Puisi Mashuri
Tanjung Kodok, Cintaku
di situs yang tumbuh dari terumbu, aku pahatkan rindu
cintaku nan jauh telah batu: kisah-kisah
terjarah, doa-doa percuma
dan mantra: hanya nyanyi yang hilang bunyi
aku pun asing pada tanah sendiri
aku lalu lingkarkan pena di mata arca
di gapura
berharap hujan tak datang, meski mendung seperti karpet tebal
aku menyelam di matanya, membuka luka lama
tapi hanya lumut, bisu, susut dan kuyu
aku pun terlontak ke lalu dengan tubuh kaku
aku beri sesaji di pipinya yang letih
tapi uap dupa hanya menambah gelap rahasia
cintaku pun beratap daun pisang, ketika hujan menyapa
dan membangkitkan bau tanah
tanah asing kembali bergasing
cintaku pun berpusing dari relief ke relief
yang kini tinggal tebing ---sungguhkah di
terpahat, atau hanya sekelebat jemari
yang ingin berkirim pesan, menggunting zaman
agar kini bisa melaut ke kabut
dan mengutip rahasia-rahasia usia yang hanyut…
sungguh rinduku masih berderap
meski waktu memalung dan gelap
di sisi karang, di ujung tanjung,
aku pun menemukan secuil jawab
cintaku mengekal di batu apung
yang disangga laut dan lembah lembab
di situs itu, aku pun menawar luka rindu
dengan syair, pasir, juga buih yang terus mengalir
nyanyiku bukan mantra yang dirapal pelaut
tapi lagu siul agar angin tak bersiut
di situs itu, hanya kaktus yang tak lekang berakhir
ia bagai penyihir yang berharap kejaiban
agar batu kapur itu hidup dari dengkur
lalu berkisah tentang harapan dan cinta
terlarang, sebagaimana kisah-kisahku
yang ditabukan waktu
dan kini diburu rindu
Lamongan, 2008
Puisi Mashuri
Hujan Bulan Februari
jangan berharap hujan dari nyanyian
karena hujan dipantangkan datang ketika malam menjelang
apalagi kita sendiri…
tengoklah di jendela, cuaca seperti babi bengkak pantatnya
kau akan tahu seberapa siksa bakal berlaksa
ketika di kaca tertera tanda basah
lalu orang-orang berlalu lalang dengan perahu
sambil berteriak: ‘jangan biarkan anjing berlalu’
kita bukan anjing itu, kita hanya pesakitan
yang tak bisa lepas dari nafas hujan
kita selalu berharap ada yang berderap di atap
lalu kita menyanyi, mengusir sunyi ke dalam diri
sambil terus memelototi partitur yang hablur di udara
dan kita hisap tanpa suara…
tapi kini jangan berharap hujan atau memanggilnya
dengan nyanyian
biarkan ia lewat tanpa permisi, agar kita tak tahu
dan tak merasa kehilangan
biarkan ia tetap sebagai awan
Surabaya, 2008
Puisi Mashuri
Berdiri di Sebuah Kapal
berdiri di dek, menatap laut, cintaku hanyut
bersama bayangan
cakrawala pun serupa lengkung punggung kerbau
yang tak henti membajak tanah
di kampungku yang gelisah
ketika angin mempermainkan topi, aih
ada yang jatuh dari kepalaku
---sehelai rambut, mungkin kutu atau pikiran
pikiran rindu
tapi buih terus berdesakan di dinding kapal
mataku pun harus antri dan tak kunjung mengerti
sungguhkah ada yang runtuh dari diriku
bersama waktu mengendap, ke arah luar, ke kenang
yang jauh
perihal rumah, cinta yang usang dan rapuh, atau…
bibirku tersenyum seperti remaja yang menemukan
belenggu terlepas dari tangan
dan dada sesak oleh kebebasan
Surabaya, 2008
Puisi Mashuri
Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam
sebuah pagi menghardikku dengan sepi
aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi
juga secangkir kopi
di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari
di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus
hangus dilalap api’
aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan
---api dengan jalang mengamuk rumah bordil
para perempuan hibuk berlari sambil bugil
tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang
kini, jiwaku pun menggigil
aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi
aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih
karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli
aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku
aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing
yang tak lelah menggerakkan gerahamnya
dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;
ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium
bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…
aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu
masuk surga”
aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga
kucing dan anjing yang berkejaran di perutku
yang sakitnya semakin tak terkira…
Surabaya, 2008
Puisi Mashuri
Perjalanan Luka
berjalan di atas rel, tak ada stasiun hari ini
kaki patah bukan sayap, hati patah pun gelap
kau tempel kata di jidat: ‘kami butuh tumpangan!’
tapi tak ada yang mendekat, orang langsung berangkat
kau gali lubang di ruang tunggu
kau minta karcis, lalu kau timbun dengan abu
perjalanan ini hanya luka dan mati
kau teringat kapal-kapal yang angkat sauh
kau tahu, semuanya tak kembali dan tak berlabuh
‘tak ada juga pelabuhan hari ini, bahkan di terminal
banyak roda tak bergigi…’
kau pun mulai mematahkan lengan, berharap
ada yang menemani kaki dan hatimu
tergolek di antara batang besi berkarat
‘agar aku bisa segera menyambar kereta cepat dan sampai
di stasiunku yang sekarat’
Surabaya, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar