Sajak Mashuri
Pemahat Musim
:Hikmat Gumelar
kita bercakap di bawah gerimis
gerimis yang semalam membangunkan kita
berkali-kali, kita pun terjaga
karena suara kilat begitu terbata-bata
menyambar, di rumah tetangga
aku menangkap, ada tangga
yang bersandar di dinding
musim memang masih hujan
tapi kita hanya menangkap dingin, suara tiktok, juga suara
gelegar halilintar
tak ada senyap yang merapat di atap
tak ada air yang mengalir dari pintu
dan jendela
langit, tak ada cerlang bulir-bulir
air, tak ada luka cakrawala...
kita seakan menangkap gelap semata
kau berkata...
“masihkah Surabaya terpeta dalam perang
buaya dan ikan, masihkah berujung pada
luka pertempuran, ingin saling membinasa,
masihkah ketegangan itu membara
lalu menghunus rasa untuk mencipta....
masihkah bahasa surabaya itu bahasa darah
bahasa gairah...”
“musim selalu berganti tiap pagi,” kataku “hari
yang terus berlari, hari yang melolosi matahari...
ada bahasa, tapi begitu tergesa...
bahasa patah!”
kau bertanya:
“begitu banyakkah puisi?
aku terdiam, aku kembali mendengarkan suara gerimis
nun... kilat masih terdengar menyambar
kita terpaku, berusaha menebak di mana jarak
antara kilat dan kiblat
di mana letak pijar langit itu turun ke titik bumi
dan meledak....
“bung, Surabaya kadang mendung,” tuturku. “tapi tak semendung
Bandung;
Di Bandung, hujan selalu mengurung...”
kau tersenyum. “tapi masih ada kiblat di sini, sesekali
kilat...”
aku pun tersenyum. “di Surabaya, kau bisa melihat si mardi, si diat
tapi mereka telah lelah jadi kiblat...
bahkan aku selalu memburu anak cucu penangkap kilat
di sebuah selat…
agar aku mencipta kiblat sendiri”
kita termangu; aku berpikir,
kenapa yang mengalir
adalah soal kilat dan kiblat
bukankah aku berharap hujan turun di atap-atap,
suaranya memberi harap
meski cakrawala gelap, ruang gelap dan mimpi meratap
aku berharap, bulir-bulir airnya bisa mengerjap
memanjakan mata, memberi ruang rahasia untuk berkata-kata
merebut kata...
kau berkata:
“aku selalu berpikir tentang musim”
aku tahu, kau pemahat musim yang dingin
“musim memang terus berganti di sini, tapi
hanya dalam mimpi, sepi...” kataku.
aku selalu merindu musim penuh hujan
batu, musim yang tak berhenti pada kilat dan kiblat
musim yang tak hanya merangkum suara-suara guntur
musim tanam yang tak pernah membuat kita diam
dan tenggelam...
tapi musim di sini masih sering membuatku mengigau:
“kemarau, kemarau!”
kita bercakap di bawah gerimis...
Surabaya, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar