Kamis, 19 Februari 2009

Sajak Silit
















Sajak Mashuri

Menanam Darah


di penghujung millenia
aku baca seraut wajah penuh nestapa
menenun waktu; tampak burung gagak, anak-anak retak
dan segala senapang
menghunus jantung dan harapan
siap mencipta merih nan panjang

aku lihat ibu turun ke huma
mencabut rumput, menyisakan beberapa tangkai jagung
katanya: ‘pakailah sandal, juga kerudung
karena segala jagung selalu bersarung’

tapi rumput selalu tumbuh di tanah
sesering babi hutan tumbuh di darah
kadang ia menyelinap pelan, berderap, menjelma siluman
mengoyak anak-anak yang terlelap di kalbu
sedangkan seluruh jagung telah kehilangan
sarung dan tongkolnya
lalu terdengar suara: ‘cangkul, cangkul, cangkul
yang dalam….”*

aku pun bisa menebak, telapak bakal meninggalkan jejak
ke segala arah
dengan darah
yang tak henti membercak

Surabaya, 2009
*) nyanyian kanak

Sajak Mashuri

Koordinat Kosong

terdengar suara bergetar di suatu siang:
bahwa dewa-dewa, apapun namanya, telah mencabut titah
---gelas telah pecah

ada yang bersorak di pinggir kutub
ada yang lara di sebuah pertemuan, meletup
antara garis lintang utara-selatan
dan bujur barat-timur
tercatat: koordinat kosong
menjelma titik-titik putih, hitam pun putih, hitam yang putih

tapi tafsir menjadi khianat pada kata
sabda pun terbiar di dermaga
di gigir ombak, dalam buih, dalam perih
ratusan abad: dua millenia yang sekarat


Surabaya, 2009

Sajak Mashuri

Sesobek Peta Dunia

di sudut peta, di sebuah dunia ketiga
seorang nelayan menepuk laut
ia tahu pepohon bakau telah mengiringi usianya
ke lampau
matanya yang mulai rabun menangkap
alam masih bersetia mendekap, meski di ruang gelap
ia mengirimkan jala, melepas anak-anak ikan
di jalan kebebasan
ia masih percaya, bahwa segala sabda
masih bermuara di laut lepas
ia mengerti musim dan mengirim
mantra-mantra, mengetuk pintu
langit ketujuh
dengan aroma pantai, buih, dan riuh
camar yang mencubit ombak

di sudut lain, ada yang ingat dongeng:
kisah-kisah besar dari alam lain, seperti dingin
dengan salju
mengelus rambut
mencair di dahi
dan mengirimkan sejuta imaji, tentang prisma
yang membias cahaya
atau piramida
dengan sudut gaibnya
yang menjinakan ular
dan bisa liar: dengan doa
dari sana
sebuah dunia telah merebut tempat
dari barat, ketika matahari tak lagi pusat

di sebuah sudut, di panggung
ketika pertunjukan sampai di ujung
layar tak sepenuhnya menggelar
montase, luka
mungkin hanya bayang-bayang
tapi bayang-bayang telah kelewat telanjang
ia menjelma hantu yang lebih menakutkan
dari sebilah pedang
dengan darah menghitam di matanya
untuk merobek peta
yang telah ditulis dengan tinta, yang disuling dari darah

Surabaya, 2009

2 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Judul-judule iku sangar kabeh, kang! Koyo brengeosek tur kupluke caleg Pateros (he..he...)

mashuri mengatakan...

jenengan emang suka brengos. matur sakalangkung, bos