Sajak Mashuri
Junub
ketika kesakitanku beku, kau sungaikan arak
berarak ke sukmaku; masihkah retak jiwa teraba
saat degup kumparkan junub ---dibasuh lenguh
kelamin; lalu hulu berbiak, menjalar ke bebukit
hingga mata, telinga dan kulit guratkan celah
terpurba; khayali, di sepanjang usia
meski terpangkas, berbias; menyemut di asa
dilambangkan lingga
tapi seluruh pintu tuju sementara
serupa burung terhapus dari kurungan ---serupa kau
beryoni, di tepi hari, hati, langgengkan nisbi
di batas; saat nafas pun tak kunjung sampai
kuingat siti, tapi ia ‘lah jauh melenggang ke bebukit
haruskan kubaptis kembali diri, kau ---bak magda
diumpankan segala derita; basuh kaki
dengan air mata; sampai kebutaan melambai
di rindu, tugurkan batu di kalbu; hingga pantai pun
susut batas: antara laut dan darat
pasir pun mencatat desir ---keberadaanmu
tersesat di belukar; muasal ingkar
tapi aku tak melupa pada rupa ---juga kau
sekuntum rekah; kelopak mungil terenda
bianglala; saat sumir gerimis terjelma dan cahya
membias di angkasa
ingatanku seterjal keyakinan; pilar yang tergelar
di dadamu; titahkan titik, meski tak bertemu
di satu arah
di persimpangan, ngilu kalbu terasa merabu
meski kemabukan kini, meski sadarku kini
kau rebut dan kau pacu jalang ke
ketika segala siasat berkabut dan berantakan
sebab bibirku selalu gumankan noktah bertiga
: kau, aku dan cinta
tak kutahu, adakah ranjang menanti; atau lingga
bertugu sendiri; serupa antan
saat pepadian menggenapi lumpang
dalam madah-madah panjang ---penantian
nan pualam di ruang; tanpa kenal lebar
saat segala jam menyusut ke seram
Sajak Mashuri
Gang
bertahan di ujung gang
malam melarut ke tua
dipecahkan bohlam
memeram kata
Sajak Mashuri
Mitsal Pertama
tuhan, aku terlanjur mencintai
yang tak kau
cintai
kupilin tasbih di sebalik kutang
---ruang
meraung; pohongan hingar; hingga kukatup mata
dan mulut ---adakah masir surga masih langsir; bertaut nganga
serupa kereta: kepala dibanting ke segitiga
akal dipompakan darah; keraguan
serupa mitsal pertama; doa pendosa; ketika
linggar mengokang; kerontang daun
dan ubun dihisap ke asap; nafas dunia
---rona kulit, harum rambut, juga merah jewawut
saat musim lentingkan hujan; langit berserbuk
urap-cecapi gunduk
mimpi; selang-selang yang berkejaran di nadi
secepat kecup pertama di sepasang dada; lalu riuh beringsut
ke rimbun; kusut
payudara
kuulir tasbih
pecahlah bulir-bulir!
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Akhir Tubuh
ku ganti kalung dengan sabit; kulingkarkan ke lehermu; berjenjang harapan ---tapi tak juga ku dapat darah: masihkah kau mampus, serupa akhir tubuh
hangus!
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Orang Mati yang Tak Dikuburkan
datang, datanglah ke pengapku; ulir yang mengalir dari gelap; risau daun-daun dimangsa ulat; juga cahya yang pecah terbiar berdarah dilesakkan ke sekujur jazirah; kerna maut tak berbagi dalam satu detik ---segala waktu menghantu
dan tak ada dosa tak berampun di lembayungku ---hidup berkarat dalam sengau; serupa jarak memencil, sunyi labil, sambil berhibuk dengan kemarau; keesaan diri yang dicabut, dan dirambati mimpi-mimpi –mati pun berlabuh bersama hujan, tanpa suara dan terpaan
jika kau lah dipersilah, cakrawalaku tak lagi datar, serupa batas di laut lepas dan luas; tapi gelegar lah mencelat ke dalaman, menukik, ke dasar, dan kusadar: ada yang berbalik, ke bilik, menggedor sendiri, menjebol mimpi lalu menusukkan seribu belati ke terumbu ---langit
berlubang; berahasia
dinistakan
dan diantarkan ke pematang ---saat lahat demikian gencar berdentang
kau akan sampai di belulangku, dan kau akan menemui, aku lah berkarib maut, sebelum menjemput; tapi di sini, tak ada yang dikubur, kerna segalanya masih menghambur ---di udara
sebangsa selaksa asap mendesak-desak dada;
tak ada kubur bagi penyair
dan kau akan melihat seluruh tugu, batu dan nganga yang menyembilu di antara mata, telinga dan durja dipenuhi kata-kata; gerak yang memahat diri di sekujur pohon ---hidup
menghidupi, bunga, rumput juga padang-padang yang hanya berisi derak hampa; suara-suara
---kekosongan niskala
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Orang-orang Mati Bangkit
kita ---orang-orang mati; bersendiri di ruang, diri, kita bercakap dengan gelap; tapi siapa peduli, kecuali remah sunyi yang tercampak di kaki sebelum segalanya dihitung jam, dan kita dicederai pertanyaan
hari kebangkitan?
alangkah jauh kita bersauh, lenguh kita ---hari ini—serupa pertalian dua angsa, saat leher-leher memanjang; memberi tanda; awal
lalu terpenggal; sebelum adzar terbiar berhenti di pal-pal: tempat penyimpanan alat kematian! ah terlalu berlalu, sejauh mata meloncatkan pandang ke seberang dan tak ada janji tuk kembali, kerna bintang benderang ---selamanya dalam ingatan, meski gelap berkali-kali membungkusnya dan memberi peringatan agar diam, di pangkuan semesta
di kelahiran, kita dipesan maut, serupa lumut yang terus menebal di pikiran dan perasaan, berdenyut di darah; meremangkan suasana; saat segala daun bertunas lalu gugus kubur bergegas gugur selekas kilat
meski mati mematri di nadi, kita tak ambil peduli; permainan harus dinyalakan, dalam api, di luar api; agar dalam dinginpun kita bisa membangkitkan kenang, impian, juga ingatan; dan segalanya bermula dari pergerakan diam-diam
di selangkang!
----atau bersitahan dengan diri
di pengap kamar; saat jemu serupa batu merajam!
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Mimesis
kupindah bayang-bayang
ke laut
tapi langit mencabutnya
katanya : “biarkan cermin itu di mataku”
tapi hujan terus bercucuran
di atap
gelisahku
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Daya Hening
terumbu
---aku terkesima oleh kesabaran yang mencelat
ke runtuhmu; serupa kiblat berkhianat dari derap
batu-batu
sesat; saat riuh berulir menciummu; sorban
kugantung di kengaaan; dian tak lagi
bermimpi; ada kelambu, di sebalik arus risau
laut dikeringkan dahaga ikan ---pancaran malam
mencumbu kafan
hening
terbiar
Surabaya, 2005
Sajak Mashuri
Sungsang
lahirku sungsang ---serupa beringin
kapak menghujan dalam angin, dan tak ada
rintik; kecuali serbuk besi –merah
dahagakan darah
menisbat pada nubuat dan denah; tapi mata
diparam sambal
ketika rambutku tercerabut dan menghunjam
tanah
barzanzi ---masihkah sunyi
lebur dingin di kuali; meski nyala melata
dari jati
dalam wujud api
dan tak ada telapak di sepanjang jejak
selain suara-suara
sengak; retak diri, akar yang melayang
di udara
dan kebisuan
pada tanah, aku berjanji ---serupa ular
meliang di gelap dampar
sambil mengungkit langit ---di sungai
sangsai
pada bayang, sendiri
menyepuh dunia; di mimpi tercela
setubuh sia-sia
Surabaya, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar