Senin, 05 Oktober 2009

Puisi














Sajak Mashuri

Pada Mulanya Adalah Kaca


pada mulanya adalah kaca
yang terbiar sendiri di ujung depa, sebagai perca
tapi jemarimu memungutnya
memasangnya di dada, lalu kau menyebutnya
mata, kata

“lihatlah ada jalan binasa di pucuknya,”
katamu. “lewat dolorosa, aku mengenal
bahasa yang mengental di nafasmu
seperti aku bangun katedral tua
di batinku…”

tapi aku hanya bisa menangkap rangka jendela
di ujung dinding, juga bingkai yang telah membangkai
sebagai tanda: tak ada urat keramat di panilnya,
kecuali gigil kata di ujung lidah;
tak ada rintik di balik tilas mosaik
kecuali hardik burung nasar
yang mendesau di udara;
tak ada salib di reliknya, kecuali jalan
nasib yang tertawan harapan….

“ada roti,” serumu “juga anggur
yang tawar oleh kebisuan. haruskah aku
suguhkan dengan nampan tanpa mawar…
atau aku kumparkan durinya yang melingkar”

selepas kata, kaca tumbuh di dadaku
mataku nanar ketika wujudmu berpendar,
dalam bayang-bayang
tajam yang meringkus sudut retinaku
dengan perih;
mimpiku pun terbang seperti kelelawar
yang terusir siang

sungguh pada mulanya adalah kaca
tapi kau telah merubahnya menjadi luka
yang terus membayang
lewat pantulan-pantulan tak terkira
dalam firman yang berkafan darah
sabda yang harus aku basuh dengan madah
tanpa menyebut
katedral tua, dan jendela bergambar sorga

Surabaya, 2009