Asbak
di asbak, peluru masih saja mengepulkan asap
aku ingat lisong yang baru dihisap
kau memungutnya satu dan kau pasang di jantungmu
aku pun bertanya: “kenapa kau pasang bom waktu”
tapi senyummu bagai malaikat yang baru terbangun
dari tidur panjang; membuatku bebal dan kikir
untuk merapal tafsir
“aku hanya asbak,” jawabmu. “muasal jejak
tapi aku ingin kalis dari arang, dari pembakaran”
kini, aku yang tersenyum
diam-diam aku pasang peluru itu di mataku, di hatiku
juga di seisi kepalaku
aku pun berbisik kepadamu: ‘maaf, serdadu, kita
telah salah sangka; ini hanya pena
bukan peluru, dan asbak itu adalah sabak
tempat kita parkir sejenak, lalu melupa pada jejak”
Surabaya, 2007
Giri
di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga berpuluh
di dekat penjual gambar, foto, ayat-ayat, di dekat lampu neon
10 watt, di dekat orang-orang bersamalam, makan, berjabat untuk
saling mengingat, di dekat para santri yang ngaji, di dekat pengemis
yang mengais-ngais hati peziarah, di atas tanah, di dekat arca angsa-naga,
di dekat nisan-nisan tua, di dekat masjid tua, di dekat mihrab, di tengah
ratap, di ujung gelap, di antara papan peringatan: jangan memotret, di dekat
tulisan Sunan Giri, Sunan Giri I, Sunan Giri III, di samping luka
yang menganga di tubuh waktu; sejarah mulai lupa, ada tanggal yang tanggal
dari almanak; dadal; tapi ada yang menghitung 21, 23, 25, 27, 29, tapi
angka-angka itu bukan tahun-tahun suram, bukan bukti pembantaian
itu sebuah malam lain; di malam likuran, di dekat gapura, di ujung tangga….
Surabaya, 2007
* Malam likuran: 10 malam terakhir dalam bulan Ramadan
Tongseng
obat hati yang kau tawarkan kepadaku adalah bir
dengan gambar yang selalu kutuju: perempuan
tapi perempuan itu tak kunjung telanjang
meski sejak 17 tahun, aku memelotinya dengan
segenap pandangku; kini, di usiaku yang ke-41
perempuan itu masih saja mengenakan pakaian
malah aku yang sering telanjang begitu menenggak
isi botolnya: ah, dasar keparat juga
bir cap perempuan ini; aku selalu bergelap
untuk menguji nyali tentang kesabaran
dan kepastian menunggu; aku pun sering mengigau
“hai perempuan di gambar, jika kamu tak kunjung
melepas pakaian, bagaimana bisa aku mengupas
tubuhmu
jangan biarkan aku menunggu, dengan mengompas
anak-anak di gang, agar aku bisa mereguk dan memeloti
tubuhmu yang selalu saja utuh”
dan obat hati yang kau tawarkan kepadaku membuat
hatiku semakin tak tentu; patah hatiku semakin parah
dan dalam kurun 17-41 tahun, aku hanya menemukan
diriku bergumul dengan ingatan-ingatan retak
pada perempuanku yang luka dan sengak
pada dadaku yang koyak
juga pada rinduku yang boyak
dan ingin kembali ke rahim bunda
: “O, bunda, masihkah rahimmu bisa menerimaku
aku kini telanjang dan ingin kembali kepadamu”
sungguh, obat hati yang kau tawarkan kepadaku
selalu membuatku selalu seperti kanak-kanak
: kencing di jalan, di got, ambruk di lorong-lorong gelap
menuju rumah, menuju kepulanganku yang indah
Surabaya, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar