Sajak Mashuri
malam ini, ketika istri dan anakku dibuai mimpi, dan televisi mati, aku ingin memutar peristiwa yang tadi pagi membuatku tak enak makan seharian, membuat anak-anak berak di kloset tetangga, membuat anak-anakku berteriak karena bau sengak di rumah; aku pun kembali ke kamar mandi, aku kembali duduk di situ, sambil membayangkan sebuah matahari bakal muncul di malamku dan mengganggu dengkur keluargaku…
ah, tapi di atas kakus itu, aku tahu, ada yang abadi: tahi, tapi sungguh aku sempat berdoa, agar pada malam ini, klosetku tidak mampat lagi, sehingga matahari bisa muncul tepat pagi nanti
ketika aku sendiri, aku juga kerap mendengar kipas angin itu bergerak dan berbunyi di dadaku, tapi aku langsung mematikan tombolnya; aku begitu khawatir jika para tetangga tahu aku menyimpan baling-baling, menyimpan kumparan, lalu mereka akan mendatangi atau menjauhiku, karena mereka tahu ada yang sedang bergemuruh di dadaku; aku pun harus siap dengan panas mentari yang membakar, juga udara yang membuat seluruh pembuluh kelojotan, tapi sungguh setiap orang juga merasakan gusar yang sama ---tapi aku tak tahu berapa harga kipas anginku karena aku selalu menyimpannya, aku selalu takut menjadi orang baling-baling
aku ingin tahu berapa harga kipas angin yang berputar di dadamu; jika aku bisa membelinya, kipas angin itu akan aku beli, lalu aku matikan tombolnya, karena aku tak bisa tenang mendengar deru kipasmu, meski aku tahu, kau ingin menjadi kota kita menjadi sepetak kota penuh udara, tapi suaranya itu begitu bergemuruh dan membuat kota kita tak lagi punya peta ---karena kau sama sekali tak mengerti, bahwa ada saat kipas itu berputar dan tak terus-terisan berpusar….
Sajak Mashuri
Tahukah kau, apa yang kudengar dari denting ranting, ketika aku terlelap di seberang dinding, ketika aku tersekat di antara lembah dan tebing ---mungkin suara cicak yang kelewat berat dan serak, kerna dinding itu retak dan dari nganganya terlihat sepasang mata yang tak pernah membiarkan apapun melata di antara kedua lensanya; mata yang mampu memerintahkan saraf-saraf untuk bergerak laksana kuda, lalu menabrak apa yang tampak, meski gelap menggelayuti permukaan dan memunguti riuh rendah tempaan tak berbilang, perihal nyanyian-nyanyian malam, yang terenda dari diam, gerak perlahan, atau suara yang bersahutan antara kelesik dan berisik, antara musik dan rintik, antara… seperti jarak antara kita, yang terpeta di dua dinding, sisi koin, dan kita hanya menghadap hamparan berbeda, dengan sunyi yang menabuh dada dengan bunyi yang lain…
2
tahukah kau, ketika angin bersiut, menjemput suara rumput, ada yang terbangun dari malam, seperti bohlam yang nyala, lalu sepasang mata itu berbinar, menerka berapa jumlah bata yang tertata di dinding… tapi suaranya tak lagi takjub seperti saat denting ranting mengapung di antara gelap dan jeda, suaranya seperti nafas yang tertata, lalu melaju dari hidung ke dada; suara-suara yang entah bagaimana menggiring denting yang lain…. Dan suara itu membuat kita berpaling, sehingga kita sejenak bisa bercakap, meski kita hanya berbicara perihal gelap yang kita rasakan, atau pengap yang hinggap di derap kita, meski ketika angin berhenti, kita pun kembali menekuri lantai sendiri…
tahukah kau, aku tak bisa berharap ranting itu bercakap, ketika kau menyimpan lembaran-lembaran ingatan di almari memori, lalu ngengat melaju ke situ, dengan satu tuju: membuat lubang, lalu berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar