Kamis, 05 Juni 2008

Cerpen A-sufisme

Kematian Matali
Oleh Mashuri

Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia.
Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.
Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.
Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.
“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”
Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan pria idaman lain (PIL), bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.
“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur.
Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?
“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.
Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.
“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.
Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh. Alur pikirannya seperti namanya: goblok dan setengah berlendir.
“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang masih kinyis-kinyis dan tokcer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.
Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semakin tak bertenaga.
“Perempuan itu sedang garang-garangnya...,” tutur Ngahngoh.
“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”
Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.
“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.
Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru: agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.
“Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.
Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.
“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.
“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.
“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.
Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang nomor bunuh diri. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.
“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi.
Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.
“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur
“Kami sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.
“Hasilnya?”
“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.
“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul Korak.
Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka masing-masing.

****^****
Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata.
“Pa, kepergianmu sungguh indah...” bisiknya, lirih.
Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”

Surabaya, 2006
* Dimuat di antologi cerpen Gapus 'Secangkir Kopi dan Sebatang Lisong'.

Tidak ada komentar: