Sajak Mashuri Darah Seperti kereta, Aku berkendara di antara rumput-rumput merah Keterasinganku yang hitam melumat Nafasku. Iblis Taufan begitu bergemuruh. Mengabarkan luka dan sejarah yang terpahat di menara Tapi di mana bisa kutemui segala pelayaran Tanpa menunggu terminal Dalam buaian waktu Lalu tubuh putih yang pucat Mengirimkan doa, seperti tuhan yang kesepian Dan langit yang mengguyurkan sedih Pada mata pisauku Darah, Kusebut darah Dalam impian kesekian. Ketika gemuruh cahaya Menampar lumpur sawabku Kabut-kabut berdentum Lalu kurubah arah perahu Kurebut farji dari perut bumi : aku laki-laki Tapi siapa yang bisa memastikan di setiap teminal, pemenang pertempuran Seperti abad yang berlari Dan gerimis mendaki Memamerkan segala kesedihan dengan air mata Padahal amarah menjelma kunci utama Pembuka surga. Mungkin daun-daun gugur Tapi ia gugur bukan untukku Ketika alam telah mendendangkan kematian, Maka segala kepala menjelma belukar Segala harapan menjelma ular Dan kurebut cahaya dari segala puting jaman Mungkin dalam puting beliung, semacam periuk Raksasa Kutasbihkan kesombonganku Kuremas segala sisi manusia dari darah, daging dan impian Lalu kulaknati kelemahanku seperti serigala Ketika kuberkendara, taring-taringku Berjuntaian seperti akar beringin Melilit ibu, tubuh telanjangnya Dan memperkosanya di sebuah altar Tempat yang segala nista tersebar Di sana, ada raja, di sana jaman telah menyerahkan dirinya Lalu duniaku, dunia anak-anak yang bisu Bermain kereta dari pasir Mengendarainya dari bukit-bukit, mengulum waktu Dalam waktu Menyampaikan kabar terakhir dari batu Bahwa dunia ada, karena darah tumpah O sang jagat, berilah tubuhku kehendakmu Berikan belati yang menancap di kutub-kutubmu Aku akan berkendara dengan kereta Bintang-bintang Memerkosa setiap perempuan Dan merobek setiap garba dengan gigi teringku Aku akan mengembalikan segala yang nista Seperti tubuhku, tubuh dunia Tubuh segala yang bernafas dengan udara Udara yang penuh api Lalu setiap rumput yang mengering Seperti kemarau Ia gemeretak di setiap ubunku, di setiap sahwatku Ia merindukan segala hujan Dari mulut langit Dan segala yang gugur dalam kekeringan Menjalin darah Dalam puisi Lalua mencampakan risalah Di kali Sebab setiap yang bernama kesucian Hanya tempat untuk menistakan dunia Mungkin keretaku yang rapuh Akan tersepuh dahan-dahan matahari Kurebut segala ilham dari sengkarut waktu, tubuhku Dan segala pengorbanan di alamku Kucobai kemanusiaanku dengan gaib Seperti tubuhku yang raib Ketika segala impianku membentur dinding kosong. Seperti wahyu, aku berlari, tanpa tali temali, Tanpa sayap-sayap. Kuundang jibril dengan ketelanjanganku Lalu waktu Seperti lingakaran-lingkaran penuh, Matahari yang purnama Gerhana seperti penantian Dan gelap dalam bayang Tapi adakah segala yang bermuara pada cahaya akan Datang Suatu hari Ketika segala pasti Dan yang berubah hanya sementara Kupuja kekekalanku Kekekalan jiwaku Kekekalan kekalahanku Jika kelak, kubertemu dengan seribu galaksi Kusebut ia neraka, Lalu kulabuh segala yang tersisa dalam api Sebab segala yang berwarna merah Hanya mencerminkan sebuah gairah Gairah busuk! Mungbkin harus kundang kembali adam Dalam awal mula Ketika ia masih buta pada arti sejarah Lalu segala menjadi asing, aritmatika demikian sederhana Sebab yang ada bukan hanya cakrawala “Eva, lihatlah segala muara, delta dan segala pelabuhan yang disandarkan di bahumu Engkau tak butuh nabi. Nabimu adalah bumi,” Seperti waktu, jejak-jejak itu semakin berat Keretaku semakin sarat Pasir hitam mengahablur dadaku Cawan gelap mengubur lukaku Lalu kugambarkan segalanya Dalam segenggam ingatan Dan kutuliskan dalam separoh khayalan Bahwa aku ada, Karena aku pernah berdosa. Saksikanlah, Tubuhku penuh luka Tapi luka itu bukan milikku semata Dunia demikian bebal Dan kubebankan segala kebebalan pada sang kala --nujum dewa-dewa— Tapi siapa bisa memilih Seperti kereta, Aku berkendara Rumput-rumput kering Kemarau Dan dingin mengulang segala penciptaan Kelahiranku, kematianku dan mimpiku kuabadikan Dalam duka Duka yang memanjang, memanjang Dan mengubur segala ketelanjangan Telah kucari sebuah terminal, Dan aku tak ingin mnemukannya Aku hanya ingin menyaksikan darah Menetes Dari luka yang tak akan pernah sembuh Sepanjang sejarah Sebut aku kafilah! Surabaya, 18 Juli 2002 *Terdapat dalam kumpulan puisi berempat: Manifesto Surrealisme (FS3LP dan Galah Yogyakarta, 2002) Sajak Mashuri Nyanyian Hujan --requiem anak bajang dalam bayang-bayang sang kala-- Aku memaknai setiap lembar hujan dengan ingatan dengan tafsir batu-batu yang tumbuh di keningku Sebab kabar yang berkejaran pada papirus tua adalah langkah yang tak pernah sampai Jika dari jendela, dingin menjelma asap Uap gigil. Bayang ketakutan Aku berpendar dalam cahaya anak-anakku Karena ia tahu, kapan kereta berangkat dan menyisakan goresan di beranda Lalu rumah-rumah lungkrah. Ketiadaan menjadi taring babi hutan Dan riwayatku, serpihan kardus pandora, hantu, dan seribu malaikat dari neraka "Kenapa kau mengandaikan keabadian di puncak stupa, dalam arca telanjang" Akulah kafilah, pengasah pedang dari jagat maya Tapi selaksa pesona tubuhku adalah sisa reruntuhan, ornamen orgasme, dan kutuk lingga yoni, di jalan bercecabang ini. Jika suaraku terdengar di dasar malam Ia tidak lolong srigala Ia rajutan ombak, suara kelelawar, dan kegilaan pada kata Mungkin aku berkejaran, tapi pelarianku begitu nisbi, ketika maut merenggut dan labirin ingatanku demikian gelap Haruskah aku membangkitkan belulang Menjadi serdadu dengan senapan kayu, tombak, dan seragam lurik. Pada nisan, seonggok tanda tersisa Seperti puing, ia tak rela kehancuran memuncak Namun hujan telah mengantar raib, pada gaib Menyelusup awan. Menjaring gemintang Dan ingatanku pada ranah yang pernah ada dengan tahta pelangi, telah luntur dalam birahi. Karena sepasang arca di pinggir gapura Mengabadikan senggama Ia berkata tentang maut Maut yang bermuara pada renggut Saling menyepi, memberi, dan berlelehan. Di taman, mawar mekar susu Dan seluruh penghadapan bisu Seperti kebisuan pada tubuh-tubuh telanjang Dengan gerak yang miskin Dengan kediaman yang lazim Roh berjajar roh. Jasad blingsatan Sebab senyap, bukan untuk dicipta Setelah gerimis, maut meracuni bibirku Kukecup ketiadaan. Seperti rumah-rumah, raja, dan sebaris tentara dengan perisai kertas. Tapi suaraku sirna dalam hujan Mengalir di kali-kali, ngendon di muara dan menjadi ikan-ikan di lautan Ketika seorang perempuan membasahi tubuhnya Aku berbisik tentang cinta dan kerinduan O, rumahku telah bangkit dalam raga ranum, bibir merekah, dada membuncah Tapi di mana kau simpan gairah binal Sebab tak ada puting, tak ada ceruk Sebab ia boneka --silam yang terpuruk- Di pasar, boneka menjelma dermaga, tempat bersandar dunia. Dunia baru yang melupakan ritmis gerimis, tetes embun dan nyala damar. Di sawahku, rerumput tumbuh Liar, berpinak, mencipta gugusan koloni Hujan turun satu-satu. Merakit huruf abu-abu Aku membacanya dalam pedati, dalam bajak yang rapuh, dan pematang ringkih dalam sebuah cakrawala senja Tapi maut, maut merenggutku pada masa lalu Tak ada tawar tentang kehadiran Sebab jejak hanya timur yang nestapa Karena kehilangan Dan waktu yang tak berpihak Ketika batu-batu tetap batu Dengan pahatan aksara asing Aku membuka lontar; Membaca dunia. Dunia yang tak kukenal Dalam kapal-kapal yang berlayaran, dalam kanal Pantai-pantaiku adalah penghabisan Lalu kusebut sayonara Sebab kematian benar-benar datang Kukirim boneka rumput ke angkasa Kukaji titik-titik air dengan rayuan Aku beterbangan dari dahan ke dahan, dari benua, Dengan nafsu membara, birahi membakar Dan dosa penafsiran yang kekal Ketika hujan turun ke bumi kembali Aku menangkap maut di kerlingnya Batu-batu pecah melengkapi reruntuhan rumah Aku mencipta aksara dari kebengisan, hantu-hantu, tinta hitam Mautmu adalah rohku. Aku telah merebut waktu Di kaki langit, Bangau terbang rendah. Padi-padi menguning Dan rumpun bambu di belakang rumah Memberiku kabar dan makna, tentang jaman nista Kota-kota menjadi raksasa Seperti jam yang terus berputar Dan ingatanku begitu dingin, seperti lelehan es Yang berjuntaian di ufuk. Menjelma cakar-cakar Menakutkan Tapi aku punya rayuan untuk sebuah perselingkuhan Untuk sebuah birahi Untuk dewaku birahi Seperti jawab yang bertebaran di kaki langit Seperti cahaya yang membias di gelas-gelas kaca Mencipta horison, keping harap Pada pertalian sukma Sebab senja tak akan mengajar malam Menjadi sia-sia dengan nalar bertuba Tapi sekali maut tetap maut Rumahku kosong. Aku menyingkir ke benua lain Menjelma orang-orang lupa Di mana tanah kelahiran, di mana biduk sajak dan kapan hujan. Dan aku akan memaknai setiap lembar hujan Dengan ingatan yang tersisa Seperti kekosongan, saling silang, perang, serang, dan pemerkosaan Tik! Seperti suara waktu Berlepasan, rubuh, patah dan jatuh Seperti aku, Berzinah di antara puing reruntuh Dan dalam persenggamaan liar Dengusku membakar dunia. Dunia lain, duniaku Duniamu; wilayah lahat, di kolong jagat, Dan rupa nyawa yang beterbangan "Antarkan aku dengan suaramu, dengan nyanyianmu. Aku tak butuh doa" Tetapi kenapa kematian pun butuh nada Apakah dalam kematian menyimpan suara, Gending-gending dari negeri antah berantah Yang membahana di gigir tebing, di tubuhmu Di langit-langit, dan lukisan yang tak pernah selesai Seperti juga aku, telah memberi arti Pada nafasmu Aku akan berdiam dalam lanskap sederhana, pagupon Seperti seekor burung dara Yang menjemputmu dalam udara Karena nyanyian ini hanya menumbuhkan iri, Keberangkatan yang memusat, dan perjalanan di kota-kota tua yang tak pernah tamat Seperti perjalananku pada notasi lekuk tengkukmu Dengan bulu-bulu halus, kerling yang terencana, Dan sebuah sapaan yang liar Kenapa semua bersatu dalam tubuh Laksana sepotong bukit yang menyimpan cemara, Gugusan lumut, dan ular berbisa Kapan aku selesai menyapu dengusmu, Atau pada penghabisan di pucuk-pucuk buluh Dengan derit angin dan daun-daun gugur Jika jubahku basah, isa telah mati di mataku Lalu katakan padaku tentang tembang itu Karena aku ingin mencumbu senyap Di sebuah keranda Yang tak tertulis apa-apa Tapi kesangsianku pada bayonet yang menghunjam Dadamu, seperti pintu Ia terbuka ketika usia tertutup Salju Seperti gunung-gunungku, dengan deru angin Yang dingin Dan keagungan yang menyakitkan Sebab dongeng yang terngiang dari bibir ibu Menjelma rentetan peluru. Merebus ingatanku Dan rumahku yang menancap di tubuhmu dengan tiang payudara, dengan ranjang liang senggama adalah butiran-butiran gandum, dan seekor gagak bertengger di wuwungan untuk bersuara kematian Mungkin sejarah yang tergurat di dinding goa mengasingkanku pada seonggok bangkai, pada kapal yang karam, dan sebuah tanda tanya tentang rerumputan liar Tapi seruling gembala, dalam desahku adalah halilintar Izroil akan pamit padaku Untuk menyanyikan dendang sabda Sebab waktuku, dengan riwayat yang menggumpal Di kakimu; menyisakan jejak-jejak kabur, partitur usang, dan sebuah lagu sumbang. Jika jejak itu terhapus Aku berubah naga. Nafasku membakar Mendedah sawah, mengemas jazirah Menjadi bongkah pasir Menjadi pantai-pantai Dengan sebuah legenda berapi-api Dan kusebut namamu, waktu, gadis sepiku Sebagai kota-kota tua, seutas rahasia, dan sebuah peta lungkrah. Tapi aku mengingat tubuh putihmu, Hawa sahwat dan sebuah rayuan kematian Seperti sihir Mungkin nyanyian itu sebagai tanda Tak ada yang menyatu, tak ada yang berpisah Sebab maut bukan soal waktu Ia adalah karpet tua, gelas berukir, dan seorang petani desa Kelak, ketika ranjang pengantin kita sempurna Aku akan bermimpi tentang sebuah pernikahan --kau pengantinku, aku pengantinmu- Tapi impian bukan tamsil kematian Ia akan menjadi ruhku, Seperti opera dengan cerita yang sirna Atau pengkhianatan kata-kata, peleburan mantra. Jika kau dengar requiem ini, Aku telah berlari dari keterasinganku Pulau-pulau muksa, seperti asap pembakaran dupa Gerimis dan pongahmu akan jatuh ke bumi Rayap-rayap membuat rumah Lalu saling berkisah tentang kafan yang kusut dan sepasang biji mata yang tak terpejam Aku menjadi bayang-bayang, dalam kelir yang mengalir dalam dosa warisan, dan pertaruhan kura-kura di telaga Aku berkata tentang penghabisan Lalu kau kusebut bunga, gadis sepiku Dengan ingatan tabu, dengan serpihan silsilah Yang berpatahan di kitab-kitab lama Kutulis namamu di pelepah korma, sebagai nisan. Mengenang hujan. Dan pelayaranku akan abadi di kapal-kapal tua Seperti ziarah burung-burung Tubuhku bersayap Dan setiap jengkal tanah adalah ibarat Seperti lambang dada, dalam kepastian yang tiada Setelah pembakaran itu, gerimis menipis. Kesucian, kesunyian menjelma rongsokan, arang dan abu jenazah yang menghitam Seperti larung yang mustahil. Dan gaib, hanya igauan anak-anak bebal Sebab pohon-pohon kelapa berjajar, Buih saling kejar Dan peta membenam dalam pasir "Tak ada kekekalan. Sebab yang kekal hanya pantai dan pantat yang landai" Dan kematian adalah sia-sia, kerja yang tanggung, dan serapah yang lunas dalam cuaca Tapi kenapa kematianmu begitu berarti, Hingga butuh nada tinggi Adakah kau yang menyimpan palu pembongkar Dalam irama hujan Lalu kenapa kau kirim tanah seharum ini kepadaku Ingatanku telah lapuk. Berpagar nisan Seperti pulau-pulau tak bertuan, Nisan tanpa nama, tanpa alamat dan tanggal. Sepi. Gadis sepiku Dan hujan memercik diamku dengan nyanyian Nyanyian anak-anak desa dengan luka-luka Di dada Aku telah tersayat kilau pisau Kulitku tergores ilalang di padang Dan suara atap yang meratap Menyingkir ke lembah segala lembah. Rahimmu Rintik yang mengundak mistik Melepas gerak Pada riak-riak, pada notas gaib sang waktu Dan tanah ini biarlah kusematkan pada mata Bonangku, seperti liukan selendang ibu Di rumpun bambu, batas waktu Tik! Seperti suara waktu Berlepasan, rubuh, patah, dan jatuh Seperti aku, Berzinah di antara puing reruntuh Anak-anak yang terlahir dari rahimmu: Anak-anak jadah, penguasa neraka. Pengutuk segala amsal Setelah nyanyian hujan, Aku berlarian di luar waktu Mengumbar liarku pada senggama Senggama di bawah pohon sakura Dalam musim semi, dengan bunga-bunga Dan kulihat matahari seperti telor mata sapi, Seperti liang peranakan Dengan rumbai-rumbai putih, dalam karnaval bocah-bocah yang tak mengerti arti cuaca Lalu waktu adalah kekosongan Kekosongan yang begitu dingin Menggigil Bugil Aku telah memaknai setiap lembar hujan Dengan ingatan Dengan tafsir asmaragama yang tumbuh di keningku Sebab dalam gurat kitab-kitab lama Aksara seperti pahatan lingga, pahatan vagina Dan mengekalkan persetubuhan kala Di tubuh dunia, tubuhku Dan setiap rintik hujan, mengekalkan kematian Kematian waktu Surabaya, Januari 2002 |
Kamis, 05 Juni 2008
Dua Puisi Panjang 2002
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Sangat mempesona. Selalu terkesima oleh kata-kata dalam sastra.
Mantapppp
Posting Komentar