Rabu, 10 Februari 2010
Tiga Puisi Penuh Kuman
Sajak Mashuri
Kidung Tanjung
Berjalan di utara, bukan hanya laut yang bergelora
Duri juga tumbuh bersama kaktus, mimpi pun
terbungkus nyeri ritus, nafas laut mendengus,
juga sekujurku yang diringkas panas, diringkus arus…
Cakrawala pun hangus,
ketika gelombang menerjang, angin berhumbalang
Bahkan rapal-mantram menjadi rangsum
ketika nelayan turun ---menjemput laut
dengan senyum dan kalut;
menawar maut dengan nyanyian peri dan liliput
Di sebuah tanjung, ketika ritus digenapkan dalam gaung
gelap dan agung,
laut kembali mewarta; kembali menguak duka lama:
kisah-kisah batu yang membujur ke debur ombak,
jejak yang bergerak dari retak
ingatan; tertuang dari zaman ke zaman
: Tanjung Kodok, selambang harapan keropok
Jiwaku pun dituntun alun gelombang ke purba hitam,
ketika katak-katak melata sepanjang peta pesisir,
ketika alir takdir masih nadlir, ketika cakap
cukup kerling mata, ketika kuda-kuda masih berderap
di jalan Deandles kelak dan terbata-bata
Sahdan saat janji ditimang dan dituang ludah api
Sang wali
: dendang Sunan Sendang nan resi
Segalanya mekar, atau terbakar di taman
terjanji: ketika angka-angka ditemali sepi azali
Kiblat pun ditarik kembali, dihadirkan di tepi pantai:
agar laut tak hilang gelombang, agar laut tak sujud
pada peri dan liliput
: “Aku akan merenda kubah, lewat sunyi dan madah
Kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali,
teot teblung, teot teblung, teot teblung, hang-hung!”
Katak-katak bergerak ke pusar hutan
Jati di Mantingan
Mengetuk pintu perempuan datu: penjaga rindu
Kayu pun dilarung dari hulu
Dengan sekali sabda: katak-katak meraksasa,
berlompatan, meninggalkan lobang tapa,
memburu kayu yang menghilir…
Tapi berahi kelewat sunyi dilupa dalam riuh madah
: ‘kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali
teot teblung, teot teblung, teot teot teblung…’
Ritus alam pun tertabuh lewat liuk tubuh
Indera tergiring ke sahwat purba
Mata bersua mata, daging mengingin daging
Berahi jelma pisau ---koyak dada dari patuh
Dua katak mabuk lenguh
Sejoli berenang di laut yang bergelora
segelora darah
keduanya berpinang dengan bahasa gelombang
kecup merayu, degup melagu
mengenal kembali lubang yang ditinggalkan
menutupnya kembali ---berkumpar pada pusar
farji-dzakar
Sabda pun menggelegar:
‘karena kalian telah terbakar ingkar,
kalian tak lebih dari tembikar’
Seperti lunglai tangkai padi yang ditegakkan kembali,
aku tatap hari lewat kecup matahari
Jiwaku pun kembali; mengingat sekat yang tercatat di
pantulan luka: di batu, yang membujur ke laut
aku pun bertanya, sungguhkah ia sibak ombak dengan sujud,
sungguhkah karang kapur yang tegak dalam umur
sebermula dari sabda; sabda yang dihantarkan bibir
bibir penafsir takdir
Aku daki batu itu, katak yang sendiri dan membeku itu
Ia tatap cakralawa laut Jawa dengan sungkawa, tapi
tak terdengar harap atau ratap, mungkin
sisa-sisa mimpi telah abadi dalam dongeng,
dalam kutuk cengeng: ia menunggu sang pekasih,
yang telah disapih; ia bergasing dalam penantian,
bercakap dengan kecipak ombak lewat lisan berkerak
di pupilku, fosil itu tak henti menggigil
karena sebagian dirinya gumpil,
terasing di seberang, nun jauh
sejauh aku menafsir bahasa terumbu
Berjalan di utara, bukan hanya laut yang bergelora
Surabaya, 2009
Sajak Mashuri
Sihir Pesisir
: Herry Lamongan
mampirlah ke rumahku di pesisir, tempat pasir sering mangkir dari takdir; pasir yang saban hari tak lelah merekam jejak-sementara dan menjadi muara segala tubuh berpeluh; tubuh melaut yang tak pernah mengeluh tapi menyepuh keluh dengan kasidah panjang: debur gelombang
kau akan mendengar karang ditanak ombak, tubuh ditabuh riak, kau akan melihat jejak-jejak geraham gemeretak; jejak yang membuatku tetap tegak meski arak menggelegak dan menyentak labirin kerongkonganku hingga serak, kau akan menyaksikan segalanya... meski ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam, yang berpusar dalam samar...
mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti arti dari tepi: sepi tapi berapi, sepi yang membahasakan buih ke perih tak terpahami; bahasa ombak yang menuntun mata ke palung tak berujung... ; sepi yang katupkan ufuk dengan cakrawala, rapatkan hiruk dengan rahasia; tepi biduk asa yang tak berbingkai
kau akan digamit zenit yang menyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; kau juga akan mendengar hingar doa yang meruap arus pasir, memberi ruh pada pesisir, agar tubuh tak lagi berlabuh untuk peluh, tapi jelma lengan-lengan panjang yang menderapkan sejuta harap
ah, tapi kerap doa-doa pun berkesumba, memasu sumur gelap
mampirlah... biar kau tahu, kini arus ‘lah berubah; banyak kanak belajar menghajar nyawa; mereka menghamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas dari puja; mereka membuat patung pasir gaib sebagai kiblat malaikat pencabut nyawa berdiwana...
kau akan mendengar begitu dupa dibakar, doa-sesat dihentakkan: pasir-pasir akan beterbangan ke ruang samar, memintal korban, memburu setiap lubang tubuh dengan lenguh: ‘bangkitlah kesakitan!’ pasir pun merasuk dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan jelaga, sampai terdengar ratap, ratap panjang.... semuanya menyingkir, memberi jalan bagi kematian mengukir akhir siksa
pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi
biar kau tahu ketika pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir di aorta, lalu bebulir itu lurus ke jantung berdegup: asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu terus berasus ke ruas nafas, hingga segalanya pun redup; jantung pun langsung memberi jalan pada Sang Maut bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”
mampirlah ke pesisir, kini banyak kanak memainkan takdir, bermain sihir pasir, rapalkan mantra pengusir alir-Khidr; mereka berlarian di pantai-pantai seperti setapak tanpa akhir; membangun bukit dan patung pasir seamsal jasad yang ‘lah lumat; mulut mereka merajut puja-doa, meski sering pinta berkesumba, tapi kerap pula doa-doa merah
--doa kaum teraniaya...
Lamongan, 2009
Sajak Mashuri
Ironi Kota Singgah
: Hotel Itu Bernama Surabaya, Kawan
selat itu menyekat pipih geografi, kau menyebutnya: Surabaya
kota yang terbaca dari titik kecil: noktah hitam di peta,
di pinggir delta, di tepi laut Jawa
kau berhayat di antara kiblat-kiblatnya
ketika kita bertemu tanpa sekat, lalu kau
melihat sebarisan malaikat ---di Ampel, di Bungkul, berjamaat
atau tak terangkul di seberang semak-keramat
tapi aku terasing, buta, serupa pejalan yang tak sempat
melihat ujung tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh
aku pun tak mampir berlabuh, tak parkir ke riuh
: bongkar-muat, ganti cawat, atau angkat sauh
kau tetap saja berkisah dengan angka, tahun-tahun
tapi aku seperti tersekat di seperempat abad pertama
pasca 1900: saat segala genap menjadi ganjil
dan segala luapan demikian gigil
saat gelora masih membenih di asa: meletup ke degup
indra, seperti pelari dengan api
yang tak redup, meski hati terseret ke jalan-jalan mati
jalan penuh mimpi!
lalu kau sebut 45: aku pun tersudut ke ruang nganga,
aku tak ingat sungguhkah gaung itu meraung
demikian agung; adakah tonggak: lingga yang menancap
tanah demikian tegap; lalu kau acungkan sahwat
: o, pahlawan, pahlawanku bertugu
tapi aku pun seasing budak belian kembali,
ketika segala temali mengikatku lagi
kutapaki jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatu
kulihat mercu suar membubung tinggi, berkabut
aku terpana ke pesona
: di lorong-lorong renjana
aku dipersilah dengan pantun penuh gairah:
“Tanjung Perak, kapale kobong!
Mangga pinarak, kamare kosong!”*
kau pun beringsut, seperti seorang yang mengigau
tapi aku bersorak, tanpa risau:
“inilah Surabaya, hotel tempat singgah
tapi bukan tempat berlibur, atau mengubur darah
segalanya lembur
seperti juga kapal-kapal yang berhenti lalu
berangkat, berganti-ganti
di sini, segala ranjang tak cukup dipandang
tapi dierami
silahkan merangkak, sebab segala sprei tak sengak
tak ada jerami, tak ada jejak
kecuali apak selangkang sendiri, yang kumal
ketika segala kemudi kembali ke asal
ke tujuan awal
di sini, kamar telah menjadi bujur sangkar
dan tak kenal lingkaran”
kau pun turun, menghitung kesunyian demi kesunyian
tapi biografi telah terbelah, garis-garis itu saling patah
kau dapati dirimu batu
tak berayah-beribu ---kau sangsikan jejak
-jejak panjang, segepok riwayat nan keropok
ihwal pertempuran di delta
antara ikan-buaya
lalu segalanya menjadi nama
kota, jalan, kampung, sungai, juga lorong-lorong keparat
tempat buaya darat bermunajat…
kau pun sangsikan segala sebab; kerna tak ada warta
yang lebih nyata kecuali kata-kata dusta
yang diulang ke berjuta
aku pun tersampir seperti gombal lusuh
di pinggir lenguh ---aku tak hirau pada riuh
sejarah ingatanmu
kudapati tubuhku, kurayakan tubuhku
seperti persinggahan di tengah perjalanan
yang tak mengenal kenang
kenanganku pun hilang bersama sunyi
: perempuan
yang selalu berharap diairi, di semak, di makam
di rumah-rumah yang berjajar dengan geletar
ketika kau mabuk
dan ambruk kedalaman luka tak berufuk
: silam!
kuangkat bir hitam, kuingat pada anak terkutuk
: diriku!
aku bangkit, kuangkat sauh, kulenguh langit
: “beri aku harapan untuk berlayar ke cakrawala
tanpa rasa luka oleh perih kenang dan ingat”
di seberang, kubangun kota-kota di hatiku
dengan batu-batu yang kucuri dari persinggahanku
agar aku tidak melupakanmu,
melupakan angka-angka
yang sempat kau hitung dengan deret aritmatika
yang tak kunjung kau ketahui jumlahnya
---kecuali waktu yang terus berputar
kau tetap tak tak ingin sesat di silam
dan terbenam bersama jangkar malam
: kini telah 180 derajat berputar
tak ada alasan untuk membangun sangkar
moga di milenium ini, kau tak lagi terpaku
pada paku silammu
tapi mengandangkannya di kalbu
lalu kau tulis deret rumus baru
: bahwa zaman telah berganti
hotel itu harus diperbarui, dicat dan pugar kembali
atau disucikan api…
Surabaya, 2006/9
* Di Tanjung Perak, kapal dilalap api
silahkan singgah sejenak, kamarnya tak berpenghuni
Senin, 05 Oktober 2009
Puisi
Sajak Mashuri
Pada Mulanya Adalah Kaca
pada mulanya adalah kaca
yang terbiar sendiri di ujung depa, sebagai perca
tapi jemarimu memungutnya
memasangnya di dada, lalu kau menyebutnya
mata, kata
“lihatlah ada jalan binasa di pucuknya,”
katamu. “lewat dolorosa, aku mengenal
bahasa yang mengental di nafasmu
seperti aku bangun katedral tua
di batinku…”
tapi aku hanya bisa menangkap rangka jendela
di ujung dinding, juga bingkai yang telah membangkai
sebagai tanda: tak ada urat keramat di panilnya,
kecuali gigil kata di ujung lidah;
tak ada rintik di balik tilas mosaik
kecuali hardik burung nasar
yang mendesau di udara;
tak ada salib di reliknya, kecuali jalan
nasib yang tertawan harapan….
“ada roti,” serumu “juga anggur
yang tawar oleh kebisuan. haruskah aku
suguhkan dengan nampan tanpa mawar…
atau aku kumparkan durinya yang melingkar”
selepas kata, kaca tumbuh di dadaku
mataku nanar ketika wujudmu berpendar,
dalam bayang-bayang
tajam yang meringkus sudut retinaku
dengan perih;
mimpiku pun terbang seperti kelelawar
yang terusir siang
sungguh pada mulanya adalah kaca
tapi kau telah merubahnya menjadi luka
yang terus membayang
lewat pantulan-pantulan tak terkira
dalam firman yang berkafan darah
sabda yang harus aku basuh dengan madah
tanpa menyebut
katedral tua, dan jendela bergambar sorga
Surabaya, 2009
Kamis, 14 Mei 2009
Esei tentang Dunia
Puisi dan Iman
Oleh Mashuri*
“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”
Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa
Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.
Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.
Puisi Subversif Terhadap Iman?
Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.
Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.
Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.
Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.
Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.
Pertemuan Puisi dan Iman
Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.
Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.
Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).
Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.
Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.
Bertumpu pada Spirit
Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.
Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!
* Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.
Minggu, 01 Maret 2009
Esei Semelekete
Redesain Peta Kultur Santri Jawa Timur
Oleh Mashuri
Sejarawan Perancis Dennys Lombard melihat Jawa Timur merupakan sub kultur dengan berbagai jenis entitas lokal yang beragam dan variatif. Peta kulturnya menyiratkan ada beberapa sub kultur, yang masing-masing memiliki historisitas yang panjang. Hanya saja, beberapa ada asumsi, kekinian kultur Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh kultur santri. Namun, seiring perubahan sosial, budaya dan dinamika dunia, dimungkinkan adanya pergeseran pada anggapan-anggapan yang selama ini sudah terdefiniskan dan mapan.
Memang kajian Lombard memang memiliki corak sejarah yang khas. Pemotretannya pada kultur Jawa Timur secara historis, memang bisa dijadikan acuan untuk mereflkeksikan kekinian dalam wujudnya yang paling mungkin, dengan penelusuran anasir-anasir lokalitas, sebagai sebuah proyek politik identitas. Hal itu karena apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz puluhan tahun tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java memang harus dibaca ulang dan dikaji lebih jauh secara komprehensif, terutama pada trikotomi: santri, priyayi dan abangan.
Geertz bukannya tak memberi sumbangan pada penelitian antropologi Jawa, khususnya Jawa Timur, karena sampel dan lokasi penelitiannya adalah Mojokuto (Pare) Kediri. Jika beberapa pihak berusaha membongkar trikotomi Geertz, hal itu sebuah kemutlakan, karena kedinamisan masyarakat memang memberi ruang untuk selalu berubah. Di sisi lain, ada ketidaktepatan kategori dari ‘agama Jawa’, tetapi trikotomi itu masih sering digunakan, untuk memilah masyarakat Jawa, baik dari segi kultur dengan segala aspek yang terkait dengannya. Tercatat Koentjaraningrat, Harysa W Bachtiar, Kuntowujoyo, Emha Ainun Najib dan berbagai antropog sudah memberi catatan kritis pada hasil penelitian itu, sehingga tak perlu dikomentari lagi.
Tetapi Lombard dengan menggunakan pendekatan sejarah memang memiliki nuansa yang memungkinkan bisa dirunut kekiniannya, karena memiliki dimensi waktu dan runtutan perkembangan yang bersifat spasial. Ia melihat beberapa kultur itu dalam kapasitas geografisnya, serta fase sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sini, muncul proyeksi yang mengarah pada kultur keislaman yang meliputi wilayah Jawa Timur, dengan menunjuk pada renik-renik hasil persilangan budaya. Kultur itu biasa diacu sebagai kultur santri, dalam kajian-kajian kawasan dan lokalitas.
Apalagi, jika asumsi umum yang sudah dikenal menganggap, Jawa Timur sering diasumsikan sebagai masyarakat yang memiliki basis santri yang cukup signifikan. Hal ini pun menjadi acuan dalam aspek pragmatis, seperti pemilu dan lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, memang tidak menyentuh masalah organisasi kemasyarakatan, baik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis maupun lainnya. Tetapi berpulang pada pengertian pada masyarakat santri itu sendiri yang memang memiliki kecenderungan kultur yang berwarna Islami, dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat dengan corak kultur yang khas.
Hanya saja, dinamika yang ada pun memberikan semacam sinyalemen ada perubahan persepsi dalam masyarakat santri ini, karena ternyata, ada pola pikir yang telah berubah yang diasumsikan tidak hanya karena pengaruh pendidikan, tetapi pada mobilitas masyarakat santri sendiri yang cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan, pola pikir dan perilaku, serta gerakan masyarakat santri, serta adanya ketidaktunggalan suara dalam memberikan aspirasi yang bersifat politik, seperti yang tercermin dalam pilpres, pilkada dan hajat politik, meskipun untuk ini diperlukan penelitian yang kondusif lagi.
Kultur Santri Baru
Selama ini, penamaan masyarakat santri memamg lekat pada NU. Jika berbicara tentang NU, maka yang ada dalam benak adalah masyarakat sarungan dan terkesan kampungan. Tetapi streotipe itu ditengarai sudah lama berubah, dan hal ini pun sering dibahas oleh beberapa pemerhati masalah NU. Di antaranya menengaskan adanya perubahan itu dimungkinkan karena peran Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan gerakan sadar diri dari massa muda NU yang ingin berubah dari stereotipe lama.
Hanya saja, ada sebuah gerakan kultur menarik di kalangan masyarakat santri, terutama dalam masyarakat urban. Sayangnya, kondisi ini kurang mendapat respon yang memadai terkait dengan adanya sebuah fenomena mutakhir terkait dengan mobilisasi santri urban di Jawa Timur. Sebenarnya fenomena ini hampir serentak terjadi di beberapa kawasan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yakni kemunculan gerakan intelektual dari generasi muda yang berlatar belakang kultur santri.
Di Surabaya, komunitas santri urban sangat mungkin sekali, karena santri-santri yang berasal dari daerah lain, katakanlah desa, melakukan hijrah ke Surabaya dan berpola pikir berbeda pada saat berada di daerah asalnya. Apalagi, Surabaya sebagai sentra pedagangan, pendidikan, perekonomian dan pemerintahgan terbesar di Indonsia Timur, dan pusat pemerintahan Jawa Timur. Hal yang sama juga sebenarnya bisa terjadi di beberapa kota lainnya, seperti Malang dan Jember. Tetapi, posisi mereka lebih bertaruh pada gerakan intelektual dengan basis kampus, serta pada lembaga swadaya masyarakat.
Dalam kategori ini, stereotype yang berlaku bukan lagi pada terminologi santri pedalaman dan pesisir yang bercorak antrologois dan etnografis, tetapi lebih condong pada wilayah sosiologis, meskipun pada dataran tertentu juga melibatkan anasir yang terkait dengan kesadaran potensi diri dan tradisi.
Adapun, potensi yang ada pada santri urban memang berbeda dan bercorak liberal. Ada pergeseran yang cukup siginifikan untuk melihat dan berlaku dalam keseharian dan saat berhadapan masyrakat. Identitas yang melekat pada santri ini memang terletak pada tingkat pendidikan, serta pemahaman baru pada cara beragama. Dalam hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pergeseran pemikiran yang cukup signifikan, dengan mengawinkan hasil pendidikan Islam, Barat dan konteks kekinian, sehingga ada ahli keislaman yang menyebut mereka sebagai Islam progresif. Istilah ini sepenuhnya tidak menunjuk pada aksi yang mengarah pada politik Islam atau Islam politik, tetapi pada wilayah kesadaran untuk menafsirkan Islam secara kekinian.
Di sisi yang berbeda, sebuah terminologi Kuntowijoyo terasa cukup tepat memberikan pemilahan pada pola santri urban, dengan memberikan titik tekan pada kemunculan konsep ‘religius sekuler’. Artinya golongan ini memiliki kadar keagamaan kuat, tetapi memiliki pemikiran sekuler. Meski terminologi Kuntowijoyo itu bersifat politis, karena untuk melihat komposisi calon presiden pada pilpres 2004 lalu, tetapi untuk menggambarkan eksistensi dan gerak santri urban bisa dijadikan acuan.
Kekhasan lainnya dari perubahan pola kultur masyarakat mutakhir adalah tumbuhnya budaya keberagaman di kota besar, metropolis, yang lekat dengan perkembangan iptek dan teknologi. Dapat dilihat pada aktivitas jamaah dzikir dan pengajian yang bermunculan, serta adanya upata untuk memberikan nilai lebih pada agama, dengan penghayatannya, yang dalam kultur kota memang terabaikan karena rutinitas kerja dan menyempitnya ruang. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi Surabaya juga. Dengan kata lain, masyarakat menengah kota teah menjadi sebuah komunitas yang ‘tersantrikan’ dengan kegiatan-kegiatan religius.
Kecenderuingan ini bisa dibaca tidak saja di kota-kota besar di Indonesia saja. Dalam skala global, gejala ini pun menemukan bentuk konkritnya, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi perbincangan yang marak, terutama sering dengan perkembangan iptek dan teknologi dan kecenderungan era ‘demokratis’, serta posmo. Gerakan-gerakan yang mengarah pada ‘penghayatan’ dan pendalaman agama semakin marak, meski di sisi lain fundamentalisme ekstrim juga bermunculan.
Berawal dari pola pikir demikianlah, maka munculnya komunitas santri baru yang selama ini lekat dan berdekatan dengan tranformasi kultur baru dan visi baru, terutama yang mukim di perkotaan. Masyarakat ini pun punya pilihan politik yang berbeda dari arus besar masyarakat santri secara umum. Dalam kasus Jawa Timur, munculnya masyarakat santri baru, juga memiliki potensi yang tidak kalah menariknya bila dibandingkan dengan santri pedalaman, pesisir dan urban sekalipun. Bagaimanapun pergeseran itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita meresponnya dan mengantisipasinya dengan tepat. Sebab percepatan perkembangan dunia dipicu perkembangan ilmu dan teknologi dan dunia tak lagi disekat- batas-batas geografis. Di sisi lain, juga muncul gerakan politik dan kultur yang berbasis agama kuat yang memiliki potensi kuat untuk berkembang. Nah!
Langganan:
Postingan (Atom)