Sajak Mashuri
Mutih
aku lipat bebayang di sekuntum malam, karena malam
adalah bunga, yang menyimpan putik dan benangsari matahari
karena malam adalah larutan hitam, yang memagut mata
ke lubuk pualam: di sana, aku bisa bermimpi tentang cahaya
paling putih, mimpi yang merasuk sukma hingga getihku
bersulih kata-kata, mimpi waktu yang terbata dipetakan,
tentang jam yang menolak dihitung dengan pusaran;
aku lipat bebayang di sekuntum malam, karena bayang-
bayang selalu hitam dan aku menghindari hitam ---aku ingin
putihkan duniaku di ujung piring hening; dengan merenda puing asa
di lingkar puasa: menahan diri dari asin dan gula, menolak goda
bayang-bayang yang keras kepala…
lewat kelopak malam, aku memupuk rindu pada benih putih
kuingin ia bermekaran di langit hatiku bak bintang beralih,
lalu mengirimkan isyaratnya yang sundih
Surabaya, 2008
Sajak Mashuri
Bersurga Khayalan
tanganku serapuh ilalang yang tak mampu menuliskan hujan; bait-bait airnya terlalu sumir ditundukkan; aksaranya berloncatan dari awan ke awan; aku hanya bisa menangkap sisa uap, gelap, sisa terpercik dari atap rumah sendiri; atap yang memberiku harap tentang indah yang niscaya, juga bebulir air yang alirkan kata sederhana: tentang laut, panas mentari, tuah alam, dan cinta suci tapi selalu saja bah yang datang ke cakrawala imaji; aku pun tak henti panggul Nuh di hati, agar mampu melintas bandang yang tercipta dari kelesik kata dan pikiran, agar kuasa menyeberang banjir aksara, kalis dari aliran pusaran yang diguyur partitur, hamil nada, simpan kuasa tanda, nama-nama, juga kesepian yang berderak di langit jiwa tapi sungguh tanganku serapuh ilalang, tak mampu ritmiskan hujan dalam bait-bait sajak sederhana; aku kerap tenggelam, seperti Kan’an; yang diterjang luapan, karena selalu melupakan titah ayahanda, karena ingin melepaskan tautan pantai hati dari bahtera pikiran, karena ingin bersurga khayalan dan melanggengkan pembangkangan Adam
Surabaya, 2008
Nyanyian Subuh
Parak subuh, kutemukan risau bergerak dari tubuh
Aku pun menerka jejak halimun yang tertera di mata
Tapi hanya asap tipis, seperti uap nafas sendiri
Hanya kegelapan yang terpatri di balik tirai dan sprei
Sepertinya malam masih berkubang di ranjang dan
Menawarkan selimut panjang ---aku meraba ingatan
Ah, tak ada mimpi yang perlu ditemali, segalanya berlarian
Bagai kijang di padang buruan
Aku pun kembali, tapi sungguh aku tak bisa menjangkau
Risau itu ---ia bergerak-gerak di tubuh, seakan mengendus trubus
Fajar yang sebentar lagi rekah…
Mungkin ia akan terus mengigal di tubuhku seiring mentari
Yang berlari di sekujur nadi, juga hari
Surabaya, 2008
Kutemukan sajak-sajak kecil di ladang pengantinku
Pupus daunnya hijau muda, pucuk rantingnya
seramping lembing patah
Aromanya yang murni dan bening
membuatku ingin terbaring,
memanjatkan imaji ke tebing tinggi, teriring musik
bisik sesinom yang bersijuntai oleh angin
Mata mungilnya nan teduh
menggiring anganku pada mempelaiku nan jauh
Aku pun merawatnya seperti pembuka huma
yang telah berwindu dirundung rindu tanah
dengan kalbu yang selalu digelayuti gulma tak menentu
Kelak ketika musim terlewati dan jisim berganti
mempelaiku akan turun ke ladang persemaianku
menawarkan seribu surga yang berpangkal
pada sajakku yang mulai tumbuh, meski ada yang terpenggal
Ketika ia menyibak rambutnya dan membiarkan
seluruh kata luruh ke tubuh, jumbuh ke lenguh,
aku angkat anggur dan mawar
Anggur guyur kerongkonganku, mawar bakar kelenjarku
Hingga aku lebur ke tungku….
Sajak-sajakku menjadi saksi pernikahanku
dan selalu menitipkan sejarahnya di tubuhku
: ihwal tamsil sederhana, sebuah sua, pusar renjana
kata, -di luar kata
Surabaya, 2008
Sajak Mashuri
seumpama waktu adalah beburung
aku terbungkus tilasnya yang berpalung mendung
lewat jerit lelawa, aku saksikan sungkawa berpendar
dari goa ke goa ---ada yang hingar
di bawah sana, dilipat jiwa, sepetak ingat tak berumah
aku sebut jawa dengan darah, agar jantungku
memasu kembali memori, lalu mimpi terpercik
dari serambi dan bilik
aih, hanya sisik ular yang melingkar di belik
ingatku, hanya noktah hitam yang memercik
tanah moyangku yang tertakik…
remah kenanganku kembali berpulang ke liang waktu
aku pun tercebur ke kubur batu
: ihwal prasasti yang hilang arti,
tentang abjad yang sekarat dikenali
lewat bahasa rahasia, aku hanya menemu tubuh suci
yang tergesa, berlari
kibar selendangnya kirabkan panji:
pulau seberang nan perenai, janji azali
juga manikam mimpi-mimpi
tapi murka masih membusuk di teluk sepiku
keris duka menusuk kalbu hingga biru
ah, aku pun terguling ke tebing rindu
bersama lelawa, aku pun belajar ihwal sungkawa
ingatku telah pergi ke gigir perigi
tapi aku ingin naga-tanahku masih berdiam di malam
ketika aku membiakkan mimpi-mimpi
lalu api terpercik ke igauanku, membakar seluruh ranjang
lelapku dan fajar berkumpar di pusaran waktu
di mana aku menemukan diriku dengan penuh…
Surabaya, 2008
2 komentar:
pada satu ketika, akhirnya, semua berlari menuju satu arah. entah barat, timur, utara atau selatan. yang pasti semua menuju hulu dari hulu sebuah lubang hitam. yang konon menurut indratjahjadi setara lubang silit kita. sebab tak ada satu pun silit yang putih bersih, tingkahnya.
tapi sungguh, saya pun tak pernah yakin apakah ini dikatakan secara jujur daripada oleh indratjahjadi atau indratjahradadi.
dan konon, ini kata orang lho Mas... orang yang suka olahraga itu... ininya (kata pak tua di bangku seberang dalam bis antar propinsi malam itu, seraya mengetuk jidatnya) agak tumpul.
rupanya saya sudah kelewat banyak olah raga, dan kurang olah rasa, hingga rasarasanya ini saya makin tumpul. dan terpaksa harus menelan pil pahit kasunyatan bahwasanya saya masih banyak berhutang pada sunyi.
setara dengan lubang silit. i like that. thanks
Posting Komentar