Selasa, 22 April 2008

puisi ngelindur

Sajak Mashuri

Surga yang Tak Lagi Bersungai Susu

kita mungkin mati kedua kali, bahkan lebih

seperti lazarus, seperti tokoh kita yang terbaring sepi

di ujung gang di ampel denta, atau seperti kisah-kisah

yang tercatat di beranda: ketika pencabut nyawa

harus kembali untuk menitipkan api, sambil bersabda

: bangkitlah kembali, jiwa yang penuh mimpi!

tapi kebangkitan kita terlalu rapuh dirumuskan

cawat-cawat kita telah beterbangan bak kupu-kupu

lalu kita hanya punya ulat yang terpintal di balik kelambu

kita telah dihardik demikian hina oleh waktu

dan kita tak bisa meragu untuk menunggu

kita hanya bisa berhitung lewat belatung yang menghisap

jasad kita ke inti tanah, kita hanya bisa meraba gelap

lewat cahaya yang terpancar dari luka

kita hanya bisa menerima, tanpa bisa memberi apa-apa

sebab segala rumah telah menjadi dunia istirah

segala jalan telah menjadi nyanyian

dan burung-burung begitu cabul membuhul sahwat

sampai kita tak lagi ingat, benarkah kita pernah tersesat

atau kita telah menatap kiblat dengan nikmat

segalanya membujur seperti kubur masa lalu, seperti batu

diam dan tenggelam di kalbu, seperti mata kita yang berlubang

dan terus berlubang meski arah telah berubah

dunia pun tumbuh lebihi peta…

kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih

lalu mencuri kabar yang terpatri di dinding rintih: muasal neraka

juga sorga yang tercuri lewat gapura

untuk memberi satu penyangkalan: bahwa pohon masih mengenal

musimnya, bahwa sungai-sungai juga mengering

dan tak ada sungai bermata air susu, kecuali pada ibu

yang tak henti berlagu dendangkan tembang-tembang purba

tentang awal cinta, tentang derita

yang dikumparkan demikian indah

di mata, juga tentang sebuah sapuan basah bibir

tuk alirkan takdir yang tiada habisnya…

meski lewat air mata, lewat sedih dan duka yang abadi

kita mungkin mati dua kali, bahkan lebih

untuk memberi arti pada impian, juga kesunyian

yang tercuri dari batas waktu: tapal kematian

Surabaya, 2007

2 komentar:

Kritik Sastra mengatakan...

Puisi ini lebih mengedepankan eksistensialisme. Ada usaha untuk mengada.Bumyi-bunyi retoris-romantisme pun menjadi bagian yang mengkonstruk isi puisi lebih utuh.

Salam!
www.kritiksastra.blogspot.com

mashuri mengatakan...

terima kasih atas komentarnya. semoga dari komentar-komentar kita bisa mengkonstruksi sebuah kritik sastra yang cerdas