Kamis, 05 Juni 2008

Problem Sastra Jawa

Sastra Jawa dan Persoalan Estetika
Oleh Mashuri

Peristiwa yang menyerupai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974 kembali terjadi. Kali ini, terjadi di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2002, yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan Jawa. Tetapi, terdapat perbedaaan mendasar di antara kedua pengadilan itu.
Kiranya mengomentari masalah pengadilan terhadap sejumlah sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage memang sudah agak basi. Tetapi, ada beban moral bagi saya, jika saya tidak turun tangan dalam masalah ini, untuk sedikit memperingatkan pada generasi-generasi yang lebih dulu berkarya daripada saya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab saya pada sejarah.
Sementara itu, perbedaan kedua pengadilan dalam jagat sastra itu kiranya bukan mengarah pada masalah ‘subyek’ dan ‘obyek’ yang diadili, tetapi lebih pada latar belakang terjadinya pengadilan itu. Jika pengadilan puisi di Bandung, jaksa penuntut umum Slamet Sukirnanto mendakwa tentang kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!. Perbandingannya, jaksa penuntut dalam pengadilan yang dilakukan sejumlah satrawan Jawa lebih mempersoalkan pada masalah penerimaan hadiah Rancage untuk beberapa sastrawan Jawa. Isi tuntutannya pun menuntut untuk mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
Terlepas dari adanya gurauan dalam proses pengadilan pada penerima hadiah Rancage, tetapi kejadian itu semakin membuka mata dan ‘luka’ sastra Jawa, bahwa untuk saat ini para penulis sastra Jawa memang dalam kondisi ‘pengangguran’. Artinya, memang tidak ada usaha kreatif dari para penulis Jawa untuk lebih berkonsentrasi dalam berkarya. Sehingga mereka lebih memilih berpolemik daripada kerja kreatif. Dengan kata lain, ada semacam sinyalemen bahwa mereka memang kurang pekerjaan. Ironisnya, polemik yang mereka gulirkan sama sekali tidak mengarah untuk kehidupan sastra jawa yang lebih kondusif.
Hal yang sama juga pernah dinyatakan Gunawan Moehamad dalam menanggapi pengadilan puisi di Bandung. Gunawan mengatakan, bahwa pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Orang-orang yang generasi tua, tetapi tidak lagi berkarya, sedangkan ada rekan segenerasinya yang masih berkarya. Dengan kata lain, para penggagas pengadilan itu ‘iri’. Maka dengan sangat ironis Gunawan mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita…”.
Bila belajar dari kasus Pengadilan Puisi semoga saja, pengadilan terhadap penerima hadiah Rancage memang bukan berasal dari kata dasar iri. Sebab, jika dilihat dari susunan terdakwa yang merupakan sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, yaitu FC Pamudji (1994), Satim Kadaryono (1996), Djamin K (1997), Esmiet (1998) Suharmono Kasiyun (1999), Widodo Basuki (2000) dan Suparta Brata (2001), adalah tujuh orang yang pernah menerirma hadiah sastra dari Tanah Sunda dalam kurun 1994-2001. Adapun, yang menjadi jaksa penuntut adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah mendapatkan hadiah itu, diantaranya Sabrot D Malioboro, Suwardi Endraswara, Budi Palopo dan Muh. Noersahid Pramono.
Kendatipun, hakim Bonari Nabonenar mengatakan bahwa kedelapan terdakwa tidak bersalah dan hanya sebagai korban sistem sehingga dibebaskan dari terdakawa, tetapi nuansa yang dibawa sungguh tidak mencerminkan adanya ‘jiwa seniman’ yang mengedepankan nurani.
Sebab, bagaimana pun kerja kesenimanan adalah kerja yang tidak hanya mengejar penghargaan. Jika kemudian, semua mengejar penghargaan, maka pengejaran pada pencapaian harkat kemanusiaan pun hanya sekedar omong kosong. Apalagi, dalam sebuah penghargaan, segalanya pun tergantung pada kewenangan juri. Jika adanya subyektifitas, hal itu kiranya lumrah. Hal yang sama juga berlaku dalam penghargaan nobel sastra sekalipun.

Asu Rebutan Balung’
Jika isu yang diangkat masih seputar masalah penerimaan hadiah Rancage, bisa dikatakan bahwa penuntut umum dalam pengadilan itu memang hanya berkutat pada perebutan sesuatu yang tiada gunanya. Dengan istilah Jawa seperti ‘asu rebutan balung’.
Padahal bila melihat perkembangan sastra Jawa saat ini, ada pekerjaan besar yang harus digarap dan tidak hanya mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu urgen. Hal itu karena bila dibandingkan dengan sastra daerah lain di Indonesia, Sastra Jawa mengalami ketertinggalan yang jauh. Apalagi, jika melihat dari latar belakang sejarah dan tradisinya. Maka yang tampak adalah adanya dekadensi dan kemerosotan estetika yang luar biasa.
Asumsi yang diungkapkan di sini bukanlah sebuah prasangka tanpa sebuah argumentasi. Pasalnya, berdasarkan konsepsi sastra, dalam Sastra Jawa tidak ada ketegangan antara konvensi yang ada dengan inovasi, yang merupakan hakekat dari sastra. Sehingga dalam tataran yang lebih luas, tidak ada yang bisa dilihat dari perkembangan sastra Jawa.
Sebagai bukti nyata, dapat dilihat pada beberapa hasil karya sastrawan Jawa kontemporer. Mereka tidak memberikan apapun pada perkembangan Sastra Jawa, karena tidak ada tawaran estetika yang telah mereka sumbangkan. Kerangka yang dibangun dalam hal ini adalah batasan sastra modern. Pasalnya, acuan yang dimaksud adalah sastra Jawa modern. Tak ada tawaran estetika yang lebih mengedepankan pada perkembangan sastra Jawa.
Kenyataan tersebut sangat ironis, jika melihat latar belakang tradisi dan sejarah Sastra Jawa yang luar biasa panjang dan gilang-gemilang. Dalam tataran khasanah Sastra Jawa Pertengahan, bisa dilihat pada sosok pujangga yang mewakili pusat, seperti Yosodipuro I, Ronggowarsito, Paku Buwono IV dan lain-lain. Begitupula dengan variasi sastra yang berkembang di daerah pesisiran. Kiranya, ada sesuatu yang tidak bisa diterangkan hanya berdasarkan pencapaian estetika saja, ketika membicarakan sastra Jawa mutakhir dalam kaitannya dengan sejarah sastranya.
Berkaitan dengan kemerosotan kualitas estetika sastra yang tak terkira, itu tidak hanya sekedar sebuah tragedi besar. Kendatipun dalam hal ini terdapat segudang apologi untuk mengungkapkan kenyataan di luar sastra Jawa itu sendiri, tetapi sebagai sebuah ‘wilayah’ kreatif, tidak ada alasan yang bisa diterima, jika hanya mempersoalkan tentang aspek di luar sastra. Misalnya politik dan perubahan sosial. Logikanya, sastra akan bisa berkembang lebih pesat bila menghadapi sebuah kondisi yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, para sastrawan Jawa lebih mempersoalkan pada penghargaan, bukan menjawab tantangan itu dengan berkarya dengan tawaran-tawaran estetika yang baru.

‘Rame Ing Gawe Sepi Ing pamrih’
Dalam kaitannya dengan adanya pengadilan pada penerima hadiah Rancage oleh sebagian Satrawan Jawa, perlu dikemukakan sebuah pepatah Jawa yang sudah sudah demikian melegenda, ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Artinya, lebih banyak dalam berkerja daripada pamrihnya. Kiranya, hal yang sama juga berlaku dalam berkarya. Lebih baik memang selalu berkarya tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan apapun.
Etos ini mungkin yang perlu dikembangkan, bahwa kita lebih lebih mempertanyakan apa yang telah kita berikan, daripada mempertanyakan apa yang telah kita dapat dalam dunia sastra Jawa. Toh hingga kini, peluangh-peluang estetika dan eksperimental dalam sastra Jawa memang masih terbuka lebar. Dialektika yang mengakar pada tradisi, dengan kahasanah-khasanah yang berserak masih bisa diterapkan.
Dengan demikian, dalam berkarya tidak lagi mempersoalkan sesuatu yang berada di luar lingkup karya. Misalnya, mempermasalahkan masalah politik sastra atau adanya upaya penghabisan sastra daerah dalam kerangka sebuah identitas nasional. Sebab, dalam perkembangan yang ada, aspek lokalitas memang sudah berkembang lama. Hal ini sudah ditangkap oleh para sastrawan yang berlatar belakang Jawa tetapi menulis dalam bahasa Indoensia. Hanya saja, sastrawan Jawa yang menulis dalam bahasa Jawa memang belum mendapatkan koordinatnya yang tepat. Sinyalemen yang berkembang pun akhirnya mempersoalkan sesuatu yang berkembang di luar sistem sastra.
Sebenarnya banyak hal yang bisa dibongkar dari konstruksi Jawa yang ada dari perspektif sastra Jawa sendiri. Salah satunya adalah masalah bahasa. Selama ini, penggunaan bahasa dalam sastra hanya pada tataran komunikatif, tetapi tidak pernah menggali bahasa dengan segala kemungkinannya, menghunjam sampai tulang sumsum kehidupan dan sampai warna darah peradabannya. Apalagi bahasa Jawa dikenal dengan tingkatan-tingkatan hierarkhinya (kromo inggil- kromo madya-ngoko). Toh, dalam hal ini kesadaran berbahasa Jawa pun tidak pernah disadari kehadirannya. Pasalnya, hingga kini belum ada yang berani bermain dalam kemungkinan perkembangan bahasa Jawa yang demikian pesat, dengan mengandaikan titik yang tidak bisa diungkapkan, berkaitan dengan perubahan peta global dunia dan realitas di sekelilingnya. Padahal pergeseran wilayah sastra memang harus melampaui wilayah ekspresi secara an sich, tetapi lebih melihat pada adanya gagasan dan pemikiran tentang realitas dan masa depan sosio-kultural yang melatarbelakanginya.
Bisa jadi, hal itulah yang menyebabkan kenapa dalam sastra Jawa modern, tidak ada sebuah karya yang bisa dianggap semacam tolak ukur batasan estetika, baik itu dalam prosa maupun gurit (puisi). Tiadanya tolak ukur itu bukan hanya sebuah kasus yang serius, tetapi sebagai sebuah tragedi yang patut untuk direnungkan. Nyatanya, toh, hingga kini tidak ada seorang pun pengamat sastra Jawa yang mampu menempatkan sebuah karya sebagai tolak ukur. Tetapi tolak ukur dalam batasan estetika sebagai semacam barometer estetika memang perlu dimunculkan. Kiranya, di situlah tugas satrawan-sastrawan muda Jawa, agar mereka lebih banyak berkarya, daripada berpolemik untuk polemik itu sendiri, tanpa menyentuh akar permasalahan yang semestinya. Mungkin, sastrawan muda Jawa harus berani berkata pada generasi yang lebih tua yang suka berpolemik itu: “Wahai Pak Tua, tak ada salahnya sastra Jawa berkembang tanpa Anda…”.
* Dimuat di Media Indonesia, tahun 2002

Tidak ada komentar: