Kamis, 23 Oktober 2008

Ubud dalam Kenangan 1















Ajang Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) 2008 memberiku kesempatan mejeng di Museum Antonio Blanco.

Ubud dalam Kenangan 2















Di antara Faizi, Dino Umahuk dan Iyut Fitra

Ubud dalam Kenangan 3
















Ada Guntur, Bang Iyut, Dino Umahuk dan PW. Di belakang media centre yang ciamik

Ubud dalam Kenangan 4

















Bersama Bang Iyut Fitra dan Mas Triyanto Tiwikromo. Sebuah siang, di Alila yang merangsang

Ubud dalam Kenangan 5
















Ubud Writer and Reader Festival 2008 memang udah usai. Ada kenangan yang tergurat di hati. Di latar belakang itu, ada Kadek, Ina, Pak Tohari dan seorang penulis Malaysia.

Senin, 06 Oktober 2008

Sesobek Komentar Puisi














Inti Puisi Adalah Dekonstruksi

(Epilog Untuk Buku Puisi Javed Paul Syatha )


Oleh Mashuri


Kawanku Paul yang baik

Aku telah membaca sajak-sajakmu. Ketika kau bagi sajakmu menjadi tujuh bagian, aku teringat pada martabat sab’ah karya Al Burhanpuri, juga teringat pada maqomat tujuh dalam dunia sufi: sebagaimana Athar melukiskannya dengan sangat baik dan imajinatif dalam: mantiq at thair. Aku berkata begitu, karena sajak-sajakmu mengajakku berenang ke dunia ‘dalam’ itu, sekaligus menyelaminya. Meski terus terang, aku ingin menolaknya. Entah kenapa aku selalu merasa belum waktunya untuk menyelam ke dunia yang selalu bersintuh dengan riuh langit itu. Aku masih terlalu gandrung pada ‘karang langit’: terjal tapi menggigit.

Namun, ketika aku berusaha untuk bertaklimat pada maqomat tujuh dalam kumpulan sajakmu, aku pun tahu, bahwa tujuh di situ bisa jadi hanya pembagian teknis semata, tanpa tendensi ke arah sana (tapi tak menutup kemungkinan juga ke arah sana). Memang, membaca puisi dan merasa sok pintar dengan konsep-konsep yang sudah ada, marak dan berjejalan di luar puisi adalah sebuah kebodohan dan kepongahan. Puisi memiliki logikanya sendiri, yang tentu saja menolak untuk dijajah atau ditundukkan dengan konsep-konsep lain di luar dirinya. Puisi akan lebih bernilai jika didekati dengan logika puisi.

Meski begitu izinkan aku untuk masuk ke sajak-sajakmu dengan pendekatan sufi itu, karena ada beberapa hal yang terasa ‘berharga’ dan pas bila aku memasukinya lewat itu. Pun pintu dan jendela yang disediakan oleh sajak-sajakmu mengarahkanku pada dunia itu. Tentu aku tidak ‘lepas landas, karena perangkat puisi masih tetap di kedua genggaman tanganku. Seringkali aku berkata pada orang-orang bahwa ketika seorang penyair sudah sampai pada inti, maka ia berjajar dengan sufi. Tapi ruang keduanya berbeda. Sufi adakah sufi, sedangkan penyair-sufi adalah seseorang yang telah mengetahui sumsum dan darah bahasa. Orang yang kelewat keras kepala untuk menukik ke lubuk dasar kemanusiaan lewat bahasa. Ia sudah mengenal hakekat penciptaan bahasa, yang Tuhan sendiri juga menggunakannya untuk menciptakan alam raya dan seisinya dengan sabda: ‘Kun!’

Tapi Paul yang baik, seringkali kita memang terjebak pada kesufian penyair dari sudut pandang yang lain. Kesufian penyair yang karena ia menulis puisi-puisi sufi. Tentu dalam hal ini kita patut untuk takut dan ngeri karena bagaimana pun jiwa seorang penyair tak bisa sebersih jiwa sufi. Kedalaman seorang penyair dalam menyelami dunia ketuhanan tidaklah sedalam seorang sufi. Penyair hanyalah seorang yang begitu naïf untuk mereguk kesempurnaan lewat bahasa, sedangkan dirinya masih terkokang oleh nafsu badaniah semata. Dan, aku selalu menempatkan diri sebagai penyair itu.

Aku sendiri juga sangat takut terjebak dalam pusaran samudera ilahiah ini, karena aku begitu takut disebut sebagai seseorang yang sudah sampai pada pencapaian inti pencarian, sedangkan aku masih berkumpar pada masalah bahasa. Bukankah bahasa hanyalah ‘alat’, sedangkan inti atau maksud sebenarnya adalah yang tentu sangat berbeda dengan alat itu. Jika diibaratkan sebagai sebuah jalan dengan rambu, maka bahasa hanyalah rambu penunjuk arah, sedangkan arahnya sendiri masih jauh di depan. Tentu kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang diamalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi, yang terus berputar dalam tariannya dengan mulut yang tak henti alirkan syair, lalu murid-muridnya mencatatnya. Itu kondisi fana’ yang sesungguhnya, sedangkah aku sama sekali tak seperti itu. Aku menulis syair karena rasa pukauku pada perempuan, pada keindahan dunia, pada sesuatu yang sementara. Aku menulis syair sebagai sembah baktiku sebagai seseorang yang bergulat dalam bahasa dengan segala kontradiksinya.

Mungkin itu hanya gelisahku sendiri, Paul. Yang jelas, begitu membaca sajak-sajakmu, aku bisa tersenyum. Meski aroma sufi begitu kental dan meragi, tapi sajak-sajakmu masih sangat manusiawi, masih melambangkan pergumulan seorang anak Adam untuk menuju kesempurnaan. Di dalamnya, terdapat berbagai pertanyaan, masalah, godaan, juga hal ihwal yang bernama dunia, daging dan ingin. Aku suka sajak-sajakmu.

Meski di beberapa bagian juga aku sering masuk ke dalam ‘sumur’ yang kau ciptakan yang membuatku basah dan sunyi. Kata-kata yang kau gunakan sepanjang sajakmu membuatku turut larut dalam pencarianmu. Aku bertemu: ‘assalamualaikau, hijrah, mi’raj, dan hijab (Muqadimah), munajad, ayat, dzikir (munajad), sidrah, jibril, Muhammad, shalawat, salam, sahadat, rohani (jadzab), maqom, amien (Doa Gembala), syahadat, tahiyat, rekaat, bismillah (Lanskap Telunjuk), tawassul (langit bermata senja). Untunglah di puisi berikutnya kau bisa terlepas dari kata-kata itu, sehingga kau seperti seorang pecinta yang bebas tak terbelenggu majas-surgawi. Soalnya, begitu aku bertemu dengan diksi-diksi penuh pukau langit itu, aku seperti terbentur batu. Metafora itu terlalu keras dan utuh bagiku. Sedangkan aku mencintai metafora yang mencair yang bisa luruh dan berenang di pembuluh darahku.

Di sajakmu Muqadimah aku menangkap bahwa sajak-sajakmu memang kau cipta dalam kesadaran seorang salik:

aku datang sebagai anjing

berpijak di kegelapan purna!

Metaforamu cukup menarik dan memiliki basis kultur yang terukur. Sungguh, kita memang anjing, Paul. Jika kau mendaku begitu, aku bisa memahaminya.Tentu kita tak bisa membayangkan seperti anjing Ashabul Kahfi (Qitmir), yang masuk surga meski telah tertidur beratus tahun di goa. Kita mungkin seekor anjing kumal yang kehausan di tengah padang dan menunggu seorang pelacur mengambil air dari sebuah perigi dengan kaos kakinya, sebab kita berpijak pada kegelapan purna (tanpa tahu arah, bukan?) Dalam sajak Munajad, gelap pun membayang, bukan?

kekasih

gelap ini

kugenggam

munajad

serapuh

ranting

hati


Pun kau masih berusaha ingkar.


aku nelayan itu

bukan nabi

yang menggambar jejak

pasir putih.

Aku juga menangkap beberapa jejak penyair kita (baca: Indonesia) di sajakmu. Perihal kata sambung yang digandeng, mengingatkanku pada Dorothea.Juga perihal kata-kata adiluhung mengingatkanku pada Kuswaedi Syafii, baik dalam Pohon Sidrah maupun Tarian Mabuk Allah. Aku juga menemukan jejak Rumi di situ. Meski begitu, aku suka mendekati puisi-puisimu seperti karya Atthar dalam Mantiq At Thoir. Di situ, juga digambarkan dengan perjalanan Simurg melayari tujuh lembah pencarian. Karya Atthar memang berbincang tentang kembara ruhani, seperti ziarahmu untuk selalu mencari.

Aku suka sajak-sajakmu di bagian Ziarah Cinta. Sajak-sajak yang telah tumbuh dewasa. Sajak-sajak yang bisa menyimpan maksudnya dengan rapi dan membangun dunia tersendiri. Aku merasa sajak-sajakmu dalam bagian ini berbeda dengan di awal-awal. Dalam Ziarah Cinta, aku menangkap semangat sajak-sajakmu dalam bagian Lazarus. Sajak-sajak itu juga tumbuh dewasa. Aku senang karena sajak-sajakmu bisa diajak bercanda dan seringkali membuatku tak terjatuh ke lubang sumur yang kau gali dan terbentur batu di dasarnya, sebagaimana sajak-sajak awal. Ada beberapa pencanggihan dan pemutakhiran teknik di dalamnya. Sajak yang bisa diajak untuk bermain tafsir.

Ada sebuah sajak sederhana dalam bagian Ziarah Cinta yang mengingatkanku pada semangat Zen. Mirip haiku Jepang. Meski sederhana, tapi menarik, meski tarikan jatuh ke arah klise juga demikian kuat. Alegorinya cukup asyik. Judulnya Pelukis Sepi.

Pelukis Sepi

lukis saja burung terbang

dalam kanvas burammu

agar anganmu pun melayang

atau,

setidaknya kau tak lagi

melukis sepi

sebagai pengembara

dan hanya bisa bermimpi.

Lamongan, 2003

Paul yang baik, dari tujuh bagian sajakkmu, mungkin bagian The Lamongan Soul yang agak berbeda. Kau bertaruh pada sesuatu yang nyata. Aku pun memakluminya karena bagaimanapun seorang penyair tak bisa alpa dari kampung halamannya.Jika ia pergi jauh, maka kampung halaman itu adalah oase tempat ia istirah untuk mereguk sejuk air dari sebuah perjalanan panjang nan kerontang. Jika ia dekat dan selalu bergumul, maka kampung halaman (yang di dalamnya terdapat ingatan, kenangan, pengalaman dan lain-lainnya) adalah tempat mengasah kepekaan yang tak tertandingi. Ia adalah harta karun bagi penyair.

Tapi yang mengganjal di hatiku adalah kau menggunakan kata Inggris untuk menyebut ‘jiwa’. Meski di puisimu yang lain kau menggunakan judul Inggris, tapi dalam bagian ini jelas menyimpan sebuah ‘kesan’ yang lain. Itu memang hak prerogratifmu sebagai seorang pengarang, tapi jika itu aku maka aku akan menggunakan kata ‘atman’ atau ‘sukma’. Hal itu lebih senada dengan enam bagian sajakmu lainnya. Jika kau mengangankan puisimu ini sebagai sebuah komposisi simponi, maka kau telah menciptakan sebuah ‘disharmoni’. Jika itu memang kau sengaja, ah alangkah indahnya. Tentu indah di sini adalah alternatif dari sebuah simponi yang merusak harmoninya sendiri (komposisi simponi dengan citarasa postmodern). Dengan kata lain, di dalam harmoni juga menyimpan disharmoninya dan itu bukanlah cacat ciptaan tapi niscaya. Mungkin aku terlalu udik dalam hal ini. Maafkan, kelancanganku.

Meski begitu, aku suka diksi yang kau gunakan dalam puisimu Kali Lamong. Terasa benar Lamongan-nya. Aku suka musik yang tercipta dari diksi-diksinya. Terkesan otentik dan menggelitik.

sementara bocaboca telanjang mengarungi

jeram riciknya

dengan sorai nyanyian

dengan rumbaian dan tambang

ingin membangun jembatan

Sampai di sini dulu, Paul, kawanku. Maafkan aku yang dalam kesempatan ini kurang bisa berpanjang lebar menggelar sajak-sajakmu di ruang rasa dan pikiranku. Semua itu karena keterbatasanku. Jika kelak masih ada waktu, aku ingin bertemu dengan sajak-sajakmu dalam kesempatan yang lain sehingga aku bisa mengirimkan kembali surat cinta, yang lebih panjang, mendalam dan karib. Sebuah surat cinta yang tetap meyakini bahwa dekonstruksi adalah inti puisi.

Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

Siwalanpanji, 2008

Esei Kritik Sastra













Jalan Simpang Kritik Sastra di Jawa Timur (Juga Indonesia)

Oleh Mashuri

“Seorang kritikus sastra adalah seorang sastrawan yang gagal,” demikian pernyataan seorang pesastra Surabaya yang menjadi moderator dalam sebuah bedah buku di TB Gramedia, Delta Plaza, beberapa waktu lalu. Pernyataan itu menerbitkan sebuah tanya sekaligus renungan yang dalam. Apalagi ‘ekologi’ sastra di Jawa Timur terbilang timpang, di mana porsi produk karya tak seimbang dengan kritik sastra.

Sebuah ekologi sastra dikatakan berimbang, jika rasio antara penulis, karya, pembaca dan kritikus sastra juga berimbang. Di Jawa Timur, kondisinya cukup memprihatinkan karena karya sastra terus tumbuh, baik itu bergenre prosa maupun puisi, tapi kritiknya langka. Ada memang kritikus, tapi lebih banyak yang mengulas karya-karya yang sudah dianggap canon sastra. Padahal posisi kritik sastra dalam sebuah lingkungan sastra sangat penting, sepenting posisi sastrawan sendiri.

Kegunaan kritik sastra meliputi tiga hal utama, yaitu kegunaan pada ilmu sastra, penerangan/jembatan pada masyarakat/pembaca dan bagi perkembangan kesusastraan. Jadi kritik dalam dunia sastra bukanlah mencemooh atau menimbang baik dan buruk saja, tapi juga mengungkap sisi tersembunyi dan sisi yang tak tertangkap oleh pembaca umum/awam yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Selain itu, kritik sastra juga berguna terhadap ilmu sastra karena dari kritik inilah dimungkinkan muncul teori sastra baru. Begitu pun dengan perkembangan sastra, karena dari kritik inilah sangat mungkin muncul sejarah sastra baru dan bisa menjadi tolak ukur perkembangan sastra.

Anggapan Keliru

Selama ini, ada anggapan salah di publik kita, bahwa kritik selalu berorientasi negatif, padahal dalam sastra kritik adalah tafsir dan takwil pada karya. Ada kalanya sebuah karya dalam dunia sastra itu terlalu berat bagi pembaca awam, karena mengandung pemikiran-pemikiran dan gagasan yang mempertanyakan kemapanan dan seringkali berlawanan dengan selera publik. Maka, tugas kritik sastra adalah mengungkapkan dan menerangkannya. Di sisi lain, ada pula karya sastra avant garde yang mendahului jamannya sehingga pembaca pada masanya tak bisa memahami karya itu, maka kritik sastra sebagai jembatan. Dalam posisi ini, seorang kritikus adalah sosok yang cerdas. Dalam sejarah sastra Indonesia, hal itu sudah terbukti. ‘Chairil Anwar’ yang ditemukan oleh kritikus sastra HB Jassin adalah peristiwa yang bisa dijadikan pijakan seberapa pentingnya kritikus sastra dalam dunia sastra. Jassin melihat dalam puisi dan diri Chairil Anwar mengandung sesuatu yang bernilai bagi (kesusastraan) Indonesia.

Dalam tataran ini, seorang kritikus bukanlah orang yang gagal dalam berkarya, sebagaimana pernyataan pesastra Surabaya yang dikutip di awal tulisan ini. Kritikus sastra adalah seorang yang mememiliki kecerdasan istimewa yang bisa menafsirkan karya secara proporsional dan menggali makna dari kapasitas karya. Bahkan bisa melihat hal-hal tersembunyi yang bisa jadi tak terpikirkan oleh sastrawannya. Ada beberapa contoh kritikus sastra seperti itu. Misalnya, jika berkaca pada kritikus dan ahli sastra dunia Edward W Said, maka kita sungguh akan terperangah. Ahli sastra perbandingan dari Universitas Columbia itu mengungkap ideologi beberapa karya sastra Eropa yang ternyata menyimpan maksud tersembunyi, semacam kolonialisme. Dari kritiknya, ditemukan teori orientalisme yang demikian mendunia dan mempengaruhi beberapa ilmu lainnya, termasuk filsafat, sosial dan kebudayaan yang luas. Selain itu, Roland Barthes, pemikir dan ahli sastra dari Perancis, dalam sebuah tulisannya menyebutkan, seorang eseis dan kritikus seni juga seorang ‘sastrawan’. Ia telah membangun sebuah dunia dari teks-teks dan memperlakukan teks itu sebagai sebuah kesenangan dan karib. Dari beberapa contoh itu kiranya kritikus sastra bukanlah orang sembarangan.

Bisa jadi ungkapan ‘kritikus adalah sastrawan yang gagal’ adalah sebuah ‘black humor’ dalam kehidupan kreatif sastra dalam sebuah ekosistem sastra. Sungguh itu hanyalah sebagai sebuah humor semata. Bisa jadi, humor ini bermula dari kiprah HB Yassin yang dikenal sebagai kritikus sastra Indoesia berwibawa yang menekuni kritik karena karya-karyanya dianggap gagal.

Sastrawan Sekaligus Kritikus

Jika kita melihat daftar sastrawan kita lebih banyak yang merangkap juga sebagai seorang kritikus sastra dan dikenal sebagai kritikus yang handal. Dari Jawa Timur bisa dilihat pada sepak terjang Budi Darma. Penulis novel mashur Olenka ini tidak hanya seorang sastrawan, tapi juga ahli sastra dan seorang kritikus sastra berwibawa. Selain itu, dari kalangan sastrawan Jawa Timur bisa dilihat pada kiprah Akhudiat, Bonari Nabonenar, Moh. Shoim Anwar, Budi Palopo, Tjahyono Widiyanto, Tjahyono Widarmanto, S Yoga, Ribut Wijoto, Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, Achmad Faisal dan lainnya. Sedangkan dalam jagat sastra Indonesia, sekadar menyebutkan adalah Sapardi Djoko Damono, Soebagio Sastrowardoyo, Goenawan Muhammad, Afrizal Malna, Abdul Wahid BS, dan lain-lainnya. Umumnya kritik sastrawan bukanlah pada karya sendiri tapi pada karya orang lain dan perkembangan sastra.

Kiranya bukanlah sesuatu yang tabu bila seorang sastrawan juga merangkap sebagai kritikus sastra. Ini bisa dijadikan solusi bagi kelangkaan krikitus sastra di Jawa Timur. Selain untuk menyeimbangkan ekosistem sastra di Jawa Timur, bisa juga digunakan untuk menyampaikan gagasan, ide dan pemikiran sastranya. Seorang sastrawan yang cerdas memang harus bisa merumuskan gagasannya dalam berkarya, karena sastra adalah dunia pemikiran dan gagasan dan bukan sekedar pengrajin kata-kata.

Sebenarnya kelangkaan kritikus sastra di Jawa Timur adalah kasus laten dalam kesusastraan Indonesia. Meski demikian, bukan berarti kita harus mengamini mati suri kritik nasional itu sebagai biang langkanya kritik sastra di Jawa Timur. Hal itu karena wadah untuk menjadi seorang kritikus sastra di Jawa Timur terbuka dengan lebar. Tidak hanya jurnal-jurnal ilmiah yang banyak, mengingat cukup banyak fakultas sastra di Jawa Timur dan maraknya lembaga kebudayaan, tapi media massa umum yang bisa menampung tulisan kritik juga tersedia.

Selama ini ada beberapa kritikus sastra yang sudah dikenal di Jawa Timur, tapi sangat jarang yang berusaha untuk membahas karya-karya sastra yang tumbuh, berkembang dan berlatar sosio-kultur Jawa Timur. Sebenarnya, dari sini, juga menerbitkan beberapa tanya: Pertama, benarkah karya-karya sastra di Jawa Timur yang regional itu belum layak untuk dibahas dan disejajarkan dengan karya sastra yang bertaraf ‘nasional’. Kedua, bukankah karya bagus mulai bermunculan di Jawa Timur dan beberapa sastrawan Jawa Timur sedang naik daun dan menjadi perhatian publik dan disorot media nasional. Ketiga, apakah masih pas untuk saat ini dalam memilah antara regional dan nasional. Kiranya, waktu yang akan menjawabnya. Yang penting, habitat sastra di Jawa Timur harus seimbang, sehingga rotasi pengetahuan bisa berjalan dengan harmonis, nyaman dan kehidupan pun semakin indah dan bergagasan. (*)

Sajak Penuh Terasi



















Sajak Mashuri

Klosetku Mampat

klosetku mampat pagi tadi; tahiku mengambang di antara air yang kuguyurkan ---tahi itu menjadi matahari di pagiku, yang tanpa kopi, koran dan sarapan pagi; baunya membaur di dapur, meja makan, juga tempat tidur, dan berseliweran di antara berita-berita pagi yang memasuki ruang tamu; karena di situ, isteriku terus-terusan mengunyah berita, memutar balik tombol pengganti chanel, sambil terus ngomel

malam ini, ketika istri dan anakku dibuai mimpi, dan televisi mati, aku ingin memutar peristiwa yang tadi pagi membuatku tak enak makan seharian, membuat anak-anak berak di kloset tetangga, membuat anak-anakku berteriak karena bau sengak di rumah; aku pun kembali ke kamar mandi, aku kembali duduk di situ, sambil membayangkan sebuah matahari bakal muncul di malamku dan mengganggu dengkur keluargaku…

ah, tapi di atas kakus itu, aku tahu, ada yang abadi: tahi, tapi sungguh aku sempat berdoa, agar pada malam ini, klosetku tidak mampat lagi, sehingga matahari bisa muncul tepat pagi nanti

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Kipas Angin di Dada

aku ingin tahu berapa harga kipas angin yang kau pamerkan itu; kipas angin yang selalu berputar di dadamu; sebab kotaku hanya kotak persegi empat, dengan satu matahari setinggi tombak; matahari yang tak lelah menggaringkan kulit, sebagaimana ia memanggang ikan asin di pantai atau menguapkan air laut di tambak-tambak garam; aku terlalu takut jika sekujur tubuhku bergaram, karena keringat terhisap panas, dan tinggal butir-butir asin putih yang membungkus kulit ---aku takut kau menganggapku mayat dibalsam, dimumi, aku takut kau menganggap: tubuhku sengaja dikeringkan menjadi dendeng….

ketika aku sendiri, aku juga kerap mendengar kipas angin itu bergerak dan berbunyi di dadaku, tapi aku langsung mematikan tombolnya; aku begitu khawatir jika para tetangga tahu aku menyimpan baling-baling, menyimpan kumparan, lalu mereka akan mendatangi atau menjauhiku, karena mereka tahu ada yang sedang bergemuruh di dadaku; aku pun harus siap dengan panas mentari yang membakar, juga udara yang membuat seluruh pembuluh kelojotan, tapi sungguh setiap orang juga merasakan gusar yang sama ---tapi aku tak tahu berapa harga kipas anginku karena aku selalu menyimpannya, aku selalu takut menjadi orang baling-baling

aku ingin tahu berapa harga kipas angin yang berputar di dadamu; jika aku bisa membelinya, kipas angin itu akan aku beli, lalu aku matikan tombolnya, karena aku tak bisa tenang mendengar deru kipasmu, meski aku tahu, kau ingin menjadi kota kita menjadi sepetak kota penuh udara, tapi suaranya itu begitu bergemuruh dan membuat kota kita tak lagi punya peta ---karena kau sama sekali tak mengerti, bahwa ada saat kipas itu berputar dan tak terus-terisan berpusar….

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Not Nocturno

1
Tahukah kau, apa yang kudengar dari denting ranting, ketika aku terlelap di seberang dinding, ketika aku tersekat di antara lembah dan tebing ---mungkin suara cicak yang kelewat berat dan serak, kerna dinding itu retak dan dari nganganya terlihat sepasang mata yang tak pernah membiarkan apapun melata di antara kedua lensanya; mata yang mampu memerintahkan saraf-saraf untuk bergerak laksana kuda, lalu menabrak apa yang tampak, meski gelap menggelayuti permukaan dan memunguti riuh rendah tempaan tak berbilang, perihal nyanyian-nyanyian malam, yang terenda dari diam, gerak perlahan, atau suara yang bersahutan antara kelesik dan berisik, antara musik dan rintik, antara… seperti jarak antara kita, yang terpeta di dua dinding, sisi koin, dan kita hanya menghadap hamparan berbeda, dengan sunyi yang menabuh dada dengan bunyi yang lain…

2
tahukah kau, ketika angin bersiut, menjemput suara rumput, ada yang terbangun dari malam, seperti bohlam yang nyala, lalu sepasang mata itu berbinar, menerka berapa jumlah bata yang tertata di dinding… tapi suaranya tak lagi takjub seperti saat denting ranting mengapung di antara gelap dan jeda, suaranya seperti nafas yang tertata, lalu melaju dari hidung ke dada; suara-suara yang entah bagaimana menggiring denting yang lain…. Dan suara itu membuat kita berpaling, sehingga kita sejenak bisa bercakap, meski kita hanya berbicara perihal gelap yang kita rasakan, atau pengap yang hinggap di derap kita, meski ketika angin berhenti, kita pun kembali menekuri lantai sendiri…

3
tahukah kau, aku tak bisa berharap ranting itu bercakap, ketika kau menyimpan lembaran-lembaran ingatan di almari memori, lalu ngengat melaju ke situ, dengan satu tuju: membuat lubang, lalu berlalu.

Surabaya, 2008

Puisi Azali










Sajak Mashuri

Bawuk

jika kau menjelma perahu
dan rambutmu dengan ronce melati adalah buih
bahasa apa yang harus kulisankan
dengan lidah pejantanku

hanya tulisan di batu
serupa tugu, dengan segala kenangan, ingatan
dan rahsia mengekal
memberiku pilihan

lalu ombak-ombak itu, dengan gelombang pasang
laksana sejuta serdadu
menghambur kaki langit
dan sebuah senja memesan kopi pahitnya
hingga malam merengkuhnya di pembaringan
dengan rasa sakit

cahya
hanya cahya yang berkilat dari pundakmu
yang menuntunku
pada tiga tiang layar
dan kemudi di buritan
mungkin waktu dengan mata pedangnya
juga harus undur
mempersilahkan kengangaan lewat
lalu lumpur-lumpur, dengan pasir beracunnya
memberi kutukan
seperti kutuk pada kebebasan
amsal pengkhianatan tapi benarkah kuingin terpatri
di bibir bawahmu, di antara belukar
dan rimba
dengan kijang-kijang liar dan trengginas
atau hanya kesepian
yang melecutmu tuk menarikku pada permainan
tapi gemas pinggulmu telah berkirim khabar padaku
bahwa segala yang bulat
tiada lain adalah tuhan, mawar dan remah roti di musim
paceklik
lalu aku berkendara angin
menyambarmu
dan melumatmu
dalam wujud tak berwujud
dalam muksa tak muksa
dan segala indera
hanya berbagi dengan rintih, nyeri
kengerian, selalu memanggil datang
untuk mengulang
dan mengulang
ritual, upacara
atau metamorfosa kupu-kupu dan bunga

mungkin di atas ngilu itu, dewa-dewa
menitiskan gamisnya
lalu tubuhmu yang polos
mulai berpakaian
mengenakan sarung tangan
dan bibirmu
dan anusmu
dan segala lubang yang menganga
di tubuhmu
mencipta pagar
agar segala rahsia, tetap mekar
dan tumbuh menjelma ular

sungguh aku hanya mengintipnya dari renggang jemariku
tapi nafasmu dengan ruap embun
laksana pantun
sebuah derap yang dapat diraba
tapi setelah jejak-jejak itu kabur
kau adalah lesit
yang menghisap darah
untuk darah
lintah dengan mulut-mulut api
yang membikin bara dengan jerami, rerumput
hitam, semacam sahwat
dan mengundang burung-burung
untuk hinggap dan mematuknya dengan lahap,
liar dan mencengkeram

sayang yang kuingat dari dirimu
hanya sebongkah kata
sebaris ucap, seperti sapa
dan layar yang tergerai di pahamu
mulai menyingkap
lalu perahu itu melaju
dengan haluan berbuih-buih
dan suar pun memejamkan mata
untuk menyaksikan adegan-adegan kejam
pentas yang tak pernah tuntas
untuk selalu mencipta merih
merih tak terandai
berkejaran di lorong malam

hingga sungai dengan ikan-ikannya
menyesak pantai
hingga jeram dengan arus tajamnya
menjelma landai

dan siapapun adam yang bermain sampan
akan terkutuk sebagai pengkhianat
lalu mengubah arah jarum jam
membelah kepala, mengunyah jantung
dan melarikan segala yang bernama
pada sang tiada

hanya maut
maut yang berpagut dengan gelinjang
dalam tarian
ketika sahwat menjelma khalwat
dan bibir mendengus: baiat! baiat!
maka tubuh hitam akan semakin hitam
membaca ketaksadaran dengan luka
luka tubuh
yang dirajam batu
dan seribu duri tumbuh dari tubuh
selama berwindu-windu

mungkin hanya di pantaimu
aku melihat waktu merintih
mati
dan kebebasan itu telah mengutukku
untuk menyemaikan lisong
ke mulutmu
dengan asap yang membubung
lenyap, suwung

Surabaya, 2002

Minggu, 05 Oktober 2008

Puisi Cinta Mashuri









Puisi Mashuri

Tanjung Kodok, Cintaku

di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu

cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah

terjarah, doa-doa percuma

dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi

aku pun asing pada tanah sendiri

aku lalu lingkarkan pena di mata arca

di gapura

berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal

aku menyelam di matanya, membuka luka lama

tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu

aku pun terlontak ke lalu dengan tubuh kaku

aku beri sesaji di pipinya yang letih

tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia

cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa

dan membangkitkan bau tanah

tanah asing kembali bergasing

cintaku pun berpusing dari relief ke relief

yang kini tinggal tebing ---sungguhkah di sana, abjad

terpahat, atau hanya sekelebat jemari

yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman

agar kini bisa melaut ke kabut

dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…

sungguh rinduku masih berderap

meski waktu memalung dan gelap

di sisi karang, di ujung tanjung,

aku pun menemukan secuil jawab

cintaku mengekal di batu apung

yang disangga laut dan lembah lembab

di situs itu, aku pun menawar luka rindu

dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir

nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut

tapi lagu siul agar angin tak bersiut

di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir

ia bagai penyihir yang berharap kejaiban

agar batu kapur itu hidup dari dengkur

lalu berkisah tentang harapan dan cinta

terlarang, sebagaimana kisah-kisahku

yang ditabukan waktu

dan kini diburu rindu

Lamongan, 2008


Puisi Mashuri

Hujan Bulan Februari

jangan berharap hujan dari nyanyian

karena hujan dipantangkan datang ketika malam menjelang

apalagi kita sendiri…

tengoklah di jendela, cuaca seperti babi bengkak pantatnya

kau akan tahu seberapa siksa bakal berlaksa

ketika di kaca tertera tanda basah

lalu orang-orang berlalu lalang dengan perahu

sambil berteriak: ‘jangan biarkan anjing berlalu’

kita bukan anjing itu, kita hanya pesakitan

yang tak bisa lepas dari nafas hujan

kita selalu berharap ada yang berderap di atap

lalu kita menyanyi, mengusir sunyi ke dalam diri

sambil terus memelototi partitur yang hablur di udara

dan kita hisap tanpa suara…

tapi kini jangan berharap hujan atau memanggilnya

dengan nyanyian

biarkan ia lewat tanpa permisi, agar kita tak tahu

dan tak merasa kehilangan

biarkan ia tetap sebagai awan

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Berdiri di Sebuah Kapal

berdiri di dek, menatap laut, cintaku hanyut

bersama bayangan

cakrawala pun serupa lengkung punggung kerbau

yang tak henti membajak tanah

di kampungku yang gelisah

ketika angin mempermainkan topi, aih

ada yang jatuh dari kepalaku

---sehelai rambut, mungkin kutu atau pikiran

pikiran rindu

tapi buih terus berdesakan di dinding kapal

mataku pun harus antri dan tak kunjung mengerti

sungguhkah ada yang runtuh dari diriku

bersama waktu mengendap, ke arah luar, ke kenang

yang jauh

perihal rumah, cinta yang usang dan rapuh, atau…

bibirku tersenyum seperti remaja yang menemukan

belenggu terlepas dari tangan

dan dada sesak oleh kebebasan

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi

aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi

juga secangkir kopi

di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari

di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus

hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan

---api dengan jalang mengamuk rumah bordil

para perempuan hibuk berlari sambil bugil

tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang

kini, jiwaku pun menggigil

aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi

aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli

aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku

aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing

yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;

ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium

bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…

aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu

masuk surga”

aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga

kucing dan anjing yang berkejaran di perutku

yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008


Puisi Mashuri

Perjalanan Luka

berjalan di atas rel, tak ada stasiun hari ini

kaki patah bukan sayap, hati patah pun gelap

kau tempel kata di jidat: ‘kami butuh tumpangan!’

tapi tak ada yang mendekat, orang langsung berangkat

kau gali lubang di ruang tunggu

kau minta karcis, lalu kau timbun dengan abu

perjalanan ini hanya luka dan mati

kau teringat kapal-kapal yang angkat sauh

kau tahu, semuanya tak kembali dan tak berlabuh

‘tak ada juga pelabuhan hari ini, bahkan di terminal

banyak roda tak bergigi…’

kau pun mulai mematahkan lengan, berharap

ada yang menemani kaki dan hatimu

tergolek di antara batang besi berkarat

‘agar aku bisa segera menyambar kereta cepat dan sampai

di stasiunku yang sekarat’

Surabaya, 2008