Kamis, 27 November 2008

Sajak Yang Berkisah













Sajak Mashuri

Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi
aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi
juga secangkir kopi
di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari
di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus
hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan
---api dengan jalang mengamuk rumah bordil
para perempuan hibuk berlari sambil bugil
tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang
kini, jiwaku pun menggigil
aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi
aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli
aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku
aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing
yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;
ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium
bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…
aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu
masuk surga”
aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga
kucing dan anjing yang berkejaran di perutku
yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Seorang Perempuan Muda untuk Hari Tua


perempuan berkulit kencana itu menata batu di hatimu
meski jemarimu jompo untuk menyangga lengan mimpi,
kau masih bermimpi: kau seorang pangeran teruna
menunggang kuda putih, mengokang senapang
ke arah rusa berlari kencang
---dan begitu banyak penjudi yang bertaruh
rusa itu dirimu atau perempuan muda itu

tapi sesumbarmu membuat seluruh hutan beku:
‘akulah pemburu yang rakus daging mentah
lihatlah betapa batu-batu itu telah menjadi rumah
tempatku bertolak dan berpulang…
aku akan membidik binatang itu tepat di kelaminnya
agar kelelakianku bisa bersuara….’

tapi siapa percaya pada suara yang keluar
dari kerongkongan renta ---suara yang tak bisa menyapa
dirinya sendiri
bahkan kulitmu pun kertas tisu bergelambir
dengan kaki seperti mesin yang harus langsir

setelah telanjang
dan kau menyaksikan tubuh perempuan itu kejang
sendiri di ranjang
ia pun berbaju
zirah, mengiringi keberangkatanmu yang terbata
ke rimba buruan, tempat anganmu berpulang
pada kelamin lecet
sambil bernyanyi ‘gugur bunga’
yang terpeleset
‘telah gugur kejantananku….’

kau menatapnya dengan mata terpejam
dan berangan baju logam itu tenggelam ke lautan asam
dan kau bisa menyaksikan sebentuk tubuh melepuh
dan erangnya membuat seluruh sendimu rapuh

---para penjudi mengangkat cawan arak,
bersulang pada jejak
: tubuhmu berubah
ditumbuhi bulu, berjalan merangkak
dengan kemaluan bengkak oleh peluru…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Peristiwa Luka


di akhir 1400, kau mencatat peristiwa luka
--ingatan-ingatan dihancurkan, kata terpenggal,
juga rindu terjungkal ke kelam waktu…
apa yang tersisa, kecuali senyap yang kelewat batas
kecuali harap yang kelewat gelap
juga abjad-abjad membatu…

ada yang beku di ubunmu
seperti tetes es ---yang tak mungkin mencair
meski matahari kau undang sebagai tamu
dan duduk di tamanmu

tapi kau mencatat lewat bibir bertabir
lewat sakit yang berulir, juga nestapa yang memuncak
ke batas tiada ---duka yang tak pernah berbilang
angka
kisah-kisah itu tumpah ruah
tapi terusir ke pinggir tanah
terguling ke kawah
yang dengan hikmat kau sebut sejarah

kau lihat panji lain berkibar
sebentuk bibir berikrar: sebuah dunia baru
yang tumbuh dengan sayap-sayap kekar
telah memacu nadi untuk lari atau berposisi

di akhir 1400 itu, kau lihat angin menggunting
pohon asam
sebatang tumbang di tepi jalan
sebatang lain ditanam di gigir pegunungan
lewat desir nyiur, kau saksikan pesisir mengalir
dan matamu pun berair, karena anyir darah
tak kunjung bersudah
dari pelupukmu yang berwindu gelisah

agar kau lupa lara, kau khianati diri
sambil terus bersetia melabuh mimpi
meski lewat sepi
lewat cakap tak terkatakan, tak terwartakan
dengan gerak dan pandang
bahkan cukup hanya dengan diam

Surabaya, 2008

Senin, 17 November 2008

Tiga Puisi Berapi
















Sajak Mashuri

Sajak yang Menolak Ditundukkan

di ujung musim, kepalaku bengkak oleh pikiran
aku lalu memarkir bibir di bir
aku tulis sajak dalam kemabukan ---seperti angin
yang berputar dan menjelajah perbuktian
seperti burung yang bercicit dari dahan ke dahan
juga selaknat mayat yang terguling ke lahat
dan dihajar gelap…

aku berharap
sajakku muram ---serupa malam yang berderap
ke retina, seperih nyanyi sunyi mengungsi ke bilik
hati; aku yang bercakap sendiri
aku berharap sajak yang menawar dahaga,
menggunting resah kepala…
tapi terngkorakku masih bergasing juga
berkelok di jalan-jalan berlubang
kadang terperangkap, kadang bisa melenggang
sampai bunyi cericit roda pikiran
membentur dinding ---menggelinding
ke ruang tak dikenal, tak terpahami, ruang-ruang
liar dari diri

ah, sajak sengak sundal tak mau diajak menjadi begundal
pikiran, sajak yang menolak
ditemali, sajakku melompat ke luar jejak
yang tercetak di jalan-jalan yang terlampaui…
aku pun tak memahami diriku sendiri
o sajak, kenapa kau penjarakan aku di sini!

aku pun menyepi ke ruang berterali
---o sajak, hilanglah segala ruang
kenapa aku cari kebebasan yang berlari di balik kabut
kenapa aku harus bunuh diri demi pikiran-pikiran basi
kenapa aku tak mengungsi…

di tepi musim, aku masih bertugur di tepi
tapi hatiku pun terisi oleh hasrat mati
: tembaklah kepalamu, penggallah kepalamu…

aku tenggak lagi kemabukan, aku tulis sajak-sajak
aku berharap sajakku hitam agar aku terbebas
di dalamnya dalam malam-malam panjang tak terbatas
: melepas pikiran-pikiran, membebaskan hati dari kematian
meski aku tahu, sepanjang musim, sajakku selalu
menolak ditundukkan…

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Ruang Tamu Peristiwa

lelaki itu mencukur rambut kemaluannya di televisi
di ruang tamuku, handuk dan sikat gigi di meja
aku hendak berangkat kerja
aku teringat pada jeda, kisah bunda mengantarku
meneguk mimpi ketiga, tentang peri yang terperangkap
lalu ditelanjangi beramai-ramai
oleh bibir perempuan yang menidurkan anak-anaknya
tapi tak ada bidadari dalam memoriku, juga memori
anak-anakku, pun tak ada keajaiban karena keajaiban
hanya milik peri yang menghuni kisah-kisah pengantar tidur
ketika aku angkat telepon, nenekku segera dikubur
terwarta: ada pentol bakso nyangkut di tenggorokannya
yang menyudahi tugas jantungnya selama 100 tahun
aku teringat pada labirin dongeng 1001 malam itu,
jalannya berliku dengan pusat-darah dicatat berbuku-buku
cerita berbingkai itu membingkai hidupku ---sampai aku bisa
onani sendiri dengan pasta gigi
lalu bisa melupakan peri dan cerita parsi itu
tapi lelaki itu tak juga berhenti mencukur di ruang tamuku
setelah rambut kemaluan, ia mencukur rambut ketiak, cambang,
kumis dan rambutnya sendiri; setelah ia sempurna dari evolusi
---ia kemudian mencukur rambut anak-anakku,
istriku, juga rambutku ---aku pun membebaskan tubuhku dari bulu
aku lalu bertanya pada istriku yang gundul: ‘masihkah peri itu
tinggal di ranjang kita, agar anak-anak kita segera tidur
sebelum kita sadar bahwa di antara kita tak menghuni ruang
yang sama, kita telah sama-sama mengungsi dari rumah, terusir
dari ruang tamu kita yang berjejalan peristiwa’

Surabaya, 2008

Sajak Mashuri

Api Mimpi Rajasa

Sebuah nama, sebuah tanda
Dalam nama tergantung segalanya, meski hampa
tak dikenal hulu-muara, tak dikenal makna-kata
tapi sebuah nama tetap bermakna, tak sia-sia
seperti ruh yang tak kenal angka, mula, atau
sebait panggilan-panggilan sengau, tapi riuh
panjang pasti menggema
di ingatan, di kenangan, juga di malam-malam
sebagaimana adam…

juga Arok!

sebuah nama tak dikenal arti, kecuali api
mungkin carok! atau mengulang sapaan ibu, Endok
tapi ketika benih tersemai di rahim Bunda
dihisapnya hidup sang ayah, Gajah
belalai pun terkulai, hanya gading yang tertinggal
dingin yang retak, amsalkan jejak, asal pal
sebentang nama yang tanggal, tapi kekal
‘ada yang datang, ada yang berpulang’
tapi ada yang bersulang: mungkin Arok julung sungsang

ia lahir di Pangkur, tapi dibuang ke kubur
Lembong menggendongnya, membaptisnya
sebaga putera: sosok pencuri kecil telah tercipta
terbit melewati cahaya, bias cahaya yang menuju arah
entah…

‘dalam Para Datu, ia titisan Wisnu
tapi siapa yang sungguh tahu’

hikayat memahatnya di pohon-pohon hayat
penuh liku; akar-akarnya meliar
membayang di batang-batang hitam
daun-daunnya bersepuh tembaga
seperti sebuah tekad: “tulang iga
yang lepas dan harus dirampas”
ia terlahir dari darah hitam yang memanas
di sumbu-sumbu waktu
kadang memberi amar pada bambu
: buatlah pagar dan pembatas, tapi tak ada janji
segala yang telah ditepati tak bisa retas
oleh api, oleh nyala abadi

ia tak punya pilihan, kecuali harus meraih
ia tak punya angan, kecuali harus menggapai
dilampauinya lalu, ditujunya mimpi ---seindah
negeri dewa-dewa, sebuah masa depan yang bernyawa
tak lagi ingat ibu, ayah, juga darah
yang membasah, melayah di sekujur pembuluhnya,
tak lagi ia harapkan lagi tangan-tangan trah
untuk menuntunnya menaiki tangga, bahkan pada pelangi
ia telah berjanji akan menaiki, dengan kaki sendiri

sejarah mencatat lewat taklimat...

sahdan, di sebuah negeri, ketika segala rakyat
masih demikian taat; tak ada khianat
kecuali hasrat ---pada wanita, tahta
juga wewangian kembang ketika musim kawin tiba—
ada pusat, ada pusar, ada titik tunggal
tapi tak selamanya pinggir tersingkir,
tak selama titik-titik terpenggal dari akal-takdir
segala lingkaran sempurnakan pusaran
dan Arok menjulang dengan lidah jalang, keramat
kemarahan memintal hari depan
dengan perintah, dengan gairah, dengan letup
berdegup di sepanjang jazirah: kuasa Jawa

tapi ia masih kanak; riak-riak yang bermimpi
menjejakkan jejak di batu-batu waktu
mengukir segala tabir dengan satu sentuh: tubuh
onak pun memberinya bukti, bahwa hidup
tak seteguh mati; mati tetap berderap
meski segala lampu redup, meski segala dunia gelap
meski segala waktu dirampatkan ke titik tak teraih
dalam kelahiran: awal segala raihan
tapi keabadian maut pun terpahat
menitipkan alamat-alamat di kakang kawah, adi ari-ari
puser juga darah yang menyembur
dari liang garba, muasal segala ada, muasal nyawa…

ia mencuri wahyu, dari sebuah waktu
melampirkan waktu lain, menanamkan benih lain
di lipatan angka-angka yang menghening
lalu riwayat mencatat: ia seorang perompak, pencuri
riak yang tuju ombak, seorang yang diberkati
---sakti, dengan berpundi-pundi ruh suci
tapi berkat, juga keramat, hanya bukti,
bahwa mimpi tak bisa lari dari hati
sebab garis edar tak mesti keluar lingkar
sebab segala nubuat tak mesti tersesat ke ingkar
segalanya mungkin, seperti batu tulis menulis sabak hitam
segalanya mungkin, seperti siang yang digantikan malam

lalu nama-nama sampiran, seperti Bango Samparan
memberi arti tentang nasib dan perjudian
juga sekilas nama yang memberi bukti arti
sebuah pencurian hati,
juga pertaruhan yang berarti, nanti
ia pun bangkit dari langit, melangitkan diri,
segera didapatkan nama yang ber-isi
nama yang terakit dari segala bait-bait putih,
langgam sutra penuh hati, kuasa ilahi
di jati Lohgawe: seperti nirwana yang kembali
ke belantara, Arok bisa memetik mimpi, lewat kaki
membuka mata dan hati pada penafsiran suci
bahwa nasib sungguh tak tersalib, jalan yang harus disalib

dunia memang tak terterka, mungkin tak kenal angka
dunia bisa bermula dari kebetulan
ketika Arok meniti pelangi lewat gapura pengabdian
kepada sang akuwu, ia menjalani laku
kepada sang kalbu, ia deraskan rindu
kebetulan pun menderas seperti air terjun
yang akan terus turun dari tebing, teriring ke lembah
saat kuda-kuda berhenti, kereta pun berhenti
sepertinya segala nafsu berhenti
nafas merambati batas; diam, segalanya hamparan
bersepuh kembang; jika malam, gelap pun penuh bintang,
seindah taman swargaloka, sang Indah bermadah
puja-puji, doa panjang, juga alunan musik
yang mengusik raga, menukik jiwa..
Sang Bayu pun terpanah…
angin pun berlayar dari satu jeda ke jeda lainnya
irama gegap, seperti kuda yang tersentak
tangan-tangan gaib, tangan angin tergeragap
menyingkap jarit tuk pertama
buat mata yang tak pernah lelap pada warna
: mata perjaka, indera Arok

‘dari kandang ke kandang
hanya tetes air yang terdengar
dari pandang ke pandang
sinar Dedes yang mengukir getar’

‘dawai telah dipetik, sunyi terbetik
sesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyi
tubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke api
ruh seperti bangkai, busuk tapi suci’

Sebuah rahasia telah terwarta, sebuah angan telah
menuliskan rumusnya: gending-gending perang bertahta
di gendang telinga
Segala indera terpusat ke pusar tak teraba
merabuk segala geletar, menggunduk liar
Sebuah pilihan telah menemukan pintu dan jendela
Rumah khayalan pun dibangun, api pun berunggun
bejana ditengadahkan, piring dan meja disiapkan
: pejamuan siap digelar bersama iringan-iringan
Segala rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan
-masakan mimpi yang masih mentah, dan perlu diberi bara
Wajah Arok membara seperti langit senja
tapi bukan senja yang tergambar: kecuali geletar fajar
merah menyambut matahari, merah Venus...

Dari pinggir ia menyisir, dari alir ia mengukir takdir
lalu waktu menuliskan arah ke pastian,
ketika langkah terus dilesakkan ke pembuktian
ada siasat, ada muslihat, bahkan ada niat-niat
yang tak tercatat: sebab hati begitu dalam untuk diselami
berbekal Venus, ia hunus arus: Gandring pun digiring
ke dingin dinding: keris telah menggaris batas
antara warangka dan rangka, antara upas dan nafas
lautan kutuk mengganas, ketika batas datang demikian lekas
si empu pun mengukir sabda dalam waktu,
di waktu lain, Arok terus meluruskan impian
dalam waktu, ia talkin tubuh-tubuh dingin ke balik dinding
di luar waktu, ia telah menanting ingin, menantang angin

Daun melinjo bernama So, Kebo Ijo dipaksa ngaso

Lontar pun menulis: “cuaca begitu gerimis
Tumapel demikian amis ---bunga-bunga sekar disebar
beriring tangis; tapi geletar tak henti di altar
Tunggul Ametung terkapar!
Arok mencuci keris, diraihnya dampar
kencana: diraihnya tahta, wanita juga getar-
getar kalbu yang tak berhenti pada langit biru
sebab zenith masih jauh di cakrawala, langit masih membiru
dalam gelombang-gelombang penantian, larungkan sesal
doa-doa seperti salah dirapal, tetapi ada yang telah kekal
dan tak bisa disangkal: dunia bukan surga!”

di balik kelambu, di peraduan ratu, Arok membisikkan rindu
seperti seorang yang terharu menapaki batu-batu
tapi batu-batu tumbuh demikian cepat dari langkah
kadang langkah memang tak berjangka
bahkan kiblat pun lungkrah, arah seakan tiada
seperti seorang pejalan merasa kehilangan peta,
meski peta sudah tertera di kepala, di hati
juga di hamparan-hamparan seprei…

di rahim Dedes, telah tersemai benih, laksana es
dan Arok adalah api, adalah mimpi
yang tak kunjung selesai, sebelum Daha-Kediri
menjadi abdi, lalu ia melangkah ke dalam waktu
menghitung kembali serdadu: ia pun menyerbu
ia meraih getih prabu di Ganter: mereguk getih biru

cakra telah berputar, nasib telah melingkar
gelar disandang, Sri Rajasa terpandang

namun di luar jam, es telah mencair dan tak diam
tetes terukir ke takdir Anusapati
---putera yang menukik ke bilik duri;
duri yang berdiam di daging, bergasing dari tepi ke tepi
pucuk yang tak berhenti mengoyak kerak-kerak lampau
seperti angin, tak terbendung dinding
seperti air, mengalir dari tebing
seperti api, magma tersimpang di perut bumi, bunting

lewat keris yang belum rampung dibuat
lewat hati yang tak pernah dirawat,
lewat bayi bajang maut yang tak berhenti dalam saat-
saat istirahat; Anusapati melunaskan kesumat
gunung meletus, air berarus, angin berubah lesus
keris pun dihunus!
Arok tumbang, perjamuan berhumbalang; ia sekarat
tapi sorot mata itu masih berkilat
ia meninggalkan alamat-alamat
seperti peta, seperti sebuah negeri dengan kawat
berduri…

“sengkala telah ditiupkan sangkakala
tanah basah darah: lingkaran telah patah
segala renjana menunggu titah
segala pusaka bertuah air mata
: ruwatlah segala nubuat dengan ruwatan murwakala!”

seperti sebuah masa depan, antah-berantah
ketika bahasa darah berdiwana, ketika segala luka
menganga ke dalaman tak terkira:
berabad-abad di jalan kegelapan,
berabad-abad disepuh riuh kesenyapan,
berabad-abad luka tak kunjung bisa disembuhkan

tapi ada yang mencatat, menggurat firasat
ditabalkannya aksara di lelembar wasiat
bahwa dunia bukan di masa lewat, bahwa segala nujum
harus dirangkum dalam langkah dan aum
bahwa sebuah impian adalah kampung yang harus dibangun
dengan keringat, dengan melihat gurat daun-daun…

tapi nama itu, Arok itu, bukan sekedar geletar tak tentu
ia bermimpi, ia melihat kilat suci dari farji sang puteri
ia pun menjadi suami, juga sang amurwabumi

ketika ia diperabukan, terdengar teriakan
:”Inilah api! inilah inti mimpi!”

Surabaya, 2007

Cerpen Superrealis




















Kematian Matali
Cerpen Mashuri

Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia.

Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.

Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung, banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.

“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”
Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan PIL, bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.

“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur.

Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?
“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.

Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.

“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.

Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh.
“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang tok cer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.

Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semalin tak bertenaga.

“Perempuan itu sedang garang-garangnya...,” tutur Ngahngoh.

“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”

Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.

“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.

Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.

“Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.

Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.

“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.

“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.

“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.

Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang itu. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.

“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi.

Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.

“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur

“Itu sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.

“Hasilnya?”

“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.

“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul korak.

Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka.

****^****
Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata.
“Pa, kepergianmu sungguh indah...” bisiknya, lirih.

Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”

Selasa, 11 November 2008

Puisi Ngilu















Sajak Mashuri

Kopi Mimpi

aku mencium aroma mimpi di kopimu, Sepia, seperti aku cium leher pelacurku yang tak setia. Aku lalu reguk penghabisan itu, seperti doa, yang terkubur bersama lolongan ---kubah pun tercipta dari madah buta, perihal langit yang jauh, sejauh aku telah melayari tubuhmu. Tapi di kopi itu, aku melihat jelaga yang sama, hitam yang pernah kau pesan di sebuah pagi, lalu kau jadikan selimut pada malamnya; aku menyebutnya dengan bintang rapuh, tapi kau selalu tersulut dengan kegelapan akut nan berpiuh

ah, Sepia, jika di secangkir itu aku bisa mengukir lekukmu yang kikuk, aku akan menanamkan waktu di cerukmu: sebagaimana angin yang menulis dingin di antara kita, lalu kita selalu terjungkal ke meja yang sama, lalu bertemu untuk berpisah. Jika setia adalah kata, Sepia, aku ingin menghancurkannya di pusara pusaranku, lalu kita berenang ke tepian, sambil bercakap tentang ingatan-ingatan sorga, di sebuah purwa, meski aku tahu ingatan itu selalu memesan siksa ke lubukku, lalu membuatku berpaling dari palungmu

Sepia, di kopi ini, dulu, aku pernah memeram mimpi, seperti aku memeram dengusmu di dadaku yang berapi

Surabaya, 2008