Rabu, 04 Juni 2008

Cerpen Eksistensialisme Magis

Menggunting Dinding Dingin Pesisir
Cerpen Mashuri

Setiap menerbangkan layang-layang, aku ingin menjadi layang-layang. Tubuhku bisa mengambang, terbang bebas di udara, lalu memandang ke hamparan laut lepas, dengan pantai-pantai yang terjal. Bisa memandang luas pedusunan dan bukit-bukit kapur. Aku ingin terbang, seperti burung-burung.
Mungkin sejak aku di rahim ibu, aku sudah ditakdirkan untuk memiliki keinginan itu. Ibuku sendiri pernah berkisah, bahwa ketika ia mengandungku ia ngidam makan daging burung dara hutan. Burung dara yang tidak punya rumah dan hidup di hutan-hutan di sebelah desa. Ayahku pun bersusah payah mencarinya, karena untuk mendapatkannya memang tidak mudah.
“Suatu ketika, ayahmu datang dengan membawa daging. Ia mengatakannya sebagai dara hutan.. Aku memakannya, tetapi di tengah-tengah memakannya, aku muntah-muntah. Aku merasa itu bukan dara alas, tetapi daging unggas,” tandas ibu.
Dugaan ibu ternyata benar. Karena ayahku yang kadang berdiri laksana tonggak karang itu memang telah berbohong. Ia hanya menangkap ayam hutan. Dara hutan sulit dicari, karena untuk mendapatkannya memang butuh waktu lama. Dari sini, ibuku pun terus menuntutnya, dan ayahku selalu tidak memenuhinya.
“Bayangkan saja, daging yang kau makan adalah daging dara hutan. Bilang saja kun fayakun, jadi dara hutan, maka jadilah dara hutan,” tandas ayah pada ibu.
Ibuku tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Ia lalu berbisik kepadaku, ketika aku masih di rahimnya, agar aku bisa menerima apa yang telah ia terima. Aku dimintanya untuk bisa mengerti pada kekerasan ayah, sifat apa adanya, dan keinginannya untuk menuntaskan ngidam ibu. “Aku tidak takut kamu nanti sering keluar air liur, karena ngidamku tidak kesampaian. Aku hanya takut, jika keinginanmu tidak kunjung terlaksana. Karena itu, terimalah apa yang sudah aku terima, karena keihlasan itu bisa membuahkan kelapangan, bisa menumbuhkan cinta,” bisik ibu.
Kisah ngidam ini adalah awal kebencianku pada ayah. Mungkin karena itu aku bukan anak penurut.
Bila aku bermain layang-layang dan membayangkan diriku seperti layang-layang, aku terpaksa berkecil hati. Keinginanku selalu kandas, karena tubuhku terlalu kecil untuk menerjemahkan keinginan itu menjadi kenyataan. Seperti dosa bawaan dari ngidam ibu yang memaksaku agar memangkas keinginan-keinginanku.
Sambil menatap layang-layangku yang diterbangkan angin pesisir, aku lalu lebih suka bermain dengan bayanganku dan khayalanku sendiri. Aku membayangkan ibuku adalah lautan dan ayahku adalah karang. Aku berlayar ke negeri-negeri, sehingga dari tubuhku tumbuh kekar seperti pelaut-pelaut. Pakaianku rapi, dengan jam gandul di saku, topi kelasi dan beberapa atribut lainnya. Kulitku tidak legam dan rambutku tidak awut-awutan.
Bila ditanya berapa ikan yang kudapat, aku akan mengatakan aku bukan nelayan pencari ikan. Jiwa nelayan telah berhenti di lengan ayahku. Aku seorang pelaut, seorang saudagar yang telah berlayar ke Madagaskar, Makassar, Hujung Galuh dan Sunda Kelapa. Aku pelaut. Tidakkah kau lihat bagaimana aku mengisap pipa, bagaimana aku melangkah menuju dermaga, bagaimana aku menggandeng banyak wanita. Aku pelaut.
Mungkin ketika aku kembali, ada yang menyuruhku mengunjungi makam keluargaku di Bukit Pasir. Sebuah makam yang dikeramatkan, karena mereka dianggap sebagai orang-orang yang keramat. Aku memang ke sana, dengan segala pakaian yang kukenakan selama mengarungi samudera.
Di papan nama tertulis nama keluarga. Aku tersenyum. Aku akan mengatakan, aku telah melunasi hutang-hutangku. Aku ingin bebas dari keterjeratan dengan keinginan. Karena sejak kecil, aku ingin masuk ke tanah, mencari kehidupan yang ada di dalamnya, juga kehidupan moyangku. Di sana aku bertemu dengannya dan berbicara dengan bahasa yang tidak bisa didengar siapa saja. Bahasa yang kugunakan bukan bahasa bibir.
Ia hidup bersama banyak orang di bawah tanah dengan langit abu-abu yang disangga pilar-pilar bambu. Ia selalu berpesan, agar aku tidak kencing di lubang, karena lubang itu akan sampai padanya seperti hujan. Kencinglah di kakus yang ada, agar hujan yang sampai kepadanya tidak berbau kakus. Aku menyukaiannya karena ia senang bercerita. Kadang ia bercerita siapa sebenarnya dia. Ia mengatakan, dulu, ia berasal dari Gujarat. Moyangnya dari Jabalkat. Jadi, darahku adalah darah pendatang. Ia tampak tua dan gamang.
Seorang lelaki tua berbaju terusan, berterompah
kulit samakan, dan selalu memintal tasbih antara
atas antara bawah
,”*
Ya, kuingat benar tongkrongannya.
Tapi ketika aku telah menjadi pelaut dan datang padanya dengan nisan batu bertuliskan namanya. Aku teringat sebuah lagu pesisir yang kerap kudendangkan ketika aku masih bocah. Lagu-lagu itu memang berkata tentang puji puja. Tetapi saat ini, mengiang dalam sebuah langgam yang berbeda. Lebih menusuk, merasuk, membuatku mabuk.
“Apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu
yang kini tinggal lubang kakusnya itu.”
demikianlah puisi yang aku tulis persis ketika
waktu sampai titik dan tubuhku meleleh demikian cepat *
Aku tertawa. Aku membayangkan kesenanganku yang paling purba. kencing di lubang tanah. Aku membayangkan kencingku yang menjelma hujan di alam bawah tanah. Aku membayangkan orang-orang di bawahku akan merasa pesing. Lubang tanah adalah lubang kakusku. Aku suka itu.
“Layang-layangmu jatuh,” suara ibu mengagetkanku.
Ibu telah menjemputku, berakhir pula pengembaraanku. Aku lihat layang-layangku memang terjatuh. Dingin angin pesisir menjelang malam membuat layang-layangku tak ubahnya kertas kena air. Benang-benangnya basah, lalu terjun bebas ke laut lepas.
Demikianlah, senja telah menjelang, air laut pasang.
Aku paling benci dengan kondisi seperti itu, karena dengan berakhirnya layang-layangku mengudara, berakhir pula pengembaraanku pada khayalan-khayalan dan ingatan purbaku. Aku pasti diseret ibu pulang, dimandikan lalu di bawah lampu temaram aku diajar membaca hijaiyah.
“Kamu keturunan wali, kamu harus bisa mengaji,” begitu ibu mengajarkanku. Ibuku juga menasehatiku agar aku tidak kencing sembarangan, misalnya di lubang tanah, karena di lubang itu banyak ularnya. Nanti kemaluanku bisa digigit. Aku membantahnya. Aku mengatakan, bahwa di lubang itu banyak jin penunggunya, salah satunya adalah moyangku.
“Huss! Moyangmu bukan jin,” tegasnya.
Ayahku akan diam saja di pojok ruang sambil membenarkan jala-jalanya. Ia akan melaut saat dinihari, untuk mencari ikan. Ia tak pernah mengajariku ngaji, karena baginya untuk mengajariku tak perlu tangannya. Cukup ibu. Padahal aku menginginkannya, agar aku tahu apakah ayahku lebih pandai daripada ibu atau lebih bodoh. Aku mengira ayahku tak bisa mengaji, sehingga ia lebih suka menghindar dengan bersibuk diri. Jika ia pandai, tentunya ia tidak melaut, tetapi mengajar mengaji di surau, menjadi imam dan pemimpin orang-orang sembahyang. Mungkin saja, ayahku seorang buta huruf. Bahkan, aku pernah agar ia lekas mati.
Letika ia benar-benar mati dalam pikiranku, yang kuingat dari ayahku hanya sebuah percakapan saat senja menjelang suatu hari, ketika aku mengutuk dingin angin pesisir yang membuat layang-layangku terhempas dan kandas. Aku kagum padanya, karena ia mampu melawan hawa dingin itu. “Aku terjun melaut dinihari, ketika dingin telah memuncak. Tetapi aku bisa mengatasinya,” demikian katanya. Ayahku memang sombong, seperti karang. Karang yang setiap hari kuinjak-injak di sepanjang pantai. “Kau tahu, kenapa aku bisa tahan, karena aku terbiasa dengan keadaan, bisa menyikapi keadaan dan mengakrabinya.”
Aku sama sekali tidak tertarik dengan alasannya, hanya yang kupuja adalah kekuatannya. Ayahku memang karang. Yang kuinginkan saat ini adalah menggunting dingin pesisir, agar setiap senja menjelang, aku bisa bermain layang-layang sepuas hati dan melambungkan khayalanku sampai aku tidak bisa bernafas. Aku ingin “menyeret lelehan-lelehan tubuhku ke tempat-tempat- di mana orang-orang tak lagi menyapa dengan bibir.”*
Aku ingin menjumpai moyangku, lalu bertanya apakah kencingku yang kemarin telah sampai padanya, karena aku melakukannya di lubang tanahm di sebelah rumah. Aku berharap ia mau menuntunku dari dunia pesisir atau sekalian mengusirku.
“Pesisir itu dingin dan kau tidak bisa ke mana-mana,” belum apa-apa aku sudah mendapat jawaban itu, karena ia pasti berkata begitu.
Tetapi aku menginginkan menggunting dingin itu. Aku bisa lepas dari segala keterikatan, terbang bersama angan-angan.
Jika aku berhasil melepas dinginnya serupa melepas mantel hujan lalu mengguntingnya, mungkin aku akan terbebas dari kebiasaanku yang hanya berputar-putar di sekitar pantai. Menunggu senja datang, pulang dan duduk di bawah lampu remang-remang.
“Kau keturunan wali, kau harus mengabdi,” aku mendengar jawaban itu dari ibu.
Sayang aku ditakdirkan sebagai anak pembangkang. Aku tidak ingin mengembalikannya pada ngidam ibu yang tidak kesampaian, atau pada putus harapanku pada ayah. Aku hanya menginginkan agar layang-layangku tidak terjatuh ke laut. Aku bisa memandangnya setinggi awan, meski malam terus mengambang dan dingin terasa menusuk tulang, dan aku tidak pernah merasakan dingin itu, ketakutan itu.
“Berarti, kamu tidak tidur, terus terjaga memandang layang-layang, memandang rembulan, bintang-bintang, dan merasakan dingin angin malam” demikian ibu bercakap kepadaku dalam gelap jiwaku.
Aku akan tersenyum. Tidakkah ibu selalu bilang, aku keturunan wali. Di situlah bukti, bahwa dalam ragaku mengalir darah wali. Di situlah kelebihanku menjaga layang-layang agar tetap terbang, tidak peduli siang dan malam. Di situlah kesetiaan dan keteguhanku: aku seorang penjaga dunia.
***@***
Sayangnya, aku masih terlalu bocah, ketika khayalan-khayalan dan keinginan itu datang. Ketika aku sadar dengan rahasia-rahasia perjumpaanku, dengan masa silam, tentang dunia bawah tanah, aku semakin menggigil, seperti dingin pesisir yang dulu kerap menerpaku. Ngidam ibuku ternyata membuatku miris. Aku tidak bisa beranjak dari tanah kelahiran, tak bisa melupakan dan tak bisa terbang seperti burung-burung.
Ternyata aku memang masih keturunan wali dan tak bisa lari dan tak mampu membangkang darah yang mengalir di tubuh ini.
Lamongan-Surabaya, 2003

* Dikutip dari puisi Ziarah ke Reruntuhan Makammu dalam antologi Terbelah Sudah Jantungku (Yayasan Rumah Biru, 1996) karya HU Mardiluhung.
* Pernah dimuat di Surabaya Post, tahun 2003.

2 komentar:

Mikael Dewabrata mengatakan...

wah keknya bisa jadi rekan diskusi yg oke nih. met kenal. gw monsterikan.

mashuri mengatakan...

met kenal juga mas mikael dewabrata. saya suka diskusi. monggo