Kamis, 04 Desember 2008

Tinjauan Film 3 Cinta 3 Doa











Santri Juga Manusia

Judul film: 3 Cinta 3 Doa
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Jajang C Noer, Butet Kertarajasa.
Sutradara: Nurman Halim
Penulis Naskah: Nurman Halin
Produksi: Triximages dan IFI, 2008
Genre: Drama.

Dian Sastrowardoyo main bareng lagi dengan Nicholas Saputra. Tentu, tampilan mereka dalam film terbarunya ini 3 Cinta 3 Doa berbeda dengan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) karena seting dan fokus yang diangkat berbeda. Jika AADC berbicara tentang lika-liku cinta remaja kota, film terbaru ini berbicara tentang cinta tiga santri. Meski berlatar pesantren, jangan dibayangkan film ini seperti film religi Ayat-ayat Cinta. 3 Cinta 3 Doa ingin terbuka berbicara soal santri sambil mengangkat kredo keras-keras: santri juga manusia.

Film yang disutradarai Nurham Halim ini berkisah tentang cita-cita dan angan tiga orang santri. Huda (diperankan Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama) dan Syahid (Yoga Bagus). Latarnya adalah sebuah pesantren di sebuah desa di Jawa Tengah. Meski berlatar pesantren, film ini tidak bisa disebut film religi, karena film ini bertutur tentang kehidupan santri dari berbagai sisi. Para santri dalam film ini adalah manusia biasa yang punya hasrat, nafsu, bahkan tak bebas dari salah dan keliru. Tentu itu berbeda dengan AAC yang menampilkan sosok Fakri yang sempurna, ideal, dan mengemban ide-ide keagamaan yang kental.

Misalnya saja, ada gambaran santri ereksi saat bangun pagi. Mengantuk pada saat shalat subuh. Santri dengan diam-diam suka dengan lawan jenis. Ada kiai yang tukang kawin, ada ustad yang gandrung menyerukan ‘hancurkan Nasrani dan Yahudi’, serta banyak pernik santri lainnya yang lebih bernilai manusiawi. Sepertinya sang sutradara Nurman Halid (yang pernah nyantri di sebuah Pesantren di Demak Jawa Tengah) ingin berkisah lebih terbuka dan menyentuh sisi manusiawi pemirsa, karena ia sangat tahu seluk beluk dunia pesantren yang sebenarnya juga hampir sama dengan kehidupan di luarnya, karena pesantren pada dasarnya adalah ‘miniatur’ dunia yang tentu saja tidak bisa kalis dari godaan dan hasrat manusiawi.

”Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal,” tegas Nurman.

Film yang awalnya berjudul Pesantren ini dibuka dengan adegan kebiasaan tiga santri (Huda, Rian dan Syahid) yang kerap mengeluh atau curhat pada reruntuh tembok di dekat pesantren. Huda gemar menuliskan tahun-tahun wafat orang yang penting atau berjasa dalam hidupnya di tembok itu. Sambil menghisap rokok, ia berkisah tentang terdamparnya ia ke pesantren tersebut. Sejak usia 11 tahun, ia diditipkan sang ibu ke pesantren tersebut, dan hingga dewasa tak tahu, di rimba mana sang ibu itu kini berada. Lamat-lamat ia hanya mengingat, sang ibu berada di Ibukota Jakarta. Oleh karena itu, ia bercita-cita mencari ibunya. Cita-cita itu pun menjadi doa, agar ia bisa menemukan sang bunda yang begitu amat dirindukannya.

Berbeda dengan Huda yang melankolis, Rian memiliki pengharapan berbeda. Santri ini punya pikiran praktis. Ia bercinta-cita mendirikan sebuah video kawinan, setelah usai menimba ilmu di pesantren. Sementara itu, Syahid, sebagaimana namanya syahid, memiliki cita-cita super ideal bagi seorang santri dan pemeluk agama yang teguh: mati syahid.

Sesuai judulnya ‘3 Cinta 3 Doa’, plot atau alur utama film ini berkisar pada cita-cita dan doa tiga santri tersebut. Huda yang rindu ibu, dituntun dengan kerinduannya. Rian yang ingin menjadi pebisnis dituntun dengan naluri dagangnya. Sedangkan Syahid dengan geloranya sendiri dituntun dengan keyakinannya. Kayaknya ide besar dari film ini adalah mengurai spektrum atau perspektif yang seimbang tentang dunia santri dan profil santri sendiri, yang kadangkala berprototipe unik: udik dan tradisional. Sedangkan pada sepuluh tahun ini, mengalami degradasi dengan label: teroris dan suka marah dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Karena idenya itu, tak heran, dalam film ini, seringkali nampak hal-hal manusiawi yang terjadi terutama ketika terkait dengan pemahaman diri terhadap agama. Misalnya, Huda menolak ikut ustad yang menghujat agama lain. Di sisi lain, ada santri yang tertekan secara ekonomi dan mudah terpesona oleh kharisma dan wibawa seseorang, lantas saja mendaftar menjadi ‘relawan’ untuk ‘jihad’, sebagaimana yang dilakukan oleh Syahid. Penggambarannya tampak berimbang dan alamiah yang menunjukkan jalan penghayatan keberagamaan antar orang itu berbeda, meski digodok pada satu lembaga.

Lalu di mana si cantik Dian berperan dalam film ini? Jangan khawatir, si jelita cucu dari sastrawan Soebagyo Sastrowardoyo ini masih cukup memikat aktingnya. Dalam film ini ia didapuk menjadi penyanyi dangdut Dona Satelit. Karakter Dona: seksi, menor, mata duitan, dan punya ambisi segunung ingin menjadi bintang sinetron. Soal peran Dian ini, tentu mengingatkan pada peran serupa yang diemban oleh bintang AADC, Titi Kamal dalam filmnya: Mendadak Dangdut, yang melejitkan lagu-lagu seperti Si Jablai. Tetapi sungguh, dalam film ini Dian tampil optimal dan ciamik sebagai seorang penyanyi dangdut. Konon, ia nyanyi sendiri di film ini. Cengkoknya dangdut dan sangat alami.

Pertemuan Huda dan Dona terjadi di makam dekat pesantren. Dona, yang sedang menunggu panggilan casting, sering manggung di malam hari. Sedangkan siangnya ia rajin berziarah ke makan ibunya di dekat pesantren Huda. Nah, di situlah mereka bertemu. Setelah berbincang, si santri lugu Huda minta bantuan Dona mencari ibunya di Jakarta. Apakah Huda dan Dona menjalin cinta? Nah, kalau soal ini, tonton saja filmnya biar tahu sendiri. Juga sekalian biar tahu, apakah Rian sukses menjadi pebisnis video kawinan dan si Syahid benar-benar bisa mati syahid sesuai cita-citanya.

Dian patut dipuji dalam film ini. Karakternya cukup matang. Nicholas pun tak juga luput dapat pujian. Meskipun ia terkesan ‘terlambat’ panas dalam film ini. Meski begitu, Nicholas bisa mengembangkan karakter yang lumayan bagus. Awalnya sangat ganjil melihat santri lugu yang indo, tetapi pada perkembangannya, ia bisa menjadi santri yang mantap. Perkembangan karakternya dalam film ini terbilang unik: ia yang santun dan pendiam, akhirnya terguncang hatinya melihat garangnya Jakarta. Kata seorang pengamat film: ‘ia paling cemerlang dalam film ini’. Soal sutradaranya, Nurman terbilang sutradara potensial. Posisinya akan sangat diperhitungkan dalam jagat perfilman Tanah Air pada masa mendatang. Ia mampu memadu dengan apik film ini menjadi kisah yang alami, alurnya mengalir lancar, dialog yang bernas dan cerdas, dan terlebih penuh humor, meski di beberapa bagian cukup sarkas.

”Pesan utama dari 3 Doa 3Cinta adalah kedamaian dan cinta mengalahkan segala bentuk kekerasan dan kebencian.” demikian tutur Nurman Hakim

Ibarat tiada gading yang tak retak, bukan berarti film ini tanpa celah. Ada beberapa adegan yang kelihatan amatiran, yang dalam bahasa filnya: terkesan klise. Namun demikian, tentu saja, tidak mengurangi performa dan pencapaian film ini secara keseluruhan. (uri/berbagai sumber)

1 komentar:

Sidik Nugroho mengatakan...

penasaran juga dengan film ini. matur nuwun review-nya.