Kamis, 05 Juni 2008

Komentar Pentas 'Daerah Perbatasan'

Propaganda Hitam
(Pentas Teater Gapus “Daerah Perbatasan”)
Oleh Mashuri

‘Daerah Perbatasan’ bukan terra incognita yang menyepikan kesadaran; bukan ‘perang posisi’ antara the center dan the margin dalam kerangka pemikiran Gramsci; bukan pula ‘wilayah hitam nan kosong’ tanpa entitas atau ranah-ranah tak terjangkau di bawah alam sadar manusia; ‘Daerah Perbatasan’ berada dalam pergulatan arus kesadaran antara cita-cita dan mati. Sebuah tempat yang bisa menjadi akhir sekaligus awal dari perjalanan manusia dan masa depannya.
‘Daerah Perbatasan’ segelap orang tua yang mencari anaknya di medan laga, di antara bangkai-bangkai yang mulai membusuk, ditingkah suara gagak memekakkan telinga. Saat si anak ditemukan terluka dan masih bernafas, orang tua harus memutuskan nasib si anak. Apakah si anak harus mati demi cita-cita; sebagai hero, atau dibiarkan hidup merana tanpa status dan sia-sia: sebuah kemanusiaan yang hadir dalam titik nadlirnya. Dan, ‘mati demi cita-cita’ pada akhirnya bisa menjadi pilihan yang harus segera diputuskan.
‘Daerah Perbatasan’ ingin mengalirkan bahwa sebuah cita-cita, meski gelap dan muram memang harus diperjuangkan; karena harga diri ada dalam pertaruhan dan pergulatan dengan kemenangan dan hasil yang tak terberi; ia harus diraih, meski dengan bunuh diri. Toh nasib hanya anak kecil yang bisa disalib; sekaligus dinistakan; karena dunia berada di tangan manusia.
Tidak kebetulan, bila ‘Daerah Perbatasan’ diilhami sajak ‘Daerah Perbatasan’ (1970) karya Subagio Sastrowardoyo. Sajak-sajak yang tidak hanya memberi api untuk bergulat dengan kematian, tetapi sekaligus memberi ruang pergulatan sendiri tentang posisi manusia di dunia; tentang nasib tragis jabang yang terlontar ke lantai bumi, tentang manusia yang telah mencapai tepi dan tak mungkin kembali, dan tentang drama penyaliban: saat manusia berguman ‘Berilah aku senjata. Beri aku gigi dan kuku dan pedang untuk memerangi kebengisan ini’, tentang orang hitam yang bangkit dari bukit karang, dan lain-lainnya dan lain-lainnya, hingga kematian makin akrab: ‘sebab aku (manusia) bisa terbang dengan sayap sendiri ke langit’. Sebuah pergulatan panjang, sekaligus pengasingan, dan perjalanan yang menembus tapal batas yang tak mudah diraba dari takdir manusia.
Sedangkan di sini, dalam pergulatan ini, pementasan ‘Daerah Perbatasan’ bukan pemihakan pada nilai-nilai; bukan berbicara siapa yang layak menjadi panglima. Karena ‘hidup terlalu menuntut’. Pengendali bisa saja kebenaran atau kebiadaban. Masing-masing adalah perspektif jungkir balik; siapapun bisa mengklaim paling benar dari sebuah pergulatan. Justifikasi bisa saja dijatuhkan sebagai dalil sebagai pembenar tindakan. Dan, hasil akhir bukanlah jaminan siapa yang paling berkuasa, dan siapa yang paling benar di sebuah ruang ketika kesadaran berhumbalang dari dua arah yang berseberangan
Pada titik itulah, pertaruhannya bukan lagi gerak yang agresif atau diam yang pasif; atau bukan pada diam yang aktif atau gerak yang pasif, tapi pada pilihan yang menentukan; apakah kematian harus diputuskan atau ditunda. Ataukah kehidupan harus dikorbankan untuk sebuah perubahan. Inilah black propaganda abadi; sebuah propaganda hitam bagi titik balik kesadaran kemanusiaan. Karena segalanya bermuara dan bertitik tekan pada kontradiksi manusia dan masa depan manusia yang berada di tangan manusia. Tuhan sudah selesai dan mimpi panjang tentang takdir adalah roda-roda yang meminta tangan manusia untuk menggelindingkannya. Di dunia, manusia tidak hanya terasing, tetapi ia harus memutuskan jalannya sendiri: sebuah keadilan bukan dinanti tapi ditegakkan!
Pertarungan dalam ‘Daerah Perbatasan’ bukan pada absurditas (sebentuk rutinitas manusia menggelindingkan batu besar ke puncak bukit Olimpus; dan dewa kembali menjatuhkannya ke dasar) bukan pula idealisme Hegelian (konsep ideal sejarah, tentang waktu dan kesempurnaan tatanan manusia dan dunia dalam sebuah dialektika); atau sebentuk cara untuk memahami dan mendekati kompleksitas hidup; tetapi pertarungan di sini, adalah pertarungan hidup. Menyelam di dalamnya dan menjatuhkan sebuah pilihan; antara terus hidup dalam cita-cita atau sekaligus mampus. Tapi yang pertama dibayangkan dalam pementasan ini bukan langkah-langkah panjang; tetapi diri yang terpojok di sebuah ruang, dihimpit dinding keras hingga sulit nafas, dan harus memilih dua pilihan yang tak ditampik atau dihindari.
‘Daerah Perbatasan’ hanya memberi dua pilihan: revolusi atau mati!

Surabaya, 2004

Tidak ada komentar: