masih aku ingat, meski lamat-lamat.

“Namaku aneh. Anak-anak sering mengejekku,” kata aku.

“Nama itu adalah nama buyutmu sendiri. Tiga generasi di atasmu,” tandas ayah. Ah, kenapa aku begitu tiba-tiba teringat dengan ayah, yang telah berpindah ke alam baka ketika usiaku menginjak 9 tahun.

Kenanganku tentang ayah tiba-tiba terusik. Di jalan depan rumah, aku melihat Abu berjalan tergopoh-gopoh menuju masjid.

“Jagat, apa kamu tidak melayat?” teriaknya.

“Siapa yang wafat?” tanyaku.

“Kiai Klobot. Barusan saja. Aku dari rumah beliau dan akan ke masjid untuk menginfomasikan wafat beliau pada warga lewat pengeras suara. Mungkin tak lagi berguna, soalnya warga sudah berdatangan ke sana,” katanya.

Aku merasa batinku teriris.

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menuju rumah Kiai Klobot. Ternyata begitu banyak orang yang datang melayat. Berdesak-desakan. Tak peduli laki-perempuan, tua-muda, bahkan tampak anak-anak kecil di sana. Aku melihat banyak pelayat dari kampung lain. Karena orang yang datang berjubel, aku harus puas hanya terpaku di jalan menuju rumahnya. Suasana duka demikian terasa. Banyak orang yang tak kuasa menahan air mata. Ternyata hujan lebat semalam menyimpan sebuah tanda.

Begitu jasad Kiai Klobot dibawa ke masjid untuk dishalati, aku pun mengikutinya, tapi hanya dapat tempat di barisan paling belakang. Begitu jenazah di bawah ke pemakaman desa, aku pun turut serta, tetapi lagi-lagi aku tak kebagian tempat untuk menyentuh kerandanya. Padahal aku ingin sekali turut mengangkat jenazah Kiai Klobot. Sialnya, saat penguburan pun aku hanya bisa menyaksikannya dari jauh karena makam desa penuh dengan lautan manusia.

Ketika pelayat sudah susut dan banyak yang pulang, aku baru bisa beringsut mendekati makam Kiai Klobot. Aku begitu ingin berdoa di pusaranya karena bagaimana pun dia telah menyelesaikan satu masalah yang sangat sensitif dalam diriku. Perasaanku kini demikian lapang dan terbuka dalam memandang hidup. Aku merasa hidupku semakin asyik, setelah aku merampungkan permintaannya dengan sempurna, yaitu membuang sembilan karung goni penuh uang ke sungai dan tak boleh ketahuan orang. Selama ini, aku cukup sensitif untuk bicara masalah duniawi apalagi uang, karena sejak kecil aku ditinggal mati ayahku dan aku harus menghidupi diriku sendiri dan ibuku.

Namun begitu mendekati gunduk tanah yang masih baru itu, aku langsung terpaku di tempatku berdiri. Di nisan tertulis dengan jelas:

KIAI HAJI JAGAT TALI TAMPAR

LAHIR :-------.

WAFAT: 24 DESEMBER 2004.


*


Siwalanpanji, 2008

Tidak ada komentar: