Selasa, 23 Desember 2008

Sajak-sajak Hongwilaheng














Sajak Mashuri

Khidr 1
: perburuan

Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…

Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.
Kita bertemu…

Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”

Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 2
: amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu

Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi

Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 3
: surat pembuka

Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca fatihah berjuta-juta; aku kirimkan kepadamu dengan jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti tersengat bisa dari ular yang paling berbisa; tapi aku selalu saja ingin mengulang kata demi kata dari surat pembuka, agar tuah terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia entah”

Lewat fatihah pula, aku berharap ada yang bisa aku buka dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.

Tapi begitu surat itu aku baca, maka kunang-kunang langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “fatihahilah lukamu, luka kerinduan yang selalu membuatmu ingat dan berharap…”

Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan… aih!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 4
: alif

“Bacalah atas nama tuhanmu yang telah mengajarkan aksara-aksara penuh biru ke kanvasmu, bacalah…”

Aku pun membaca, tapi selalu berkumpar pada alif-alif saja, sungguhkah aku harus berdiam di tonggak, menyemai jejak di awal, sambil terus mendaras seribu arus yang berkumpar di antara beribu-ribu lompatan… kau pun lalu menudingkan tongkat, ke heningku yang khianat, aku pun mulai membaca dan membaca

Tetali ejaku kembali terpaku di awal: alif, alif, alif… ah, sungguhkah aku telah tersalib di sini, telah berpusar ke tepi segala tepi, tanpa bisa memusat ke relung hikmat, ah…

Kau tersenyum bagai seorang lelaki yang menemukan pisaunya yang tercuri, kau belah dadaku, lalu kau isi dengan taklimat-taklimat, dengan abjad, dengan…. :“Bacalah!”
Aku pun tergagap, dalam satu ruang yang menyulap segala kenang dan ingat, aku pun berteriak: “ALIF!”

Ah, kenapa aku selalu saja kembali ke mula

Surabaya, 2007


Sajak Mashuri

Khidr 5
: delta plasa, sebuah waktu

Kita bersua di sebuah kala, ketika air mataku tak pernah berhenti tumpah, di delta, di sebuah simpang, ketika manekin-manekin berbaris di balik etalase dan sungai-sungai berbuih; kita bersua ketika kanak-kanakku tumbuh, ketika aku disapih tubuh, ketika segala sayatan luka lampau bagai cambuk berduri yang menghajar kulitku; kita bersua ketika ikan dan buaya sedang saling tikam dan bunuh…

Kita bersua, ketika air mataku mengalir bagai buliran-buliran hujan, hujan yang tak henti membuat dadaku sesak…

“teruslah menangis,” katamu. “padamkan neraka dengan air matamu. Neraka jiwamu yang bisa membuatmu bagai tugu…”

Duh, sang kelana, kenapa kau kirimkan hujan ke ranjangku, kenapa kau kirimkan rindu ke hatiku yang kemarau. Bak kerikil yang jatuh di danau, bebulir air mata itu mencipta riak-riak yang jauh; riak yang mungkin membuatku terjatuh dalam kesedihan yang dalam; tapi kau pun memungutnya, lalu meletakkan di antara silang kata: aku membacamu membuat peta, sebuah kiblat malam bagi para pencari kata

“Kau tak boleh berhenti di sini, kau harus terus mengaji; mengaji hidup yang tak pernah selesai”

Di delta itu, aku pun mencari kitab yang pernah sentuh, ketika tubuhku masih tubuh. Di sana, kutemukan namamu, juga namaku; di sana, aku menemukan tabir yang mengalir dari segala kelir; aku saksikan ikan-ikan berlompatan, buaya berlompatan, aku saksikan arus air lurus, aku saksikan, segala berbalik menantang gravitasi, aku saksikan diriku membelah, aku saksikan api membakar jiwaku yang ringkih….

Boneka-boneka di balik kaca pun bangkit, sungai-sungai meluap. Kata-kata pun melata ke langit, segala suara berderap. Kau masih saja tegap bagai tonggak tak tergoyahkan… aku pun memeluk lututmu, lutut yang bersirip; aku memeluk tubuhmu, tubuh yang tak pernah berkedip; aku pun merasuk ke riuhmu riuh yang tak pernah membuat siapa saja tersalib…

Kita memang bersua di sebuah kala, ketika wajahku banjir air mata. Kini aku pun dilanda bah yang melimpah, kerna dunia yang kau titipkan terselip di antara ribuan igau, ribuan mimpi yang terlontar dari lontar yang pernah kau kabarkan kepadaku, dulu…

“kelak, ketika kau sampai, kau akan bisa berlari di atas segala yang bernama arus dan segala batas hanya kaca yang lekas tumpas….”

Tapi kemanusiaanku kerap tumbuh melebihi bukit tubuhku dan aku pun kerap terjerembab ke lembah batu… Aduh!

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 6

: Ujung-Kamal

Dengan bersalam kepadamu, aku akan menyebarangi laut ini: “salamualaikum baginda kilir!” Aku berharap alir yang berulir ke relung yang memalung hatiku yang kikir tak memarkir langkahku pada satu takdir. Kerna di seberang, tanah terjanji telah memberi api terhadap beribu-ribu hati; aku ingin melihatnya, mencatatnya sebagai pelancongan yang berjalan di jalan-jalan kabut, tetapi pada sinyal laut yang tak henti memberiku mimpi yang paling berarti: perihal bergoyangnya rerumput…

Surabaya, 2007

Sajak Mashuri

Khidr 7

: rumah

Aku merindu, o pengembara dengan lesatan-lesaran udara; aku merindumu, juga merindu rumah tempat kita bersua; tidakkah kau juga rindu padaku, juga rumah yang telah kita pahat di batu kalbu, rumah yang selalu membuat kita termangu tapi membuat kita selalu ingat meski jalan dipenuhi persimpangan dan seakan membuat semua yang merambahnya tersesat…

O pejalan yang bernafas sunyi; kuingin kau ingat pada rumah itu, rumah yang sama kita sembah, rumah yang pernah kau cuci dengan air hati; rumah yang selalu menyimpan rindu untuk selalu bertemu, rumah yang pernah membuat kita juga bertemu di sebuah pintu, ketika kau ucapkan salam pertama, salam dari seorang asing kepada orang asing juga, lalu saling mengerling, saling bergasing di lubuk hening dan terjaga…

“Silahkan masuk, silahkan duduk, kursi ini bukan kursi yang membuatmu disulut api, lalu kau mengutuk sepi yang berufuk di kalbumu…”

Di rumah itu, kau bersujud bagai lumut menghikmati batu, aku pun bersujud bagai rumput yang tumbuh di taman perdu…. Kita kembali menyembah rumah yang sama, rumah yang sering kita tinggal menziarahi jazirah-jazirah lain, tetapi tetap tersimpan di dada, tempat kita selalu pulang dan tak pernah merasa kehilangan

O pengembara perajah sejarah, kau lalu menggurat dinding ruang tamu, memasang gambar di ruang tunggu, bahwa masih banyak orang menunggu di luar, tapi tak bisa merasuk dalam geletar yang kau renjanakan dalam kembara dan kembara, dalam samadi abadi

Di pilarnya, aku baca namamu, bersanding dengan nama-nama yang berkumpar dari doa-doa panjang, doaku yang tak lekang dimangsa waktu, untuk selalu memburumu bertemu denganmu, di rumah yang pernah kita jadikan tempat berhikmat, berkiblat, mencatat luka dunia yang tak pernah terpeta

Dan, dalam kembara itulah kau seakan mengaku, butuh rumah untuk pulang, sebagaimana camar yang mengepak di atas laut, sebagaimana kelelawar yang kembali ke liang ketika subuh mengatupkan waktu, sebagaimana titik air yang kembali ke langit setelah mengecup bumi… dan di rumah itulah kau bisa pulang setelah berpindah dari ruang ke ruang, kau pulang dengan sekerat pesan yang tak bisa dibahasakan dengan lisan-lisan kasat mata

Di lisanmu yang berbahasa sandi, segala bahasa seakan rahasia, bahasa yang terjalin ke lubuk teki; dan rahasia yang terwarta, hanya bisa aku tangkap lewat arus udara, getar yang berderap dari arus nada-nada rendah, di bawah suara, di atas suara, bahasa yang mengunci segenap api ke lubuk tak teraih, memberi mimpi pada ruang yang kau beri nama sebagai ilham abadi…

Di rumah itu, aku merindukan kau menghitung petak-petak kamar, ubin, menghitung lalu menempatkanku pada sebuah kamar sendiri, agar aku kembali mengaji jalan-jalan yang pernah tertempuh dan merelung kembali ke gelung waktu, menggulung waktu, melipat sekat…

Surabaya, 2007

Senin, 22 Desember 2008

Sajak Sendiri















Sajak Mashuri

Kabut
: Ubud, Sebuah Senja

ia yang disebut rangda
---bunyi dada
bertambur: dari ubur-ubur ke laut
dari kubur ke maut
telah menetaskan titisannya
ke dosa asal, ketika geguna dirapal
ke ujung mantra ---mantram merajam
akal
digemiricikkan sunyi
bunyi
gamelan ditabuh, bangkitkan riuh darah
merah, merah, merahkanlah…
---dunia: pura, kembang, arca, mata…

mata meleleh, taring menjema tebing
raseksi
menggunung ---ke lekuk suwung
yang tak terpahami kata
kata: peta yang rapuh oleh kluwung

rangda, bunyi dada, yang bertalu
ke lubuk hulu
sambil menyibak jejak belatung
yang bersirayap di tengkorak
jejak rambut
: bukti keabadian
yang retak dan tercerabut
seperti rerumput di sela padi, yang gigil kepada mati
mimpi para pencabut…

2008

Kamis, 11 Desember 2008

Tinjauan Film La Mome (La Vie en Rose)


















Jatuh Bangun Biduanita Panggung

Judul Film: La Mome (La Vie en Rose)
Pemain:Marion Cotillard, Gérard Depardieu, Sylvie Testud
Sutradara: Olivier Dahan
Produser: Alain Goldman
Naskah: Isabelle Sobelman dan Olivier Dahan
Musik: Christopher Gunning dan Édith Piaf
Sinematografi: Tetsuo Nagata
Editor film: Richard Marizy
Jenis: Drama

Baru-baru ini, film garapan Oliver Dahan dengan cita rasa Perancis yang kental diputar di bioskop Tanah Air.Hasilnya, penontonnya sangat minim. Tentu saja banyak yang berharap, semoga kondisi ini bukan sebagai penanda bahwa film berkualitas tidak laku di pasaran Tanah Air. Pasalnya, film yang diputar kali ini sangat memikat, yakni La Mome yang juga berjudul La Vie en Rose dalam bahasa aslinya Perancis, bercerita tentang jalan hidup seorang biduanita dari Paris, Edith Piaf.

Dari spektrum sinematografi, La Mome cukup apik. Tawarannya juga menarik karena tidak berplot atau alur linear sebagaimana film-film Hollywood. Alurnya perpaduan antara flashback dan maju-mundur. Film dibuka dengan penampilan Edith Piaf (diperankan Marion Cotillard) di panggung. Kondisi tubuhnya sudah sangat rapuh yang terbalut kostum kesukaannya: gaun hitam panjang. Ia terlihat rapuh karena didera penyakit ketergantungan pada obat bius jenis morfin. Meski begitu, ia tetap bersikeras untuk menyanyi. “Jangan pernah minta Edith berhenti bernyanyi!” hardiknya dalam film ini pada para pengurus dirinya. Akibatnya, Edith terjatuh di panggung. Sebuah simbol kejatuhan dia untuk seterusnya, meski usianya belum sampai 50 tahun, tepatnya sekitar 47 tahun.

Setelah adegan itu, cerita pun bergulir ke masa-masa kecil Edith yang sangat berwarna: trenyuh, sarkas, dan bagi orang yang perasa, bisa menguras air mata haru. Dimulai pada tahun 1918, ketika Eropa sedang dilanda Perang Dunia I dan Perancis terlibat di dalamnya. Kehidupan Edith kecil sangat susah. Ia terlahir dari pasangan pemain akrobat dan seorang artis penyanyi amatir. Ayah Edith yang bernama Louis (diperankan Pascal Greggory) harus menjadi serdadu karena wajib militer, sehingga ia diasuh ibunya yang lebih mementingkan kariernya daripada mengurus Edith. Si Ibu pun minggat ke Konstantinopel, Yunani, agar bisa tetap bernyanyi dan menitipkan Edith pada ibunya (nenek Edith) yang sedang dilanda kesusahan dan kemiskinan. Juga seorang pemabuk.

Penggarapan latarnya yang luar biasa bisa membuat penonton terseret ke masa-masa ketika Eropa sedang dilanda susah perang. Tak ada adegan pertempuran, tapi penonton bisa merasakan ada perang di sana. Pun latar kemiskinan penduduk Paris, juga kota Parisnya yang merana, sungguh sangat riil. Paris yang masih belum berbenah di tahun 1918-an, dengan Menara Eifel yang masih sederhana. Juga Paris yang terkesan kumuh dan kampungan.

Adapun adegan yang cukup dramatis adalah ketika ayah Edith pulang dari perang. Ia mendapati Edith tergeletak di ranjang di rumah mertuanya, dan tubuhnya diselimuti kain mirip goni. Ia sangat terlantar. Louis langsung membawa Edith ke ibu Louis, di Normandy, yang ternyata sebagai pengelola rumah pelacuran. Ibu Louis atau nenek Edith Edith pun menerimanya, meski dengan setengah hati. Begitu tinggal di rumah bordil, ayahnya kembali ke medan pertempuran.

Meski di rumah pelacuran ini, Edith sakit-sakitan dan hampir buta, tapi di sinilah Edith merasa mendapatkan kasih sayang yang sebenarnya. Tentu ini sebuah hal yang kontradiktif, karena ibunya sendiri masih hidup dan mengejar obsesinya sendiri dan melupakan curahan kasihnya. Edith yang berusia 6 tahun, mendapatkan kasih-sayang sebagaimana seorang anak mendapatkannya dari seorang ibu dari seorang pelacur, Titine (diperankan Emmanuelle Seigner). Titine inilah yang memperkenalkan spiritualitas dan reilijiusitas pada Edith. Ia mengajak Edith mengunjungi makam orang suci St Theresa agar matanya sembuh. Pada perjalanan hidupnya, benih spiritualitas itulah yang selalu dibawa Edith, hingga dia menutup mata untuk selamanya.

Ada beberapa adegan dramatis dan menarik dalam film ini. Di antaranya, ketika Louis pulang dari medan perang membawa Edith pergi, Titine meraung-raung seperti kehilangan anaknya. Selain itu, nasib Edith yang kurang beruntung karena jadi pesuruh di rombongan akrobat ayahnya. Juga adegan Edith kecil yang menatap boneka di salah satu toko. Adegan lainnya adalah ketika Edith harus mengeluarkan keistimewaanya, berupa ‘suara emas’, karena dipaksa ayahnya untuk menunjukkan kelebihannya di depan orang-orang di jalan, dalam sebuah adegan akrobat Louis yang gagal. Dari sinilah diketahui, Edith memiliki bakat mirip ibunya, ‘sihir suara’.

Ada juga adegan istimewa lain dalam film ini. Ketika pertama kali Edith Piaf menyanyi di teater. Ia gemetar, nervous, dan mengurung diri di kamar gelap. Ia dibujuk oleh mentornya Raymond Asso (diperankan Marc Barbé). Sementara itu, penonton sudah mulai gelisah. Adegan ini merupakan awal karir gemilangnya di Perancis. Penggambaran adegan kemunculan Edith ke panggung memang sangat berkelas. Adegan ini berlangsung tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir, permainan mimik, gesture tubuh, gerakan tangan yang ekspresif, dan wajah-wajah penonton yang tersihir. Selebihnya sunyi.

Inilah film tentang hidup. Meski tak beralur linear dan menuntut kecermatan dalam mengikutinya, tapi inilah kisah utuh tentang kehidupan seorang artis bertalenta: Edith Piaf. Sebenarnya, hidupnya persis seperti siklus hidup manusia lainnya. Kecil tumbuh, berjuang, gemilang, lalu surut seiring berlalunya waktu. Hanya saja intensitasnya memang memiliki kekhasan dan lika-liku sendiri, karena pada masa kecilnya menyedihkan, masa remaja yang penuh perlawanan, masa gemilangnya, lalu tahun-tahun karirnya menurun karena ‘cinta’ yang karam, lalu dia pun mencari pelarian dengan mengkonsumsi obat bius. Bangkit, lalu usia yang mulai digerogoti penyakit. Akhirnya berujung pada kondisi penuh kesakitan dan menyedihkan. Meski begitu ada sebuah pesan menarik dari Edith. Di masa surutnya di Amerika, ketika ia suka pergi ke pantai untuk merajut (pekerjaan yang paling disukai Edith kalau tidak menyanyi), ia didatangi seorang wartawati dari Paris. Dari situlah sebenarnya kedewasaan dan kematangan hidup Edith tergambar. Ditanya soal apakah ia ingin hidup layak, ia mengaku sudah merasa hidup layak dan lebih dari cukup. Selanjutnya, ia ditanya soal nasehat pada anak-anak, perempuan, remaja dan semua orang. Ia pun menjawabnya: “cinta”.

Film berdurasi 140 menit ini cukup lengkap dan detail. Melibatkan banyak karakter sepanjang hidup Edith. Masa-masa suram remajanya, di antaranya kematian Papa Leplee (diperankan oleh Gérard Depardieu), yang dikenal sebagai mentor pertama yang mengentaskannya dari jalanan, yang justru dibunuh oleh teman-teman jalanan Edith. Leplee inilah yang menambahkan nama Piaf di belakang Edith yang artinya burung. Adegan lain yang juga menarik adalah kisah perjalanan kariernya ketika pindah ke Amerika, terutama tentang sambutan publik Amerika yang berbeda dengan Paris. Lainnya, tentang kisah asmaranya dengan seorang petinju berdarah Perancis yang sudah beranak-istri, Marcel. Dialah cinta sejati Edith. Kematian Marcel karena kecelakaan pesawat, membuat Edith terjerembab dalam lembah kesakitan dan seakan tak berujung. Ia berusaha bangkit, berhasil, tapi akhirnya terpuruk karena penyakit ketergantungan obat yang menderanya. Selain itu, yang menarik adalah lagu-lagu dahsyat Edith Piaf yang mengiang hampir sepanjang film.

Yang tak bisa dilewatkan adalah peran Marion Cotillard, sebagai Edith. Marion bisa menghidupkan peran penyanyi legenda itu. Ternyata, perempuan yang lahir di Paris 1975, ini mengawali karirnya sebagai pemain teater dan membintangi film Taxi (film pertamanya, tahun 1999). Ia mendapat penghargaan di César (Académie Des Art et Techniques du Cinéma César) sebagai pemain berbakat. Berlanjut tahun 2001 dalam film ‘le jolies choses’. Belakangan, setelah membintangi La Mome, namanya dibicarakan media di mana-mana sebagai satu peraih penghargaan artis terbaik wanita di festival film internasional. Perannya yang mengagumkan sebagai Edith Piaf cukup mengagetkan dunia perfilman perancis, bahkan di amerika sendiri dia menjadi tiba-tiba sangat terkenal dan dapat disejajarkan dengan nama-nama artis internasional lainnya. Marion juga meraih penghargai artis wanita terbaik di Académie des Art et Techniques du Cinéma César atas perannya dalam La Mome. Apalagi La Môme juga menjadi film terbaik tahun 2008 di Cesar.

La Mome sendiri beredar pertengahan Februari 2007 dan dibuat tahun 2006. Film ini diperkenalkan pertama kali di Fesival Film Cannes 2006 dan mendapat sambutan cukup hangat. Selanjutnya film ini diperkenalkan ke negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Inggris, lalu baru ke Amerika dan akhirnya sampai ke Indonesia tahun 2008. Selain Marion, yang berperan penting dalam penggaran film ini adalah Olivier Dahan. Dialah yang pertama kali menemukan Marion sebagai pemeran Edith Piaf, disamping itu tentu saja juga tak lepas dari peran penata rias artis yang sudah mampu mengganti wajah Marion menjadi wajah Edith. Selain itu, tentu kru lainnya juga berperan karena kerja film adalah kerja kolektif. Lalu bagaimana La Mome di ajang Oscar? Kabarnya film ini juga dapat penghargaan.

Di akhir film, tepat malam terakhir kehidupan Edith di tahun 1960, terdapat beberapa kejutan apik terkait dengan kehidupan Edith. Sebuah kejutan yang melengkapi jalan hidup Edith yang sudah terpapar dalam sekujur film meski dengan teknik alur yang tidak sebagaimana mestinya. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton, sekaligus perlu diacungi jempol dari segi seni sinematografi, keaktoran, artistik dan lainnya. Meski demikian, tiada gading yang tak retak, bukan? Nah, agar bisa lebih tepat penilaiannya, nonton saja. (mashuri)

Kamis, 04 Desember 2008

Tinjauan Film 3 Cinta 3 Doa











Santri Juga Manusia

Judul film: 3 Cinta 3 Doa
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Jajang C Noer, Butet Kertarajasa.
Sutradara: Nurman Halim
Penulis Naskah: Nurman Halin
Produksi: Triximages dan IFI, 2008
Genre: Drama.

Dian Sastrowardoyo main bareng lagi dengan Nicholas Saputra. Tentu, tampilan mereka dalam film terbarunya ini 3 Cinta 3 Doa berbeda dengan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) karena seting dan fokus yang diangkat berbeda. Jika AADC berbicara tentang lika-liku cinta remaja kota, film terbaru ini berbicara tentang cinta tiga santri. Meski berlatar pesantren, jangan dibayangkan film ini seperti film religi Ayat-ayat Cinta. 3 Cinta 3 Doa ingin terbuka berbicara soal santri sambil mengangkat kredo keras-keras: santri juga manusia.

Film yang disutradarai Nurham Halim ini berkisah tentang cita-cita dan angan tiga orang santri. Huda (diperankan Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama) dan Syahid (Yoga Bagus). Latarnya adalah sebuah pesantren di sebuah desa di Jawa Tengah. Meski berlatar pesantren, film ini tidak bisa disebut film religi, karena film ini bertutur tentang kehidupan santri dari berbagai sisi. Para santri dalam film ini adalah manusia biasa yang punya hasrat, nafsu, bahkan tak bebas dari salah dan keliru. Tentu itu berbeda dengan AAC yang menampilkan sosok Fakri yang sempurna, ideal, dan mengemban ide-ide keagamaan yang kental.

Misalnya saja, ada gambaran santri ereksi saat bangun pagi. Mengantuk pada saat shalat subuh. Santri dengan diam-diam suka dengan lawan jenis. Ada kiai yang tukang kawin, ada ustad yang gandrung menyerukan ‘hancurkan Nasrani dan Yahudi’, serta banyak pernik santri lainnya yang lebih bernilai manusiawi. Sepertinya sang sutradara Nurman Halid (yang pernah nyantri di sebuah Pesantren di Demak Jawa Tengah) ingin berkisah lebih terbuka dan menyentuh sisi manusiawi pemirsa, karena ia sangat tahu seluk beluk dunia pesantren yang sebenarnya juga hampir sama dengan kehidupan di luarnya, karena pesantren pada dasarnya adalah ‘miniatur’ dunia yang tentu saja tidak bisa kalis dari godaan dan hasrat manusiawi.

”Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal,” tegas Nurman.

Film yang awalnya berjudul Pesantren ini dibuka dengan adegan kebiasaan tiga santri (Huda, Rian dan Syahid) yang kerap mengeluh atau curhat pada reruntuh tembok di dekat pesantren. Huda gemar menuliskan tahun-tahun wafat orang yang penting atau berjasa dalam hidupnya di tembok itu. Sambil menghisap rokok, ia berkisah tentang terdamparnya ia ke pesantren tersebut. Sejak usia 11 tahun, ia diditipkan sang ibu ke pesantren tersebut, dan hingga dewasa tak tahu, di rimba mana sang ibu itu kini berada. Lamat-lamat ia hanya mengingat, sang ibu berada di Ibukota Jakarta. Oleh karena itu, ia bercita-cita mencari ibunya. Cita-cita itu pun menjadi doa, agar ia bisa menemukan sang bunda yang begitu amat dirindukannya.

Berbeda dengan Huda yang melankolis, Rian memiliki pengharapan berbeda. Santri ini punya pikiran praktis. Ia bercinta-cita mendirikan sebuah video kawinan, setelah usai menimba ilmu di pesantren. Sementara itu, Syahid, sebagaimana namanya syahid, memiliki cita-cita super ideal bagi seorang santri dan pemeluk agama yang teguh: mati syahid.

Sesuai judulnya ‘3 Cinta 3 Doa’, plot atau alur utama film ini berkisar pada cita-cita dan doa tiga santri tersebut. Huda yang rindu ibu, dituntun dengan kerinduannya. Rian yang ingin menjadi pebisnis dituntun dengan naluri dagangnya. Sedangkan Syahid dengan geloranya sendiri dituntun dengan keyakinannya. Kayaknya ide besar dari film ini adalah mengurai spektrum atau perspektif yang seimbang tentang dunia santri dan profil santri sendiri, yang kadangkala berprototipe unik: udik dan tradisional. Sedangkan pada sepuluh tahun ini, mengalami degradasi dengan label: teroris dan suka marah dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Karena idenya itu, tak heran, dalam film ini, seringkali nampak hal-hal manusiawi yang terjadi terutama ketika terkait dengan pemahaman diri terhadap agama. Misalnya, Huda menolak ikut ustad yang menghujat agama lain. Di sisi lain, ada santri yang tertekan secara ekonomi dan mudah terpesona oleh kharisma dan wibawa seseorang, lantas saja mendaftar menjadi ‘relawan’ untuk ‘jihad’, sebagaimana yang dilakukan oleh Syahid. Penggambarannya tampak berimbang dan alamiah yang menunjukkan jalan penghayatan keberagamaan antar orang itu berbeda, meski digodok pada satu lembaga.

Lalu di mana si cantik Dian berperan dalam film ini? Jangan khawatir, si jelita cucu dari sastrawan Soebagyo Sastrowardoyo ini masih cukup memikat aktingnya. Dalam film ini ia didapuk menjadi penyanyi dangdut Dona Satelit. Karakter Dona: seksi, menor, mata duitan, dan punya ambisi segunung ingin menjadi bintang sinetron. Soal peran Dian ini, tentu mengingatkan pada peran serupa yang diemban oleh bintang AADC, Titi Kamal dalam filmnya: Mendadak Dangdut, yang melejitkan lagu-lagu seperti Si Jablai. Tetapi sungguh, dalam film ini Dian tampil optimal dan ciamik sebagai seorang penyanyi dangdut. Konon, ia nyanyi sendiri di film ini. Cengkoknya dangdut dan sangat alami.

Pertemuan Huda dan Dona terjadi di makam dekat pesantren. Dona, yang sedang menunggu panggilan casting, sering manggung di malam hari. Sedangkan siangnya ia rajin berziarah ke makan ibunya di dekat pesantren Huda. Nah, di situlah mereka bertemu. Setelah berbincang, si santri lugu Huda minta bantuan Dona mencari ibunya di Jakarta. Apakah Huda dan Dona menjalin cinta? Nah, kalau soal ini, tonton saja filmnya biar tahu sendiri. Juga sekalian biar tahu, apakah Rian sukses menjadi pebisnis video kawinan dan si Syahid benar-benar bisa mati syahid sesuai cita-citanya.

Dian patut dipuji dalam film ini. Karakternya cukup matang. Nicholas pun tak juga luput dapat pujian. Meskipun ia terkesan ‘terlambat’ panas dalam film ini. Meski begitu, Nicholas bisa mengembangkan karakter yang lumayan bagus. Awalnya sangat ganjil melihat santri lugu yang indo, tetapi pada perkembangannya, ia bisa menjadi santri yang mantap. Perkembangan karakternya dalam film ini terbilang unik: ia yang santun dan pendiam, akhirnya terguncang hatinya melihat garangnya Jakarta. Kata seorang pengamat film: ‘ia paling cemerlang dalam film ini’. Soal sutradaranya, Nurman terbilang sutradara potensial. Posisinya akan sangat diperhitungkan dalam jagat perfilman Tanah Air pada masa mendatang. Ia mampu memadu dengan apik film ini menjadi kisah yang alami, alurnya mengalir lancar, dialog yang bernas dan cerdas, dan terlebih penuh humor, meski di beberapa bagian cukup sarkas.

”Pesan utama dari 3 Doa 3Cinta adalah kedamaian dan cinta mengalahkan segala bentuk kekerasan dan kebencian.” demikian tutur Nurman Hakim

Ibarat tiada gading yang tak retak, bukan berarti film ini tanpa celah. Ada beberapa adegan yang kelihatan amatiran, yang dalam bahasa filnya: terkesan klise. Namun demikian, tentu saja, tidak mengurangi performa dan pencapaian film ini secara keseluruhan. (uri/berbagai sumber)