Rabu, 04 Juni 2008

Cerpen Intertekstual

Kematian yang Hidup
Cerpen Mashuri

Malam ini, kami sekeluarga duduk di pekarangan depan. Ayah duduk sambil menganyam pandan, sedangkan ibu menimang adik kecil. Kami sedang menantikan datangnya nubuat. Kata penujum kampung kami, malam ini gerhana rembulan akan terjadi.
Kami tidak tahu kenapa kami begitu. Tradisi demikian memang sudah mengakar kuat. Bahkan, ayah pernah bercerita, bahwa gerhana rembulan selalu dinantikan. Sebab, dari gerhana rembulan itu kehidupan dimulai. Dulu, kata ayah, ada seorang pertapa yang hidup sendirian di tengah hutan. Ia bertapa untuk menyempurnakan ilmunya, dengan mendekati dewa-dewa.
Tetapi tragis menimpa pertapa itu. Ketika ia sedang berdoa, tiba-tiba seorang wanita menjumpainya. Wanita itu sangat cantik, rambutnya sebahu tergerai, dan senyumnya sangat memikat. Ia mengaku utusan dewa. Awalnya, sang pertapa tidak percaya, karena ia melihat ada kilat-kilat iblis di mata wanita itu. Apalagi, ia melihat payudara wanita itu tidak ditutupi. Untuk membuktikannya, kata wanita itu, jika malam menjelang, rembulan tidak akan menampakan diri.
Ternyata, apa yang dikatakan wanita itu menemui bukti. Begitu malam menjelang, begitu rembulan baru menapak di ufuk timur dan berjalan setombak, sebuah benda hitam menutupinya, maka rembulan tak tampak lagi. pertapa itu pun akhirnya mengakui bahwa wanita itu memang utusan dewa.
Akhirnya wanita itu berkehendak agar si pertapa itu menidurinya, karena dewa telah berpesan demikian. Maka, si pertapa pun tidak menolak, ia pun langsung meniduri wanita itu. Apa lacur, ketika ia sudah mulai melakukan hubungan intim itu, mendadak rembulan muncul kembali dan lambat laun tampak utuh. Keyakinan pertapa itu goyah, ia mulai merahukan wanita itu sebagai utusan dewa.
Wanita itu mengaku, ia tidak utusan dewa. Ia manusia juga seperti dirinya. Ia berbuat demikian, karena di bumi hanya mereka berdua, sedangkan manusia pertama laki-laki hanya ingin menambah ilmunya, yang jelas untuk kepentingannya sendiri, sedangkan wanita terbiar sendiri. Karena itu, ia berusaha untuk menyiasati pertapa dan membuat dunia lebih hidup.
Pertapa itu tidak marah, tetapi juga tidak senang. Ia lalu memutuskan untuk menghentikan tapanya. Ia tidak hidup bersama wanita itu, tetapi ia pergi ke dalam hutan lagi, lebih dalam lagi, dengan tujuan agar tidak bertemu dengan wanita yang telah menjebaknya itu.
Tetapi, benih yang telah masuk ke garba wanita itu menjadi janin dan akhirnya menjadi bayi. Lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi itu lalu diasuh dan dibesarkan sang wanita hingga ia dewasa. Pada saat dewasa, maka ia pun mengawini wanita yang menjadi ibunya sendiri itu. Dari kandungan wanita itu lalu lahir seorang bayi wanita, dan lahir beberapa bayi lagi.
“Dari sanalah kehidupan ini dimulai. Jadi kita ini turunan incest,” tutur ayah.
Kami sangat suka mendengar cerita ayah. Cerita itu menjadi keyakinan terdalam dari warga kampung kami. Makanya, setiap akan terjadi gerhana kami selalu menyambutnya dengan segenap kegembiraan. Biasanya tetua kampung kami akan berpakaian hitam-hitam dan seluruh ibu-ibu berpakaian putih-putih. Ayah biasanya akan tinggal di rumah menunggu anak-anaknya, karena ia merasa sudah tak punya kewajiban lagi menyambut acara.
Dalam keyakinan kampung kami, wanitalah yang paling berjasa. Sebab jika tidak ada wanita yang merayu pertapa, maka manusia tidak akan ada. Sedangkan pertapa kami kutuk sebagai seorang manusia yang tidak bertanggung jawab. Makanya tetua kampung kami memakai pakaian hitam-hitam, untuk menebus dosa.
Jika gerhana rembulan itu total, di pendapa akan dibunyikan musik-musik bertalu-talu, lalu ibu-ibu menari. Dalam tarian itu, para lelaki yang sudah beristri tidak diperkenankan untuk melihatnya. Sedangkan laki-laki yang menginjak dewasa harus menyaksikannya. Sebab, dalam tarian itu, biasanya para ibu menarikan tarian telanjang.
Kami pun melakukan tradisi itu dengan hikmat, sebab dalam keyakinan kami, jika kami tidak menghikmatinya, maka kampung kami akan diserang pagebluk. Banyak orang mati, penyakit mewabah dan sawah-sawah tidak mengeluarkan panennya.
Seperti juga malam ini, ibu sudah berpakaian putih-putih. Ia menimang adik kami, seperti akan meninggalkan sebuah perjalanan yang jauh. Sedangkan ayah kami tampak acuh tak acuh. Begitu rembulan mulai dimakan gerhana, dari rumah-rumah mulai terdengar kentongan dipukul.
Kini, kami semua tahu, bagaimana nanti ibu kami akan menuju pendapa. Sebab, setiap tahunnya memang demikian adanya. Tetapi biasanya akibat yang ditimbulkan dari tradisi itu demikian terasa di rumah kami. Biasanya ibu akan mendiamkan ayah hingga berhari-hari. Dalam kurun waktu itu, ayah yang lebih banyak bekerja. Membajak di sawah, memasak dan merawat anak-anaknya. Ibu hanya diam di rumah, berdandan, selalu berada di depan cermin, menyisir rambut. Ia selalu makan makanan yang bergizi.
Pada tahun-tahun kemarin, ibu dijemput kakek. Bila kakek muncul, Ibu lalu bangkit dengan tidak lupa menyunggingkan senyum pada kami. Hanya saja, pada tahun ini, ada perubahan besar yang terjadi. Aku harus menyertai ibu ke pendapa, karena usiaku sudah menjelang remaja. Sedangkan kakek kami, sudah tidak berkewajiban menyertainya, karena ia sudah terlalu tua dan kewajibannya jatuh padaku. Aku diharuskan berpakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala hitam, dan tak lupa membawa kemenyan dan senampan kembang. Setelah ritual di pendapa yang dipimpin seorang tetua kampung, dilanjutkan dengan tarian-tarian. Aku harus menari dengan pasanganku yang tak lain adalah ibuku sendiri. Kami menari sambil minum arak. Arak ini tidak semata-mata membuat kami mabuk, tetapi membuat kami terangsang, hingga birahi memuncak, jantung berdetak cepat dan sahwat merambat demikian cepat. Bila demikian, tarian harus kami lanjutkan dengan sama-sama telanjang. Pada malam itu, setiap pasangan harus menuntaskan kewajibannya, yaitu menuntaskan birahi.
****@****
Aku tidak tahu, kenapa aku ingin bunuh diri. Aku ingin berada di sebuah tebing batu karang, lalu meloncat ke bawah. Kubayangkan ombak-ombak ganas akan menelan tubuhku, hingga aku susah bernafas dan mati.
Ketika terjun, aku membayangkan diriku bebas dalam terpaan angin, dengan senyum yang dingin. Aku tak takut pada maut, mungkin itu yang penting. Sebab, sekian lama aku selalu dihantui dengan kesakitan nyawa yang terenggut dari tubuh dan menyiksa. Aku ingin menyongsongnya dengan kesadaran penuh, tanpa sebuah tekanan. Terlebih, aku bisa mengenyampingkan rasa sakit yang selalu diwartakan ketika nyawa terlepas dari raga dengan betotan-betotan tangan raksasa, lalu tubuhku menggelepar-gelepar, karena aku bukan seorang yang terberkati dan suci.
“Hanya orang-orang yang suci yang merasakan tangan gemulai maut. Ibarat ia mengambil rambut dari tepung,” demikian suara-suara asing yang pernah mengendap di benakku. Dan aku selalu ingin merasakan pembetotan itu seperti itu, pelan tak terasa dan agung, meski aku seorang pendosa.
“Kamu melamun lagi,” sapaan Badra mengagetkanku. “Suratku sudah selesai kautulis?”
Aku tak menjawab, aku hanya memperlihatkan selembar kertas kosong putih dan pena yang belum kubuka tutupnya. Kepalaku masih tolol untuk menuliskan kata-kata sapaan pada orang-orang tersayang, meski menggunakan lidah Badra. Ia pasti ingin bertanya tentang kabar istri, anak-anaknya dan merasa sangat rindu pada mereka. Kepalaku masih belum bisa diajak berpikir tentang sebuah hidup yang berdekatan dan mesra. Aku ingin bunuh diri, tenggelam dan menghapus dosa.
“Cepat kau tulis, besok pagi aku kirim,” ia bicara lagi, setelah itu, entah untuk berapa lama, kemudian yang tersisa hanya suara dengkurnya.
Demikianlah. Aku merasakan malam memang terlalu sayang padaku, hingga aku dibiarkannya selalu menatap matanya. Ia selalu mengatakan, di mataku bersemayam Tuhan. Tetapi, sering kukatakan padanya, maaf malam, aku tidak melihat Tuhan di hitam bola matamu. Aku melihat rasa sepi, siksa, dan segala hal yang mencekam. Teristimewa aku sering melihat hantu dalam diriku. Hantu kematian. Sedangkan aku tak ingin nyawaku begitu saja terenggut dengan ganas dan banal.
Mungkin bunuh diri adalah jalan satu-satunya, agar aku tidak tersiksa dalam kebanalan maut. Bunuh diri dengan mencebur ke laut, disergap ombak dan tenggelam.
“Lebih enak ditembak daripada tenggelam,” tandas Badra, kemarin.
Ia lalu menerangkan beberapa kelebihan mati ditembak. Pertama, seorang pesakitan tidak akan pernah kesakitan, ketika peluru itu menerjang jantungnya. Kedua, bila jantung telah robek oleh peluru, maka kehidupan berhenti. Ketiga, pesakitan tidak akan seperti ayam disembelih. Keempat, pesakitan tidak akan mengeluarkan kotoran, kecuali darah. Kelima…
Aku suka dengan alasan-alasannya yang kadang-kadang sumbang dan mengada-ada, tentang lebih enak ditembak daripada tenggelam. Tetapi, aku lebih suka tenggelam. Karena itu, aku langsung menunjukkan bahwa aku memang tidak suka mati ditembak.
“Jika ditembak, darah keluar. Aku tidak suka melihat darah, apalagi yang melihat adalah ruhku. Aku ingin tubuhku mulus saat meregang maut. Harap catat itu,” tegasku pada Badra.
Tanah yang berdaya pikir payah itu hanya manggut-manggut. Hingga kini, ia tak pernah mengubah pendiriannya tentang hukum tembak yang akan dikenakannya padanya. Sedangkan aku berusaha untuk merayu pemberi keputusan hukuman mati padaku, agar aku mati bunuh diri, dengan terjun ke laut.
“Aku ingin bunuh diri dan tak ingin dibunuh,” itu kata pertamaku yang akan aku katakan pada mereka yang akan menghabisiku. “Apa alasanmu?” mungkin itu yang akan ditanyakan para penghukum itu.
Aku akan mengarang sebuah kisah. Kisah yang terasa begitu lama mengendap di kepalaku. Mungkin kisah tentang luka masa lalu. Kisah karanganku itu begini. Dulu, ibuku dibunuh ayah. Persoalannya sebenarnya adalah persoalan sepele. Ibu menjalankan adat turunan, dan ia dianggap berkhianat. Karena ayahku seorang suami yang punya harga diri, maka ia pun tak rela. Meskipun yang perselingkuhan ibu itu dilakukan dengan ayah ibuku sendiri, alias kakekku, lalu dilanjutkan denganku. Ayah lalu menusuk jantung ibuku dengan parang, dan darah menyembur dari dadanya. Ibu mati di pelukanku.
Aku ingin memaafkan ayah, tapi ibuku selalu datang dalam mimpi. Aku harus menuntut balas pada kematiannya, karena yang dibunuh ayahku bukan hanya ibu, tetapi adat yang sudah berlangsung turun-temurun. Aku harus menuntut balas demi nenek moyang. Jika tidak, aku berdosa dan harus melarung diri di laut. Aku memilih untuk tidak membunuh ayah, karena kutahu bagaimana rasanya seorang lelaki yang dikhianati.
Aku biarkan saja ayahku hidup, tetapi dukun adat menetapkan sebuah hukuman yang tidak ringan. Ayah harus tetap mati dengan darah tertumpah. Akhirnya, disepalati ayah akan dibunuh dengan cara beramai-ramai. Suatu malam, ayahku diseret keluar rumah. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat ayahku dibabat parang lehernya. Kepalanya terlepas dan menggelepar-gelepar di tanah. Ia mati dengan sangat liar.
Aku tak kuasa melihat pemandangan itu, aku kalap. Para pembunuh ayah aku lawan. Salah seorang mati dengan cara yang sama dengan ayahku. Ia adalah tetua kampung kami. Aku lalu melarikan diri. Kemudian, aparat mencariku dan menghukumku dengan tuduhan membunuh. Aku pun divonis mati.
“Aku ingin agar aku mati dengan cara tenggelam. Mati cara ini adalah pilihanku. Izinkan aku,” tegasku, nanti. “Aku ingin menebus dosa karena tidak bisa membalaskan sakit hati ayah, ibu dan adatku. Aku ingin menghentikan dosa ini hanya pada diriku. Tahukah kau, setiap datang gerhana, aku seperti dikuliti, tubuhku panas dan aku seperti orang sekarat,” tegasku.
Malam larut aku tertidur.
“Sudah kau tulis suratku, besok aku kirim buat keluargaku” terdengar suara Badra membangunkanku.
Kutengok kertas masih kosong di meja. Di sampingnya, kulihat potret istri dan anak-anakku dengan pandang mesra dan rindu. Di sebelah kanan dan kiri, ada potret ayah, ibu dan adik-adikku. Aku terpana, ketika di potret keluarga itu, kulihat ayahku tak berkepala dan ibu tertusuk jantungnya.
Kulihat mata Badra, basah oleh air mata.
Surabaya, 2003-2004

Tidak ada komentar: