Kamis, 03 Juli 2008

Panca Puisi











Sajak Mashuri

Mutih

aku lipat bebayang di sekuntum malam, karena malam

adalah bunga, yang menyimpan putik dan benangsari matahari

karena malam adalah larutan hitam, yang memagut mata

ke lubuk pualam: di sana, aku bisa bermimpi tentang cahaya

paling putih, mimpi yang merasuk sukma hingga getihku

bersulih kata-kata, mimpi waktu yang terbata dipetakan,

tentang jam yang menolak dihitung dengan pusaran;

aku lipat bebayang di sekuntum malam, karena bayang-

bayang selalu hitam dan aku menghindari hitam ---aku ingin

putihkan duniaku di ujung piring hening; dengan merenda puing asa

di lingkar puasa: menahan diri dari asin dan gula, menolak goda

bayang-bayang yang keras kepala…

lewat kelopak malam, aku memupuk rindu pada benih putih

kuingin ia bermekaran di langit hatiku bak bintang beralih,

lalu mengirimkan isyaratnya yang sundih

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Bersurga Khayalan

tanganku serapuh ilalang yang tak mampu menuliskan hujan; bait-bait airnya terlalu sumir ditundukkan; aksaranya berloncatan dari awan ke awan; aku hanya bisa menangkap sisa uap, gelap, sisa terpercik dari atap rumah sendiri; atap yang memberiku harap tentang indah yang niscaya, juga bebulir air yang alirkan kata sederhana: tentang laut, panas mentari, tuah alam, dan cinta suci tapi selalu saja bah yang datang ke cakrawala imaji; aku pun tak henti panggul Nuh di hati, agar mampu melintas bandang yang tercipta dari kelesik kata dan pikiran, agar kuasa menyeberang banjir aksara, kalis dari aliran pusaran yang diguyur partitur, hamil nada, simpan kuasa tanda, nama-nama, juga kesepian yang berderak di langit jiwa tapi sungguh tanganku serapuh ilalang, tak mampu ritmiskan hujan dalam bait-bait sajak sederhana; aku kerap tenggelam, seperti Kan’an; yang diterjang luapan, karena selalu melupakan titah ayahanda, karena ingin melepaskan tautan pantai hati dari bahtera pikiran, karena ingin bersurga khayalan dan melanggengkan pembangkangan Adam

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Nyanyian Subuh


Parak subuh, kutemukan risau bergerak dari tubuh

Aku pun menerka jejak halimun yang tertera di mata

Tapi hanya asap tipis, seperti uap nafas sendiri

Hanya kegelapan yang terpatri di balik tirai dan sprei

Sepertinya malam masih berkubang di ranjang dan

Menawarkan selimut panjang ---aku meraba ingatan

Ah, tak ada mimpi yang perlu ditemali, segalanya berlarian

Bagai kijang di padang buruan

Aku pun kembali, tapi sungguh aku tak bisa menjangkau

Risau itu ---ia bergerak-gerak di tubuh, seakan mengendus trubus

Fajar yang sebentar lagi rekah…

Mungkin ia akan terus mengigal di tubuhku seiring mentari

Yang berlari di sekujur nadi, juga hari


Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Sajak Kecil


Kutemukan sajak-sajak kecil di ladang pengantinku

Pupus daunnya hijau muda, pucuk rantingnya

seramping lembing patah

Aromanya yang murni dan bening

membuatku ingin terbaring,

memanjatkan imaji ke tebing tinggi, teriring musik

bisik sesinom yang bersijuntai oleh angin

Mata mungilnya nan teduh

menggiring anganku pada mempelaiku nan jauh

Aku pun merawatnya seperti pembuka huma

yang telah berwindu dirundung rindu tanah

dengan kalbu yang selalu digelayuti gulma tak menentu

Kelak ketika musim terlewati dan jisim berganti

mempelaiku akan turun ke ladang persemaianku

menawarkan seribu surga yang berpangkal

pada sajakku yang mulai tumbuh, meski ada yang terpenggal

Ketika ia menyibak rambutnya dan membiarkan

seluruh kata luruh ke tubuh, jumbuh ke lenguh,

aku angkat anggur dan mawar

Anggur guyur kerongkonganku, mawar bakar kelenjarku

Hingga aku lebur ke tungku….

Sajak-sajakku menjadi saksi pernikahanku

dan selalu menitipkan sejarahnya di tubuhku

: ihwal tamsil sederhana, sebuah sua, pusar renjana

kata, -di luar kata


Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Sungkawa Jawa

seumpama waktu adalah beburung

aku terbungkus tilasnya yang berpalung mendung

lewat jerit lelawa, aku saksikan sungkawa berpendar

dari goa ke goa ---ada yang hingar

di bawah sana, dilipat jiwa, sepetak ingat tak berumah

aku sebut jawa dengan darah, agar jantungku

memasu kembali memori, lalu mimpi terpercik

dari serambi dan bilik

aih, hanya sisik ular yang melingkar di belik

ingatku, hanya noktah hitam yang memercik

tanah moyangku yang tertakik…

remah kenanganku kembali berpulang ke liang waktu

aku pun tercebur ke kubur batu

: ihwal prasasti yang hilang arti,

tentang abjad yang sekarat dikenali

lewat bahasa rahasia, aku hanya menemu tubuh suci

yang tergesa, berlari

kibar selendangnya kirabkan panji:

pulau seberang nan perenai, janji azali

juga manikam mimpi-mimpi

tapi murka masih membusuk di teluk sepiku

keris duka menusuk kalbu hingga biru

ah, aku pun terguling ke tebing rindu

bersama lelawa, aku pun belajar ihwal sungkawa

ingatku telah pergi ke gigir perigi

tapi aku ingin naga-tanahku masih berdiam di malam

ketika aku membiakkan mimpi-mimpi

lalu api terpercik ke igauanku, membakar seluruh ranjang

lelapku dan fajar berkumpar di pusaran waktu

di mana aku menemukan diriku dengan penuh…

Surabaya, 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

pada satu ketika, akhirnya, semua berlari menuju satu arah. entah barat, timur, utara atau selatan. yang pasti semua menuju hulu dari hulu sebuah lubang hitam. yang konon menurut indratjahjadi setara lubang silit kita. sebab tak ada satu pun silit yang putih bersih, tingkahnya.
tapi sungguh, saya pun tak pernah yakin apakah ini dikatakan secara jujur daripada oleh indratjahjadi atau indratjahradadi.
dan konon, ini kata orang lho Mas... orang yang suka olahraga itu... ininya (kata pak tua di bangku seberang dalam bis antar propinsi malam itu, seraya mengetuk jidatnya) agak tumpul.
rupanya saya sudah kelewat banyak olah raga, dan kurang olah rasa, hingga rasarasanya ini saya makin tumpul. dan terpaksa harus menelan pil pahit kasunyatan bahwasanya saya masih banyak berhutang pada sunyi.

mashuri mengatakan...

setara dengan lubang silit. i like that. thanks