Kamis, 11 Desember 2008

Tinjauan Film La Mome (La Vie en Rose)


















Jatuh Bangun Biduanita Panggung

Judul Film: La Mome (La Vie en Rose)
Pemain:Marion Cotillard, Gérard Depardieu, Sylvie Testud
Sutradara: Olivier Dahan
Produser: Alain Goldman
Naskah: Isabelle Sobelman dan Olivier Dahan
Musik: Christopher Gunning dan Édith Piaf
Sinematografi: Tetsuo Nagata
Editor film: Richard Marizy
Jenis: Drama

Baru-baru ini, film garapan Oliver Dahan dengan cita rasa Perancis yang kental diputar di bioskop Tanah Air.Hasilnya, penontonnya sangat minim. Tentu saja banyak yang berharap, semoga kondisi ini bukan sebagai penanda bahwa film berkualitas tidak laku di pasaran Tanah Air. Pasalnya, film yang diputar kali ini sangat memikat, yakni La Mome yang juga berjudul La Vie en Rose dalam bahasa aslinya Perancis, bercerita tentang jalan hidup seorang biduanita dari Paris, Edith Piaf.

Dari spektrum sinematografi, La Mome cukup apik. Tawarannya juga menarik karena tidak berplot atau alur linear sebagaimana film-film Hollywood. Alurnya perpaduan antara flashback dan maju-mundur. Film dibuka dengan penampilan Edith Piaf (diperankan Marion Cotillard) di panggung. Kondisi tubuhnya sudah sangat rapuh yang terbalut kostum kesukaannya: gaun hitam panjang. Ia terlihat rapuh karena didera penyakit ketergantungan pada obat bius jenis morfin. Meski begitu, ia tetap bersikeras untuk menyanyi. “Jangan pernah minta Edith berhenti bernyanyi!” hardiknya dalam film ini pada para pengurus dirinya. Akibatnya, Edith terjatuh di panggung. Sebuah simbol kejatuhan dia untuk seterusnya, meski usianya belum sampai 50 tahun, tepatnya sekitar 47 tahun.

Setelah adegan itu, cerita pun bergulir ke masa-masa kecil Edith yang sangat berwarna: trenyuh, sarkas, dan bagi orang yang perasa, bisa menguras air mata haru. Dimulai pada tahun 1918, ketika Eropa sedang dilanda Perang Dunia I dan Perancis terlibat di dalamnya. Kehidupan Edith kecil sangat susah. Ia terlahir dari pasangan pemain akrobat dan seorang artis penyanyi amatir. Ayah Edith yang bernama Louis (diperankan Pascal Greggory) harus menjadi serdadu karena wajib militer, sehingga ia diasuh ibunya yang lebih mementingkan kariernya daripada mengurus Edith. Si Ibu pun minggat ke Konstantinopel, Yunani, agar bisa tetap bernyanyi dan menitipkan Edith pada ibunya (nenek Edith) yang sedang dilanda kesusahan dan kemiskinan. Juga seorang pemabuk.

Penggarapan latarnya yang luar biasa bisa membuat penonton terseret ke masa-masa ketika Eropa sedang dilanda susah perang. Tak ada adegan pertempuran, tapi penonton bisa merasakan ada perang di sana. Pun latar kemiskinan penduduk Paris, juga kota Parisnya yang merana, sungguh sangat riil. Paris yang masih belum berbenah di tahun 1918-an, dengan Menara Eifel yang masih sederhana. Juga Paris yang terkesan kumuh dan kampungan.

Adapun adegan yang cukup dramatis adalah ketika ayah Edith pulang dari perang. Ia mendapati Edith tergeletak di ranjang di rumah mertuanya, dan tubuhnya diselimuti kain mirip goni. Ia sangat terlantar. Louis langsung membawa Edith ke ibu Louis, di Normandy, yang ternyata sebagai pengelola rumah pelacuran. Ibu Louis atau nenek Edith Edith pun menerimanya, meski dengan setengah hati. Begitu tinggal di rumah bordil, ayahnya kembali ke medan pertempuran.

Meski di rumah pelacuran ini, Edith sakit-sakitan dan hampir buta, tapi di sinilah Edith merasa mendapatkan kasih sayang yang sebenarnya. Tentu ini sebuah hal yang kontradiktif, karena ibunya sendiri masih hidup dan mengejar obsesinya sendiri dan melupakan curahan kasihnya. Edith yang berusia 6 tahun, mendapatkan kasih-sayang sebagaimana seorang anak mendapatkannya dari seorang ibu dari seorang pelacur, Titine (diperankan Emmanuelle Seigner). Titine inilah yang memperkenalkan spiritualitas dan reilijiusitas pada Edith. Ia mengajak Edith mengunjungi makam orang suci St Theresa agar matanya sembuh. Pada perjalanan hidupnya, benih spiritualitas itulah yang selalu dibawa Edith, hingga dia menutup mata untuk selamanya.

Ada beberapa adegan dramatis dan menarik dalam film ini. Di antaranya, ketika Louis pulang dari medan perang membawa Edith pergi, Titine meraung-raung seperti kehilangan anaknya. Selain itu, nasib Edith yang kurang beruntung karena jadi pesuruh di rombongan akrobat ayahnya. Juga adegan Edith kecil yang menatap boneka di salah satu toko. Adegan lainnya adalah ketika Edith harus mengeluarkan keistimewaanya, berupa ‘suara emas’, karena dipaksa ayahnya untuk menunjukkan kelebihannya di depan orang-orang di jalan, dalam sebuah adegan akrobat Louis yang gagal. Dari sinilah diketahui, Edith memiliki bakat mirip ibunya, ‘sihir suara’.

Ada juga adegan istimewa lain dalam film ini. Ketika pertama kali Edith Piaf menyanyi di teater. Ia gemetar, nervous, dan mengurung diri di kamar gelap. Ia dibujuk oleh mentornya Raymond Asso (diperankan Marc Barbé). Sementara itu, penonton sudah mulai gelisah. Adegan ini merupakan awal karir gemilangnya di Perancis. Penggambaran adegan kemunculan Edith ke panggung memang sangat berkelas. Adegan ini berlangsung tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir, permainan mimik, gesture tubuh, gerakan tangan yang ekspresif, dan wajah-wajah penonton yang tersihir. Selebihnya sunyi.

Inilah film tentang hidup. Meski tak beralur linear dan menuntut kecermatan dalam mengikutinya, tapi inilah kisah utuh tentang kehidupan seorang artis bertalenta: Edith Piaf. Sebenarnya, hidupnya persis seperti siklus hidup manusia lainnya. Kecil tumbuh, berjuang, gemilang, lalu surut seiring berlalunya waktu. Hanya saja intensitasnya memang memiliki kekhasan dan lika-liku sendiri, karena pada masa kecilnya menyedihkan, masa remaja yang penuh perlawanan, masa gemilangnya, lalu tahun-tahun karirnya menurun karena ‘cinta’ yang karam, lalu dia pun mencari pelarian dengan mengkonsumsi obat bius. Bangkit, lalu usia yang mulai digerogoti penyakit. Akhirnya berujung pada kondisi penuh kesakitan dan menyedihkan. Meski begitu ada sebuah pesan menarik dari Edith. Di masa surutnya di Amerika, ketika ia suka pergi ke pantai untuk merajut (pekerjaan yang paling disukai Edith kalau tidak menyanyi), ia didatangi seorang wartawati dari Paris. Dari situlah sebenarnya kedewasaan dan kematangan hidup Edith tergambar. Ditanya soal apakah ia ingin hidup layak, ia mengaku sudah merasa hidup layak dan lebih dari cukup. Selanjutnya, ia ditanya soal nasehat pada anak-anak, perempuan, remaja dan semua orang. Ia pun menjawabnya: “cinta”.

Film berdurasi 140 menit ini cukup lengkap dan detail. Melibatkan banyak karakter sepanjang hidup Edith. Masa-masa suram remajanya, di antaranya kematian Papa Leplee (diperankan oleh Gérard Depardieu), yang dikenal sebagai mentor pertama yang mengentaskannya dari jalanan, yang justru dibunuh oleh teman-teman jalanan Edith. Leplee inilah yang menambahkan nama Piaf di belakang Edith yang artinya burung. Adegan lain yang juga menarik adalah kisah perjalanan kariernya ketika pindah ke Amerika, terutama tentang sambutan publik Amerika yang berbeda dengan Paris. Lainnya, tentang kisah asmaranya dengan seorang petinju berdarah Perancis yang sudah beranak-istri, Marcel. Dialah cinta sejati Edith. Kematian Marcel karena kecelakaan pesawat, membuat Edith terjerembab dalam lembah kesakitan dan seakan tak berujung. Ia berusaha bangkit, berhasil, tapi akhirnya terpuruk karena penyakit ketergantungan obat yang menderanya. Selain itu, yang menarik adalah lagu-lagu dahsyat Edith Piaf yang mengiang hampir sepanjang film.

Yang tak bisa dilewatkan adalah peran Marion Cotillard, sebagai Edith. Marion bisa menghidupkan peran penyanyi legenda itu. Ternyata, perempuan yang lahir di Paris 1975, ini mengawali karirnya sebagai pemain teater dan membintangi film Taxi (film pertamanya, tahun 1999). Ia mendapat penghargaan di César (Académie Des Art et Techniques du Cinéma César) sebagai pemain berbakat. Berlanjut tahun 2001 dalam film ‘le jolies choses’. Belakangan, setelah membintangi La Mome, namanya dibicarakan media di mana-mana sebagai satu peraih penghargaan artis terbaik wanita di festival film internasional. Perannya yang mengagumkan sebagai Edith Piaf cukup mengagetkan dunia perfilman perancis, bahkan di amerika sendiri dia menjadi tiba-tiba sangat terkenal dan dapat disejajarkan dengan nama-nama artis internasional lainnya. Marion juga meraih penghargai artis wanita terbaik di Académie des Art et Techniques du Cinéma César atas perannya dalam La Mome. Apalagi La Môme juga menjadi film terbaik tahun 2008 di Cesar.

La Mome sendiri beredar pertengahan Februari 2007 dan dibuat tahun 2006. Film ini diperkenalkan pertama kali di Fesival Film Cannes 2006 dan mendapat sambutan cukup hangat. Selanjutnya film ini diperkenalkan ke negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Inggris, lalu baru ke Amerika dan akhirnya sampai ke Indonesia tahun 2008. Selain Marion, yang berperan penting dalam penggaran film ini adalah Olivier Dahan. Dialah yang pertama kali menemukan Marion sebagai pemeran Edith Piaf, disamping itu tentu saja juga tak lepas dari peran penata rias artis yang sudah mampu mengganti wajah Marion menjadi wajah Edith. Selain itu, tentu kru lainnya juga berperan karena kerja film adalah kerja kolektif. Lalu bagaimana La Mome di ajang Oscar? Kabarnya film ini juga dapat penghargaan.

Di akhir film, tepat malam terakhir kehidupan Edith di tahun 1960, terdapat beberapa kejutan apik terkait dengan kehidupan Edith. Sebuah kejutan yang melengkapi jalan hidup Edith yang sudah terpapar dalam sekujur film meski dengan teknik alur yang tidak sebagaimana mestinya. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton, sekaligus perlu diacungi jempol dari segi seni sinematografi, keaktoran, artistik dan lainnya. Meski demikian, tiada gading yang tak retak, bukan? Nah, agar bisa lebih tepat penilaiannya, nonton saja. (mashuri)

1 komentar:

Tarunala mengatakan...

salam kenal mas huri, sekarang tinggal di surabaya ya, apa di lamongan?, saya juga orang yang terdampar di lamongan he..he..

apa tidak ada program "menggairahkan" sastra di lamongan, sehingga potensi penulis di lamongan dapat terangkat.

akses mas huri buat itu kayaknya terbuka, wah banyak juga ya orang lamongan yang jadi penyair, kayak viddy ad daeri itu yang saya tahu.

salam
http://dunia-awie.blogspot.com