Inti Puisi Adalah Dekonstruksi
(Epilog Untuk Buku Puisi Javed Paul Syatha )
Oleh Mashuri
Kawanku Paul yang baik
Aku telah membaca sajak-sajakmu. Ketika kau bagi sajakmu menjadi tujuh bagian, aku teringat pada martabat sab’ah karya Al Burhanpuri, juga teringat pada maqomat tujuh dalam dunia sufi: sebagaimana Athar melukiskannya dengan sangat baik dan imajinatif dalam: mantiq at thair. Aku berkata begitu, karena sajak-sajakmu mengajakku berenang ke dunia ‘dalam’ itu, sekaligus menyelaminya. Meski terus terang, aku ingin menolaknya. Entah kenapa aku selalu merasa belum waktunya untuk menyelam ke dunia yang selalu bersintuh dengan riuh langit itu. Aku masih terlalu gandrung pada ‘karang langit’: terjal tapi menggigit.
Namun, ketika aku berusaha untuk bertaklimat pada maqomat tujuh dalam kumpulan sajakmu, aku pun tahu, bahwa tujuh di situ bisa jadi hanya pembagian teknis semata, tanpa tendensi ke arah
Meski begitu izinkan aku untuk masuk ke sajak-sajakmu dengan pendekatan sufi itu, karena ada beberapa hal yang terasa ‘berharga’ dan pas bila aku memasukinya lewat itu. Pun pintu dan jendela yang disediakan oleh sajak-sajakmu mengarahkanku pada dunia itu. Tentu aku tidak ‘lepas landas, karena perangkat puisi masih tetap di kedua genggaman tanganku. Seringkali aku berkata pada orang-orang bahwa ketika seorang penyair sudah sampai pada inti, maka ia berjajar dengan sufi. Tapi ruang keduanya berbeda. Sufi adakah sufi, sedangkan penyair-sufi adalah seseorang yang telah mengetahui sumsum dan darah bahasa. Orang yang kelewat keras kepala untuk menukik ke lubuk dasar kemanusiaan lewat bahasa. Ia sudah mengenal hakekat penciptaan bahasa, yang Tuhan sendiri juga menggunakannya untuk menciptakan alam raya dan seisinya dengan sabda: ‘Kun!’
Tapi Paul yang baik, seringkali kita memang terjebak pada kesufian penyair dari sudut pandang yang lain. Kesufian penyair yang karena ia menulis puisi-puisi sufi. Tentu dalam hal ini kita patut untuk takut dan ngeri karena bagaimana pun jiwa seorang penyair tak bisa sebersih jiwa sufi. Kedalaman seorang penyair dalam menyelami dunia ketuhanan tidaklah sedalam seorang sufi. Penyair hanyalah seorang yang begitu naïf untuk mereguk kesempurnaan lewat bahasa, sedangkan dirinya masih terkokang oleh nafsu badaniah semata. Dan, aku selalu menempatkan diri sebagai penyair itu.
Aku sendiri juga sangat takut terjebak dalam pusaran samudera ilahiah ini, karena aku begitu takut disebut sebagai seseorang yang sudah sampai pada pencapaian inti pencarian, sedangkan aku masih berkumpar pada masalah bahasa. Bukankah bahasa hanyalah ‘alat’, sedangkan inti atau maksud sebenarnya adalah yang tentu sangat berbeda dengan alat itu. Jika diibaratkan sebagai sebuah jalan dengan rambu, maka bahasa hanyalah rambu penunjuk arah, sedangkan arahnya sendiri masih jauh di depan. Tentu kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang diamalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi, yang terus berputar dalam tariannya dengan mulut yang tak henti alirkan syair, lalu murid-muridnya mencatatnya. Itu kondisi fana’ yang sesungguhnya, sedangkah aku sama sekali tak seperti itu. Aku menulis syair karena rasa pukauku pada perempuan, pada keindahan dunia, pada sesuatu yang sementara. Aku menulis syair sebagai sembah baktiku sebagai seseorang yang bergulat dalam bahasa dengan segala kontradiksinya.
Mungkin itu hanya gelisahku sendiri, Paul. Yang jelas, begitu membaca sajak-sajakmu, aku bisa tersenyum. Meski aroma sufi begitu kental dan meragi, tapi sajak-sajakmu masih sangat manusiawi, masih melambangkan pergumulan seorang anak Adam untuk menuju kesempurnaan. Di dalamnya, terdapat berbagai pertanyaan, masalah, godaan, juga hal ihwal yang bernama dunia, daging dan ingin. Aku suka sajak-sajakmu.
Meski di beberapa bagian juga aku sering masuk ke dalam ‘sumur’ yang kau ciptakan yang membuatku basah dan sunyi. Kata-kata yang kau gunakan sepanjang sajakmu membuatku turut larut dalam pencarianmu. Aku bertemu: ‘assalamualaikau, hijrah, mi’raj, dan hijab (Muqadimah), munajad, ayat, dzikir (munajad), sidrah, jibril, Muhammad, shalawat, salam, sahadat, rohani (jadzab), maqom, amien (Doa Gembala), syahadat, tahiyat, rekaat, bismillah (Lanskap Telunjuk), tawassul (langit bermata senja). Untunglah di puisi berikutnya kau bisa terlepas dari kata-kata itu, sehingga kau seperti seorang pecinta yang bebas tak terbelenggu majas-surgawi. Soalnya, begitu aku bertemu dengan diksi-diksi penuh pukau langit itu, aku seperti terbentur batu. Metafora itu terlalu keras dan utuh bagiku. Sedangkan aku mencintai metafora yang mencair yang bisa luruh dan berenang di pembuluh darahku.
Di sajakmu Muqadimah aku menangkap bahwa sajak-sajakmu memang kau cipta dalam kesadaran seorang salik:
aku datang sebagai anjing
berpijak di kegelapan purna!
Metaforamu cukup menarik dan memiliki basis kultur yang terukur. Sungguh, kita memang anjing, Paul. Jika kau mendaku begitu, aku bisa memahaminya.Tentu kita tak bisa membayangkan seperti anjing Ashabul Kahfi (Qitmir), yang masuk surga meski telah tertidur beratus tahun di goa. Kita mungkin seekor anjing kumal yang kehausan di tengah
kekasih
gelap ini
kugenggam
munajad
serapuh
ranting
hati
Pun kau masih berusaha ingkar.
aku nelayan itu
bukan nabi
yang menggambar jejak
pasir putih.
Aku juga menangkap beberapa jejak penyair kita (baca:
Aku suka sajak-sajakmu di bagian Ziarah Cinta. Sajak-sajak yang telah tumbuh dewasa. Sajak-sajak yang bisa menyimpan maksudnya dengan rapi dan membangun dunia tersendiri. Aku merasa sajak-sajakmu dalam bagian ini berbeda dengan di awal-awal. Dalam Ziarah Cinta, aku menangkap semangat sajak-sajakmu dalam bagian Lazarus. Sajak-sajak itu juga tumbuh dewasa. Aku senang karena sajak-sajakmu bisa diajak bercanda dan seringkali membuatku tak terjatuh ke lubang sumur yang kau gali dan terbentur batu di dasarnya, sebagaimana sajak-sajak awal.
Pelukis Sepi
lukis saja burung terbang
dalam kanvas burammu
agar anganmu pun melayang
atau,
setidaknya kau tak lagi
melukis sepi
sebagai pengembara
dan hanya bisa bermimpi.
Lamongan, 2003
Paul yang baik, dari tujuh bagian sajakkmu, mungkin bagian The Lamongan Soul yang agak berbeda. Kau bertaruh pada sesuatu yang nyata. Aku pun memakluminya karena bagaimanapun seorang penyair tak bisa alpa dari kampung halamannya.Jika ia pergi jauh, maka kampung halaman itu adalah oase tempat ia istirah untuk mereguk sejuk air dari sebuah perjalanan panjang nan kerontang. Jika ia dekat dan selalu bergumul, maka kampung halaman (yang di dalamnya terdapat ingatan, kenangan, pengalaman dan lain-lainnya) adalah tempat mengasah kepekaan yang tak tertandingi. Ia adalah harta karun bagi penyair.
Tapi yang mengganjal di hatiku adalah kau menggunakan kata Inggris untuk menyebut ‘jiwa’. Meski di puisimu yang lain kau menggunakan judul Inggris, tapi dalam bagian ini jelas menyimpan sebuah ‘kesan’ yang lain. Itu memang hak prerogratifmu sebagai seorang pengarang, tapi jika itu aku maka aku akan menggunakan kata ‘atman’ atau ‘sukma’. Hal itu lebih senada dengan enam bagian sajakmu lainnya. Jika kau mengangankan puisimu ini sebagai sebuah komposisi simponi, maka kau telah menciptakan sebuah ‘disharmoni’. Jika itu memang kau sengaja, ah alangkah indahnya. Tentu indah di sini adalah alternatif dari sebuah simponi yang merusak harmoninya sendiri (komposisi simponi dengan citarasa postmodern). Dengan kata lain, di dalam harmoni juga menyimpan disharmoninya dan itu bukanlah cacat ciptaan tapi niscaya. Mungkin aku terlalu udik dalam hal ini. Maafkan, kelancanganku.
Meski begitu, aku suka diksi yang kau gunakan dalam puisimu Kali Lamong. Terasa benar Lamongan-nya. Aku suka musik yang tercipta dari diksi-diksinya. Terkesan otentik dan menggelitik.
sementara bocaboca telanjang mengarungi
jeram riciknya
dengan sorai nyanyian
dengan rumbaian dan tambang
ingin membangun jembatan
Sampai di sini dulu, Paul, kawanku. Maafkan aku yang dalam kesempatan ini kurang bisa berpanjang lebar menggelar sajak-sajakmu di ruang rasa dan pikiranku. Semua itu karena keterbatasanku. Jika kelak masih ada waktu, aku ingin bertemu dengan sajak-sajakmu dalam kesempatan yang lain sehingga aku bisa mengirimkan kembali
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!
Siwalanpanji, 2008
5 komentar:
berkunjung ingin belajar
berbagi
ada harapan
Puisi yang sangat menghibur para pembaca. Salam kenal semuanya
Longest love is mother's love,Shotest love is other love, Sweetest love is Lover's love, but Strongest love is friend love., like u and me!Take my hand and lead me from this place.. Chase away my doubts and fears,Wipe the tears from off my face.. I can't stand alone, I need your hand to hold.!. THE END
Belajar sambil berbagi ilmu.
Makasihh yaa artikelnyaa.. :D
https://www.blogger.com/profile/10930593801069617327
http://greencoffeebeanasli.blogspot.co.id/
Posting Komentar